Rating : K+
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
ENJOY
Chapter
31
Wellington bangun
di pagi dengan perasaan berbunga. Ia sudah menunggu hari ini tiba, dan ia sudah
tidak sabar untuk segera sore hari. Ia sudah tidak sabar
untuk segera bertemu dengan Lady Adeline dan menghabiskan satu jam penuh
bersamanya dalam kelas musik sore ini. Wellington tidak pernah membayangkan
akan begini rasanya bertemu dengan seorang gadis cantik. ‘Beginikah yang dinamakan
jatuh cinta?’ Wellinton tersenyum sendiri. Tapi mengapa ia tidak dapat menahan
rasa sabarnya? Keinginannya untuk segera bertemu dengan Adeline tak lagi dapat
terbendung.
‘Bagamana caranya ia bisa bertemu Adeline lebih awal?
Pagi ini mungkin?’ Wellington berpikir keras. ‘Ah
tidak pantas. Tidak pantas aku bertandang ke rumahnya tanpa diundang,’
Wellington menggelengkan kepala dengan gusar. Berarti ia memang harus menunggu
hingga sore hari. ‘Ya Tuhan, cepatlah
sore tiba,’ dengan sangat memohon.
Akhirnya sorepun tiba, dan Wellington sudah tidak sabar untuk menyambut
sang putri. Namun iapun harus menjaga sikapnya sebagai seorang pangeran. Maka
iapun harus tetap bersabar menunggu kedatangan Sang Putri.
“Kenapa belum datang juga, ya, Pak,”
Wellington sudah mulai gelisah. Ia sudah berada di dalam kelas bersama tutor
musiknya, Sir Michael menunggu kedatangan Sang Putri.
Sir Michael
tersenyum, “Sabarlah, pangeran. Belum juga pukul 4.”
“Heh?” Wellinton terkaget sendiri, dan
jengah. “Aku hanya takut ia tidak akan datang, bapak.”
“Tenanglah, Pangeran, Undangan sudah
dikirimkan bukan, dan tentunya jika tidak ada halangan, Lady Adeline pastilah
akan datang. Tidak usah Pangeran cemas,” Sir Michael harus tersenyum kulum,
melihat Sang Pangeran yang tengah jatuh cinta.
“Aku hanya khawatir, kakaknya yang tidak
mengizinkan Adeline datang.”
Sir Michael
tertegun, “Kakaknya? mengapa?”
“Entahlah, tapi sikap protective kedua
kakak Adeline agak meresahkanku, mereka seperti tidak mengizinkan pria manapun
mendekati Adeline.”
“Apakah sudah terlihat sikap itu?”
Wellinton menghela nafas jengah, “Belum, sih,
mereka memang baik, hanya saja, mereka mengakui memiliki penyakit Sister’s
Possesive Protection tingkat tinggi.”
Sir Michael tertegun dengan istilah yang baru
ia dengar, “Sister’s Possesive Protection?”
“Yea, begitulah.”
Sir Michael
harus tertawa kecil mendengarnya.
“Ya...ya..., Bapak boleh tertawa sekarang,
tapi nanti jika bapak sudah bertemu dengan Adeline, bapak akan mengerti
maksudnya,” Wellinton tersenyum kecut.
Sir Michael
tersenyum. “Baiklah,” dengan mengangguk begitu memahami suasana hati Sang
Pangeran Muda. “Pangeran, mainkan sebuah lagu, tidak ada salahnya bermain,
dengan menunggu Adeline datang.
Wellington
menghela nafas, mengalah. “Baiklah,” lalu duduk menghadap piano berukir indah
itu.
Sir Michael
tersenyum begitu mendengarkan alunan piano yang dimainkan sang Pangeran.
Dan saat
Wellington di tengah permainannya, Sir Michael menyadari dua sosok berada di
pintu dengan diantarkan oleh seorang petugas. Seorang putri bersama seorang
pemuda yang menjulang tinggi tubuhnya dan berbadan bidang.
“Erghm, Pangeran... ,” Sir Michael mencoba
menghentikan permainan sang Pangeran.
Permainan
Wellinton berhenti seketika dan pandangannya langsung tertuju ke arah pintu. Di
sanalah berdiri sosok yang sudah lama ia tunggu, bersama ... pengawal setianya.
“Ah, Lady Adeline!” seru Wellington penuh semangat
dan kelegaan. Akhirnya datang juga.
Adeline tersipu dengan sambutan yang penuh ceria.
“Pangeran,” Adeline menghoramt sopan.
“Senangnya, kau datang, Milady, aku sudah
mengira kau takkan datang,” Wellington tak dapat menutupi kebahagiaannya.
“Hamba pasti datang, Pangeran, memenuhi
undangan pangeran. Ng.., hamba mengajak kakak saya untuk menemani saya, jika
Pangeran tidak berkeberatan.”
Wellinton
beralih pada pemuda yang berada di samping Adeline dengan memberikan senyum,
“Tentu saja, Sir Dean, bukan?” penuh keyakinan dan sok akrab. “Dan tak perlu
pakai hamba, ini bukan istana, biasa saja.
“Samuel, Pangeran,” pemuda itu mengoreksi,
dan membuat Wellinton merah padam
“Oh, maafkan saya,” dengan salah tingkah.
“Tidak apa, Pangeran,” Samuel Winchester
tesenyum santun, tapi justru membuat Wellinton semakin salah tingkah. ‘bodohnya, aku’.
“Ng..., kenalkan ini tutor pribadi saya, Sir
Michael,” Wellinton langsung mengalihkannya pada tutornya. “Pak , ini Lady
Adeline,” Wellinton mengenalkannya dengan wajah penuh keceriaan.
“Milady,” Sir Michael mengangguk hormat,
“Senang bertemu dengan Anda. Pangeran sudah banyak bercerita tentang Anda, dan
juga permainan piano Anda.”
“Ah, Tuan, saya tidak sepandai itu, Pangeran
tentu jauh lebih baik dari saya, juga kakak saya,” Adeline merendah dengan
menunjuk Samuel.
“Jangan mempercayainya, Pak,” bantah jenaka
Wellinton.
“Kau bermain piano juga?” tanya Sir Michael
pada Samuel.
“Dulu, sekarang sudah tidak lagi, Tuan,”
jawab Samuel santun.
Sir Michael
mengangguk tersenyum.
“Baiklah, mari kita buktikan,” undang Sir
Michel.
Wellington
tersenyum penuh semangat. “Betul sekali, aku sudah tidak sabar mendengar
permainanmu putri. Mari ...,” seraya mengajak Adeline duduk di kursi yang ia
duduki tadi.
Adeline
tersenyum dengan manisnya, dan mengikuti undangan sang Pangeran.
“Mau mulai
dengan apa, Wellinton bertanya,”
“Apapun yang Pangeran kehendaki...”
“Baiklah,
bagaimana kalau kita coba Mozart?”
Adeline
mengangguk dan jemari lentiknya mulai bermain di atas tuts hitam dan putih.
Adeline bermain sangat indah, sangat mengesankan Sir Michael. Sir Michael tak henti mengagumi permainan putri cantik ini. Putri Adeline
bermain layaknya seorang profesional. Kemampuan bermain yang hanya ia pelajari
hanya di rumah bersama kakaknya, lebih terlihat sebagai hasil tempaan seorang
guru profesional dari sekolah musik terbaik. Dari mana ia memperoleh bakat ini?
Dan bagaimana Adeline bermain sangat
mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang ia kenal baik, dan seseorang
dengan bakat yang sama. Tapi tidak mungkin, mereka sama sekali tidak memiliki
hubungan darah. Mungkin hanya sebuah kebetulan.
Samuel,
Wellington dan Sir
Michael langsung memberi tepukan tangan saat Alec menyelesaiakn
permaianannya
“Menakjubkan, Putri, sangat menakjubkan. Begitu mempesona. Saya belum pernah
mendengarkan permainan seperti yang putri mainkan selama hampir 20 tahun.
Sangat Indah,”
Sir Michael tak dapat menahan kekagumannya..
Alectersipu,
“Terima kasih, Tuan.”
“Sudah tidak diragukan lagi, Yang Mulia sampai jatuh hati mendengarnya,”
godanya lagi.
Wellinton
mengangguk pasti dengan memerah.
“Nah, bagaimana jika kalian berdua
memainkan ini, biarkan Pangeran yang bernanyi, dan Putri yang mengiringinya,”
seraya membuka lembaran baru dari buku berisikan not-not balok.
“Baiklah,” Wellington tersenyum senang,
sementara Adeline hanya mengangguk santun.
Sekali lagi,
Sir Michael dan Samuel disuguhnya permainan indah dari Adeline dan suara merdu
dari sang Pengeran. Mereka cocok sekali berduet. Keduanyapun tampak menikmati
duet mereka.
Samuel memperhatikan
adiknya. Ada rona sipu dan mata yang bercahaya saat Alec memandang Pangeran
yang tampan ini di tengah permainannya. Hatinya teriris perih. Tidak hanya ada
rasa sebersit cemburu (setelah merasa Alec hanyalah milik dirinya dan Dean)
tapi juga, Alec tidak boleh membiarkan itu terjadi. Tidak boleh sampai ada rasa
di antara Alec dan Wellington. Ini juga yang menjadi alasan jelas, mengapa dulu
Samuel menolak keras Alec menjadi Adeline, terlebih dengan Alec dengan sempura
mampu menjelma menjadi gadis nan cantik yang diperebutkan banyak pria. ‘Ya Tuhan, lindungilah Alec. Pertahankan
indentitas sesungguhnya’
Samuel
tersadarkan dengan tepuk tangan Sir Michael yang menyambut berakhirnya
peremainan duet mereka. Samuel ikut memberikan tepuk tangan, meski dengan
senyum jengah.
Selanjutnya
mereka bercengkerama hangat dan santai. Alec memainkannya dengan sempurna, dan
Samuel dapat melihat mata pesona sang pangeran pada adiknya, dan Alec
menyambutnya dengan santun dan elegan. Samuel sangat tidak nyaman berada di
sini. Ia tidak percaya akan begini rasanya, melihat sosok Alec sekarang ini.
Terakhir ia tinggalkan, Alec masih memiliki sikap dan jiwa aslinya, namun kini,
ia seperti kehilangan Alec seluruhnya. Alec benar-benar telah menjelma menjadi
sosok Adeline sempurna.
Hingga akhirnya
Samuel-lah yang harus memotong waktu dan berpamitan. Alec pun yang juga telah
membaca gerak tubuh gusar Samuel dan hanya menganggukinya, ikut berpamitan
dengan sang kakak.
Wellington tak
dapat menyembunyikan rasa kecewanya, karena sang putri berpamitan pulang.
“Adeline
, kami akan mengadakan pesta berburu besok, di hutan, berkenankah
putri datang?” Wellinton tidak mau berakhir dengan begitu saja.
Alec tertegun,
Pangeran mengundangnya pada acara berburu ? Ia sempat menengok pada Samuel
untuk meminta persetujuan. Dan cukup mengagetkan, Samuel mengangguk lirih. Ia
kembali pada sang pangeran.
“Baiklah, pangeran, mudah-mudahan saya bisa
datang besok.”
Wellington
hampir bersorak kegirangan. “Bagus! Kalau begitu
kita bertemu lagi besok.”
Alec
mengangguk.
“Menyenangkan sekali hari ini, Putri,
terima kasih atas
kedatangannya,” Wellington mengecup tangan Adeline.
Alec tersenyum,
“Kami
yang berterima kasih, telah mengundang kami.”
Wellington hanya tersenyum. Ia pun harus berjabat tangan dnegan sang kakak.
“Besok kau akan menemaninya juga?” tanyanya
iseng.
Samuel harus
tersenyum kulum. “Mungkin,” ia tahu jawabannya akan sangat membuat sang
pangeran kesal. Tapi Wellington hanya tersenyum masam.
“Selamat petang, Pangeran, Sir Michael,”
Adeline berpamitan.
“Selamat Petang, hati-hati di jalan.”
“Terima kasih.
Dan Wellington
juga Sir Michael mengantarkan mereka keluar hingga naik kuda, dan hilang dari
pandangan mata.
“Cantik sekali bukan, dia, Tuan!?” seru Wellington penuh kekaguman.
Sir Michael
mengangguk, “Yea, dia cantik sekali, dan sangat berbakat. Dia sedikit
mengingatkanku pada seseorang di masa lalu.”
“Oh, ya, siapa dia? Sama cantiknya kah?”
“Ng..,
tidak cantik, karena dia adalah seorang laki-laki.”
Wellinton
menggigit bibir, “Okay.”
Sir Michael
mengangguk, “Tapi dia sudah lama
berpulang. Sudah hampir 17 tahun lamanya. Dia adalah murid terbaikku, hingga
aku bertemu dengan putri Adeline hari ini.”
Sir Michael
tersenyum, “Mungkinkah pamannya?”
“Bukan, karena tidak berhubungan dengan Kel. Winchester.”
Wellington
hanya mengangguk, “Berarti mungkin hanya kebetulan saja.”
“Ya,” Sir Michael menghela nafas.
“Tapi bukan kebetulan aku bertemu dengannya, Sir,” Wellington tersneyum
girang kembali. Ini Takdir! Takdir untuk menjadi istriku.
Sir Michael
tertawa lebar, “Ya, pangeran, dapat kulihat dengan jelas, betapa kau
mencintainya.”
“Sangat, Tuan, aku sangat mencintainya!”
tak malu mengakuinya.
Sir
Michael mengangguk dengan tersenyum.
*
Alec duduk terdiam di samping Samuel saat
perjalanan pulang dari pertemuannya dengan Pangeran Wellington. Alec sudah
merasakan aura tidak nyaman kakaknya sejak di ruangan itu. Alec seperti merasa
kembali saat-saat pertama kali ia bertemu dengan kakaknya ini yang sudah
langsung menunjukkan ketidaksukaannya. Namun perbedaannya, kali ini lebih
banyak ia pendam, sementara dulu tak tanggung-tanggung,
langsung menyerang Alec. Alec bergidik ngeri jika harus melihat kembali sifat
asli kakaknya yang ‘sedikit’ pemarah. Dan ia tidak suka dengan suasana dingin
seperti ini. Samuel tidak seperti ini sejak
kepulangannya, dan yang pasti, sudah lama ia tidak melihat Samuel marah dan
dingin seperti ini.
Ia melirik sedikit pada kakaknya, namun
kakaknya asyik memendang keluar jendela kereta. Perlahan-lahan Alec menyelipkan
tangannya di lengan Samuel, meminta perhatian. Berhasil Samuel menengok
padanya.
Alec mencoba memberinya senyuman
manis. Samuel membalasnya dengan
senyuman tipis.
“Besok kau ditemani Caleb, aku tak bisa menemanimu,” ucap Samuel datar.
Alec terdiam, dan hanya mengangguk lirih tak
berani berucap.
Samuel meliriknya, “Kau terlalu sempurna…,”
ucapnya sedikit nada penyesalan.
Alec semakin terdiam, “Salahkah?” tanyanya
lirih.
Samuel harus menggeleng, “Bukan salahmu.”
Alec menghela nafas perih, dan menempelkan
kepalanya di pundak besar kakaknya ini. Tidak perlu
dipertanyakan lagi, jauh di lubuk hati Samuel masih tetap tidak menyukai
dirinya dalam sosok Adeline.
Samuel mengusap kepala Alec. “Jangan takut,
aku tidak marah, dan aku pasti selalu ada untukmu.” dengan memberikan senyum hangatnya lengkap dengan lesung pipitnya yang
telah Alec rindukan.
Alec
menghela nafas lega dengan tersenyum, didekapnya erat lengan kakaknya yang
besar.TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar