Rabu, 21 November 2012

Beauty Love Brother -31


Rating : K+

Genre : Family

Character : Alec, Ben, Dean, Sam


Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?

ENJOY



Chapter 31


Wellington bangun di pagi dengan perasaan berbunga. Ia sudah menunggu hari ini tiba, dan ia sudah tidak sabar untuk segera sore hari. Ia sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan Lady Adeline dan menghabiskan satu jam penuh bersamanya dalam kelas musik sore ini. Wellington tidak pernah membayangkan akan begini rasanya bertemu dengan seorang gadis cantik. ‘Beginikah yang dinamakan jatuh cinta?’ Wellinton tersenyum sendiri. Tapi mengapa ia tidak dapat menahan rasa sabarnya? Keinginannya untuk segera bertemu dengan Adeline tak lagi dapat terbendung.
‘Bagamana caranya ia bisa bertemu Adeline lebih awal? Pagi ini mungkin?’ Wellington berpikir keras. ‘Ah tidak pantas. Tidak pantas aku bertandang ke rumahnya tanpa diundang,’ Wellington menggelengkan kepala dengan gusar. Berarti ia memang harus menunggu hingga sore hari. ‘Ya Tuhan, cepatlah sore tiba,’ dengan sangat memohon.


Akhirnya sorepun tiba, dan Wellington sudah tidak sabar untuk menyambut sang putri. Namun iapun harus menjaga sikapnya sebagai seorang pangeran. Maka iapun harus tetap bersabar menunggu kedatangan Sang Putri.

    “Kenapa belum datang juga, ya, Pak,” Wellington sudah mulai gelisah. Ia sudah berada di dalam kelas bersama tutor musiknya, Sir Michael menunggu kedatangan Sang Putri.
Sir Michael tersenyum, “Sabarlah, pangeran. Belum juga pukul 4.”
    “Heh?” Wellinton terkaget sendiri, dan jengah. “Aku hanya takut ia tidak akan datang, bapak.”
    “Tenanglah, Pangeran, Undangan sudah dikirimkan bukan, dan tentunya jika tidak ada halangan, Lady Adeline pastilah akan datang. Tidak usah Pangeran cemas,” Sir Michael harus tersenyum kulum, melihat Sang Pangeran yang tengah jatuh cinta.
    “Aku hanya khawatir, kakaknya yang tidak mengizinkan Adeline datang.”
Sir Michael tertegun, “Kakaknya? mengapa?”
    “Entahlah, tapi sikap protective kedua kakak Adeline agak meresahkanku, mereka seperti tidak mengizinkan pria manapun mendekati Adeline.”
    “Apakah sudah terlihat sikap itu?”
 Wellinton menghela nafas jengah, “Belum, sih, mereka memang baik, hanya saja, mereka mengakui memiliki penyakit Sister’s Possesive Protection tingkat tinggi.”
 Sir Michael tertegun dengan istilah yang baru ia dengar, “Sister’s Possesive Protection?”
    “Yea, begitulah.”
Sir Michael harus tertawa kecil mendengarnya.
    “Ya...ya..., Bapak boleh tertawa sekarang, tapi nanti jika bapak sudah bertemu dengan Adeline, bapak akan mengerti maksudnya,” Wellinton tersenyum kecut.
Sir Michael tersenyum. “Baiklah,” dengan mengangguk begitu memahami suasana hati Sang Pangeran Muda. “Pangeran, mainkan sebuah lagu, tidak ada salahnya bermain, dengan menunggu Adeline datang.
Wellington menghela nafas, mengalah. “Baiklah,” lalu duduk menghadap piano berukir indah itu.
Sir Michael tersenyum begitu mendengarkan alunan piano yang dimainkan sang Pangeran.

Dan saat Wellington di tengah permainannya, Sir Michael menyadari dua sosok berada di pintu dengan diantarkan oleh seorang petugas. Seorang putri bersama seorang pemuda yang menjulang tinggi tubuhnya dan berbadan bidang.

   “Erghm, Pangeran... ,” Sir Michael mencoba menghentikan permainan sang Pangeran.

Permainan Wellinton berhenti seketika dan pandangannya langsung tertuju ke arah pintu. Di sanalah berdiri sosok yang sudah lama ia tunggu, bersama ...  pengawal setianya.

    “Ah, Lady Adeline!” seru Wellington penuh semangat dan kelegaan. Akhirnya datang juga.
Adeline tersipu dengan sambutan yang penuh ceria.
    “Pangeran,” Adeline menghoramt sopan.
    “Senangnya, kau datang, Milady, aku sudah mengira kau takkan datang,” Wellington tak dapat menutupi kebahagiaannya.
    “Hamba pasti datang, Pangeran, memenuhi undangan pangeran. Ng.., hamba mengajak kakak saya untuk menemani saya, jika Pangeran tidak  berkeberatan.”
Wellinton beralih pada pemuda yang berada di samping Adeline dengan memberikan senyum, “Tentu saja, Sir Dean, bukan?” penuh keyakinan dan sok akrab. “Dan tak perlu pakai hamba, ini bukan istana, biasa saja.
    “Samuel, Pangeran,” pemuda itu mengoreksi, dan membuat Wellinton merah padam
    “Oh, maafkan saya,” dengan salah tingkah.
    “Tidak apa, Pangeran,” Samuel Winchester tesenyum santun, tapi justru membuat Wellinton semakin salah tingkah. ‘bodohnya, aku’.
   “Ng..., kenalkan ini tutor pribadi saya, Sir Michael,” Wellinton langsung mengalihkannya pada tutornya. “Pak , ini Lady Adeline,” Wellinton mengenalkannya dengan wajah penuh keceriaan.
   “Milady,” Sir Michael mengangguk hormat, “Senang bertemu dengan Anda. Pangeran sudah banyak bercerita tentang Anda, dan juga permainan piano Anda.”
   “Ah, Tuan, saya tidak sepandai itu, Pangeran tentu jauh lebih baik dari saya, juga kakak saya,” Adeline merendah dengan menunjuk Samuel.
   “Jangan mempercayainya, Pak,” bantah jenaka Wellinton.
   “Kau bermain piano juga?” tanya Sir Michael pada Samuel.
   “Dulu, sekarang sudah tidak lagi, Tuan,” jawab Samuel santun.
Sir Michael mengangguk tersenyum.
   “Baiklah, mari kita buktikan,” undang Sir Michel.
Wellington tersenyum penuh semangat. “Betul sekali, aku sudah tidak sabar mendengar permainanmu putri. Mari ...,” seraya mengajak Adeline duduk di kursi yang ia duduki tadi.
Adeline tersenyum dengan manisnya, dan mengikuti undangan sang Pangeran.

     Mau mulai dengan apa, Wellinton bertanya,”
    “Apapun yang Pangeran kehendaki...”
    “Baiklah,  bagaimana kalau kita coba Mozart?”
Adeline mengangguk dan jemari lentiknya mulai bermain di atas tuts hitam dan putih.

Adeline bermain sangat indah, sangat mengesankan Sir Michael. Sir Michael tak henti mengagumi permainan putri cantik ini. Putri Adeline bermain layaknya seorang profesional. Kemampuan bermain yang hanya ia pelajari hanya di rumah bersama kakaknya, lebih terlihat sebagai hasil tempaan seorang guru profesional dari sekolah musik terbaik. Dari mana ia memperoleh bakat ini? Dan bagaimana Adeline  bermain sangat mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang ia kenal baik, dan seseorang dengan bakat yang sama. Tapi tidak mungkin, mereka sama sekali tidak memiliki hubungan darah. Mungkin hanya sebuah kebetulan.

Samuel, Wellington dan Sir Michael langsung memberi tepukan tangan saat Alec menyelesaiakn permaianannya

    “Menakjubkan, Putri, sangat menakjubkan. Begitu mempesona. Saya belum pernah mendengarkan permainan seperti yang putri mainkan selama hampir 20 tahun. Sangat Indah,” Sir Michael tak dapat menahan kekagumannya..
Alectersipu, “Terima kasih, Tuan.”
    “Sudah tidak diragukan lagi, Yang Mulia sampai jatuh hati mendengarnya,” godanya lagi.
Wellinton mengangguk pasti dengan memerah.
    “Nah, bagaimana jika kalian berdua memainkan ini, biarkan Pangeran yang bernanyi, dan Putri yang mengiringinya,” seraya membuka lembaran baru dari buku berisikan not-not balok.
    “Baiklah,” Wellington tersenyum senang, sementara Adeline hanya mengangguk santun.

Sekali lagi, Sir Michael dan Samuel disuguhnya permainan indah dari Adeline dan suara merdu dari sang Pengeran. Mereka cocok sekali berduet. Keduanyapun tampak menikmati duet mereka.

Samuel memperhatikan adiknya. Ada rona sipu dan mata yang bercahaya saat Alec memandang Pangeran yang tampan ini di tengah permainannya. Hatinya teriris perih. Tidak hanya ada rasa sebersit cemburu (setelah merasa Alec hanyalah milik dirinya dan Dean) tapi juga, Alec tidak boleh membiarkan itu terjadi. Tidak boleh sampai ada rasa di antara Alec dan Wellington. Ini juga yang menjadi alasan jelas, mengapa dulu Samuel menolak keras Alec menjadi Adeline, terlebih dengan Alec dengan sempura mampu menjelma menjadi gadis nan cantik yang diperebutkan banyak pria. ‘Ya Tuhan, lindungilah Alec. Pertahankan indentitas sesungguhnya’

Samuel tersadarkan dengan tepuk tangan Sir Michael yang menyambut berakhirnya peremainan duet mereka. Samuel ikut memberikan tepuk tangan, meski dengan senyum jengah.

Selanjutnya mereka bercengkerama hangat dan santai. Alec memainkannya dengan sempurna, dan Samuel dapat melihat mata pesona sang pangeran pada adiknya, dan Alec menyambutnya dengan santun dan elegan. Samuel sangat tidak nyaman berada di sini. Ia tidak percaya akan begini rasanya, melihat sosok Alec sekarang ini. Terakhir ia tinggalkan, Alec masih memiliki sikap dan jiwa aslinya, namun kini, ia seperti kehilangan Alec seluruhnya. Alec benar-benar telah menjelma menjadi sosok Adeline sempurna.
Hingga akhirnya Samuel-lah yang harus memotong waktu dan berpamitan. Alec pun yang juga telah membaca gerak tubuh gusar Samuel dan hanya menganggukinya, ikut berpamitan dengan sang kakak.

Wellington tak dapat menyembunyikan rasa kecewanya, karena sang putri berpamitan pulang.

    “Adeline , kami akan mengadakan pesta berburu besok, di hutan, berkenankah putri datang?” Wellinton tidak mau berakhir dengan begitu saja.
Alec tertegun, Pangeran mengundangnya pada acara berburu ? Ia sempat menengok pada Samuel untuk meminta persetujuan. Dan cukup mengagetkan, Samuel mengangguk lirih. Ia kembali pada sang pangeran.
    “Baiklah, pangeran, mudah-mudahan saya bisa datang besok.”
Wellington hampir bersorak kegirangan. “Bagus! Kalau begitu kita bertemu lagi besok.”
Alec mengangguk.
    “Menyenangkan sekali hari ini, Putri, terima kasih atas kedatangannya,” Wellington mengecup tangan Adeline.
Alec tersenyum, “Kami yang berterima kasih, telah mengundang kami.”
Wellington hanya tersenyum. Ia pun harus berjabat tangan dnegan sang kakak.
    “Besok kau akan menemaninya juga?” tanyanya iseng.
Samuel harus tersenyum kulum. “Mungkin,” ia tahu jawabannya akan sangat membuat sang pangeran kesal. Tapi Wellington hanya tersenyum masam.
    “Selamat petang, Pangeran, Sir Michael,” Adeline berpamitan.
    “Selamat Petang, hati-hati di jalan.”
    “Terima kasih.
Dan Wellington juga Sir Michael mengantarkan mereka keluar hingga naik kuda, dan hilang dari pandangan mata.

     “Cantik sekali bukan, dia, Tuan!?” seru Wellington penuh kekaguman.
Sir Michael mengangguk, “Yea, dia cantik sekali, dan sangat berbakat. Dia sedikit mengingatkanku pada seseorang di masa lalu.”
    “Oh, ya, siapa dia? Sama cantiknya kah?”
   “Ng..,  tidak cantik, karena dia adalah seorang laki-laki.”
Wellinton menggigit bibir, “Okay.”
Sir Michael mengangguk,  “Tapi dia sudah lama berpulang. Sudah hampir 17 tahun lamanya. Dia adalah murid terbaikku, hingga aku bertemu dengan putri Adeline hari ini.”
Sir Michael tersenyum, “Mungkinkah pamannya?”
     “Bukan, karena tidak berhubungan dengan Kel. Winchester.”
Wellington hanya mengangguk, “Berarti mungkin hanya kebetulan saja.”
    “Ya,” Sir Michael menghela nafas.
    “Tapi bukan kebetulan aku bertemu dengannya, Sir,” Wellington tersneyum girang kembali. Ini Takdir! Takdir untuk menjadi istriku.
Sir Michael tertawa lebar, “Ya, pangeran, dapat kulihat dengan jelas, betapa kau mencintainya.”
    “Sangat, Tuan, aku sangat mencintainya!” tak malu mengakuinya.
 Sir Michael mengangguk dengan tersenyum.

*

Alec duduk terdiam di samping Samuel saat perjalanan pulang dari pertemuannya dengan Pangeran Wellington. Alec sudah merasakan aura tidak nyaman kakaknya sejak di ruangan itu. Alec seperti merasa kembali saat-saat pertama kali ia bertemu dengan kakaknya ini yang sudah langsung menunjukkan ketidaksukaannya. Namun perbedaannya, kali ini lebih banyak ia pendam, sementara dulu tak tanggung-tanggung, langsung menyerang Alec. Alec bergidik ngeri jika harus melihat kembali sifat asli kakaknya yang ‘sedikit’ pemarah. Dan ia tidak suka dengan suasana dingin seperti ini. Samuel tidak seperti ini sejak kepulangannya, dan yang pasti, sudah lama ia tidak melihat Samuel marah dan dingin seperti ini.

Ia melirik sedikit pada kakaknya, namun kakaknya asyik memendang keluar jendela kereta. Perlahan-lahan Alec menyelipkan tangannya di lengan Samuel, meminta perhatian. Berhasil Samuel menengok padanya.

Alec mencoba memberinya senyuman manis.  Samuel membalasnya dengan senyuman tipis.

    “Besok kau ditemani Caleb, aku tak bisa menemanimu,” ucap Samuel datar.
Alec terdiam, dan hanya mengangguk lirih tak berani berucap.
Samuel meliriknya, “Kau terlalu sempurna…,” ucapnya sedikit nada penyesalan.
Alec semakin terdiam, “Salahkah?” tanyanya lirih.
Samuel harus menggeleng, “Bukan salahmu.”
Alec menghela nafas perih, dan menempelkan kepalanya di pundak besar kakaknya ini. Tidak perlu dipertanyakan lagi, jauh di lubuk hati Samuel masih tetap tidak menyukai dirinya dalam sosok Adeline.
Samuel mengusap kepala Alec. “Jangan takut, aku tidak marah, dan aku pasti selalu ada untukmu.” dengan memberikan senyum hangatnya lengkap dengan lesung pipitnya yang telah Alec rindukan.
Alec menghela nafas lega dengan tersenyum, didekapnya erat lengan kakaknya yang besar.

TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar