Chapter 16
“Kamu siap untuk pergi, Sam?”
Sam mengangguk pasti dengan tersenyum bahagia, lesung pipitnya begitu menggemaskan.
Dean tak dapat lagi menutupi kebahagiaanya melihat Sam sebahagia ini. Dipeluknya erat adik semata wayangnya.
“Aku sayang kamu, Sam, sangat sayang kamu. Jadi apapun yang aku lakukan pastilah untuk kamu. Kamu percaya kan?”
Sam kembali mengangguk.
“Jangan takut, semua akan baik-baik saja. Ny. Sullivan akan menjaga dan merawat kamu, ya.”
Sam mengangguk percaya.
Semakin dipereratnya pelukannya, ‘Maafkan aku, Sam, tapi percayalah aku sangat sayang kamu.’
Menjelang hari keberangkatannya, Dean telah mendapatkan keputusannya dan semakin yakin dengannya.
Di hari keberangkatan,
“Tidakkah kau lebih baik berpamitan dulu pada ayahmu?” Gabriel sedikit mengingatkan saat hendak berangkat.
Dean terkatup, dan menggeleng lirih.
“Baiklah, terserah kau.”
Sesampainya mereka di pelabuhan. Sam tidak dapat menyembunyikan binar matanya dan takjub. Dia belum pernah melihat kapal sebesar ini, terlebih bermimpi untuk menaikinya. Tapi sekarang dia akan pergi di atasnya.
Sam tersenyum girang dengan terus memegang tangan Dean, terlebih saat mereka menaiki dek kapal tersebut.
Mereka menempati satu kompartemen yang besar dengan dua kamar yang mewah. Gabriel akan menemani Sam, sementara Tn. dan Ny. Sullivan menempati kamar sebelah.
“Kau senang Sam?” Ny. Sullivan menggodanya.
Sam mengangguk pasti, tak lepas tangannya dari kakaknya. Sesekali dia melirik Dean untuk memastikan ini semua bukan mimpi.
Dean hanya mengangguk dan tersenyum. Tak lepas ia memandangi Sam yang berbahagia. ‘Tuhan tahu betapa sayangnya aku pada Sam.’
Saat terdengar suara peluit kapal yang keras, jantung Dean berpacu dengan kencang. Dipandanginya Sam yang takjub dengan pemandangan dari jendela kapal yang berbentuk bulat, dari atas sampai bawah lekat-lekat.
“Sam, aku ke keluar sebentar, ya, aku mau lihat pemandangan dari luar.”
Pegangan tangan Sam langsung menguat.
“Jangan, kamu di sini aja. Aku nggak akan lama, kok. Gab akan nemenin kamu, ya kan, Gab?” alihnya pada Gabriel.
Gabriel mengangguk pasti.
“Ya? sebentar aja. Aku nggak akan ke mana-mana.”
Pegangan Sam masih kuat seperti yang tidak ingin dilepaskan.
“Sammy…” dengan memohon setengah tegas.
Akhirnya perlahan dilepaskan tangan kakaknya.
Dean tersenyum lega, “Aku di luar ya.”
Sam mengangguk.
“Titip Sam, ya,” pada Gabriel.
Gabriel mengangguk pelan.
“Terima kasih, Gab, untuk emuanya.”
Gabriel hanya mengangguk.
Dikecupnya Sam erat-erat sebelum ia keluar.
Dia harus keluar secepatnya. Dia harus cepat turun dari kapal ini. Dia tidak kuat melihat Sam lebih lama lagi, atau dia tidak akan bisa melepaskan Sam.
“Dean…?” Ny. Sullivan dan Tuan, menyambutnya di luar kamar. Wajah mereka tampak sedih.
“Saya titip Sam, Nyonya.”
Catherine terdiam, “Dean…”
“Jangan cemaskan saya. Saya akan baik-baik saja.”
Catherine dan Peter sama-sama terdiam.
“Terima kasih atas kebaikan Tuan dan Nyonya. Kebaikan Nyonya tidak mungkin dapat saya balas. Nyonya terlalu baik.”
“Dean, kami semua sayang kalian.”
“Saya tahu, Nyonya, karena itu saya titip Sam. Saya ingin Sam bahagia.”
“Sam pasti bahagia, Sam akan baik-baik bersama kami” Catherine langsung memeluk erat Dean.
Dean mengangguk percaya. Lalu ia beralih pada Tn. Sullivan.
“Terima kasih, Tuan. Akan saya gunakan uang tersebut sebaik-baiknya.”
Peter mengangguk dengan tersenyum. “Kau bisa ke rumah dan tinggal di sana jika kau mau.”
Dean hanya mengangguk.
*
Karena rasa tidak percayanya, Sam memutuskan untuk melihat ke luar, memastikan Dean masih ada di sini, tak peduli, Gabriel menghalanginya.
Dan betapa leganya ia saat ia melihat Dean sedang bersama Tn. dan Ny. Sullivan.
“Tuh, kan, aku bilang juga apa, Dean nggak akan pergi ke mana-mana,” Gabriel menekankan dengan lega.
Sam hanya tersenyum malu, dan menurut saat diajak masuk kembali.
*
Terdengar kembali peluit kapal memberitahukan kapal akan segera berangkat.
“Dean jaga dirimu baik-baik.”
“Pasti, Nyonya.”
Berat Dean melangkahkan kaki meninggalkan kapal ini. Tapi ia harus.
Catherine kembali memberi pelukan terakhir, sebelum Dean menuruni tangga kapal kembali ke daratan.
Tepat ia kembali menginjak tepi dermaga, tangga kapal ditarik naik dan perlahan-lahan kapal mulai melaju. Dean menarik nafas dalam-dalam mengatasi perih hatinya. Dia telah membuat keputusan terbesar dalam hidupnya. Melepas Sam pergi darinya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Dia sudah membuat Sam pergi, pergi tanpa dirinya. Ayahnya kini lebih membutuhkannya. Tidak peduli bagaimana ayahnya dulu, Dean tidak akan tega meninggalkannya. Bagaimanapun juga dia ayahnya. Sam sudah ada yang menjaganya. Ny. Sullivan akan menjaganya.
Dean membalas lambaian tangan Ny. dan Tn. Sullivan, dengan berusaha menahan air matanya.
*
Sam semakin girang dengan kapal yang mulai bergerak. Dia segera berlari ke luar untuk menyusul Dean dan melihat semuanya dari luar.
Tapi betapa pucatnya dia, tidak lagi melihat Dean bersama Tn. dan Ny. Sullivan. Mereka justru ada di balkon kapal melambaikan tangannya ke bawah.
Ia semakin pucat dengan melihat Dean di bawah sana. ‘Dean nggak ikut! Nggak!’
Refleks dia mencari tangga turun.
“Sam, kau mau ke mana!?” Peter segera mengejarnya.
Dean tercekat dengan Sam di atas, ‘Kacau, Sam melihatku, dan sekarang dia ingin turun”
Peter berusaha menahan Sam yang berontak meminta turun.
“Sam, kau tidak bisa turun lagi. Kapal sudah menjauh dari daratan, sulit untuk mencapainya lagi. Kau tidak bisa ke sana lagi.”
Sam tidak peduli, dia terus memberontak, dan mulai menangis. Sekalinya melihat Sam menangis.
“Sam sayang, Dean tidak meninggalkanmu. Dia hanya menitipkanmu pada kami. Dia ingin kau ikut bersama kami,” Catherine berusaha memberi pengertian. “Dean sayang kamu, Sam. Dia tidak mungkin meninggalkan kamu. Kau pasti akan kembali lagi ke sini.”
Sam tidak mendengar dan terus mengamuk.
Akhirnya petugas membuka pintu, untuk membuktikan jarak kapal dengan pelabuhan.
Sam tersentak dengan air di hadapannya, dan jarak pelabuhan yang semakin menjauh. Belum terlalu jauh, tapi tidak mungkin ia terjun ke air dan berenang ke tepian. Dia sendiri tidak bisa berenang. Dilihatnya Dean di tepian pelabuhan menggelengkan kepalanya, mengartikan “jangan nekat terjun”.
“JAGA DIRI BAIK-BAIK, SAM, AKU MENUNGGUMU DI SINI!! JANGAN TAKUT, SAM, AKU AKAN BAIK-BAIK SAJA!!!!” seruan Dean masih dapat terdengar jelas. Tapi dia tidak mungkin mencapainya. Sam akhirnya hanya bisa menangis.
“AKU SAYANG KAMU, SAAAM!!!! JANGAN LUPAIN AKU!!!”
Sam membalasnya dengan anggukan pasti.
“D..D…” berusaha keras Sam mengeluarkan huruf D yang tertahan di lidahnya. “D…DEEEE…..!!!” akhirnya keluarlah itu sebuah nama yang begitu disayanginya disertai air matanya.
Dean tercekat dengan suara kecil Sam yang memanggilnya. Sam bersuara lagi! Sam memanggil namanya!!! Air mata Dean berurai penuh kebahagiaan dan kepedihan. Tapi ia hanya mengangguk penuh rasa bangga dengan melambaikan tangannya.
Dean menunggu hingga kapal tak terlihat lagi. Ia tak dapat menahan tangisnya. Dia sudah benar-benar melepas Sam.
“Selamat tinggal Sam, jaga diri kamu baik-baik.”
Dengan langkah gontai dia melangkahkan kaki meninggalkan pelabuhan. Dia akan kembali pulang, ke rumah di mana dia tinggal bersama ayahnya. Dia harus mengurus ayahnya.
“Dean!!!” pekikan penuh semangat menyambutnya.
Dean tersenyum melihatnya. Ini juga yang menjadi alasan mengapa dia tidak bisa pergi. Castiel. Dia tidak bisa meninggalkan sahabat setianya ini.
“Dia sudah pergi?”
Dean mengangguk tanpa dapat menyembunyikan kesedihannya. “Dan dia memanggil namaku, Cas, Sam akhirnya memanggil namaku lagi!”
Castiel terkatup. Tak perlu dijelaskan bagaimana ia dapat membaca wajah dan perasaan sahabatnya kini. Dean melepaskan adik kesayangannya untuk selama-lamanya dan juga harus menyimpan kebahagiaan karena Sam akhirnya bersuara lagi, setelah sekian lama ia membisu.
“Jangan takut, Dean, Sam akan baik-baik saja. Mereka akan menjaga dengan baik. Dia akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik,” Castiel mencoba menghiburnya.
“Ya, aku tahu,” dengan menarik nafas lega dan menyeka air matanya.
“Kamu mau langsung pulang?”
Dean mengangguk pelan.
“Dean, kamu yakin dia nggak akan memukulmu lagi?”
“Entahlah. Tapi aku nggak peduli. Terserah dia mau berbuat apa sama aku. Yang penting bukan pada Sam.”
Castiel mengangguk mengerti, dan menemani sahabatnya pulang.
Ada perasaan takut saat Dean berdiri di depan pintu rumahnya.
Setelah menarik nafas dalam-dalam, ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam.
“Aku pulang!” dan terkaget dengan ayahnya duduk di kursi makan.
John tersenyum sinis menyambutnya, “Heah, akhirnya kau pulang, kan?”
Dean tak menyahutnya.
“Mana Sam?”
“Jangan tanya Sammy lagi, dia sudah pergi.”
John terpaku. “Pergi?”
“Ya, Sam ikut dengan mereka, dan papa nggak akan melihatnya lagi untuk waktu yang lama.”
“Kamu membiarkan dia pergi?!”
“Ya! Pergi dari papa. Lepas dari siksa dan pukulan papa!”
“KURANG AJAR!!!!” John penuh emosi bangkit dari duduknya dan melupakan kakinya yang sudah tak berfungsi lagi.
“Papa mau pukul aku? pukul saja!” balas Dean menantang. “Aku nggak peduli. Papa boleh memukulku sesuka hati papa, yang penting bukan Sam!”
John menahan penuh emosi.
“Aku memutuskan untuk tinggal karena papa. Itu juga berarti aku bisa meninggalkan papa kapan pun aku mau!” seraya bergegas naik ke atas.
“BENAR-BENAR KURANG AJAR KAMU!!!”
Dean tidak mempedulikannya. Dia sudah menahan nafas duluan dengan dipan kosongnya. Sam yang biasanya terbaring di sini setelah ia mengeluarkannya dari lemari sana dengan tubuh terluka, sudah tidak ada lagi. Sesak kembali terasa.
Tiba-tiba matanya tertuju pada buku di samping bantal Sam.
‘Buku Sam!’ Astaga, tertinggal!
Diambilnya dan melihat dalamnya. Baru terbaca beberapa halaman. Sam belum sempat membacanya. Dean terpekur penuh penyesalan.
“Maafkan aku, Sam,” didekapnya buku itu dalam-dalam merasakan Sam yang tersisa di sana. Tak dipedulikan teriakan ayahnya memanggilnya marah dari bawah.
“DEAN!!!!”
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar