Rating : K+
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
ENJOY Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
Bagian 8
Malam ini terasa sangat dingin, Alec merapatkan jaketnya dan memeluk dirinya sendiri agar lebih hangat dan tetap berjalan. Dia mungkin saja bisa mengejar kapal pertama di pelabujan, yang akan membawanya ke Dublin pagi ini.
Alec tidak tahu sudah berapa jauh dia berjalan saat tiba-tiba hujan turun. Hujan deras! Alec mempercepat kakinya. Dia tidak bisa berhenti, dia harus bisa mengejar kapalnya.
Tapi hujan semakin deras. Dia mencoba untuk berlari dengan tubh sudah basah kuyup. Tapi hanya kuat beberapa meter saja, dia tidak kuat berlari lagi. Ia tersengal-sengal kelelahan. Udara dingin membekapnya, dan nafasnya semakin terasa pendek. Alec memutuskan untuk istirahat sebentar menunggu hingga hujan reda.
Alec menemukan tempat berteduh. Dia duduk kelelahan dan merasakan nafasnya semakin pendek saja, dan dadanya mulai terasa sakit. Secepatnya ia meminum obatnya, sebelum bertambah parah. Tiba-tiba ia merasa takut akan gagal. Alec menarik nafas pendeknya dan mencoba untuk tenang. Hawa dingin menyesakkan dada dan nafasnya, dan hujan tidak juga turun. Dia menggigil kedinginan dengan tubuhnya yang basah kuyup!
Tapi sepertinya obatnya tidak banyak membantu. Hawa dingin menusuk paru-paru, membuatnya semakin sulit bernafas. Pikirannya melayang kembali ke St Peter, ke kamarnya yang hangat. Mungkin bukan tempat tidur yang mewah dengan selimut wol yang super tebal, tapi paling tidak cukup hangat. Air mata mulai menetes di pipinya. Mungkin tidak seharusnya ia pergi, mungkin dia harus tetap tinggal dan menunggu hingga Ben datang. Tapi dia sangat ingin bertemu Ben segera.
Alec mencoba untuk membaringkan tubuh basahnya dan mencoba untuk tidak banyak bergerak yang akan menguras tenaganya. Ia merasakan demam di tubuhnya membuatnya semakin pucat. Dia tahu ini, dia sangat mengenalnya, dan dia tidak mau merasakannya lagi.Cukup sekali saat umur 8 tahun dulu, saat ia hampir mati. Rasa takut mulai menyesakkannya. Tidak ada siapa-siapa, tidak ada siapa siapa yang akan mengurusnya. Dia akan mati di sini, sendirian. Nggak dia tidak boleh mati, nggak sebelum ia bertemu Ben.
“Ben…” dan akhirnya semuanya gelap kembali.
*
“Hujannya sudah berhenti, Tuan,” Caleb memberitahukan Tuannya dengan melihat ke arah jendela.
“Ya, sepertinya sudah reda, kita bisa pulang sekarang,” sahut Lord Winchester dengan lega.
“Ya, Tuan.”
Lord Winchester mengucapkan terima kasih kepada pemilik rumah tempat mereka berteduh. Memang, bisa saja Lord Winchester melanjutkan perjalanan menembus hujan yang lebat, tapi ia tidak akan tega membiarkan kusirnya berbasah kuyup selama perjalanan.
Mereka dalam perjalanan pulang dari mengunjungi pasiennya di desa sebelah.
“Terima kasih banyak,” Lord Winchesster mengucapkan sekali lagi.
“Saya yang merasa terhormat, Tuan” Mark, si pemilik rumah, menjawab dengan sopan, merasa sangat terhomat dapat memberi tempat berteduh. Tidak hanya beliu yang seorang Marquess, tapi juga Lord John Winchester adalah dokter yang dulu pernah menolong putranya saat sakit keras yang hampir tak terselamatkan, dan Lord Winchester sama sekali tidak meminta imbalan. Lord Wincehster tidak pernah meminta imbalan akan jasanya kepada para petani karena memang mereka tidak akan mampu membayarnya. Lord Winchester tidak hanya seorang bangsawan yang rendah hati, tapi juga seorang dokter yang dermawan, semua orang menyukainya.
Lord Winchester hanyatersenyum, dan berpamitan
Tapi mereka sangat terkejut saat Caleb membuka pintu dan dikagetkan dengan sosok yang tergeletak di depan pintu dengan tubuh basah kuyup.
“Ya Tuhan!” Caleb terkaget dan melihat sosok itu adalah seorang anak kecil.
Caleb memeriksa anak tersebut yang setengah sadarkan diri. Tubuhnya basah, dan ia terdengar bernafas dengan kesakitan. Keringat membasahi keningnya. “Dia demam, Tuan, dia sakit,” Caleb memberitahukan Tuannya.
“Bawa masuk,” perintah Lord Winchester. “Letakkan dia tempat tidur.”
Lord Winchester segera memeriksa gejala yang terlihat. Tidak ada bintik-bintik atau muntahan, tapi ia terlihat sangat sakit. Ini bukan karena demamnya. Kemudian ia memeriksa paru-parunya dan bagaimana ia bernafas. Sangat berat disertai batuk yang menyakitkan.
“Anak ini terkena radang paru-paru,” Lord Winchesetr menghela nafas. “Ganti pakaiannya dengan yang kering. Sedang apa dia di luar sana?” seraya melirik ke arah pintu.
Mark segera memberikan baju putra untuk dikenakan bocah malang ini.
“Apa mungkin dia pengemis?” Caleb menebak.
“Saya kira bukan, baju yang dipakainya bagus. Coba periksa tasnya.”
Caleb memeriksa isi tas yang dibawa anak ini. “Sepertinya dia sedang dalam perjalanan. Dan dia dari Panti Asuhan St. Peter,” saat ia menemukan seragam da sepucuk surat yang basah. “Sepertinya melarikan diri, Tuan, “ lanjutnya lagi.
“Melarikan diri? mau kemana dia?”
Caleb membaca nama pengirim yang tertera di suratnya “Dublin, Tuan.”
Lord Winchester terkaget, “Irlandia? Tahukah dia betapa jauhnya Dublin itu?” dengan geleng-geleng kepala. “Tapi kalau memang mau ke sana, dia seharusnya pergi ke pelabuhan. Tapi tahukah dia di mana pelabuhan itu?” Lord Winchester terheran. “Tapi, dari manapun dia berasal dan mau kemana dia, sekarang yang pasti dia butuh pertolongan. Kita bawa dia pulang, besok kita hubungi St. Peter.”
“Ya Tuan,” Caleb memasukkan kembali barang-barang ke dalam tas.
“Terima kasih, Mark,” seraya mengendong bocah yang sudah tidak sadarkan diri. Dan dia terkaget betapa ringannya anak ini.
Lord Winchester mendekap bocak sakit ini selam perjalanan pulang di dalam kereta kuda. Ia melihat dan mengamati anak ini yang terlihat sangat kesakitan dan kesulitan bernafas. Anak ini sangat cantik, dan wajahnya menyerupai seseorang yang sangat dirindukannya, seseorang yang dekat dengannya namun harus kehilangannya dengan cepat.
“Dia cantik sekali untuk seorang anak laki-laki, Tuan,” Caleb yang duduk di samping Tuan-nya ikut mengamati bocah ini juga, dan langsung teringat pada seseorang. “Tuan, tidakkah ia terlihat seperti Nona Adeline?”
Lord Winchester terkatup tapi tidak terkejut mendengarnya. Dia tahu Caleb juga akan mengira begitu.
Lord Winchester menghela nafas, “Ya, dia sangat mirip….,” dan merasakan sakit kembali. Kali ini dua kali lipat. Dia harus melihat kembali wajah cantik yang kesakitan untuk kedua kalinya.
“Bertahanlah, Nak, kau harus kuat,” Lord Winchester berdoa dari dalam lubuk hatinya. Bagaimanapun dia tidak ingin kehilangan lagi untuk yang kedua kalinya!
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar