“SAM!!!!”
Sam langsung terbangun dengan teriakan ayahnya dan segera turun dari tempat tidurnya.
Dean pun mendengar teriakan ayahnya, tapi karena punggungnya masih terasa sakit, ia sulit untuk bangun dan tidak bisa mencegah Sam memenuhi panggilan ayahnya.
Sesaat Dean berusaha menahan sakit dan mencoba untuk bangun, tapi ia segera mendengar suara sabetan keras mengenai sesuatu.
‘Sam!!’
Sekuat tenaga, Dean segera bangun dan turun ke bawah. Benar, ia melihat ayahnya sedang memukul punggung terbuka Sam yang berdiri berpegangan pada tembok dengan sabuk usangnya yang keras. Sam menerimanya tanpa bersuara.
“Hentikan!!” Dean memekik panik. “Jangan pukul dia lagi, pa!”
Tapi ayahnya tidak mendengarnya dan terus memukulnya.
“Jangan…jangan pukul dia…,” air matanya sudah mengalir. “Jangan…”
“Dean, bangun sayang, Dean,” seseorang menepuk-nepuk pipinya berusaha membangunkannya.
“WHOAH!!!” akhirnya Dean dapat membuka mata dan menghentikan mimpi buruknya.
Ditolehnya Lisa yang berada di sampingnya memandang dengan cemas,
“Hanya mimpi buruk, Dean,” ia mencoba menenangkannya.
Dean mengangguk mengatur nafasnya yang memburu.
“Sam lagi?”
Dean hanya mengangguk.
“Kau belum bisa melupakannnya?”
‘Ya Tuhan aku belum bisa melupakannya. Ini sudah 12 tahun!’
“Maafkan aku, Lisa. Aku tidak bisa melupakannya. Setelah pa meninggal, justru aku semakin sering memimpikannya. Mimpi yang sama!”
“Itu karena kau merindukannya.”
Dean terkatup. Ya, dia sangat merindukannya. Dia merindukan Sam!
“Ya, aku rindu dia,” lalu bangkit dan membasuh wajahnya. “Aku sangat merindukannya.”
Lisa hanya terdiam, sangat mengerti perasaan suaminya. Siapa yang tidak rindu bila tidak bertemu dengan satu-satunya adik yang sangat disayangi selama 12 tahun lamanya.
Lisa ikut bangkit dari tempat tidur dan menuju kamar Sammy.
Sesosok bayi mungil yang lucu di dalam boxnya sudah membuka mata menyambutnya.
Diangkatnya dia dari dalam sana.
“Selamat pagi, sayang,” dikecupnya gemas, dan dibawanya keluar.
“Hai, Sam,” Dean yang sudah terlihat lebih segar dari saat ia bangun tadi, menyambut pria kecilnya dan menggendongnya, sementara Lisa melakukan pekerjaan paginya.
Dean memangku Sam kecil dan menimang-nimangnya. Dipandanginya wajah putranya. Begitu mirip dengan Sam. Karena itulah ia memberinya nama Sam. Dan juga, itu yang membuat dia teringat selalu pada Sam yang entah bagaimana dia kabarnya kini. Dia hanya tahu Sam kini sudah menjadi penulis. Ya, Sam yang dulu tidak dapat menulis, sekarang telah menjadi seorang penulis. Ia pun tak pernah absen menulis surat untuknya, menceritakan semuanya, termasuk sekolahnya. Tapi Dean telah memutuskan untuk tidak lagi membalas surat Sam sejak tiga tahun yang lalu. Dean tidak ingin mengganggu kehidupan adiknya. Sam telah berhasil, dan Dean sangat bangga padanya. Keinginannya untuk dapat bertemu lagi terus dipendamnya. Entah sampai kapan.
**
Ribuan mil menyeberang lautan, di daratan Inggris.
“Gabs!!” pekikan setengah panik terdengar tak jauh, bahkan sedikit terdengar meminta bantuan dengan sesekali melambaikan tangannya, tapi tak bisa menghiraukan yang sedang dihadapinya.
Yang memiliki nama segera menengok ke arah sumber suara, dan melihat sosok jangkung yang mencoba melayani para gadis dan para ibu-ibu yang mengerumuninya dengan semangat.
Gabriel Sullivan hanya tersenyum melihatnya dari tempat duduknya. Bagaimanapun juga adiknya itu harus terbiasa dengan perhatian lebih dari para penggemarnya. Mereka sedang menikmati makan siang di sebuah restauran bergaya Prancis, saat Sam tertahan oleh sekumpulan penggemar yang meminta tanda tangan sekembalinya Sam dari kamar kecil.
Gabriel melihat sekaligus mengawasi adiknya itu dari jauh, dengan penuh bangga, kesibukan sang adik yang sedang melayani penggemarnya. Tangannya yang terbalut sarung tangan kulit berwarna hitam, tidak henti-henti menari di atas sampul novelnya yang diulurkan para penggemarnya, mengguratkan tanda tangannya yang apik. Juga kilatan lampu dari blits, menyimpan gambarnya bersama para penggemarnya yang ingin berfoto bersama dengannya.
Penggemarnya? Ya, para pembacanya. Sampai saat ini pun Gabriel masih belum mempercayai adiknya telah mengeluarkan tiga buah novel yang menjadi bestseller di setiap peluncurannya dan menjadi penulis muda favorit, dengan pembaca yang didomaniasi oleh para gadis dan para ibu. Tapi siapa pula yang tidak akan jatuh cinta dengan novel karya Sam Sullivan, yang mengisahkan perjuangan seorang anak untuk keluar dari penderitaan dan siksaan ayahnya. Yah, adiknya secara tidak sengaja telah mengeluarkan novel yang berkisahkan kisah nyata yang dialaminya. Sam telah berani membagi apa yang dialaminya dulu kepada orang lain, setelah sekian lama berusaha ia pendam. Gabriel tidak menyangka kebiasaan Sam menulis jurnal saat sekolah dulu akan menjadi sebuah novel yang apik dan menyentuh hati. Mungkin itu juga yang menjadi terapi untuk Sam untuk bisa menjalani kehidupan normal yang tidak ia dapatkan 12 tahun yang lalu.
12 tahun yang lalu, adiknya hanyalah seorang anak yang terluka luar dalam. Ibunya membawa Sam yang masih berumur 9 tahun keluar dari tanah Amerika, yang secara tidak sengaja ia temukan di tepi jalan dalam keadaan pucat, kurus, tubuh penuh luka, dan tidak berbicara. Nasib buruknya yang selalu menjadi bulan-bulanan ayahnya, menggerakkan hati ibunya untuk membawanya pulang ke Inggris. Ibunya berharap iapun dapat membawa sang kakak untuk turut serta, tapi ternyata sang kakak lebih memilih untuk tetap tinggal dengan ayahnya yang sudah tak berdaya. Dan sejak itu Sam resmi menjadi adiknya, menjadi bagian keluarga Sullvan, dan bernama Sam Sullivan.
Membawa Sam pulang sama seperti membawa pulang anak kucing yang kehilangan induknya. Siksaan yang ia alami bertahun-tahun dari ayahnya cukup membuat emosi dan mental Sam terganggu. Sam tidak berani mengeluarkan suaranya sekecil apapun itu, takut disentuh, dan takut berdekatan dengan orang asing, ia bahkan takut beredekatan dengan laki-laki dewasa. Dia hanya merespon kakaknya, yang merupakan salah besar tidak membawanya serta. Tangisan dan panggilan Sam untuk kakaknya saat mereka dipisahkan di kapal yang akan membawa kami ke Inggris sudah menjadi tanda luka baru bagi Sam. Dan hanya saat itu kami mendengar suara dan melihatnya menangis sebelum mendengarnya kembali 3 tahun kemudian dengan secara perlahan-lahan Sam dapat keluar dari tekanan mental dan emosinya.
Butuh perjuangan berat untuk dapat memperbaiki kerusakan Sam. Bulan-bulan pertama di rumah diisi dengan suara bujukan kepada Sam untuk mau makan, mandi, dan keluar kamar. Dia biasanya akan duduk merapat di tembok tidak mau bergerak sampai Ibunya membujuknya keluar dari zona amannya. Malam haripun terkadang diisi dengan suara gedoran pintu yang meronta meminta keluar kamar saat Sam terkungkung dalam mimpi buruk saat ia terkunci di dalam lemari yang gelap bersama tikus-tikus hitam dan besar. Tak jarang pula Sam akan secara tiba-tiba membungkuk atau mengulurkan tangan dengan posisi siap menerima hukuman setiap saat ia merasa telah melakukan kesalahan. Ayah dan Ibunya akhirnya mendatangkan tutor berkebutuhan khusus untuk mengembalikan kemampuan bicaranya, percaya dirinya, dan memberinya pengetahuan. Tentu ditambah dengan kasih sayang anggota Sullivan yang lain, termasuk enam kakak angkatnya yang sudah terlanjur sayang dengan Sam akan turut berusaha memulihkan keadaannya. Gabriel tidak akan memungkiri sempat ada perasaan cemburu dengan perhatian yang berlebihan kepada Sam meski dia pun turut setuju untuk membawa Sam pulang , tapi lambat laun Gabriel memahami penuh keadaan Sam yang ia sendiri tidak dapat membayangkan bila ia berada di posisi Sam dengan menjalani kehidupan penuh siksaan dan masih harus terkungkung dalam trauma dan mimpi buruk yang berkepanjangan.
Lima tahun adalah waktu yang dibutuhkan untuk Sam dapat beradaptasi dengan dunia barunya dan perlahan mulai menjalani kehidupan normalnya. Terapi jemari tangannya yang sempat hancur akibat ulah ayahnya menjadi terapi yang lama untuk Sam dapat memegang pensil dan menarik benda tersebut untuk membentuk tiga huruf namanya; S.A.M. Dan tiga huruf itu langsung ia kirimkan kepada kakaknya di Amerika sana, yang selanjutnya surat-surat yang tiada henti dikirimkan untuk kakaknya yang berisi seluruh cerita keseharian dirinya yang ia tulis tangan sendiri.
Kehidupan normal Sam juga ditandai dengan siapnya ia masuk ke sekolah umum di tempat Sullivan bersaudara bersekolah. Dan mungkin karena memang Sam adalah anak yang cerdas, ia tidak sulit untuk mengikuti pelajaran di sekolah. Dunianya hanya pelajaran dan jurnalnya. Setiap hari ia akan menulis jurnal hariannya. Hanya Gabriel tidak mengira Sam akan membagi apa yang ia tulis dalam jurnalnya, juga surat-surat yang ia kirim kepada kakaknya di Amerika sana. Yang lebih mengejutkan, Sam pun menulis apa yang ia alami dulu dalam jurnalnya. Dimulai sejak hari pertama ia mengenal rasa sakit dan pukulan. Sam menulisnya dengan sangat detail apa yang ia alami, apa yang ayahnya lakukan padanya, bahkan saat ayahnya memakainya sebagai pemuas nafsu birahinya, dan Dean sama sekali tidak mengetahuinya. Dan bagaimana Dean selalu berusaha untuk melindunginya dari segala pukulan. Semua perasaan yang terpendam saat itu, tertulis semua di sana. Gabriel sempat tidak mengerti mengapa Sam menuliskan semua itu di saat dia ingin keluar dari mimpi buruk tersebut. Tapi Sam menjawabnya dengan tenang, bahwa dia membutuhkan untuk mengeluarkan apa yang tidak bisa ia keluarkan dulu; tangisan, teriakan, dan rasa sakit, dan rasa kecewa akan rasa diabaikan. Sam meyakinkan bahwa itu sama sekali tidak menyakitinya, bahkan sebagai bentuk terapi lain untuknya dapat menyembuhkan diri dari trauma.
Gabriel pun dapat mengerti perasaan dan usaha, juga rasa sayang Dean, sang kakak, untuk melindungi sang adik dari segala apapun yang dapat melukainya, dan tidak mengingkari Deanlah yang menjadi tumpuan Sam untuk bertahan hidup selama menjalani mimpi buruknya, dan Gabriel pun meyakini Sam tidak akan kuat bertahan jika tidak ada Dean. Kini Gabriel berusaha melakukan itu semua. Dia ingin menempatkan dirinya sebagai Dean yang dapat melindungi dan menjaga Sam. Gabriel tidak hanya menjadi sahabat bagi Sam tapi juga sebagai kakak dan pelindung Sam setelah Dean melepasnya.
Selepas menyelesaikan sekolah, Sam mampu melanjutkan ke sebuah universitas ternama dengan jalur beasiswa pada jurusan Bahasa dan Sastra, sementara Gabriel mengambil jurusan Ekonomi. Sam tidak berhenti menulis. Buku jurnalnya telah mencapai 3 buku dan juga menjadi penulis lepas pada surat kabar lokal. Dari sana, Sam pun mengenal orang-orang dari dunia sastra dan penerbitan buku, yang ternyata memunculkan ide yang tidak pernah terbayang sebelumnya oleh Gabriel sendiri; Sam berniat meluncurkan jurnal pribadinya.
Gabriel masih ingat saat Sam mencetuskan niatnya itu.
“Apa, kau ingin menerbitkan jurnalmu?” Gabriel tidak dapat meneyembunyikan rasa terkejut dan herannya.
“Ya, dalam sebuah novel.”
“Kau yakin?”
“Ya!” dengan wajah sumringah penuh semangat, “Pasti menarik. Semua orang orang menyukai cerita cengeng yang menyentuh hati, mereka pasti menyukainya.”
“Tapi itu kan, ceritamu, Sam, cerita hidupmu.”
“Lantas? Tidak ada yang tahu itu ceritaku. Akan kuubah namanya. Tidak akan ada yang mengetahuinya. Dan kalau aku dapat menghasilkan uang dari penjualan bukuku, akan kusumbangkan kepada panti asuhan-panti asuhan. Itu janjiku,” dia tersenyum dengan rencananya.
“Kau yakin, Sam?” Gabriel harus lebih meyakinkan Sam lagi. Tidak akan mudah. Jika Sam meluncurkan bukunya, publik akan bertanya-tanya siapa anak malang yang ada di dalam cerita itu. Apakah memang ada anak malang itu? Apa yang akan Sam lakukan, menceritkan kisah hidupnya kepada dunia?
“Aku yakin 100%. Aku akan mempublikasikan kisahku, dan tidak akan tahu itu aku,” lanjutnya meyakinkan kakak angkatnya.
Dan untuk pertama kalinya secara gamblang, Gabriel melihat Sam telah keluar dari kungkungan traumanya, dan memunculkan sebuah sifat baru yang tidak terbantahkan, betapa keras kepalanya seorang Sam Sullivan.
Gabriel hanya mengangguk setuju.
Untunglah niat Sam didukung penuh oleh orang tua angkatnya dan semua kakaknya. Mereka sudah cukup bangga Sam dapat keluar dari trauma masa kecilnya, dan bila ia mampu menerbitkan buku atas nama dirinya, itu akan menjadi pelengkap dari rasa bangga mereka.
Buku pertama Sam pun diluncurkan, dengan judul ‘‘The Unfortunate Little Thing’ by Sam Sullivan. Dan di luar dugaan, namun seperti yang sudah Sam perkirakan, bukunya meledak di pasaran dan terjual habis. Dalam dua bulan telah terjual 250.000 kopi! Dan masih terus ada permintaan. Semua orang menyukainya, dan menjad penjualan terbaik. Semua orang membicarakan novel ini, terutama para gadis dan ibu-ibu. Mereka mengagumi jalan ceritanya, dan bagaimana sang penulis menuturkannya. Sangat menyentuh! Tidak akan ada menyangkan buku sebagus ini adalah karya seorang pemuda yang masih berusia 18 tahun. Mereka mengira novel ditulis oleh penulis profesional. Yah, itulah bakat yang dimiliki oleh Sam. Dan mereke ingin bertemu dan mengenal sang penulis. Tapi apakah Sam ingin menemui mereka. Jawabannya ya.
Sam menemui pembacanya dan memberi mereka tanda tangan. Para gadis dan ibu-ibu semakin mengagumi sang penulis yang ternyata seorang pemuda yang tinggi, tampan, wajah menggemaskan dengan dua lesung pipit di setiap kali ia tersenyum, cerdas, dan berbudi santun. Mereka semakin menyukainya. Dan saat mereka menanyakan apakan tokoh-tokoh di dalam bukunya nyata? Sam akan menjawabnya, tokohnya hanyalah rakaan dia. Tidak ada yang nyata dari buku yang ia tulis. Para pembaca menerimanya dan tetap menyukainya. Dan untuk menutupi guratan-guratan luka yang menutupi kedua telapak tangannya, Sam mengenakan sarung tangan kulit berwarna hitam, yang juga menjadi ciri khasnya dia.
Dalam enam bulan Sam telah menjadi penulis terkenal dengan novel yang tekenal, dan menjadi permintaan di mana-mana. Tidak hanya di Inggris tapi juga di benua Amerika sana. Semua orang sudah melihat Sam Sullivan sebagai penulis muda berbakat. Dan juga sesuai dengan janjinya dulu Sam membagi setengah dari keseluruhan hasil penjualan buku untuk disumbangkan ke rumah-rumah yatim dan juga kepada siapa saja yang membutuhkan.
Setelah meluncurkan buku pertamanya, Sam meluncurkan buku keduanya di tahun berikutnya, dengan judul ‘Looking for Love’ oleh Sam Sullivan. Dan lagi, publik menyukainya. Juga Tidak diragukan lagi Sam telah menjadi Penulis yang sangat digemari. Kedua orang tuanya semakin bangga dengannya. Tidak akan ada yang menyangkan sang penulis dahulu adalah seorang anak yang rapuh terkungkung dalam trauma yang dilakukan ayahnya, kini telah menjadi penulis berbakat. Dean pun sangat bangga dengan adiknya. Ia masih menulis surat untuk Sam dan Dean mendapatkan kopi pertama di setiap peluncurannya. Dean masih tetap menjadi tempat Sam bertahan, dan ia lega Dean masih bersamanya.
Hanya saja tak lama setelah peluncuran buku keduanya, tiba-tiba Dean memutuskan tidak lagi membalas dan menulis surat pada Sam. Tidak ada surat datang maupun balasan dari surat-surat yang Sam kirimkan sebelumnya. Sam tidak mengerti apa alasan Dean menghentikan suratnya. Ada rasa kecewa di sana, tapi Sam masih berusaha fokus untuk menyelesaikan bukunya yang ketiga sesuai dengan janjinya pada penerbit buku dengan terus memendam rasa perih dan sakit hati merasa diabaikan kembali oleh Dean. Perasaan tidak dicintai oleh Dean bermain di kepala Sam. Dean meninggalkannya lagi, dan Sam tidak suka ditinggalkan. Tapi Gabriel terus meyakinkan bahwa mungkin sesuatu terjadi sehingga surat Dean tak jua sampai. Dan untuk beberapa alasan, Sam menerimanya dan tetap menunggu surat Dean datang.
Tahun berikutnya Sam meluncurkan buku ketiganya berjudul ‘Fortunate Happy Ending,’ yang lagi-lagi terjual habis dan menjadi penjualan terbaik. Tapi kali terasa ada yang kurang saat Dean masih belum juga membalas dan mengirimnya surat. Gabriel meresakan kebahagiaan sam berkurang saat ini. Meski tetap ia tidak menghindari para penggemarnya. Seperti sekarang ini yang merupakan efek dari novel-novelnya, Gabriel menunggu Sam melayani para penggemarnya yang meminta tanda tangan dan foto bersama.
Butuh sekitar 15 menit sampai akhirnya Sam dapat melepaskan diri dari kerumunan para penggemarnya.
Gabriel harus tertawa kecil saat melihat adiknya berlari kecil dengan kaki-kaki panjangnya kembali ke meja dengan wajah lelah namun senang.
“Phuah, akhirnya lepas juga ...,” Sam terkekeh kecil saat ia sudah mendudukkan bokong rampingnya di kursi depan Gabriel, menunjukkan lesung pipitnya yang menggemaskan. “Habis, aku dimakan mereka! Makananku saja belum habis,” selorohnya, seraya meraih garpunya dan menancapkannya ke potongan daging kalkun di atas tumpukan sayur mayur yang tersaji mengundang selera di atas piring mewah.
“Kau juga, bikin buku bagus sekali,” tukas Gabriel.
Sam hanya nyengir, dan mengunyah daging di mulutnya dengan santun.
Gabriel hanya tersenyum dan menikmati steak sandwichnya,
Sam masih mengunyah dagingnya kalkunya dengan penuh rasa nikmat. Tapi tiba-tiba rasa nikmatnya menjadi hambar saat matanya memandangi potongan daging kalkun, juga potongan daging sapi di atas piring yang dinikmati kakaknya.
Gabriel melihat wajah adiknya yang menjadi tak berselera.
“Kenapa?”
Sam menghela nafas, “Tidak apa-apa, hanya tidak pernah membayangkan aku akan dapat menikmati semua ini, di saat dulu aku harus menunggu Dean pulang dengan membawa sepotong roti untukku, karena tidak akan mungkin ‘dia’ memberiku makan.”
Gabriel terkatup dan menghentikan makannya dan memandang adiknya “Roti itupun sepenuhnya untukku, dia belum tentu makan. Dean sudah banyak berkorban untukku. Dia terlalu sayang padaku.”
Gabriel menghela nafas, ‘itu sudah tidak diragukan lagi’ . Gabriel mengangguk setuju.
“Lalu kenapa dia menghentikan suratnya!?” ada penekanan sedih dan kesal di sana. “Ini sudah hampir tiga tahun, Gabs...”
Gabriel menghela nafas, “Mungkin kau harus lebih bersabar menunggu. Pasti Dean akan mengirimu surat, Sam,” dengan menusuk lagi daging steaknya.
Sam meletakkan garpunya. “Aku sudah tidak bisa menunggunya, Gab, aku tidak bisa,” ucapnya yakin.
Gabriel terkatup, “Lantas?” dan dapat membaca ada sesuatu yang muncul tiba-tiba di kepala Sam melalalui matanya yang cerdas tapi juga nekat.
“Aku akan menemui Dean, aku pulang ke Amerika, Gab, aku harus ketemu kakakku,” dengan penuh keyakinan.
Gabriel hampir tersedak mendengarnya. Potongan daging yang ada di mulutnya dan belum termamah benar oleh giginya hampir meluncur ke dalam tenggorokannya tanpa penjagaan. “Hah?”
Tapi mata penuh keyakinan Sam tidak akan mudah meruntuhkan niatnya. Gabriel hanya menelan ludah. Yang ini tidak mungkin tertahankan.
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar