Sabtu, 17 November 2012

Beauty Love Brother - Bagian 30


Rating : K+

Genre : Family

Character : Alec, Ben, Dean, Sam


Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?

ENJOY
Chapter 30

Alec terbangun dengan kepala pening di pagi hari. Semalaman ia tidak dapat mengenyahkan bayangan Ben dari kepalanya. Diapun menyadari tangannya menggenggam sesuatu. Liontin mereka. Alec mendesah yang tanpa sadar membawa tidur kalung itu di tangannya. Ben, di mana dia sekarang? Apa dia bahagia bersama keluarga angkatnya? Tapi dari satu-satunya surat yang ia terima dari ben, mengatakan ia baik-baik saja, dan bahagia bersama keluarga itu. Mungkin Ben sedang bahagia bersama mereka. Ah kalau saja ia bersama Ben sekarang, mungkin ia tidak harus terperangkap dalam wujud putri ini. Bagaimana wajah Ben sekarang, apakah mirip dengan dirinya, bila ia melepas gaun ini?

    “Nona, sudah bangunkah….?” suara ceria Suzanne, pelayan setianya, menyeruak masuk dengan membawa baki sarapan, sementara Candice, pelayan setianya yang lain membuka tirai besar kamarnya mengizinkan cahaya matahari pagi masuk ke kamarnya yang luas.

   “Selamat pagi,” Alec menyapa dengan tersenyum dua pelayan setianya selain Emma. Alec melihat menu sarapannya yang hanya segelas susu murni. Alec melirik dengan pertanyaan.
    “Nona ditunggu sarapan bersama,” Suzanne menjelaskan.
Alec hanya mengangguk, dan mereguk susunya.
    “Nona, bagaimana pesta semalam?” secara kompak Suzanne dan Candice bertanya dengan penuh semangat dan ingin tahu, hampir Alec tersedak karena kaget. “Kata Emma, nona bermain piano dengan pangeran, ya?”
Alec hanya tersenyum simpul, mengiyakan.
    “Bagaimana rupa sang pangeran, nona, tampan kah, dia? “
Alec semakin tersenyum simpul, berakting layaknya seorang gadis yang terpesona bertemu pangeran yang tampan.
    “Bagaimana, ya,…. tampan menurutku; matanya biru menghanyutkan, rahangnya tinggi, bibirnya merah,  tubuhnya tegap, tinggi badannya hampir sama dengan Kak Samuel…,”
    “WAAAA,” mereka bersorak membayangkan wujud pangeran yang digambarkan nona muda mereka. “Tampan sekali, kalau begitu…,”
Alec hanya tersenyum.
    “Tampan mana dengan Tuan Muda Dean dan Tuan Muda Samuel ?” Candice masih penasaran.
Alec pura-pura berpikir membandingkan.
    “Masih lebih tampan Tuan Muda kalian…,” sahut Alec dengan tersenyum pasti, yang disahuti dengan gelak tawa mereka berdua.
Alec tergelak lepas.
    “Bagaimana sikapnya, apakah dia menyenangkan?”
Alec mengangguk, “Baik, sangat menyenangkan, mataya tak lepas terus memandangiku.”
    “Tentu saja, nona, tidak ada pria yang rela melepaskan padangan mata dari kecantikan nona,” Candice tersenyum pasti.
Alec hanya tersenyum sanjung.
    “Apa Nona jatuh hati padanya?” tanya Suzanne lirih tiba-tiba.
Alec terdiam, dan melirik pelayan setianya yang membuatnya terpaku ketakutan karena telah mengutarakan pertanyaan yang tidak pada tempatnya.
    “Maafkan saya, nona! Saya lancang! ” seru Suzzane langsung dengan menunduk takut.
Alec tersenyum, dan mengangkat dagu Suzanne dengan lembut, “Hey…, tidak apa-apa, sayang..,” dengan memberinya senyuman menenangkan. “Menurutmu, apakah aku pantas bila jatuh hati pada sang pangeran?” tanyanya lembut.
Suzanne tercekat dengan pertanyaan nona mudanya. Apa ini benar-benar bertanya atau semacam tes…
    “Ng… nona pantas jatuh hati pada siapapun, nona, termasuk dengan pangeran,” jawabnya langsung
Alec tergelak lepas. “Ya, dan pangeran itu akan langsung bermimpi buruk!” masih tergelak, membuat kedua pelayan setianya ikut tertawa merasakan canda santai sang nona muda, terlebih Suzanne yang bernafas lega, nona mudanya tidak marah.
Mereka masih tertawa saat sesorang menyeruak masuk.
Emma terheran dengan tawa mereka bertiga, dan melihat nona mudanya masih berada di tempat tidur.
    “Hey kalian, bukannya membantu nona mandi…,” hardik Emma.
Candice dan Suzanne langsung tersadar.
    “Nona, mari kita mandi sekarang,” sahut Suzanne langsung.
Alec semakin tetawa geli, namun menurutinya.

Emma tersenyum melihat keceriaan nona mudanya bersama dua pelayan setianya masuk ke kamar mandi. Tidak peduli wujud asli dari nona mudanya, ia tetap menyayanginya. Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu yang tergeletak di samping bantal Alec. Emma tersenyum perih, kalung Alec. Sudah lama sekali sejak terakhir kalinya Alec membawa tidur kalung liontinnya, dan Alec tidak pernah mengutarakanya. Alec seperti tidak ingin ada yang tahu ia masih menyimpan masa lalunya, menyimpan kenangan saudara kembarnya. Emma pun menyimpannya, meski ia tahu, keluarga inipun mengetahui dan memahami Alec masih tetap menyimpannya dalam-dalam tanpa sepengatahuan Alec sendiri. Dengan hati-hati ia mengembalikan kalung berharga nona mudanya kembali ke tempat semula. Ada perasaan lega di sana, nona mudanya tidak pernah melupakan jati diri aslinya, terlebih melupakan saudara kembarnya.

*

Saat Alec keluar kamar, rumah sudah terlihat sepi. Seluruh keluarganya telah menunggu untuk sarapan saat Alec memasuki ruang makan. Seperti biasa ia terlambat lagi.

   “Ini dia, putri kita yang telah bermain bersama sang pangeran,” goda Samuel langsung, begitu Alec bergabung dengan mereka.
Alec mengirimkan senyum nakal pada kakaknya saat memberikan kecupan selamat pagi pada kedua orang tuanya.
    “Samuel, jangan kau goda adikmu,” Lady Mary memperingatkan pelan putra kesayangannya.
    “Bukan menggoda, ma, tapi bangga!” Samuel menyahut dnegan tersenyum lebar penuh kebanggaan.
Lord Winchester harus tersenyum bangga.
    “Bagaimana pesta semalam, sayang?”
     “Menyenangkan, ma, sangat menyenangkan,” Alec menyahut dengan senyuman renyah.
     “Dan sang pangeran...?” Lady Mary tersenyum.
Wajah Alec langsung tersipu merah.
    “Sang Pangeran pun langsung jatuh hati,” Samuel masih menggodanya, yang disahuti wajah masam Alec.
Alec terkesiap dengan genggaman tangan ibundanya,
    “Tidak apa, wajar bila pangeran jatuh hati padamu, karena putri mama memang pantas mendapatkan sang pangeran,” Lady Mary tersenyum dengan lembutnya.
Alec membalas senyuman ibundanya dengan manis, “Terima kasih, mama,” kemudian mengecup pipinya.
    “Mari kita sambil makan...,” ajak  Lord Winchester mengalihkan kegusaran hatinya, yang diangguki kesemuanya.

Mereka sekeluargapun menikmati sarapan mereka diselingi kisah tadi malam, yang hebatnya, Alec melakukannya dengan tanpa beban. Ia bercerita dengan semangat bagaimana sosok sang pangeran di matanya disertai gaya anggun seorang gadis yang tersipu-sipu bertemu dengan pangeran tampan. untuk menyenangkan ibundanya, yang tentunya ingin mendengarkan cerita indah putri kesayangannya. Tak ayal, ketiga pria Winchester tersenyum tipis dengan tidak enak rasa. Alec terlalu sempurna memainkan perannya.

Kehangatan sarapan mereka terpotong dengan kedatang Caleb yang mengantarkan surat penting.

    “Maaf, Tuan, ada surat dari Royal Music School, untuk Nona Adeline...”

Alec tercenung kaget, akhirnya datang juga. Secepat ini? Ia melirik pada kedua kakaknya, yang dibalas dengan senyuman nakal. ‘Sama sekali tak membantu’

Alec menerimanya, “Terima kasih,” dan segera membukanya .

    “Apa isinya, sayang?” Lady Mary menunggu dengan tidak sabar.
    “Undangan untuk bermain bersama di sekolah musik kerjaan atas undangan Alecander Thomas Wellington, Prince of England and Ireland.
    “Wah, bagus itu,” Lady Mary penuh semangat.
Adeline hanya tersenyum manis.
    “Kapan?”
    “Esok sore,”
    “Mhm, baguslah, mungin aku bisa mengantarkanmu, besok,” sahut Samuel semangat.
    “Kau memang harus mengantar Edele,” Dean menimpal, memastikan adiknya mendapat penjagaan dari sang pangeran.
Samuel mengangguk pasti.
Lord Winchester mengangguk dengan tersenyum, merasa lega kedua putranya dapat diandalkan .

Selepas sarapan, ketiga pria Winchester, berangkat bersama ke kota untuk kesibukan mereka masing-masing. Samuel, setelah pertemuannya semalam dengan Albert Johnson, akan bertemu dengan Sir Albert untuk penjajagan pertama. Jika memang berkenan, Samuel akan langsung dapat bergabung dengan firma hukum miliknya. Ini kesempatan yang tidak akan dilewatkan olehnya. Ia akan memberi kebanggaan kepada ayahnya, untuk menjadi seorang pengacara publik masyarakat.

Dan satu hari itu, Alec akan menemani ibundanya di rumah dengan kegiatan diskusi buku yang sedang mereka baca bersama, atau berkebun bersama di kebun belakang. Alec akan sangat menikmatinya.

***

Hari masih pagi, saat Ben dengan menggandeng adiknya menurini tangga hati-hati.

    “Selamat pagi,” Ben menyapa Charlie, sang empunya bar yang terlihat sedang mengelap meja bar. Hari masih pagi, hanya beberapa tamu yang datang untuk sarapan pagi. Terlihat juga bosnya, Tuan Singer, sedang menikmati sarapannya. Ia tahu, bosnya sedang dalam mood yang senang, karena show semalam yang berhasil, dan mereka dapat menginap di motel ini dengan setengah harga.

    “Pagi,” Charlie menyahut dengan tersenyum hangat. “Mau sarapan?”
    “Tidak terima kasih,” Ben menolak dengan sopan. Ia harus menabung uangnya untuk mereka berdua. Untung saja, ia masih menyimpan roti yang cukup, sisa semalam, untuk sarapan Mary tadi di kamar. Paling tidak ia bisa menghemat uangnya untuk dibelikan makan siang nanti.

Bobby Singer mendongak dengan kedatangan bocah kesayangannya, dan mendengar Ben menolak tawaran sarapan pagi. Bobby menghela nafas.

    “Ben!” serunya memanggil.
Ben tersenyum dan penuh semangat menuju meja bosnya.
    “Pagi, Bos,” Ben tersenyum renyah, dengan mendudukkan Mary di sampingnya.
    “Pagi,” Bobby menyahut hangat. Lalu ia beralih ke arah bar, “Panekuk dengan sirup marple 2, serta susa 2, ya!” serunya, yang diangguki oleh Charlie.
Ben terkatup kaget. Untuk merekakah pesenan itu? Ben sudah siap untuk menolaknya,
    “Kamu dan adikmu harus sarapan. Jangan puasa tiap hari. Hari ini aku yang bayar, karena kamu sudah bermain sangat baik tadi malam, dan menolong kita semua dari tidur di jalan.”
Ben harus tersenyum lega, paling tidak ini bukan pemberian gratis tanpa pamrih, ini karena ia sudah melakukan tugasnya dengan baik semalam, Ben akan menerimanya dengan senang hati.
    “Terima kasih, bos,” Ben tersenyum malu.
Bobby hanya mengangguk. Kemudian melihat kedua anak di hadapannya sudah rapi.
    “Kalian mau pergi?”
Ben tersenyum, “Ya, kalau boleh aku ingin mencari alamat St. Peter.”
Bobby tertegun, “St. Peter...? Bukankah itu ....”
Ben mengangguk. Tak perlu dijelaskan lagi, Bosnya ini sudah mengetahui asal-usulnya, dan juga statusnya sebagai anak adopsi.
    “Kenapa?” Bobby dengan sedikit curiga. Ia melirik gadis kecil di samping Ben, tiba-tiba terlintas pikiran negatif, “Ben kau tidak akan akan menyerahkan....,”
Ben membaca arah pertanyaan bosnya dengan mengarah curiga pada adiknya. “Oh, tidak, tidak akan bos, tidak akan pernah,” Ben menjawab langsung.
Ben tersela dengan kedatangan pesanan panekuk mereka. Mary sesaat malu untuk memakannya, tapi Ben langsung membantunya memotong-motong panekuk menjadi ukuran keci dan menyiramnya dengan sirup marple yang menjadi kesukaan Mary.
    “Bagaimanapun sulitnya, aku tidak akan pernah menyerahkannya pada siapapun..., mama menitipkannya padaku, aku kakaknya, aku harus menjagnya,” dengan suara pelan, berharap Mary tidak begitu memahami yang mereka bicarakan.
Bobby menghela nafas lega.
   “Hanya ingin melihatnya kembali, bertemu dengan suster di sana, dan juga ...” lanjut Ben dengan menunggu Mary sarapan. Sarapannya sendiri belum disentuhnya, berjaga-jaga, mungkin Mary minta tambah, Mary dapat mengambil miliknya.
    “Bertemu dengan saudara kembarmu?” Bobby menebak pelan.
Ben terkatup, bosnya ini bahkan juga mengetahui Ben memiliki saudara kembar.
Ben harus menggeleng, “Alec sudah memiliki keluarga angkat, tidak mungkin ia ada di sana. Tapi paling tidak, aku akan tenang jika bisa melihat kembali tempat itu.”
Bobby menghela nafas dan mengangguk, mengagumi pola fikir anak ini. Ben terlalu dewasa untuk seusianya.
Ben tersenyum melihat adiknya menghabiskan serapannya dengan lahap. Ia kemudian memotong setengah dari miliknya lalu memberikan setengahnya untuk Mary. Mary tersenyum menggemaskan berterimakasih.

Tak butuh lama untuk mereka berdua menyelesaikan sarapan mereka, dan Ben lalu berpamitan untuk pergi keluar sebentar. Ia berjanji, tidak lebih dari setengah hari, ia sudah akan kembali ke sini.

Cukup sulit Ben mencari St. Peter, karena memang saat ia terakhir datang ke sana, ia tidak begitu mengenal jalan menuju ke sana. Tapi untunglah, ia akhirnya dapat menemukan tempat tersebut setelah beberapa kali bertanya pada orang, sepenjang ia mencarinya.

Ben menarik nafas dalam-dalam dengan tersenyum gugup. Ia tidak percaya ia akhirnya berdiri di depan gerbang ‘St. Peter’, dengan menggandeng adiknya. Ia sangat bersyukur ia masih dapat mengenali alamatnya dan kembali ke sini.

   “Tempat apa ini, kak?” suara kecil Mary masuk menyadarkannya.
Ben harus tersenyum, “St. Peter, Mary, tempat kebahagiaan tercipta,” ya, tidak mungkin ia menceritakan ini panti asuhan, tempat dia tinggal dulu, dan membuka kenyataan Ben bukan kakak kandungnya. Tidak, tidak sekarang, Mary masih terlalu kecil untuk mengenal kakak angkat. Biarlah Mary mempercayai Ben adalah kakak kandungnya, untuk menenangkann kalau dirinya tidak benar-benar sendiri di dunia ini, karena masih memiliki kakaknya.

Ben semakin gugup saat akan mengetuk pintu besar itu. Ia sempat melirik adiknya dengan tersenyum, sebelum akhirnya mengetuknya.

Tak butuh waktu lama untuk pintu itu terbuka. Ben menahan nafas dengan sosok itu. Suster Ann. Ben langsung tersenyum dengan harunya.

    “Ya Anak Muda, ada yang bisa kami bantu?” sang suster tampak terheran dengan kedatangan seorang pemuda bersama gadis cilik dengan tersenyum lebar.
    “Suster, ini aku ... Ben...,” Ben semakin melebarkan senyumnya.

Suster Ann terhenyak tak percaya, terlebih dengan gadis cilik di sampingnya. Diperhatikan lagi wajah pemuda ini, dan memang mirip dengan Ben kecil.
    “Ben?
Ben mengangguk semangat, “Iya, Suster, ini aku ....”
   “Ya Tuhan!” Suster Ann tersenyum dengan lebarnya penuh kebahagiaan, dan langsung membuka tangannya untuk sebuah pelukan.
Ben pun masuk ke dalam pelukan suster yang telah mengasuhnya sejak bayi.
    “kau sudah besar sekali, Ben,” ucapnya takjub, setelah melepaskan pelukannya. “Dan kau tumbuh menjadi pemuda yang tampan....,” Suster Anne tak dapat mengingkarinya. Fikirannya langsung melayang pada Alec. Apakah Alec akan berwajah tampan seperti ini bila berwujud laki-laki, atau masih tetap terlihat cantik?  Mereka sudah tidak mengenal lagi Alec, karena sudah berubah menjadi Adeline, dan sosok Adeline sudah menjadi buah-bibir di tengah masyarakat dengan kecantikannya. Baik dirinya maupun Bapa Simon hampir tidak mempercayai Alec dapat menjelma menjadi sosok Lady yang cantik jelita, kalau mereka tidak melihatnya sendiri saat Lady Adeline sekali mengunjungi St. Peter bersama kakak angkat tertuanya, dengan membawa bingkisan yang sangat banyak untuk anak-anak di sini. Ia jadi bertanya, apakah Ben tahu tentang Alec yang berubah menjadi Adeline?
Ben tersenyum malu.
    “Ayo, masuk. Bapa Simon!!”Suster Anne berseru dengan semangatnya.
Ben tersenyum mau, dan mengikuti suster Anne masuk ke dalam.

    “Dan ini...?” Suster Ann beralih pada gadis cilik yang digandeng Ben, saat mereka memasuki kantor.
Ben masih tersenyum, “Oh, ini, Marielle, adikku, suster...,” Ben mengenalkannya dengan bangga.
Suster Ann tercekat, dan langsung teringat, terakhir Ben bersama kedua orang tua angkatnya datang kemarin, Ny. Wesson (kalau ia tidak salah ingat) tengah mengandung- setelah 10 tahun menunggu. Suster Anne semakin takjub, “Adikmu, Ben? Sudah besar sekali...,”
   “Hehe,iya, sudah 5 tahun..., ayo Mary, beri salam pada suster Anne..”
Mary yang sejak tadi sedikit berada di balik kaki kakaknya, malu-malu mengucapkan salam.
   “Salam, suster...,”
   “Hallo, cantik,” Suster Anne menunduk.
Mary tersipu malu dan kembali ke balik kaki kakaknya.
Suster Anne tersenyum, dan bangkit kembali, “Bagaimana kabar kedua orang tuamu? Apa kalian datang bersama?” penuh semangat dan bahagia.
Ben terkatup dengan pertanyaan Suster Anne, ia tak dapat menutupi wajah perihnya. Ia menengok sekilas pada Mary dengan pedih.
    “Sudah berpulang setahun kemarin,” dengan lirih, tidak begitu ingin Mary mendengarnya.
Suster Anne terpucat tak percaya, tapi Ben mengangguk. 
    “Apa yang terjadi?” langsung berempati.
    “Ceritanya akan panjang,” sahut Ben lirih.
Suster Anne terkatup, meski ia belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, dia tahu, cerita itu bukanlah cerita yang menyenangkan.
    “Dan kau datang kembali ke Amerika....?”
    “Karena kami sudah tidak punya siapa-siapa di sana, dan aku harus memutuskan untuk kembali ke sini. Aku bergabung dengan kelompok musik keliling. Kami baru tiba kemarin pagi di sini.”
Suster Ann mengangguk. Takdir siapa yang tahu.
    “Dimana kau tinggal, Nak?”
    “Sementara ini kami tinggal di Motel Charlie’s, setiap malam kami tampil di sana.”
Suster Anne kembali mengangguk dengan tersenyum perih.
    “Suster, bagaimana dengan Alec? Apakah Alec sering berkunjung ke kemari? Apa ada kabar tentang dia? Alec benar-benar tidak menjawab suratku, ia tak dapat menahan untuk bertanya tentang saudara kembarnya.
Suster Ann terkatup namun harus bernafas lega, Ben tidak mengetahui sosok Alec sekarang. “Tidak, ia tidak pernah lagi kemari, sejak ia pergi bersama keluarga itu.” Ia harus menahan nafas mengucapkan kebohongan itu. Tapi tidak sepenuhnya sebuah kebohongan, toh, Alec memang sudah lama tidak kemari dan hanya mengirimkan seseorang untuk mengantarkan hadiah untuk anak-anak di sini. Lady Adeline Winchester tidak boleh lagi terlihat berada di sebuah panti asuhan putra, dan Ben tidak tahu Alec telah menjelma menjadi Adeline.
Ben mengangguk penuh penyesalan.
    “Dimana Bapa Simon?” Ben mengalihkan pembicaraan.
    “Dia ada di Ruang Rekreasi, kau pasti masih ingat.”
Ben langsung mengangguk dengan tersenyum, “Kelas Musik,”
Suster Ann mengangguk tersenyum.
    “Kalau Suster Theresa?”
Suster Ann terdiam dan memberika senyum. “Suster Theresa sudah berpulang dua tahun yang lalu.”
Ben terkatup. “Oh. Kenapa?”
    “Beliau pergi dalam tidurnya, pergi tanpa merasakan sakit.”
Ben harus tersenyum, teringat kedua orang tua angkatnya, kalau saja kedua orang tuanya dapat pergi dengan cara seperti itu, mungkin tidak terlalu menyakitkan untunknya.
    “Semoga belau tenang di sisi-Nya.”
    “Amin,” Suster Ann dengan tersenyum.
     “Kau masih suka bernyanyi, kan?”
Ben mengangguk pasti, “aku bernyanyi untuk kelompok musikku, suster,” dengan tersenyum bangga.
    “Kalau begitu, ayo kita bergabung dengan mereka, dan Bapa Simon pasti akan sagat kaget  ” ajaknya langsung.

Ben langsung mengangguk bersemangat, dan mengikuti Suster Ann menuju ruang rekreasi bermusik.

***

Derai tawa terdengar renyah dari halaman belakang dimana ibu dan anak sedang bercengkerama dengan hangatnya. Samuel dapat mendengarnya dari pintu masuk. Ia tersenyum dengan dua wanita yang amat disayanginya di sana, ibundanya dan adiknya.

   “Hello, Ladys,” Samuel segera bergabung dengan mereka seraya mengecup pipi mereka.
   “Hey, sudah pulang,” Alec menyambut kakaknya dengan girang.
   “Yup.”
   “Bagaimana dengan Albert Johnson, sayang?”
   “Berjalan lancar, ma,” Samuel tersenyum dengan sumringahnya. “Aku sudah dapat bergabung dengan mereka besok lusa.”
    “Bagus sekali, anakku. Selamat untukmu” Lady Mary menyambut dengan bahagianya. Dikecupnya putra kesayangannya dengan bertubi-tubi. “papamu akan sangat bangga padamu.”
Samuel mengangguk dengan tersenyum bangga, sementara wajah Alec, antara senang dan sedih.
    “Kenapa wajahmu, ‘putri’?” Samuel langsung bisa membaca wajah adiknya.
Alec langsung menggeleng, “Nggak, hanya akan kehilangan kakak lagi...,”
Samuel langsung tertawa geli, “Kehilangan? Nggak akan... kamu nggak akan kehilanganku, karena aku akan tetap di sampingmu ...”
    “Oh, ya, Tuan Pengacara, aku akan segera terkalahkan oleh kasus-kasusmu.”
    “Jangan terlalu berlebihan, masih akan ada waktu untuk mengalami masa itu, toh aku tidak akan secepat itu mengurus banyak kasus, belum tentu aku benar membenahinya,” dengan nada terkesan tidak begitu percaya diri.
    “Sss, jangan bicara begitu, putra mama, pasti bisa membenahi semua kasus yang diserahkan padanya.”
Samuel langsung tersipu malu, dan mengangguk, “Ya, mama, aku pasti bisa,”
Lady Mary mengangguk pasti.
    “Mau main stategi perang?” tanya Samuel mengundang nakal.
Alec langsung tersenyum semangat, “Aku sudah menunggu diundang olehmu.”
Lady Mary tertawa mendengarnya. Ia tahu Adeline senang bermain strategi perang, dan ia sama sekali tidak ada masalah dengannya.
    “Mainlah sana,” Lady Mary mengizinkan kedua putranya pergi dari hadapannya.

Begitu mereka berdua hilang dari pandangan ibunda mereka, Samuel langsung mengambil kaki seribu,    “Lomba sampai kamar!”
Alec terkaget, “Hah! Awas ya, Kak!!!” pekik ceria Alec dan tanpa pikir dua kali, ia langsung mengejar kakaknya lari ke atas.

Suara gaduh dari langkah kaki mereka berdua menjadi music merdu bagi Lady Mary, menyadari putra kesayangannya sudah berada di rumah, dan melakukan hal yang selalu ia lakukan bersama adiknya. Mary begitu merindukan kegaduhan mereka, kegaduhan yang membuatnya semakin menikmati hidup dan ingin hidup lebih lama lagi, bersama anak-anak tercintanya.

**

Ben menikmati dirinya berada kembali ke St. Peter. Ia menghabiskan waktu dengan menghabiskan waktu dengan menemani kelas musik anak-anak, lalu Mary ikut mendengarkan dongeng yang dibacakan Bapa Simon. Ben harus tersenyum haru bagaimana wajah senang dan bagaimana Mary yang duduk di pangkuan Bapa Simon mendengarkan dongeng. Ia jadi teringat dulu dirinya dan  Alec yang duduk di karpet mendengarkan dongeng Bapa Simon, yang hingga malam pun, Alec akan tetap ingat jalan ceritanya, lalu menanyakan ini itu pada Ben sampai menjelang tidur.
Ben pun tak kuasa untuk tidak melihat kembali tempat tidurnya yang dulu. Tempat tidur yang berdampingan dengan tempat tidur Alec. Yang justru mengingatkan kembali dosa besar pada adiknya, meninggalkan Alec seorang diri, Alec, maafkan aku ....
Ben tersenyum dengan kedua tempat tidur itu yang telah berganti nama dengan Sam dan Ethan. Sudah 6 tahun berlalu. Bagaimana dengan kabar Alec sekarang? Apakah dia bahagia sekarang? Mudah-mudahan dia bahagia, dan tidak perlu mengalami apa yang ia alami sekarang. Alec terlalu rapuh untuk menjalani kehidupannya, dan lagi ini adalah bagian dari hukumannya.

    “Jangan salahkan dirimu. Apapun yang terjadi padamu dan keluarga angkatmu, bukanlah kesalahannmu. Tuhan tidak akan menyalahkan umatnya, Nak,” Suster Anne membesarkan hati Ben, terlebih setelah tadi Ben sedikit menceritakan kisah sedih yang menimpa keluarga angkatnya, dan ben terus menyalahkan dirinya karena telah meninggalkan Alec dulu.
    “Apapun yang terjadi ada hikmahnya, Nak, dan kau akan mengerti nanti.”
Ben mengangguk. “Aku hanya berterima kasih pada Tuhan dan suster, bahwa bukan Alec yang mengalami ini semua. Aku lega, aku yang berangkat bersama keluarga Wesson, dan bukan Alec, Aku tidak akan kuat jika Alec harus mengalaminya, suster.”
Suster Ann mengangguk. “Jangan khawatir, Suster yakin Alec baik-baik saja bersama keluarga angkatnya.”
 “Aku rindu dia, Suster.”
Suster Anne mengangguk, “Dia juga tentu sangat merindukanmu.”
Ben tersenyum perih, mungkin dia sudah lupa denganku, dan tidak mau mengenalku lagi.”
    “Tidak akan, Alec tidak akan pernah melupakanmu. Kau akan selalu ada di hatinya.”
Ben semakin tersenyum perih.
    “Kau besok masih ada di sini?” Suster Anne mengalihkan pembicaraan, melihat wajah Ben yang semakin sedih.
    “Iya Suster, mungkin untuk beberapa minggu,setelah itu kami akan berpindah lagi.”
Suster Anne mengangguk mengerti.

Kalau saja ia tidak teringat janjinya pada bosnya untuk tidak lebih dari setengah hari ia meminta izin keluar, mugkin ia akan terus berada di sini hingga sore, atau koleh boleh ia akan menginap di sini. Tapi tidak mungkin. Ia tidak akan menjadi beban orang lain, terlebih pada St. Peter yang telah berbuat banyak untuknya dan Alec. Ia harus bisa beridiri sendiri sekarang, bersama Mary.

    “Datanglah lagi esok hari, jika kau ada waktu, kami senang kau datang kemari,” ucap Bapa Simon yang ikut mengantarkan Ben dan Mary hingga ke depan pintu. “Dan sepertinya adikmu juga senang berada di sini...,” seraya mengusap pipi mulus Mary dan sudah berada di gendongan Ben dengan manja.
    “Besok kita kesini lagi, kan?” Mary bertanya dengan tersenyum malu-malu.
Ben harus tersenyum.  Senyum dan tawa renyah adik perempuannya itu begitu indah di telinganya. Ia ingin selalu melihat dan mendengar tawa itu. Sedikit mengobati rindu pada saudara kembarnya. “Besok kita lihat, ya, mungkin kita bisa kesini lagi,” dengan tersenyum renyah seraya mengecup pipi Mary.
Mary tersenyum dengan senangnya.
    “Kalau kami sempat, kami akan datang lagi.”
    “Sering-seringlah kemarin, Nak, tempat ini masih sangat terbuka untukmu. Ini rumahmu juga,” ucapan Bapa Simon begitu menengangkan.
Ben mengangguk. “Terima kasih, Bapa.”
    “Ben..”
    “Ya suster..?”
    “Kau anak baik, percayalah, Tuhan akan tetap menyayangimu dan melindungimu,” ucap Suster Anne, tak kuasa untuk tak memeluk erat anak yang sangat istimewa ini. “GBU”
Ben terkatup haru dan mengangguk dengan tersenyum. “Terima kasih, Suster.”
Dan dengan pelukan terakhir dari Bapa Simon, Ben pamit pulang, dengan mengendong Mary yang tersenyum bahagia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar