Rating : K+
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
ENJOY
Alec terbangun
dengan kepala pening di pagi hari. Semalaman ia
tidak dapat mengenyahkan bayangan Ben dari kepalanya. Diapun
menyadari tangannya menggenggam sesuatu. Liontin mereka. Alec mendesah yang
tanpa sadar membawa tidur kalung itu di tangannya. Ben, di mana dia sekarang?
Apa dia bahagia bersama keluarga angkatnya? Tapi dari satu-satunya surat yang
ia terima dari ben, mengatakan ia baik-baik saja, dan bahagia bersama keluarga
itu. Mungkin Ben sedang bahagia bersama mereka. Ah kalau saja ia bersama Ben
sekarang, mungkin ia tidak harus terperangkap dalam wujud putri ini. Bagaimana
wajah Ben sekarang, apakah mirip dengan dirinya, bila ia melepas gaun ini?
“Nona, sudah bangunkah….?”
suara ceria Suzanne, pelayan setianya, menyeruak masuk
dengan membawa baki sarapan, sementara Candice, pelayan setianya yang lain membuka
tirai besar kamarnya mengizinkan cahaya matahari pagi masuk ke kamarnya yang
luas.
“Selamat pagi,” Alec menyapa dengan tersenyum dua pelayan setianya
selain Emma. Alec melihat menu sarapannya yang hanya segelas susu murni. Alec melirik dengan pertanyaan.
“Nona ditunggu sarapan bersama,” Suzanne
menjelaskan.
Alec hanya
mengangguk, dan mereguk susunya.
“Nona, bagaimana pesta semalam?” secara kompak Suzanne dan Candice
bertanya dengan penuh semangat dan ingin tahu, hampir Alec tersedak karena kaget. “Kata Emma, nona bermain piano dengan
pangeran, ya?”
Alec hanya tersenyum simpul,
mengiyakan.
“Bagaimana rupa sang pangeran, nona, tampan kah, dia? “
Alec semakin tersenyum simpul,
berakting layaknya seorang gadis yang terpesona bertemu pangeran yang tampan.
“Bagaimana, ya,…. tampan
menurutku;
matanya biru menghanyutkan, rahangnya tinggi, bibirnya merah, tubuhnya tegap, tinggi badannya hampir
sama dengan Kak
Samuel…,”
“WAAAA,” mereka bersorak membayangkan wujud pangeran
yang digambarkan nona muda mereka. “Tampan sekali, kalau begitu…,”
Alec hanya tersenyum.
“Tampan mana dengan Tuan Muda Dean dan Tuan Muda Samuel ?” Candice masih
penasaran.
Alec pura-pura berpikir membandingkan.
“Masih lebih tampan Tuan Muda kalian…,” sahut Alec dengan tersenyum pasti,
yang disahuti dengan gelak tawa mereka berdua.
Alec tergelak lepas.
“Bagaimana sikapnya, apakah dia menyenangkan?”
Alec mengangguk, “Baik, sangat
menyenangkan, mataya tak lepas terus memandangiku.”
“Tentu saja, nona, tidak ada pria yang rela melepaskan padangan mata
dari kecantikan nona,” Candice tersenyum pasti.
Alec hanya tersenyum sanjung.
“Apa Nona jatuh hati padanya?” tanya Suzanne lirih tiba-tiba.
Alec terdiam, dan melirik pelayan setianya
yang membuatnya terpaku ketakutan karena telah mengutarakan pertanyaan yang
tidak pada tempatnya.
“Maafkan saya, nona! Saya lancang! ” seru Suzzane langsung dengan
menunduk takut.
Alec tersenyum, dan mengangkat dagu Suzanne
dengan lembut, “Hey…, tidak apa-apa, sayang..,” dengan memberinya senyuman
menenangkan. “Menurutmu, apakah aku pantas bila jatuh hati pada sang pangeran?”
tanyanya lembut.
Suzanne tercekat dengan pertanyaan nona
mudanya. Apa ini benar-benar bertanya atau semacam tes…
“Ng… nona pantas jatuh hati pada siapapun, nona, termasuk dengan
pangeran,” jawabnya langsung
Alec tergelak lepas. “Ya, dan pangeran itu
akan langsung bermimpi buruk!” masih tergelak, membuat kedua pelayan setianya
ikut tertawa merasakan canda santai sang nona muda, terlebih Suzanne yang
bernafas lega, nona mudanya tidak marah.
Mereka masih tertawa saat sesorang
menyeruak masuk.
Emma terheran dengan tawa mereka bertiga,
dan melihat nona mudanya masih berada di tempat tidur.
“Hey kalian, bukannya membantu nona mandi…,” hardik Emma.
Candice dan Suzanne langsung tersadar.
“Nona, mari kita mandi sekarang,” sahut Suzanne langsung.
Alec semakin tetawa geli, namun
menurutinya.
Emma tersenyum melihat keceriaan nona
mudanya bersama dua pelayan setianya masuk ke kamar mandi. Tidak peduli wujud
asli dari nona mudanya, ia tetap menyayanginya. Tiba-tiba matanya menangkap
sesuatu yang tergeletak di samping bantal Alec. Emma tersenyum perih, kalung
Alec. Sudah lama sekali sejak terakhir kalinya Alec membawa tidur kalung
liontinnya, dan Alec tidak pernah mengutarakanya. Alec seperti tidak ingin ada
yang tahu ia masih menyimpan masa lalunya, menyimpan kenangan saudara
kembarnya. Emma pun menyimpannya, meski ia tahu, keluarga inipun mengetahui
dan memahami Alec masih tetap menyimpannya dalam-dalam tanpa sepengatahuan Alec
sendiri. Dengan hati-hati ia mengembalikan kalung berharga nona mudanya kembali
ke tempat semula. Ada perasaan lega di sana, nona mudanya tidak pernah melupakan
jati diri aslinya, terlebih melupakan saudara kembarnya.
*
Saat Alec
keluar kamar, rumah sudah terlihat sepi. Seluruh keluarganya telah menunggu
untuk sarapan saat Alec memasuki ruang makan. Seperti biasa ia terlambat lagi.
“Ini dia, putri kita yang telah bermain
bersama sang pangeran,” goda Samuel langsung, begitu Alec bergabung dengan
mereka.
Alec
mengirimkan senyum nakal pada kakaknya saat memberikan kecupan selamat pagi
pada kedua orang tuanya.
“Samuel, jangan kau goda adikmu,” Lady Mary
memperingatkan pelan putra kesayangannya.
“Bukan menggoda, ma, tapi bangga!” Samuel
menyahut dnegan tersenyum lebar penuh kebanggaan.
Lord Winchester
harus tersenyum bangga.
“Bagaimana pesta semalam, sayang?”
“Menyenangkan, ma, sangat menyenangkan,”
Alec menyahut dengan senyuman renyah.
“Dan sang pangeran...?” Lady Mary
tersenyum.
Wajah Alec
langsung tersipu merah.
“Sang Pangeran pun langsung jatuh hati,”
Samuel masih menggodanya, yang disahuti wajah masam Alec.
Alec terkesiap
dengan genggaman tangan ibundanya,
“Tidak apa, wajar bila pangeran jatuh hati
padamu, karena putri mama memang pantas mendapatkan sang pangeran,” Lady Mary
tersenyum dengan lembutnya.
Alec membalas
senyuman ibundanya dengan manis, “Terima kasih, mama,” kemudian mengecup
pipinya.
“Mari kita sambil makan...,” ajak Lord Winchester mengalihkan kegusaran
hatinya, yang diangguki kesemuanya.
Mereka
sekeluargapun menikmati sarapan mereka diselingi kisah tadi malam, yang
hebatnya, Alec melakukannya dengan tanpa beban. Ia bercerita dengan semangat
bagaimana sosok sang pangeran di matanya disertai gaya anggun seorang gadis
yang tersipu-sipu bertemu dengan pangeran tampan. untuk menyenangkan ibundanya,
yang tentunya ingin mendengarkan cerita indah putri kesayangannya. Tak ayal,
ketiga pria Winchester tersenyum tipis dengan tidak enak rasa. Alec terlalu
sempurna memainkan perannya.
Kehangatan
sarapan mereka terpotong dengan kedatang Caleb yang mengantarkan surat penting.
“Maaf, Tuan, ada surat dari Royal Music
School, untuk Nona Adeline...”
Alec tercenung
kaget, akhirnya datang juga. Secepat ini? Ia melirik pada kedua kakaknya, yang
dibalas dengan senyuman nakal. ‘Sama
sekali tak membantu’
Alec
menerimanya, “Terima kasih,” dan segera membukanya .
“Apa isinya, sayang?” Lady Mary menunggu
dengan tidak sabar.
“Undangan untuk bermain bersama di sekolah
musik kerjaan atas undangan Alecander Thomas Wellington, Prince of England and
Ireland.
“Wah, bagus itu,” Lady Mary penuh semangat.
Adeline hanya
tersenyum manis.
“Kapan?”
“Esok sore,”
“Mhm, baguslah, mungin aku bisa
mengantarkanmu, besok,” sahut Samuel semangat.
“Kau memang harus mengantar Edele,” Dean
menimpal, memastikan adiknya mendapat penjagaan dari sang pangeran.
Samuel
mengangguk pasti.
Lord Winchester
mengangguk dengan tersenyum, merasa lega kedua putranya dapat diandalkan .
Selepas
sarapan, ketiga pria Winchester, berangkat bersama ke kota untuk kesibukan
mereka masing-masing. Samuel, setelah pertemuannya semalam dengan Albert
Johnson, akan bertemu dengan Sir Albert untuk penjajagan pertama. Jika memang
berkenan, Samuel akan langsung dapat bergabung dengan firma hukum miliknya. Ini
kesempatan yang tidak akan dilewatkan olehnya. Ia akan memberi kebanggaan
kepada ayahnya, untuk menjadi seorang pengacara publik masyarakat.
Dan satu hari
itu, Alec akan menemani ibundanya di rumah dengan kegiatan diskusi buku yang
sedang mereka baca bersama, atau berkebun bersama di kebun belakang. Alec akan
sangat menikmatinya.
***
Hari masih
pagi, saat Ben dengan menggandeng adiknya menurini tangga hati-hati.
“Selamat pagi,” Ben menyapa Charlie, sang
empunya bar yang terlihat sedang mengelap meja bar. Hari masih pagi, hanya
beberapa tamu yang datang untuk sarapan pagi. Terlihat juga bosnya, Tuan
Singer, sedang menikmati sarapannya. Ia tahu, bosnya sedang dalam mood yang
senang, karena show semalam yang berhasil, dan mereka dapat menginap di motel
ini dengan setengah harga.
“Pagi,” Charlie menyahut dengan tersenyum
hangat. “Mau sarapan?”
“Tidak terima kasih,” Ben menolak dengan
sopan. Ia harus menabung uangnya untuk mereka berdua. Untung saja, ia masih menyimpan
roti yang cukup, sisa semalam, untuk sarapan Mary tadi di kamar. Paling tidak
ia bisa menghemat uangnya untuk dibelikan makan siang nanti.
Bobby Singer
mendongak dengan kedatangan bocah kesayangannya, dan mendengar Ben menolak
tawaran sarapan pagi. Bobby menghela nafas.
“Ben!” serunya memanggil.
Ben tersenyum dan
penuh semangat menuju meja bosnya.
“Pagi, Bos,” Ben tersenyum renyah, dengan
mendudukkan Mary di sampingnya.
“Pagi,” Bobby menyahut hangat. Lalu ia
beralih ke arah bar, “Panekuk dengan sirup marple 2, serta susa 2, ya!” serunya, yang diangguki oleh Charlie.
Ben terkatup
kaget. Untuk merekakah pesenan itu? Ben sudah siap untuk menolaknya,
“Kamu dan adikmu harus sarapan. Jangan
puasa tiap hari. Hari ini aku yang bayar, karena kamu sudah bermain sangat baik
tadi malam, dan menolong kita semua dari tidur di jalan.”
Ben harus
tersenyum lega, paling tidak ini bukan pemberian gratis tanpa pamrih, ini
karena ia sudah melakukan tugasnya dengan baik semalam, Ben akan menerimanya
dengan senang hati.
“Terima kasih, bos,” Ben tersenyum malu.
Bobby hanya
mengangguk. Kemudian melihat kedua anak di hadapannya sudah rapi.
“Kalian mau pergi?”
Ben tersenyum,
“Ya, kalau boleh aku ingin mencari alamat St. Peter.”
Bobby tertegun,
“St. Peter...? Bukankah itu ....”
Ben mengangguk.
Tak perlu dijelaskan lagi, Bosnya ini sudah mengetahui asal-usulnya, dan juga
statusnya sebagai anak adopsi.
“Kenapa?” Bobby dengan sedikit curiga. Ia
melirik gadis kecil di samping Ben, tiba-tiba terlintas pikiran negatif, “Ben
kau tidak akan akan menyerahkan....,”
Ben membaca
arah pertanyaan bosnya dengan mengarah curiga pada adiknya. “Oh, tidak, tidak
akan bos, tidak akan pernah,” Ben menjawab langsung.
Ben tersela
dengan kedatangan pesanan panekuk mereka. Mary sesaat malu untuk memakannya,
tapi Ben langsung membantunya memotong-motong panekuk menjadi ukuran keci dan
menyiramnya dengan sirup marple yang menjadi kesukaan Mary.
“Bagaimanapun sulitnya, aku tidak akan pernah
menyerahkannya pada siapapun..., mama menitipkannya padaku, aku kakaknya, aku
harus menjagnya,” dengan suara pelan, berharap Mary tidak begitu memahami yang
mereka bicarakan.
Bobby menghela
nafas lega.
“Hanya
ingin melihatnya kembali, bertemu dengan suster di sana, dan juga ...” lanjut
Ben dengan menunggu Mary sarapan. Sarapannya sendiri belum disentuhnya,
berjaga-jaga, mungkin Mary minta tambah, Mary dapat mengambil miliknya.
“Bertemu dengan saudara kembarmu?” Bobby
menebak pelan.
Ben terkatup,
bosnya ini bahkan juga mengetahui Ben memiliki saudara kembar.
Ben harus
menggeleng, “Alec sudah memiliki keluarga angkat, tidak mungkin ia ada di sana.
Tapi paling tidak, aku akan tenang jika bisa melihat kembali tempat itu.”
Bobby menghela
nafas dan mengangguk, mengagumi pola fikir anak ini. Ben terlalu dewasa untuk
seusianya.
Ben tersenyum melihat adiknya menghabiskan
serapannya dengan lahap. Ia kemudian memotong setengah dari miliknya lalu
memberikan setengahnya untuk Mary. Mary tersenyum menggemaskan berterimakasih.
Tak butuh lama untuk
mereka berdua menyelesaikan sarapan mereka, dan Ben lalu berpamitan untuk pergi keluar sebentar. Ia berjanji, tidak lebih dari
setengah hari, ia sudah akan kembali ke sini.
Cukup sulit Ben
mencari St. Peter, karena memang saat ia terakhir datang ke sana, ia tidak
begitu mengenal jalan menuju ke sana. Tapi untunglah, ia akhirnya dapat
menemukan tempat tersebut setelah beberapa kali bertanya pada orang, sepenjang
ia mencarinya.
Ben menarik
nafas dalam-dalam dengan tersenyum gugup. Ia tidak percaya ia akhirnya berdiri
di depan gerbang ‘St. Peter’, dengan menggandeng adiknya. Ia sangat bersyukur
ia masih dapat mengenali alamatnya dan kembali ke sini.
“Tempat apa ini, kak?” suara kecil Mary
masuk menyadarkannya.
Ben harus
tersenyum, “St. Peter, Mary, tempat kebahagiaan tercipta,” ya, tidak mungkin ia
menceritakan ini panti asuhan, tempat dia tinggal dulu, dan membuka kenyataan
Ben bukan kakak kandungnya. Tidak, tidak sekarang, Mary masih terlalu kecil
untuk mengenal kakak angkat. Biarlah Mary mempercayai Ben adalah kakak
kandungnya, untuk menenangkann kalau dirinya tidak benar-benar sendiri di dunia
ini, karena masih memiliki kakaknya.
Ben semakin
gugup saat akan mengetuk pintu besar itu. Ia sempat melirik adiknya dengan
tersenyum, sebelum akhirnya mengetuknya.
Tak butuh waktu
lama untuk pintu itu terbuka. Ben menahan nafas dengan sosok itu. Suster Ann.
Ben langsung tersenyum dengan harunya.
“Ya Anak Muda, ada yang bisa kami bantu?”
sang suster tampak terheran dengan kedatangan seorang pemuda bersama gadis
cilik dengan tersenyum lebar.
“Suster, ini aku ... Ben...,” Ben semakin
melebarkan senyumnya.
Suster Ann
terhenyak tak percaya, terlebih dengan gadis cilik di sampingnya. Diperhatikan
lagi wajah pemuda ini, dan memang mirip dengan Ben kecil.
“Ben?
Ben mengangguk
semangat, “Iya, Suster, ini aku ....”
“Ya Tuhan!” Suster Ann tersenyum dengan
lebarnya penuh kebahagiaan, dan langsung membuka tangannya untuk sebuah
pelukan.
Ben pun masuk
ke dalam pelukan suster yang telah mengasuhnya sejak bayi.
“kau sudah besar sekali, Ben,” ucapnya takjub, setelah melepaskan pelukannya. “Dan kau tumbuh menjadi pemuda yang tampan....,” Suster Anne tak
dapat mengingkarinya. Fikirannya langsung melayang pada Alec. Apakah Alec akan
berwajah tampan seperti ini bila berwujud laki-laki, atau masih tetap terlihat
cantik? Mereka sudah tidak mengenal lagi
Alec, karena sudah berubah menjadi Adeline, dan sosok Adeline sudah menjadi
buah-bibir di tengah masyarakat dengan kecantikannya. Baik dirinya maupun Bapa
Simon hampir tidak mempercayai Alec dapat menjelma menjadi sosok Lady yang
cantik jelita, kalau mereka tidak melihatnya sendiri saat Lady Adeline sekali
mengunjungi St. Peter bersama kakak angkat tertuanya, dengan membawa bingkisan
yang sangat banyak untuk anak-anak di sini. Ia jadi bertanya, apakah Ben tahu
tentang Alec yang berubah menjadi Adeline?
Ben tersenyum malu.
“Ayo, masuk. Bapa Simon!!”Suster Anne berseru dengan
semangatnya.
Ben tersenyum mau, dan mengikuti suster Anne masuk ke dalam.
“Dan ini...?” Suster Ann beralih pada gadis
cilik yang
digandeng Ben, saat mereka memasuki kantor.
Ben masih
tersenyum, “Oh, ini, Marielle, adikku, suster...,” Ben mengenalkannya dengan
bangga.
Suster Ann
tercekat, dan langsung teringat, terakhir Ben bersama kedua
orang tua angkatnya datang kemarin, Ny. Wesson (kalau ia tidak salah ingat)
tengah mengandung- setelah 10 tahun menunggu. Suster Anne semakin takjub,
“Adikmu, Ben? Sudah besar sekali...,”
“Hehe,iya, sudah 5 tahun..., ayo Mary, beri
salam pada suster Anne..”
Mary yang sejak
tadi sedikit berada di balik kaki kakaknya, malu-malu mengucapkan salam.
“Salam, suster...,”
“Hallo, cantik,” Suster Anne menunduk.
Mary tersipu
malu dan kembali ke balik kaki kakaknya.
Suster Anne
tersenyum, dan bangkit kembali, “Bagaimana kabar kedua orang tuamu? Apa kalian
datang bersama?” penuh semangat dan bahagia.
Ben terkatup
dengan pertanyaan Suster Anne, ia tak dapat menutupi wajah perihnya. Ia
menengok sekilas pada Mary dengan pedih.
“Sudah berpulang setahun kemarin,” dengan
lirih, tidak begitu ingin Mary mendengarnya.
Suster Anne
terpucat tak percaya, tapi Ben mengangguk.
“Apa yang terjadi?” langsung berempati.
“Ceritanya akan panjang,” sahut Ben lirih.
Suster Anne
terkatup, meski ia belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, dia tahu,
cerita itu bukanlah cerita yang menyenangkan.
“Dan kau datang kembali ke Amerika....?”
“Karena kami sudah tidak punya siapa-siapa
di sana, dan aku harus memutuskan untuk kembali ke sini. Aku bergabung dengan
kelompok musik keliling. Kami baru tiba kemarin pagi di sini.”
Suster Ann
mengangguk. Takdir siapa yang tahu.
“Dimana kau tinggal, Nak?”
“Sementara ini kami tinggal di Motel
Charlie’s, setiap malam kami tampil di sana.”
Suster Anne
kembali mengangguk dengan tersenyum perih.
“Suster, bagaimana dengan Alec? Apakah Alec sering berkunjung ke kemari? Apa ada kabar tentang dia? Alec benar-benar tidak menjawab suratku,”
ia tak
dapat menahan untuk bertanya tentang saudara
kembarnya.
Suster Ann
terkatup
namun harus bernafas lega, Ben tidak mengetahui sosok Alec sekarang. “Tidak, ia tidak pernah lagi kemari, sejak ia pergi bersama keluarga
itu.” Ia harus menahan nafas mengucapkan kebohongan itu. Tapi tidak sepenuhnya
sebuah kebohongan, toh, Alec memang sudah lama tidak kemari dan hanya
mengirimkan seseorang untuk mengantarkan hadiah untuk anak-anak di sini. Lady Adeline
Winchester tidak boleh lagi
terlihat berada di sebuah panti asuhan putra, dan Ben tidak
tahu Alec telah menjelma menjadi Adeline.
Ben mengangguk
penuh penyesalan.
“Dimana Bapa Simon?” Ben mengalihkan
pembicaraan.
“Dia ada di Ruang Rekreasi, kau pasti masih
ingat.”
Ben langsung
mengangguk dengan tersenyum, “Kelas Musik,”
Suster Ann
mengangguk tersenyum.
“Kalau Suster Theresa?”
Suster Ann
terdiam dan memberika senyum. “Suster Theresa sudah berpulang dua tahun yang
lalu.”
Ben terkatup.
“Oh. Kenapa?”
“Beliau pergi dalam tidurnya, pergi tanpa
merasakan sakit.”
Ben harus
tersenyum, teringat kedua orang tua angkatnya, kalau saja kedua orang tuanya
dapat pergi dengan cara seperti itu, mungkin tidak terlalu menyakitkan
untunknya.
“Semoga belau tenang di sisi-Nya.”
“Amin,” Suster Ann dengan tersenyum.
“Kau masih suka bernyanyi, kan?”
Ben mengangguk
pasti, “aku bernyanyi untuk kelompok musikku, suster,” dengan tersenyum bangga.
“Kalau begitu, ayo kita bergabung dengan
mereka, dan Bapa Simon pasti akan sagat kaget
” ajaknya langsung.
Ben langsung
mengangguk bersemangat, dan mengikuti Suster Ann menuju ruang rekreasi bermusik.
***
Derai tawa
terdengar renyah dari halaman belakang dimana ibu dan anak sedang bercengkerama
dengan hangatnya. Samuel dapat mendengarnya dari pintu masuk. Ia tersenyum
dengan dua wanita yang amat disayanginya di sana, ibundanya dan adiknya.
“Hello, Ladys,” Samuel segera bergabung
dengan mereka seraya mengecup pipi mereka.
“Hey, sudah pulang,” Alec menyambut kakaknya
dengan girang.
“Yup.”
“Bagaimana dengan Albert Johnson, sayang?”
“Berjalan lancar,
ma,” Samuel tersenyum dengan sumringahnya. “Aku sudah dapat bergabung dengan
mereka besok lusa.”
“Bagus sekali, anakku. Selamat untukmu” Lady Mary menyambut dengan bahagianya. Dikecupnya putra kesayangannya
dengan bertubi-tubi. “papamu akan sangat bangga padamu.”
Samuel
mengangguk dengan tersenyum bangga, sementara wajah Alec, antara senang dan sedih.
“Kenapa wajahmu, ‘putri’?” Samuel langsung bisa membaca wajah adiknya.
Alec langsung
menggeleng, “Nggak, hanya akan kehilangan kakak lagi...,”
Samuel langsung
tertawa geli, “Kehilangan? Nggak akan... kamu nggak akan kehilanganku, karena
aku akan tetap di sampingmu ...”
“Oh, ya, Tuan Pengacara, aku akan segera
terkalahkan oleh kasus-kasusmu.”
“Jangan terlalu berlebihan, masih akan ada
waktu untuk mengalami masa itu, toh aku tidak akan secepat itu mengurus banyak
kasus, belum tentu aku benar membenahinya,” dengan nada terkesan tidak begitu
percaya diri.
“Sss, jangan bicara begitu, putra mama,
pasti bisa membenahi semua kasus yang diserahkan padanya.”
Samuel langsung
tersipu malu, dan mengangguk, “Ya, mama, aku pasti bisa,”
Lady Mary
mengangguk pasti.
“Mau main stategi perang?” tanya Samuel
mengundang nakal.
Alec langsung
tersenyum semangat, “Aku sudah menunggu diundang olehmu.”
Lady Mary
tertawa mendengarnya. Ia tahu Adeline senang bermain strategi perang, dan ia
sama sekali tidak ada masalah dengannya.
“Mainlah sana,” Lady Mary mengizinkan kedua
putranya pergi dari hadapannya.
Begitu mereka
berdua hilang dari pandangan ibunda mereka, Samuel langsung mengambil kaki seribu, “Lomba sampai kamar!”
Alec terkaget,
“Hah! Awas ya,
Kak!!!” pekik ceria Alec dan tanpa pikir dua kali, ia
langsung mengejar kakaknya lari ke atas.
Suara gaduh
dari langkah kaki mereka berdua menjadi music merdu bagi
Lady Mary, menyadari putra kesayangannya sudah berada di rumah, dan melakukan hal yang selalu ia lakukan bersama adiknya.
Mary begitu merindukan kegaduhan mereka, kegaduhan yang membuatnya semakin
menikmati hidup dan ingin hidup lebih lama lagi, bersama anak-anak tercintanya.
**
Ben menikmati
dirinya berada kembali ke St. Peter. Ia menghabiskan waktu dengan menghabiskan waktu
dengan menemani kelas musik anak-anak, lalu Mary ikut mendengarkan dongeng yang
dibacakan Bapa Simon. Ben harus tersenyum haru bagaimana wajah senang dan
bagaimana Mary yang duduk di pangkuan Bapa Simon mendengarkan dongeng. Ia jadi
teringat dulu dirinya dan Alec yang
duduk di karpet mendengarkan dongeng Bapa Simon, yang hingga malam pun, Alec
akan tetap ingat jalan ceritanya, lalu menanyakan ini itu pada Ben sampai
menjelang tidur.
Ben pun tak kuasa
untuk tidak melihat kembali tempat tidurnya yang dulu. Tempat tidur yang
berdampingan dengan tempat tidur Alec. Yang justru mengingatkan kembali dosa
besar pada adiknya, meninggalkan Alec seorang diri, Alec,
maafkan aku ....
Ben tersenyum dengan
kedua tempat tidur itu yang telah berganti nama dengan Sam dan Ethan. Sudah 6
tahun berlalu. Bagaimana dengan kabar Alec sekarang? Apakah dia bahagia
sekarang? Mudah-mudahan dia bahagia, dan tidak perlu mengalami apa yang ia alami
sekarang. Alec terlalu rapuh untuk menjalani kehidupannya, dan lagi ini adalah
bagian dari hukumannya.
“Jangan salahkan dirimu. Apapun yang
terjadi padamu dan keluarga angkatmu, bukanlah kesalahannmu. Tuhan tidak akan
menyalahkan umatnya, Nak,” Suster Anne membesarkan hati Ben, terlebih setelah
tadi Ben sedikit menceritakan kisah sedih yang menimpa keluarga angkatnya, dan
ben terus menyalahkan dirinya karena telah meninggalkan Alec dulu.
“Apapun yang terjadi ada hikmahnya, Nak,
dan kau akan mengerti nanti.”
Ben mengangguk.
“Aku hanya berterima kasih pada Tuhan dan suster, bahwa bukan Alec yang
mengalami ini semua. Aku lega, aku yang berangkat bersama keluarga Wesson, dan
bukan Alec, Aku tidak akan kuat jika Alec harus mengalaminya, suster.”
Suster Ann
mengangguk. “Jangan khawatir, Suster yakin Alec baik-baik saja bersama keluarga
angkatnya.”
“Aku rindu dia, Suster.”
Suster Anne
mengangguk, “Dia juga tentu sangat merindukanmu.”
Ben tersenyum
perih, mungkin dia sudah lupa denganku, dan tidak mau mengenalku lagi.”
“Tidak akan, Alec tidak akan pernah
melupakanmu. Kau akan selalu ada di hatinya.”
Ben semakin
tersenyum perih.
“Kau besok masih ada di sini?” Suster Anne
mengalihkan pembicaraan, melihat wajah Ben yang semakin sedih.
“Iya Suster, mungkin untuk beberapa
minggu,setelah itu kami akan berpindah lagi.”
Suster Anne
mengangguk mengerti.
Kalau saja ia tidak teringat janjinya pada
bosnya untuk tidak lebih dari setengah hari ia meminta izin keluar, mugkin ia
akan terus berada di sini hingga sore, atau koleh boleh ia akan menginap di
sini. Tapi tidak mungkin. Ia tidak akan menjadi beban orang lain, terlebih pada
St. Peter yang telah berbuat banyak untuknya dan Alec. Ia harus bisa beridiri
sendiri sekarang, bersama Mary.
“Datanglah lagi esok hari, jika kau ada
waktu, kami senang kau datang kemari,” ucap Bapa Simon yang ikut mengantarkan Ben
dan Mary hingga ke depan pintu. “Dan sepertinya adikmu
juga senang berada di sini...,” seraya mengusap pipi mulus Mary
dan sudah berada di gendongan Ben dengan manja.
“Besok
kita kesini lagi, kan?” Mary bertanya dengan tersenyum malu-malu.
Ben harus tersenyum. Senyum dan tawa renyah
adik perempuannya itu begitu indah di telinganya. Ia ingin selalu melihat dan
mendengar tawa itu. Sedikit mengobati rindu pada saudara kembarnya. “Besok kita lihat,
ya, mungkin kita bisa kesini lagi,” dengan tersenyum renyah seraya mengecup
pipi Mary.
Mary tersenyum dengan senangnya.
“Kalau
kami sempat, kami akan datang lagi.”
“Sering-seringlah kemarin, Nak, tempat ini masih sangat terbuka untukmu.
Ini rumahmu juga,” ucapan Bapa Simon begitu menengangkan.
Ben mengangguk. “Terima kasih, Bapa.”
“Ben..”
“Ya
suster..?”
“Kau anak baik, percayalah, Tuhan akan tetap
menyayangimu dan melindungimu,” ucap Suster Anne, tak kuasa untuk tak memeluk
erat anak yang sangat istimewa ini. “GBU”
Ben terkatup haru dan mengangguk dengan
tersenyum. “Terima kasih, Suster.”
Dan dengan pelukan terakhir dari Bapa
Simon, Ben pamit pulang, dengan mengendong Mary yang tersenyum bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar