Jumat, 08 Oktober 2010

Beauty Love Brother - Bagian 10

Rating : K+

Genre : Family

Character : Alec, Ben, Dean, Sam


Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?

ENJOY

Brother's Love - Bagian 18



Minggu, 03 Oktober 2010

6 -02 Two and A Half Man

1 Oktober 2010

Episode 2 dari Season 6.

Yup, Dean masih memeliki hasrat untuk kembali menjadi seorang pemburu. Dia tidak bisa menyangkal saat harus melihat di garasinya si cantik impala dengan peralatan berburunya yang masih tersimpan rapi di bagasinya. tapi ia sadar ia sudah memiliki Lisa dan Ben, dua orang baru yang telah masuk di dalam kehidupannya, selama Sam tidak ada. TAPI, tetap, rasa itu masih ada. Karenanya ia tidak bisa menolak saat Sam meneleponnya di tengah malam dengan kalimat 'Dean, I need you!'
Dan Dean terkejut dengan oleh-oleh yang dibawa sam hasil dari berburunya kali ini. Seorang Bayi. Ternyata makhluk buruan Sam kali ini adalah shapeshifter yang mengambil bayi-bayi, dan membunuh orang tuanya. dan bayi yang dibawa Sam adalah bayi yang tidak sempat diambil oleh makhluk tersebut, dan Sam ingin Dean membantunya.
Dean yang merasa sudah  keluar dari duni perburuan, tidak bisa menolak insting berburunya terlebih dengan adiknya yang meminta, terlebih dengan hubungan Ben yang sedikit kurang baik setelah ia membentak Ben karena menyentuh barang-barang di bagasi Impala, dan meminta Dean untuk mengajarkannya menembak. Tidak, Dean tidak akan mau mengajarkan Ben menembak dan menjadikan Ben seperti dirinya dan Sam saat kecil dulu.

Dean pun memenuhi permentaan Sam dan hasrat berburunya, menyelesaikan masalah Bayi Shapeshifter. Bayi yang dibawa Sam cukup menyita perhatian mereka berdua. Terlebih dengan Sam sama sekali tidak membawa serta perlengkapan yang dibutuhkan si bayi, membuat mereka harus berbelanja di supermarket untuk membeli perlengkapan. Saat membayar, si bayi menangis kencang tidak mau dia, dan hampir membuat Sam kesal, Dean pun tidak tahu bagaimana menghentikannya. Kemudian datanglah seorang wanita yang menawarkan bantuan kepada Dean untuk menenangkan si bayi. Saat bayi tersebut sudah ada di tangan wanita tersebut, baru diketahui wanita itu adalah shapesifter.
Segala upaya dilakukan untuk merebut kembali si bayi dari tangan shapesifter. Saat berhasil, mereka langsung mencari motel untuk mengamankan diri.

Di motel, Dean diuji untuk mengurus si bayi, karena Sam sama sekali tidak tahu menahu cara mengurus bayi. Dan Dean suskes besar, layaknya seorang ayah pada anaknya. Sam memuji kepintaran Dean sebagai seorang ayah, tapi hanya membuat Dean takut. Posisinya kini sebagai kepala keluarga dengan Lisa dan Ben membuat dia kebingungan bagaimana melindungi merka sementara ia harus berburu. karena yang pasti Dean TIDAK INGIN SEPERTI AYAHNYA! Dia tidak ingin mengurus keluarganya dengan berpindah-pindah tempat, hidup secara nomaden. Dean harus memilih salah satunya.
Kembali mengurus si bayi, Sam mengusulkan untuk membawa si bayi ke tempat yang lebih aman, yakni ke tempat kakeknya Samuel WInchester, terlebih setelah seorang shipasifter yang menyerupai seorang polisi melabrak masuk ingin mengambil si bayi.
Meski sempat tak setuju, Dean menyetujinya.

Sekali lagi Dean jengan dengan keluarga Campbel  yang baru dikenalnya. Ada rasa tidak percaya di sana dengan sepupu-sepunya dan kakeknya, dan ia hampri beradu jotos dengan mereka karena perbedaan pendapat akan si bayi yang ternyata adalah anak dari shapesifter.
Segala upaya dilakukan untuk melindungi si bayi, terlebih dengan datangnya King of Shapesifter yang mencoba menyerupai Samuel, Sam, dan Dean untuk merebut si bayi. Dia ia tidak dapat dibunuh dengan apapun juga.

Saat si bayi bisa direbut oleh si empunya dan kabur, Dean mulai berpikir untuk kembali berburu bersama adiknya. Dan perasaan berat meninggalkan Lisa dan Ben tertampik oleh Lisa yang sangat mengerti hasrat Dean ada di luar sana bersama adiknya berburu hantu. Dan Dean pun tak dapat menolaknya lagi. Ia langsung dengan semangat membuat penutup si cantik dan keluar siap berburu bersama adiknya.

Episode ini sedikit lebih menarik dibanding dengan eposode pertamanya, lumayan untuk mengobati kekecewaan. Hanya saja ada yang mengganjal saat Samuel Campbel menelepon seseorang misterius dan membicarakan perburuan mereka yang sepertinya Samuel berpihak pada si misterius tersebut.

FACT :
1. Dean merindukan kehidupan lamanya
2. Dean tidak ingin Ben seperti dirinya
3. Ben ingin seperti Dean
4. Dean bisa sangat keras pada Ben jika menanyakan soal mengajarkan menembak
5. Dean bisa mengasuh bayi
6. Si Bayi diberi nama Bobbyjohn, Bobby dari Sam dan John dari Dean
7. Dean tidak boleh mengendarai mobil sportnya Sam!
8. Tiga aktor bermain 2 kali peran (satunya sebagai shapeshifter)
9. Samuel tidak bisa dipercaya dan menyembunyikan sesuatu di belakang
10. Wajah hasrat terpendam Dean terpancarkan saat membuka baju si cantik Impala untuk dipakai kembali.

Pertanyaan menggelitik:
1. Kenapa Dean digambarkan canggung dengan urusan bayi, sementara siapa yang mengurus Sam saat kecil dulu? Siapa yang mengganti popok Sam dulu? DEAN!!
2. Saat mereka berdua di supermarket dengan Dean menggendong bayi, seharusnya ada celetukan yang menganggap mereka pasangan gay!

That's all!!! Can't wait to see for the Episode 3 on 7 October 2010 ....

Beauty Love Brother - 9


Rating : K+

Genre : Family

Character : Alec, Ben, Dean, Sam


Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?

ENJOY 


Daddy Dee - Apa Yang Seharusnya dan Yang Tidak Seharusnya Terjadi - 5


ENJOY 

Daddy Dee - Apa Yang Seharusnya dan Yang Tidak Seharusnya Terjadi - 4

ENJOY 


Daddy Dee - Apa Yang Seharusnya dan Yang Tidak Seharusnya Terjadi - 3


ENJOY 


Daddy Dee - Apa Yang Seharusnya dan Yang Tidak Seharusnya Terjadi - 2


ENJOY 


Brother's Love - 17


Chapter 17

4 tahun Dean kecil duduk merapat di tembok dengan tidak tenang. Suara erangan dan jeritan kesakitan dari dalam kamar sungguh menakutkan untuknya, terlebih suara itu adalah suara ibunya. Ma sedang berusaha mengeluarkan adik yang ada didalam perutnya, begitu yang dikatakan Ny. Pitts  padanya. Ny. Pitts yang seorang bidan sedang membantu Ma di dalam sana. Sesekali Dean mengintip di pintu ingin tahu apa yang terjadi di dalam sana, tapi tidak terlihat apa-apa. Ma tertutupi kain besar berwarna putih di sana. Pa? Pa lebih menakutkan lagi. Sejak Ma mulai mengeluarkan suara itu dan terlihat sangat kesakitan, Pa terlihat sangat tegang. Pa hanya mondar-mandir dengan gusar di depan pintu kamar atau duduk dengan meminum birnya. Dean pun tidak berani untuk mendekatinya.
Sudah lama Dean merasakan, Pa tidak suka dengan Ma memiliki adik untuk Dean. Ma sedang sakit katanya, dan dengan adik bayi yang di perutnya hanya akan menambah beban dan sakit Ma. Dean tidak tahu Ma sakit apa, yang ia tahu, Ma sakit berat. Dean memang melihat Ma tidak terlihat sehat selama membawa adiknya di dalam perut Ma. Tapi Ma selalu meyakinkan dirinya Ma, baik-baik saja, Ma tidak sakit, Ma kuat membawa adik di dalam perutnya. Adik untuk Dean agar Dean tidak kesepian nanti. Dean senang sekali akan punya adik, dan Ma selalu meyakinkan, Dean akan menjadi kakak yang baik, kakak yang sayang pada adiknya, kakak yang akan selalu menjaga dan melindungi adiknya. Dean sudah tidak sabar untuk segera melihat seperti apa adiknya. Tapi kalau harus mendengar suara Ma kesakitan begitu, Dean jadi tidak tega. Apakah Ma juga seperti ini waktu mengeluarkan dirinya dari perut Ma?

Akhirnya suara Ma berhenti berganti dengan suara tangisan anak kecil yang lumayan memekakkan telinganya. Tangisannya kencang sekali.

  BRAK!
  “Mary!!?” Pa langsung bangkit dari duduknya sampai menjatuhkan kursi yang didudukinya dan berlari ke kamar. Dengan takut Dean mengintip lagi apa yang terjadi di dalam sana.
Tirai besar itu sudah disingkirkan, dan terlihat Pa bersama Ma. Dean mencari di mana adiknya. Ia mencari sumber suara tangisan yang tidak kunjung berhenti. Suara itu kini sudah berada di tangan Ny. Pitts. Dean berdiri dan takut-takut masuk ke dalam kamar. Ia ingin melihat bentuk adiknya.

Akhirnya ia bisa melihat adiknya. Adiknya kini sudah tidak menangis lagi. Ia kecil sekali, warnanya putih pucat. Ny. Pitts sudah membungkusnya dengan kain bersih. Saking kecilnya, yang terlihat hanyalah kepalanya yang bulat. Matanya tertutup, dan bibirnya mengecap-ngecap. Dean memperhatikan kulitnya yang berkerut-kerut.

    “Ini adikku?” tanya Dean malu-malu di samping  Ny. Pitts
Ny. Pitt menengoknya dan tersenyum. “Iya, Dean, ini adikmu, adik lelakimu, tampan ya?”
Dean kecewa, “Dia kecil sekali, dan jelek, baunya juga aneh!”
Ny. Pitt hanya tersenyum, “Sekarang dia kecil tapi dia nanti akan besar sepertimu dan tampan sepertimu juga.”
Dean harus tersenyum bangga.

    “Mary, Mary!” Pa tiba-tiba memanggil Ma dengan panik, menepuk-nepuk pipnya.
Ny. Pitts langsung memeriksa Ma.
    “Dia tidak apa-apa, John, hanya pingsan,” setelah memeriksanya. “Ia kelelahan selama proses persalinan. Dia butuh waktu untuk mengembalikan tenaganya.”
    “Harusnya dia tidak perlu melalui ini,” sahut John gusar.
Ny. Pitts hanya terdiam.
     “Kau tidak menanyakan bayimu, John?” tanyanya memancing.
John menengok sesaat ke arah meja di mana bayinya diletakkan. Ada rasa ia ingin melihatnya lebih dekat terlebih dengan Dean yang berdiri di sana memandangnya dengan mata bertanya ‘pa nggak mau liat adik baruku?’
    “Apa dia sehat?”
    “Sehat sekali John. Seorang bayi laki-laki yang sehat dan tampan.”
Jawaban Ny. Pitts tidak terlalu membuatnya lega, justru membuatnya semakin sakit.
    “Kalau kelahiran dia hanya akan memperburuk kesehatan Mary, tak perlulah dia lahir.”
    “Tapi Mary menginginkan bayi ini, dan ini buah cinta kalian.”
John terdiam. “Bukan, dia kecelakaan, tidak seharusnya dia ada. Seharusnya Mary tidak usah hamil lagi. Sudah ada Dean, itu sudah cukup,” ucapnya lirih dengan melihat putra pertamanya yang amat disayanginya dan menjadi kebanggaanya. “Tak perlu ada lagi,” lanjutnya dan kembali pada Mary yang masih tak sadarkan diri.
Ny. Pitts hanya mendesah kecewa dan kembali pada bayi yang belum diberi nama. Ia pun tak yakin John akan memberinya nama.
    “Kalau Mary sampai tidak bangun lagi , ….,” John terhenti dengan ucapnnya. Tidak perlu ia ucapkan apa yang ada di kepalanya bila sampai Mary terjadi apa-apa.

Dean hanya berdiri di sana menlihat dan mendengar apa yang Pa dan Ny. Pitts ucapkan. Dia tidak banyak mengerti, tapi dari mata dan gerak tubuh Pa yang tidak melihat bahkan mendekati adiknya, ia tahu, Pa tidak menyukai adik barunya ini. Dean tidak tahu mengapa.

Mary baru sadarkan diri dua hari kemudian, yang sangat melegakan John, karena ia yakin, ia pasti sudah melakukan sesuatu pada makhluk kecil itu bila Mary tidak terselamatkan. Namun yang menyakitkan ucapan pertama yang terucap dari bibir lemah Mary adalah;
    “Bagaimana bayiku, John? Apa dia sehat? Aku ingin melihatnya, John.”
Sebenarnya John tidak ingin memperlihatkan bayi itu pada Mary, tapi ia pun tidak tega kalau harus melihat wajah kecewa Mary, perempuan satu-satunya yang amat dicintainya.
Dan akhirnya dengan pahit, John memberikan bayi merah itu ke pelukan Mary. Tak terkira wajah bahagianya Mari menggendong bayi yang barus ia lahirkan susah payah.
    “Anakku,” ucapnya lembut seraya mengecup pipinya. “Dia mirip denganmu, John.”
John meliriknya bayinya. ‘Mirip dari mana? ’
    “Sudah kau beri nama siapa dia, John?” lanjut Mary.
    “Belum. Belum sempat.”
Mary hanya tersenyum lemah, “Boleh kuberi nama dia Samuel, seperti nama ayahku?” tanyanya.
‘Samuel?’ terlalu bagus buat anak macam ini. Tapi John hanya mengangguk setuju. “Boleh,” apapun untuk Mary.
Mary tersenyum senang, dan kembali mengusap bayinya.
     “Dean,” Mary teringat pada putra sulungnya.
Dan langsung muncul diantara mereka dan John langsung mendudukannya di tempat tidur bersama Mary.
    “Dean… lihat ini adik laki-lakimu, sayang. Namanya Samuel, beri salam padanya, sayang,” ucap Mary.
Dean melihat lekat bayi yang dipelukan ibunya. “Hi, Sam…,”  ucapnya malu-malu.
Mary tersenyum senang. “Kau sudah jadi kakak sekarang, kau harus menyayangi adikmu, ya.”
Dean mengangguk, “Dean sayang Sam.”
Tak terkira leganya perasaan Mary mendengar putra sulungnya mengucapkan itu, sementara John hanya tersenyum jengah.

Memang benar, setelah persalinan itu, kondisi Mary semakin menurut, dia bahkan sudah tidak sanggup untuk turun dari tempat tidur. John semakin menyesal membiarkan Mary mengandung kemudian melahirkannya, dan membenci kelahiran Sam, tapi demi Mary pula ia mau merawat Sam.

Tahun pertama John masih mau merawat Sam, meski dengan terpaksa. Dean pun tahu ibunya sudah tidak kuat lagi mengasuh Sam, karena itu tanpa diminta sering melihat bagaimana ayahnya mengurus adiknya. Dean menyukai Sam. Ny. Pitts benar, adiknya ini semakin lama semakin membesar dan menggemaskan. Adiknya tidak lagi jelek dan tidak lagi berbau aneh. Setiap Sam tertawa, lesung pipitnya keluar dari pipi tembemnya. Dean suka kalau Sam sedang tersenyum atau tertawa. Namun jika Sam menangis, ada perasaan menusuk di dada Dean. Karena itu ia selalu berusaha membuat adiknya tersenyum.

Namun di tahun kedua setelah Sam berulang tahun yang pertama, ayahnya mulai tidak sabar dengan kelakuan Sam, terlebih saat Sam mulai belajar jalan, atau belajar bicara. Yang ada hanyalah Pa yang sering membentak-bentak Sam hingga Sam menangis ketakutan. Kalau sudah begini, Dean yang akan menenangkan Sam dan membawanya ke Ma di kamar, dimana Ma akan memeluk Sam, menyanyikannya nina bobo hingga Sam berhenti menangis dan tertidur lelap, begitu juga Dean yang akan terlelap di samping Ma. Paling tidak Sam pernah merasakan kasih sayang Ma.

John semakin tidak peduli pada Sam, suara tangisnya hanya akan membuat dirinya marah. John pun tidak peduli ia melewatkan langkah pertama Sam, juga kata pertama Sam yang mengucapkan ‘Pa pa….’ John tidak peduli lagi. Ia lebih meninggalkan Sam pada putra sulungnya yang masih 6 tahun. Secara otomatis, Sam diasuh oleh Dean. Dean yang akan memandikannya, Dean yang akan memberinya makan, Dean yang akan menidurkannya, dan Dean yang akan mengajaknya bermain ataupun menenenangkan Sam bila menangis. Sementara waktu John dihabiskan di tempatnya bekerja di tempat pemotongan kayu dan akan berada di samping istrinya bila berada di rumah.

Dean semakin bisa melihat perlakuan ayahnya pada Sam yang berbeda dengan pada dirinya. Tidak hanya perhatian, tapi juga kasih sayangnya. Tak jarang Pa akan pulang kerja membawakan Dean permen atau mainan yang hanya dikhususkan untuk Dean, atau membelikan pakaian Dean yang bagus, tapi tidak untuk Sam. Tidak ada untuk Sam, hanya untuk Dean.
Dean tak dapat menahan rasa perihnya melihat mata cemburu Sam yang merasa tersisihkan tanpa perhatian dan kasih sayang Pa, dan yang terperih adalah jika Sam yang terkadang mengangkat tangannya meminta digendong, tapi Pa selalu menjawabnya dengan kasar, ‘apa, minta gendong? Pergi sana, jauh-jauh, berani mendekat, aku pukul kamu,’  Dan Sam akan mengkeret kecewa, siap menangis tapi dengan cepat Pa akan menghardiknya keras, ‘Jangan nangis! Dasar manja!’
Dan Dean pun mendengar ucapan lirih Sam yang masih berumur 2,5 tahun, ‘Pa nggak cayang, Cammy,’ dengan wajah sedihnya.
Tidak seharusnya anak usia 2,5 dapat mengucapkan sesuatu yang hanya akan mulai dimengerti anak usia 4 tahun. Tapi Sam sudah bisa mengucapkannya.
Akhirnya Dean yang menggantikan semua kasih sayang Pa yang tidak dirasaakn Sam. Permen dan mainannya selalu ia berikan untuk Sam. Dean juga berusaha untuk selalu melindungi Sam dari kemarahan Pa. Itu juga yang menjadi permintaan Ma setiap malam. ‘Kalau Ma sudah tidak bersama kalian lagi, Ma titip Sam, jaga dia, sayangi dia, lindungi dia, Dean, dan buat Sam bahagia, ya sayang.’  Dan Dean hanya mengangguk
Pesan itu terpatri di kepala kecil Dean yang masih 6 tahun walau menjadi ketakutan terbesarnya kalau memang Ma harus pergi selama-lamanya meninggalkan mereka bertiga.

Dan akhirnya malam yang ditakutkan Deanpun terjadi.

Malam itu, hanya beberapa hari setelah ulang tahun Sam yang ke-3, entah mengapa Sam menangis terus. Dean sudah berusaha untuk mendiamkannya, tapi tangis Sam tak kunjung berhenti. Pa sudah berteriak-teriak untuk Dean mendiamkan Sam, tapi tetap tangis Sam tidak kunjung berhenti, dan semakin membuat Pa kesal.

Dan Dean terkaget dengan tiba-tiba Pa merebut Sam dari gendongan Dean saat ia berusaha mendiamkan Sam.
    “Pa!”  Dean terkaget, terlebih dengan pekikan Sam yang sakit, tangannya ditarik begitu saja.
Di luar dugaan, Pa langsung melancarkan pukulan di pipi Sam untuk mendiamkan Sam.
Dean sudah berusaha untuk menghentikan pukulan Pa, tapi Pa menendangnya jauh-jauh hingga Dean jatuh tersungkur.
Bukannya diam Sam semakin menangis kesakitan. Pa semakin marah, dia langsung melempar Sam ke lantai dan siap untuk menendang tubuh kecil 3 tahun Sam yang sudah meringkuk ketakutan di tengah tangisnya. Namun terhentikan dengan suara lirih yang mengagetkannya,
     “Sammy…”
Kaki John terhenti saat siap akan melayangkan tendangan ke arah Sam. Ia langsung menengok dan melihat Mary tertatih berusaha meraih Sam.
    “John...ja..ng…an, p..p..ukul…di..aa…, a…ku mo…hon, John…,” Mary terengah-engah meratap di tembok mencari pegangan untuk berdiri.
    “Mary!” John langsung menangkap tubuh Mary yang siap tumbang.
John membopong Mary kembali ke tempat tidurnya, sementara Dean langsung berlari ke arah Sam dan langsung menggendongnya.
Mungkin karena ketakutan dan syoknya, Sam berhenti menangis dan hanya terisak-isak di pundak kakaknya.
Dean menimang-nimang Sam hingga berhasil kembali tidur. Saat ia akan menaruh Sam ke tempat tidurnya, ia terkaget dengan teriakan Pa tiba-tiba,
    “MARY? TIDAAKK!!! JANGAN PERGI MARY!!!! TIDAAAAKKKK!!!!”
Dan selanjutnya Dean mendengar suara meja dilempar dan pintu dibuka lalu dibanting dengan keras.
Dean lansung berlari keluar dan ke kamar Ma. Dean terpaku pucat melihat sosok Ma yang cantik sudah terbaring tak bergerak. Diperhatikannya suara hembusan nafas Ma  yang biasa terdengar berat, kini tak terdengar sama sekali. Dean mendekatinya dan mencoba menyentuh tubuh Ma, dan membangunkannya…
    “Ma..? Ma…? Bangun, Ma….,” panggilnya takut-takut.
Tidak ada reaksi, Ma masih terdiam. Biasanya Ma akan terbangun meski hanya satu kali panggilan.
    “Ma…?” panggilnya sekali lagi. Saat tidak ada jawaban, jantung Dean serasa berhenti, menyadari Ma sudah pergi.
   “Maaaa!!!!” Dean memeluk tubuh ibunya dengan menangis, diringi dengan suara tangis Sam yang tiba-tiba kembali terdengar, yang membuat Dean semakin sesak rasanya.

Dan selanjutnya menjadi babak baru dari kehidupan Dean. Pa terpuruk dalam kesedian ditinggalkan Ma. Pa semakin sering marah, Pa semakin suka pulang mabuk, dan akhirnya dihentikan dari pekerjaannya dan membuatnya tinggal di rumah bersama minumannya, dan yang pasti Pa semakin sering memukul Sam, sebagai hukuman, Sam sudah membuat Ma pergi selama-lamanya.
Pa memukul Sam saat Dean pergi sekolah. Dean hanya bersekolah sampai kelas 2 tapi cukup untuknya belajar membaca dan menulis, dan dapat mengajarkan Sam membaca. Sam tidak pernah diizinkan sekolah. Dean hanya akan mendapatkan Sam meringkuk kesakitan atau terkunci di dalam lemari bila ia pulang sekolah setiap harinya, dengan tubuh yang babak belur penuh luka. Dean merasa putus asa tidak dapat melakukan apa-apa untuk menolongnya, karena iapun takut pada Pa. Tak jarang iapun terkena sasaran kemarahan dan pukulan Pa hanya karena menolong Sam. Dean semakin tersiksa dengan kenyataan sam tidak lagi berani mengeluarkan suaranya karena saking takutnya pada pa. Akan ada tambahan pukulan jika Sam berani mengeluarkan suara atau menangis kesakitan. Dean merasa semakin tidak berguna.

TBC

Beauty Love Brother - 8


Rating : K+

Genre : Family

Character : Alec, Ben, Dean, Sam


Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?

ENJOY


Brother's Love - 16


Chapter 16

    “Kamu siap untuk pergi, Sam?”
Sam mengangguk pasti dengan tersenyum bahagia, lesung pipitnya begitu menggemaskan.
Dean tak dapat lagi menutupi kebahagiaanya melihat Sam sebahagia ini. Dipeluknya erat adik semata wayangnya.
    “Aku sayang kamu, Sam, sangat sayang kamu. Jadi apapun yang aku lakukan pastilah untuk kamu. Kamu percaya kan?”
Sam kembali mengangguk.
    “Jangan takut, semua akan baik-baik saja. Ny. Sullivan akan menjaga dan merawat kamu, ya.”
Sam mengangguk percaya.
Semakin dipereratnya pelukannya, ‘Maafkan aku, Sam, tapi percayalah aku sangat sayang kamu.’

Menjelang hari keberangkatannya, Dean telah mendapatkan keputusannya dan semakin yakin dengannya.

Di hari keberangkatan,

    “Tidakkah kau lebih baik berpamitan dulu pada ayahmu?” Gabriel sedikit mengingatkan saat hendak berangkat.
Dean terkatup, dan menggeleng lirih.
    “Baiklah, terserah kau.”

Sesampainya mereka di pelabuhan. Sam tidak dapat menyembunyikan binar matanya dan takjub. Dia belum pernah melihat kapal sebesar ini, terlebih bermimpi untuk menaikinya. Tapi sekarang dia akan pergi di atasnya.
Sam tersenyum girang dengan terus memegang tangan Dean, terlebih saat mereka menaiki dek kapal tersebut.

Mereka menempati satu kompartemen yang besar dengan dua kamar yang mewah. Gabriel akan menemani Sam, sementara Tn. dan Ny. Sullivan menempati kamar sebelah.

    “Kau senang Sam?” Ny. Sullivan menggodanya.
Sam mengangguk pasti, tak lepas tangannya dari kakaknya. Sesekali dia melirik Dean untuk memastikan ini semua bukan mimpi.
Dean hanya mengangguk dan tersenyum. Tak lepas ia memandangi Sam yang berbahagia. ‘Tuhan tahu betapa sayangnya aku pada Sam.’
Saat terdengar suara peluit kapal yang keras, jantung Dean berpacu dengan kencang. Dipandanginya Sam yang takjub dengan pemandangan dari jendela kapal yang berbentuk bulat, dari atas sampai bawah lekat-lekat.
    “Sam, aku ke keluar sebentar, ya, aku mau lihat pemandangan dari luar.”
Pegangan tangan Sam langsung menguat.
    “Jangan, kamu di sini aja. Aku nggak akan lama, kok. Gab akan nemenin kamu, ya kan, Gab?” alihnya pada Gabriel.
Gabriel mengangguk pasti.
    “Ya? sebentar aja. Aku nggak akan ke mana-mana.”
Pegangan Sam masih kuat seperti yang tidak ingin dilepaskan.
    “Sammy…” dengan memohon setengah tegas.
Akhirnya perlahan dilepaskan tangan kakaknya.
Dean tersenyum lega, “Aku di luar ya.”
Sam mengangguk.
    “Titip Sam, ya,” pada Gabriel.
Gabriel mengangguk pelan.
    “Terima kasih, Gab, untuk emuanya.”
Gabriel hanya mengangguk.
Dikecupnya Sam erat-erat sebelum ia keluar.
Dia harus keluar secepatnya. Dia harus cepat turun dari kapal ini. Dia tidak kuat melihat Sam lebih lama lagi, atau dia tidak akan bisa melepaskan Sam.

    “Dean…?” Ny. Sullivan dan Tuan, menyambutnya di luar kamar. Wajah mereka tampak sedih.
    “Saya titip Sam, Nyonya.”
Catherine terdiam, “Dean…”
    “Jangan cemaskan saya. Saya akan baik-baik saja.”
Catherine dan Peter sama-sama terdiam.
    “Terima kasih atas kebaikan Tuan dan Nyonya. Kebaikan Nyonya tidak mungkin dapat saya balas. Nyonya terlalu baik.”
    “Dean, kami semua sayang kalian.”
    “Saya tahu, Nyonya, karena itu saya titip Sam. Saya ingin Sam bahagia.”
    “Sam pasti bahagia, Sam akan baik-baik bersama kami” Catherine langsung memeluk erat Dean.
Dean mengangguk percaya. Lalu ia beralih pada Tn. Sullivan.
    “Terima kasih, Tuan. Akan saya gunakan uang tersebut sebaik-baiknya.”
Peter mengangguk dengan tersenyum. “Kau bisa ke rumah dan tinggal di sana jika kau mau.”
Dean hanya mengangguk.
*
Karena rasa tidak percayanya, Sam memutuskan untuk melihat ke luar, memastikan Dean masih ada di sini, tak peduli, Gabriel menghalanginya.
Dan betapa leganya ia saat ia melihat Dean sedang bersama Tn. dan Ny. Sullivan.
    “Tuh, kan, aku bilang juga apa, Dean nggak akan pergi ke mana-mana,” Gabriel menekankan dengan lega.
Sam hanya tersenyum malu, dan menurut saat diajak masuk kembali.
*
Terdengar kembali peluit kapal memberitahukan kapal akan segera berangkat.

    “Dean jaga dirimu baik-baik.”
    “Pasti, Nyonya.”
Berat Dean melangkahkan kaki meninggalkan kapal ini. Tapi ia harus.
Catherine kembali memberi pelukan terakhir, sebelum Dean menuruni tangga kapal kembali ke daratan.

Tepat ia kembali menginjak tepi dermaga, tangga kapal ditarik naik dan perlahan-lahan kapal mulai melaju. Dean menarik nafas dalam-dalam mengatasi perih hatinya. Dia telah membuat keputusan terbesar dalam hidupnya. Melepas Sam pergi darinya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Dia sudah membuat Sam pergi, pergi tanpa dirinya. Ayahnya kini lebih membutuhkannya. Tidak peduli bagaimana ayahnya dulu, Dean tidak akan tega meninggalkannya. Bagaimanapun juga dia ayahnya. Sam sudah ada yang menjaganya. Ny. Sullivan akan menjaganya.
Dean membalas lambaian tangan Ny. dan Tn. Sullivan, dengan berusaha menahan air matanya.
*

Sam semakin girang dengan kapal yang mulai bergerak. Dia segera berlari ke luar untuk menyusul Dean dan melihat semuanya dari luar.
Tapi betapa pucatnya dia, tidak lagi melihat Dean bersama Tn. dan Ny. Sullivan. Mereka justru ada di balkon kapal melambaikan tangannya ke bawah.
Ia semakin pucat dengan melihat Dean di bawah sana. ‘Dean nggak ikut! Nggak!’
Refleks dia mencari tangga turun.
    “Sam, kau mau ke mana!?” Peter segera mengejarnya.

Dean tercekat dengan Sam di atas, ‘Kacau, Sam melihatku, dan sekarang dia ingin turun”

Peter berusaha menahan Sam yang berontak meminta turun.
    “Sam, kau tidak bisa turun lagi. Kapal sudah menjauh dari daratan, sulit untuk mencapainya lagi. Kau tidak bisa ke sana lagi.”
Sam tidak peduli, dia terus memberontak, dan mulai menangis. Sekalinya melihat Sam menangis.
    “Sam sayang, Dean tidak meninggalkanmu. Dia hanya menitipkanmu pada kami. Dia ingin kau ikut bersama kami,” Catherine berusaha memberi pengertian. “Dean sayang kamu, Sam. Dia tidak mungkin meninggalkan kamu. Kau pasti akan kembali lagi ke sini.”
Sam tidak mendengar dan terus mengamuk.
Akhirnya petugas membuka pintu, untuk membuktikan jarak kapal dengan pelabuhan.
Sam tersentak dengan air di hadapannya, dan jarak pelabuhan yang semakin menjauh. Belum terlalu jauh, tapi tidak mungkin ia terjun ke air dan berenang ke tepian. Dia sendiri tidak bisa berenang. Dilihatnya Dean di tepian pelabuhan menggelengkan kepalanya, mengartikan “jangan nekat terjun”.
    “JAGA DIRI BAIK-BAIK, SAM, AKU MENUNGGUMU DI SINI!! JANGAN TAKUT,  SAM, AKU AKAN BAIK-BAIK SAJA!!!!” seruan Dean masih dapat terdengar jelas. Tapi dia tidak mungkin mencapainya. Sam akhirnya hanya bisa menangis.
    “AKU SAYANG KAMU, SAAAM!!!! JANGAN LUPAIN AKU!!!”
Sam membalasnya dengan anggukan pasti.
    “D..D…” berusaha keras Sam mengeluarkan huruf D yang tertahan di lidahnya.  “D…DEEEE…..!!!” akhirnya keluarlah itu sebuah nama yang begitu disayanginya disertai air matanya.

Dean tercekat dengan suara kecil Sam yang memanggilnya. Sam bersuara lagi! Sam memanggil namanya!!! Air mata Dean berurai penuh kebahagiaan dan kepedihan. Tapi ia hanya mengangguk penuh rasa bangga dengan melambaikan tangannya.

Dean menunggu hingga kapal tak terlihat lagi. Ia tak dapat menahan tangisnya. Dia sudah benar-benar melepas Sam.
     “Selamat tinggal Sam, jaga diri kamu baik-baik.”

Dengan langkah gontai dia melangkahkan kaki meninggalkan pelabuhan. Dia akan kembali pulang, ke rumah di mana dia tinggal bersama ayahnya. Dia harus mengurus ayahnya.

    “Dean!!!” pekikan penuh semangat menyambutnya.
Dean tersenyum melihatnya. Ini juga yang menjadi alasan mengapa dia tidak bisa pergi. Castiel. Dia tidak bisa meninggalkan sahabat setianya ini.
    “Dia sudah pergi?”
Dean mengangguk tanpa dapat menyembunyikan kesedihannya. “Dan dia memanggil namaku, Cas, Sam akhirnya memanggil namaku lagi!”
Castiel terkatup. Tak perlu dijelaskan bagaimana ia dapat membaca wajah dan perasaan sahabatnya kini. Dean melepaskan adik kesayangannya untuk selama-lamanya dan juga  harus menyimpan kebahagiaan karena Sam akhirnya bersuara lagi, setelah sekian lama ia membisu.
    “Jangan takut, Dean, Sam akan baik-baik saja. Mereka akan menjaga dengan baik. Dia akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik,” Castiel mencoba menghiburnya.
    “Ya, aku tahu,” dengan menarik nafas lega dan menyeka air matanya.
    “Kamu mau langsung pulang?”
Dean mengangguk pelan.
    “Dean, kamu yakin dia nggak akan memukulmu lagi?”
    “Entahlah. Tapi aku nggak peduli. Terserah dia mau berbuat apa sama aku. Yang penting bukan pada Sam.”
Castiel mengangguk mengerti, dan menemani sahabatnya pulang.

Ada perasaan takut saat Dean berdiri di depan pintu rumahnya.
Setelah menarik nafas dalam-dalam, ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam.
    “Aku pulang!” dan terkaget dengan ayahnya duduk di kursi makan.
John tersenyum sinis menyambutnya, “Heah, akhirnya kau pulang, kan?”
Dean tak menyahutnya.
    “Mana Sam?”
    “Jangan tanya Sammy lagi, dia sudah pergi.”
John terpaku. “Pergi?”
    “Ya, Sam ikut dengan mereka, dan papa nggak akan melihatnya lagi untuk waktu yang lama.”
    “Kamu membiarkan dia pergi?!”
    “Ya! Pergi dari papa. Lepas dari siksa dan pukulan papa!”
    “KURANG AJAR!!!!” John penuh emosi bangkit dari duduknya dan melupakan kakinya yang sudah tak berfungsi lagi.
    “Papa mau pukul aku? pukul saja!” balas Dean menantang. “Aku nggak peduli. Papa boleh memukulku sesuka hati papa, yang penting bukan Sam!”
John menahan penuh emosi.
    “Aku memutuskan untuk tinggal karena papa. Itu juga berarti aku bisa meninggalkan papa kapan pun aku mau!” seraya bergegas naik ke atas.
    “BENAR-BENAR KURANG AJAR KAMU!!!”
Dean tidak mempedulikannya. Dia sudah menahan nafas duluan dengan dipan kosongnya. Sam yang biasanya terbaring di sini setelah ia mengeluarkannya dari lemari sana dengan tubuh terluka, sudah tidak ada lagi. Sesak kembali terasa.
Tiba-tiba matanya tertuju pada buku di samping bantal Sam.
‘Buku Sam!’ Astaga, tertinggal!
Diambilnya dan melihat dalamnya. Baru terbaca beberapa halaman. Sam belum sempat membacanya. Dean terpekur penuh penyesalan.
    “Maafkan aku, Sam,” didekapnya buku itu dalam-dalam merasakan Sam yang tersisa di sana. Tak dipedulikan teriakan ayahnya memanggilnya marah dari bawah.
    “DEAN!!!!”

TBC

Sabtu, 02 Oktober 2010

Brother's Love - 15


Chapter 15

Dean pucat seketika. “Apa dia…?”
    “Nggak, Dean. Dia hanya patah kaki, tapi mungkin nggak akan bisa berjalan lagi.”
Dean semakin pucat. “Di mana dia?”
    “Ada di rumahmu. Kamu mau melihat dia?”
Sesaat Dean ragu. Tapi kemudian ia berlari keluar.
Sempat ada keraguan saat ia berdiri di depan pintu rumahnya. Kembali ke sini dan bertemu dengan ‘dia’.

Dibukanya pintu perlahan-lahan. Refleks, matanya tertuju pada lemari kecil di bawah tangga. Biasanya bila dia pulang ke rumah, dia langsung ke sana, dan mengeluarkan Sam dari sana . Tidak, Sam tidak ada di sana. Dia aman di rumah Ny. Sullivan.

    “Siapa itu?” suara lirih ayahnya terdengar dari balik kamarnya.
Dean sempat terpaku. Suaranya tidak terdengar sangar lagi. ‘Benarkah dia sudah tidak berdaya lagi? Tidak akan memukulnya lagi?’
    “Siapa di situ!!?” suara John mulai terdengar tidak sabar.
Dean menelan ludah, “Dean, pa,” seraya melangkahkan kakinya ke kamar ayahnya.

Dean diam di tempat saat mendapati ayahnya terbaring di tempat tidur dengan mata memandang tajam padanya.

    “Pulang juga, kamu,” John tersenyum sinis. “Aku tahu kamu pasti pulang. Kalian tidak akan pernah lepas dariku,” dengan penuh kemenangan. “Mana Sam?”
    “Sam masih di sana,” Dean menyahut dengan datar. Ia memperhatikan ayahnya, khususnya kedua kakinya. Terlihat bengkok keduanya, dan sebuah tongkat diletakkan di samping tempat tidur ayahnya.
    “Lebih baik kau cepat bawa dia pulang. Aku butuh dia!” spontan mengeluarkan suara sangarnya.
Dean terdiam. Orang ini masih bisa menyentuh Sam. Tidak boleh!
    “Nggak. Sam nggak akan pulang, dan aku juga nggak akan kembali lagi ke sini.”
John terpaku pucat. 
    “Castiel yang kasih tahu papa kecelakaan, karena itu aku datang, tapi bukan untuk pulang.”
Pipi John memanas, “Untuk apa kamu pulang? Untuk lihat papamu lumpuh, nggak bisa jalan lagi!”
    “Paling nggak aku masih ingat papa.”
John semakin panas. Kalau dia bisa bangun dari tempat tidurnya, sudah dipukulnya Dean dengan keras.
    “Aku juga ingin papa tahu, aku dan Sam akan segera pergi dari sini.”
    “Kamu sudah keluar dari sini,” sergah John kesal.
    “Aku dan Sam akan ikut bersama keluarga itu ke Inggris.”
John kembali terpaku pucat. “Nggak, kamu pasti bohong. Tidak mungkin mereka mengajakmu pergi.”
Dean mengangguk pasti, “Mereka sangat menyayangi Sam, dan mereka akan merawat Sam dengan baik. Mereka akan mengajaknya pergi.”
John semakin pucat, “Nggak, kamu nggak akan berani melakukannya. Kamu nggak akan berani membawa Sam pergi. Kamu nggak akan berani!!”
    “Tentu aku berani, pa. Sudah lama aku menginginkan membawa Sam keluar dari sini, jauh dari papa! Papa yang selalu memukul dan menyiksa dia! Dia nggak berhak diperlakukan seperti itu, pa!”
    “Aku benci dia! Aku benci anak itu!”
    “Kenapa papa begitu benci sama Sam? Dia nggak pernah berbuat salah, kan pa? Dia anak yang baik.”
    “Aku benci dia! Aku benci karena dia membuat mamamu meninggal dan sekarang dia mirip sekali dengannya!”
    “Mama meninggal karena sakit, bukan karena Sam!”
    “Kamu nggak tahu apa-apa! Dari sebelum dia lahir, dia sudah menyakiti mamamu. Seharusnya dia nggak pernah ada!”
    “Mama sangat menyayangi Sam, pa,” dengan getir.
    “Dan itu membuatnya pergi! Dia membunuh mamamu!”
    “BUKAN! Jangan salahkan dia! Sam nggak salah apa-apa, dan dia nggak berhak dihukum!”
    “AKU BENCI ANAK ITU!!” John memekik dengan kesal, membuat Dean terpaku kaget.
Dean menarik nafas, “Baiklah, memang Sam harus pergi dari sini. Papa benci dia, jadi papa nggak usah melihatnya lagi. “Selamat tinggal, pa. Jaga diri papa baik-baik. Mungkin kita nggak akan bertemu lagi,” dengan beranjak keluar.
John kembali pucat. “Dean! Kamu nggak akan meninggalkanku sendirian, kan? Kamu nggak akan meninggalkan orang tua cacat ini hidup sendiri, kan?”
Tapi Dean tetap berjalan keluar,
    “Kamu nggak akan tega, Dean!”
    “Apa pun untuk Sam akan Dean lakukan.”
    “Dean! Aku ayahmu! Aku nggak akan bisa hidup sendiri!”
Perih Dean mendengar ratapan ayahnya. Sebenarnya dia tidak tega meninggalkan ayahnya seperti itu. Benar. Dia tidak akan bisa hidup sendirian dalam keadaan seperti itu. Ayahnya sangat membutuhkannya, tapi…
    “Sam lebih membutuhkanku, pa,” dan berlari keluar dari rumah, tak mendengarkan ayahnya memanggilnya memohon untuknya kembali.

Entah berapa jauh dia berlari. Ingin rasanya ia lepas dari teriakan ayahnya memanggilnya untuk kembali. Dia tidak ingin mendengar suara ayahnya lagi.
Dada Dean terasa sesak, dia tidak sanggup berlari lagi. Dean mengehentikan larinya dengan tersengal-sengal. Dada Dean semakin terasa sesak. Air matanya sulit untuk berhenti. Dia perih melihat ayahnya tak berdaya lagi dan tidak akan tega meninggalkannya, tapi dia juga sangat membencinya. Dia yang sudah menyiksa Sam, dan sangat membenci Sam.
    “Maafkan aku, pa. Tapi aku lebih menyayangi Sam.”

    “Dean, dari mana kamu?” Tn. dan Ny. Sullivan menyambutnya saat ia kembali ke rumah Kel. Sullivan. “Kami sangat khawatir, hingga sore hari kau belum pulang. Sam menunggumu dengan cemas. Dia takut kamu akan meninggalkannya.”
Dean hanya menoleh ke arah kamar dan terlihat, Sam sedang asyik bersama Gabriel.
    “Dean, ada apa? Kau dari mana?” Peter dengan penuh perhatian.
Dean terdiam, ragu untuk menjawab. “Saya pulang sebentar. Maafkan saya.”
Catherine terkatup.
    “Kau bertemu dengannya?” Peter memastikannya.
Dean mengangguk.
    “Tapi kau tidak apa-apa, bukan? Dia tidak memukulmu lagi?” Catherine langsung cemas dan memeriksa tanda-tenda kekerasan di wajah Dean.
    “Saya tidak apa-apa, Nyonya. Dia tidak menyakiti saya, dan mungkin dia tidak akan bisa menyakiti lagi.”
Catherine dan Peter terdiam tidak mengerti.
    “Dia tertabrak mobil dan kedua kakinya patah. Dia tidak akan bisa berjalan lagi.”
Kedua terpaku mendengarnya. “Ya, Tuhan.”
    “Dia tidak bisa menyakiti kami lagi, terlebih Sam. Dia tidak akan bisa menyentuhnya lagi.”
Catherine menahan nafas. Mencoba menangkap maksudnya.
    “Dean…, apa ini maksudmu, kalian akan kembali pulang ke sana?”
Dean terdiam, tidak tahu.
    “Nyonya, saya_”
    “Dean, kau tahu kami hanya ingin menolongmu dan Sam, karena kami sangat menyayangi kalian berdua. Dan kami tidak akan memaksamu untuk tinggal di sini, terlebih memaksa untuk ikut bersama kami. Kami hanya ingin memastikan kalian baik-baik saja dan memberikan apa yang tidak kalian dapatkan.”
Dean tertunduk. Ia malu mengatakannya.
Perlahan ia mengangkat kepalanya pada Tn. dan Ny. Sullivan, “Bolehkah kami tetap ikut?” dengan takut dan malu-malu.
Catherine sempat tidak percaya, “Tentu, Dean. Tentu kalian boleh tetap ikut kami,” dan langsung memeluknya erat, “Syukurlah kalian tetap ikut bersama kami.”
    “Terima kasih, Nyonya.”
    “Nyonya, tolong jangan katakan pada Sam tentang ‘dia’, saya tidak ingin Sam mendengar tentang ‘dia’ lagi.”
    “Tentu, Dean,” Catherine tersenyum sangat senang.
Dean hanya dapat mengucapkan terima kasih.

Dean sama sekali tidak menyinggung tentang keadaan ‘dia’ pada Sam. Dean tidak ingin Sam mengetahuinya. Keadaan Sam semakin baik, dan siap untuk melakukan perjalanan jauh. Dia sudah senang melihat Sam akan memulai hidup baru yang tenang dan sehat bersama keluarga ini, Ny. Sullivan yang menjaganya. Dia tidak ingin merusak kebahagiaan Sam.

Tapi semakin mendekati hari keberangkatan, hati Dean semakin tidak tenang. Ia memikirkan ayahnya yang akan hidup seorang diri, sementara dia kini sangat membutuhkan bantuan orang lain. Dia tidak mungkin hidup sendiri. Sementara siapa yang akan mempedulikannya? Tidak ada yang menyukai John Winchester. John Winchester yang baik dan ramah telah berubah menjadi kasar dan tidak menyenangkan sejak ditinggalkan istrinya Mary. Tidak ada yang mempedulikannya. Dia akan hidup seorang diri. Dean semakin kalut, antara Sam dan ayahnya.
Dia harus segera memutuskannya.


TBC