Sabtu, 17 November 2012

Beauty Love Brother - Bagian 29


Rating : K+

Genre : Family

Character : Alec, Ben, Dean, Sam


Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?

ENJOY
Chapter 29

Wellington terpaku sesaat dengan panggilan itu. Ia baru saja menarik nafas, mengontrol dirinya akan keterkagumannya pada permainan piano lady pujaan hatinya, saat suara ayahnya memanggil namanya.

    “Ya, kak?” Wellington langsung menujukkan diri di hadapan orang tuanya.
    “Wellington, berduetlah kau dengan lady cantik ini. Kau pandai bermain piano, jadi mainkan lagu untuk ayahmu ini bersama dia sebagai hadiah ulang tahunku.”
Wellington menelan ludah tak percaya. Ia seperti seorang anak yang baru saja permohonannya dikabulkan oleh peri biru! Jantungnya langsung berdebar kencang. Kakaknya memintanya untuk bermain dengan lady yang sudah menarik hatinya?? Oh, terima kasih Tuhan!
Wellington memandang putri cantik di hadapannya, dan tersenyum manis padanya.
Lady Adeline tertunduk tersipu sesekali membalas pandangan mata sang pangeran.
    “Hamba yakin tidak dapat menandingi kepandaiannya, Ayahanda.”
    “Ah, janganlah begitu, Wellington. Kau pandai bermain piano, dan aku ingin kau bermain dengannya, anakku.”
Wellington menelan ludah, meski iapun ingin duduk bersama dengan Adeline bermain piano.
Wellington mengangguk, “Baiklah ayahanda.” Lalu beralih pada Adeline.
    “Milady, perkenankan saya bermain dengan milady,”
Lady Adeline menahan nafas sesaat, sebelum akhirnya mengangguk sipu.
Wellington tersenyum dengan lega dan duduk di samping sang putri
     “Apa yang akan kita mainkan?” tanya lagi karena tidak tahu mau memainkan lagu apa.
     “Bila itu kehendak Pangeran,” Adeline menjawab dengan sopan.
Wellington tersenyum sumringah mendengar suaranya yang merdu. Sudah cantik, pintar bermain piano, sopan, merdu lagi suaranya; Wellington semakin jatuh hati.
    “Coba kalian mainkan salah satu milik Beethoven,” Jendral Edward mengajukan permintaan.
Keduanya mengangguk, meskipun mereka tidak tahu judul mana yang dimaksud.
Wellington memulainya dengan satu kunci nada, yang langsung dikenal Adeline, dan segera menduetinya bermain.

Mereka memainkan musik milik Beethoven dengan sangat indah. Sekali lagi permainan Lady Adeline memukau semua orang di sana, terlebih didampingi Pangeran Wellington. Jujur belum pernah ada sebelumnya seorang Lady muda yang mampu bermain piano seindah dan semenghanyutkan begitu.
Dan Wellington tak henti-hentinya merasakan jantungnya berdebar sanagt kencang berdekatan dengan Lady Adeline. Wangi parfum begitu lembut di hidungnya. Dari samping, Wellington bisa menikmati wajah cantiknya. Terlihat jelas hidungnya yang mancung, kulit pipinya yang halus, bulu matanya yang lentik, membuatnya tampak sempurna di mata Wellington. Sesekali ia mencuri pandang putri yang begitu menikmati permainan pianonya. Adeline begitu terhanyut dalam pianonya, hingga hanya satu kali Adeline membalas pandangan matanya, dan kembali berkonsentrasi. Wellinton semakin meleleh. Wellington benar-benar sudah jatuh cinta pada lady muda ini. Claudia? Jauh di belakang lady ini!

Riuh tepuk tangan langsung terdengar begitu mereka menyelesaikan permainan mereka. Semua tamu tampak terhibur.

    “Indah sekali, indah sekali,” seru sang jendral puas. “kau harus bermain lagi untukku lain waktu, Nak.”
    “Dengan senang hati, Yang Mulia.”
    “Di mana kau belajar bermain hingga seindah itu, anakku? Siapa gurumu? Pastilah pemusik yang handal, guru musik nomor satu.”
    “Betul sekali, Yang Mulia,” Adeline menyahut dengan sopan.
    “Siapa dia, anakku? Siapa yang mampu mengajarkan permainan piano hingga seindah itu? Di sekolah music mana ia mengajar?”
     “Bukan, Yang Mulia, guru hamba bukan guru sekolah musik. Guru hamba adalah kakak hamba sendiri, Samuel, ” Adeline tersenyum dengan melirik pemuda tinggi yang ada di sebelah Lord Winchester. “Dan dia tidak mengajar di mana-mana.”
    “Oh, ya, dan kau mengambil sekolah musik juga?” sang jendral terheran.
    “Tidak, Yang Mulia, hamba tidak mengambil sekolah musik hamba hanya belajar di rumah.”
     “Wow, mengagumkan. Dan kakakmu, apakah dia mengambil sekolah musik?”
Adelien menengok sesaat pada kakaknya, dan memintanya untuk menjawabnya sendiri.
     “Tidak, Yang Mulia, saya tidak yang mengambil sekolah musik.
     “Oh, berarti memang sudah mengalir di darah kalian, meski saya tidak tahu apakah ayah kalian dapat bermain seindah putranya,” Jendral Edward terkekeh. “Lord Wicnhester, Anda punya gen yang bagus!” serunya dengan tersenyum.
Lord Winchester tersenyum mengangguk menerima pujian Sang Pangeran, “Terima kasih, Yang Mulia, semuanya berkat pemberian Tuhan.”
    “Wellington, undanglah Lady Adeline untuk kelas musikmu bersama Sir Michael.”
Wellington tergugup, ‘durian runtuh lagi, nih’
    “Tentu saja, Ayah...,” Wellington tersenyum dengan senangnya.
Alec menengok ke arah Samuel dengan kebingungan, dan dibalas dengan senyum nakal oleh Samuel.
‘Sama sekali tidak membantu!’ balas Alec.
    “Milady, akan menjadi kehormatan bagi saya, jika Milady dapat bergabung dalam kelas musik saya, setiap sore bersama guru musik saya, Sir Michael,” undang Pangeran muda dengan mata penuh harap.
Alec menela ludah gugup dengan mata penuh harap yang tak dapat ia tolak. Alec mengangguk sopan,
    “Suatu kehormatana bagi saya, Yang mulia, mendapat undangan ini. Dengan senang hati saya menerimanya, terima kasih, yang mulia.”
Wellington menghela nafas penuh kelegaan dan kebahagiaan,
Jendral Edward turut tersenyum bahagia.
    “Baiklah, mari kita lanjutkan. Mainkan musik!” seru sang jendral.

Alunan musik kembali terdengar, dan para tamu pun kembali berdansa berpasangan melanjutkan pestanya; kali ini dengan musik yang lembut menghanyutkan. Tapi tidak dengan Sang pangeran muda, yang masih belum rela melepaskan pandangan matanya dari putri cantik di hadapannya, yang tentu saja membuat Adeline tersipu dan salah tingkah.

Jantung Alec berdetak sangat kencang, merasakan sesuatu yang tidak biasa dari tatapan semua pria padanya. Pangeran Wellington sangat berbeda dengan semua pria yang dikenalnya. Matanya memiliki sesuatu yang menyentuh kalbunya. Tidak, itu tidak boleh terjadi. Tidak boleh terjadi. Alec tahu kodratnya, dan dia tidak boleh membiarkan rasa ini berlanjut.
    “Yang mulia,” Adeline menunduk menghindari sorot mata pangeran muda tampan ini.
Wellington tersenyum renyah, “Panggil saja Wellington, jangan dengan pangeran,” penuh semangat.
Adeline hanya mengangguk anggun, meski merutuk dalam hati, ‘gawat, kalau pangeran minta dipanggil nama saja.’

Dean menangkap kegelisahan mata Alec dari tatapan mata mematikan sang pangeran muda. Ia harus segera menyelamatkannya.
Dean langsung menghampirinya mereka.

    “Mohon maaf, Yang Mulia, izinkan saya berdansa dengan adik saya,” pinta Dean dengan sopan dan penuh wibawa.
Wellington tersadar dengan suara yang masuk di sampingnya. Ada rasa kesal, seseorang menganggunya, tapi begitu mengetahui orang tersebut adalah sang kakak, Wellington tak dapar berbuat apa-apa, ia akan sangat menghormati hubungan keluarga.
Wellington menarik nafas gusar, “Ya, tentu saja, Tuan,”
Dean tersenyum tanpa rasa bersalah.
Wellington kembali pada Adeline, “Mungkin lain kali saya bisa mengajakmu berdansa?”
Alec mengangguk, “Tentu Yang Mulia,” dengan tersenyum manisnya.
Wellington tersenyum senang. Ia meminta tangan Adeline, dan mengecupnya,
    “Senang bertemu denganmu, Milady,”
 Alec menganguk, “Kehormatan bagi hamba dapat bertemu dengan Yang Mulia.”
    “Kita bertemu lagi, besok.”
Alec mengangguk.
Wellington mengangguk tersenyum, dan beralih pada Young Lord Winchester, “Silahkan.”
Dean mengangguk sopan, “Terima kasih, Yang Mulia,” dengan meminta tangan Alec, dan dengan senang hati Alec menerimanya.

Dean menarik Alec ke tengah ballroom, dan mereka berdansa dengan hangat.
   “Terima kasih, Kak,” Alec menghela nafas lega, di pelukan kakaknya. Begitu aman dan nyaman berada di pelukan ini.
Dean hanya tersenyum, “Dia jatuh hati padamu.”
    “Aku tahu,” sahutnya lirih dan merapatkan pelukannya, seakan mencari perlindungan di sana.
Dean menghela nafas dan semakin erat berdansa.

Wellington memperhatikan dari jauh, kerapatan Young Lord Winchester dengan Lady Adeline, lebih mirip sepasang kekasih dibandingkan kakak beradik.

   “Harap maklum, Yang Mulia, kakak kami memiliki syndrom Sister’s Possesive Protection tingkat tinggi,” ucap Samuel di samping Sang Pangeran memberanikan diri.
Wellington mengangguk mengerti, “Tidak akan heran jika memiliki adik secantik Adeline.”
Samuel hanya mengangguk.
Wellington menoleh kepada sang kakak yang tinggi badannya jauh melebihi dirinya dan lebih mirip sebagai seorang pengawal, “Dan apakah kau juga?”
Samuel tersenyum nakal, “Dua kali lipat, Yang Mulia.”
Wellington harus tersenyum geli, sudah dapat ditebaknya.

    “Samuel ?
Samuel mendongak dengan suara panggilan ayahnya. “Ya Papa?” melihat ayahnya tengah bersama salah seorang koleganya.
   “Mari sini,”
Samuel mengangguk, “Permisi Yang Mulia,” dan menuju tempat ayahnya berada.

Lord Winchester tersenyum bangga dengan kedatangan putranya.
     “Ini putraku, Samuel, ia baru saja kembali dari Boston,” John memperkenalkan putranya kepada  kawan dekatnya. “Samuel, ini Sir Albert Johnson, pendiri Firma Hukum Johnson&Partner.”
Samuel langsung tersenyum sumringah dengan kata ‘Firma Hukum Johnson&Partner’, siapa yang tidak kenal firma hukum yang satu ini; firma yang berkonsentrasi pada hukum masyarakat, seluruh kalangan masyarakat.
    “Tuan...,” Samuel menghormat anggun dan menjabat tangan pria yang usianya terlihat lebih tua daripada ayahnya
    “Samuel Winchester, tidak diragukan lagi,kau menuruni wajah ayahmu, nak,” Albert Johnson dengan tersenyum takjub.
Samuel harus tersenyum bangga. “Terima kasih, Tuan.” Dia senang sekali kalau ada yang mengatakan wajahnya mirip ayahnya.
John pun tersenyum, memang tidak bisa dipungkiri, Samuel memang mirip dengannya, sementara Dean, menuruni  wajah Mary.
    “Kudengar kau mengambil jurusan hukum, nak?”   
    “Benar sekali, Tuan,” Samuel menjawab dengan penuh kebanggaan.
    “Bidang konsentrasi apa?”
    “Hukum Masyarakat, Tuan.”
Albert Johnson  tersenyum, “Menarik sekali. Sudah ada rencana untuk membuka firma sendiri.?”
Samuel tersipu, “Ada niat seperti itu, Tuan,  tapi mungkin saya masih harus banyak belajar, pengalaman saya masih nol,” dengan sangat jujur.
Albert Johson tertawa, “Kau sangat merendah, lain daripada yang lain, saya suka itu. Bagaimana prestasimu di sekolah?”
    “Honored, Tuan,” Samuel menjawab dengan apa adanya.
Albert Johnson tersenyum semakin tertarik.  “Tertarik untuk bergabung bersama kami, sampai kau merasa siap  untuk berdiri sendiri?” tawarnya langsung.
Samuel terhenyak tak percaya. Senyum senangnya langsung tersungging dengan indahnya. Diliriknya ayahnya yang juga tersenyum mengangguk mendukung.

...........................................


***

Di saat yang sama di sebuah motel murah sekaligus bar lokal bernama ‘Charlie’s, sebuah kelompok musik bernama ‘The Singer’s’ sedang memainkan pertunjukan mereka. Ada beban dan perasaan campur aduk saat mereka memainkannya; antara senang, semangat gugup, dan harap-harap cemas. Ini kali mereka bermain  di tanah harapan ini. Hari pertama mereka tiba di sini, Dewi Fortuna sudah hingga pada mereka, meski sempat membuat mereka patah arang, karena sulit mendapatkan tempat menginap yang sangat murah. Namun saat tengah hari, sang ketua mendapatkan tempat menginap yang sangat murah untuk mereka, iapun mendapatkan kesempatan untuk mereka menujukkan kemampuan mereka pada malam hari. Jika mereka dapat memuaskan pengunjung, mereka akan mendapatkan setengah harga untuk harga kamar perharinya. Kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. Sang ketua, langsung memberi semangat untuk anak-anaknya dapat bermain bagus. Dan itu yang dilakukan Ben saat ini. Ia bernyanyi dan bermain musik sebagus mungkin dengan flute dan Godram yang menjadi keahliannnya. Ia tidak akan mengecewakan bosnya yang sudah susah payah mencarikan mereka tempat menginap dan mereka untuk bermain sebagai mata pencaharian mereka.

Ben bermain dengan bagusnya. Ia bernyanyi serta memainkan musik dengan sangat lepas dan begitu menikmatinya, seakan saat ia berada di atas panggung, beban di pundaknya terlepas Dan pengunjungmu terlihat sangat menikmati permainan pertunjukkan mereka. Tak sekali pengunjung yang maju ke tengah untuk menari berpasangan diiringi hentak musik dari tanah Irlandia yang ceria, menghibur para pengunjung bar. Ben semakin menikmati permainnya.  Sesekali ia melirik adiknya yang duduk pinggir panggung dengan tersenyum bahagia tak lepas dari mata pengawasannya. Marielle membalas dengan senyum cerianya menyemangati permainan sang kakak. Bermain bagus untuk ‘The Singer’s’ sudah menjadi kewajibannya Ben sebagai balas budi yang telah menolong dirinya dan adiknya dari kehidupan yang memburuk.

****

Kediaman Lord Winchester.

Alec tak dapat menahan untuk menghela nafas lega begitu mereka tiba di rumah. Perasaannya campur aduk selama ia berada di pesta tadi, terlebih dengan sang pangeran yang masih juga tak lepas memandangnya meski ia sudah bersama Dean. Sang pangeran benar-benar jatuh hati padanya, dan dia harus segera keluar dari rumah itu, menarik nafas menangkan diri dari mata yang mematikan itu. Dan berada di rumah benar-benar menyelamatkannya.  Dan untung saja, Lady Mary sudah pergi tidur saat mereka tiba di rumah, atau kalau tidak, Milady akan bertanya tentang pesta tadi. Kalaupun ingin bercerita, jangan malam ini, Alec cukup letih untuk mengendalikan perasaannya. Dan ia cukup lega kedua kakaknya tidak terlalu menggodanya karena kejelasan Sang Pangeran yang sudah jatuh hati padanya.

   “Ini bencana, kak,” ucap Alec tak tahan lagi saat Samuel dan Dean mengantarkannya ke kamar.
   “Yup,” Samuel mengangguk pasti.
   “Jangan salahkan aku...,”
   “Tidak ada yang menyalahkanmu, sayang.” sesal Dean.
Ketiganya terdiam.
    “Aku letih, kak, aku mau berganti pakaian dan segera istirahat...,” ucap Alec lirih.
Dean dan Samuel mengangguk. “Istirahatlah.” Mereka mengecup kening Alec sebelum keluar dari kamar Alec.

Alec menarik nafas dalam-dalam begitu kedua kakaknya keluar dari kamar. Mendapat hati sang pangeran sangat jauh dari perkiraannya, tapi bukan hal yang tidak mungkin. Dan dan tahu ini akan terjadi.
Ia menengok Nana-nya yang sudah menunggu dengan tersenyum untuk membantunya berganti pakaian. Alec hanya tersenyum pasrah.

     “Nona pantas mendapatkannya,” ucap Emma.
     “Tentu saja, kalau aku seorang perempuan, akan sangat indah, Nana,” desah Alec.
Emma tersenyum perih, dan mulai menggantikan pakaian nona mudanya tanpa berucap lagi.

****

Lord Winchester naik ke peraduan perlahan-lahan tidak ingin mengganggu lelap tidur istri tercintanya. Namun tetap membuatnya terbangun.

   “John....kau sudah pulang?” Mary berbalik memandang suaminya.
   “Yea, kami sudah pulang, sayang,” seraya mengecup Mary.
   “Bagaimana pestanya?”
   “Menyenangkan. Dan putri kecil kita didaulat untuk bermain piano bersama pangeran muda.”
Marry terbelalak kagum, “Benarkah?”
    “Yup, mereka mengagumi permainan putri kita.”
    “Tidak mengherankan, John, putri kita memang sangat berbakat.”
John harus tersenyum perih, “Yeah. Dan putra kita, Samuel, akan bergabung dengan firma hukum milik Sir Albert Johnson.”
Mary langsung tersenyum, “Sir Albert Johnson? Syukurlah, Albert seorang yang baik. Putra kita sangat beruntung,”
    “Yeah,” John tersenyum seraya menarik lembut tubuh ringkih istrinya ke dalam pelukannya.
Mary memeluk hangat suaminya, “Adeline, putri emas kita , aku sangat bersyukur dia selalu dalam keadaan sehat,” dan perlahan tertidur lelap di pelukan suaminya
John terkatup mendengarnya. Ia menghela nafas,  “Yeah, aku juga,” sekuat tenaga ia menahan perasaan bersalahnya, ’maafkan aku, Mary.’

****

    “Ma...mama...”
Ben langsung terbangun dengan igauan lirih di sampingnya. Ditengoknya adiknya yang sedang tidur terperangkap dalam mimpinya. Ben langsung mengusap-usap pungggung adiknya untuk menenangkannya dengan sebuah nyanyian yang selalu ia nyanyikan untuk adiknya. Tidak sekali ini Marielle menggigau seperti ini, terlebih setelah kedua orang tua mereka meninggal. Mary merindukan mama. Ben perih merasakannya, Mary terlalu kecil untuk merasakan kehilangan seorang ibu, di saat telah mengenal kasih sayang dan kelembutan seorang ibu. Lebih beruntung dirinya dan Alec, yang telah kehilang kasih-sayang seorang ibu sejak mereka bayi, sehingga tidak terlalu perih dirasakan saat kehilangannya - bisa dikatakan ‘Kau tidak akan kehilangan sesuatu yang tidak pernah kau miliki’.  Tapi tidak untuk Mary, Mary terlahir dengan merasakan kesempurnaan kasih sayang sebuah  keluarga lengkap. Karenanya Ben berusaha keras untuk dapat menggantikan kasih-sayang yang hilang untuk adiknya ini, dan membuat semuanya tampak normal dengan seluruh kemampuannya, meski berat dirasakannya.
   “Just close your eyes, and make a wish for it comes true. Just close your eyes and don’t you worry, cos I’ll be right here with you. Keep you warm and safe. Just close your eyes…,” Ben bernyanyi lirih dengan mendekap hangat tubuh adiknya. Perlahan Mary dapat kembali tertidur pulas di dalam pelukannya kakak tersayangnya.
Ben menarik nafas dalam-dalam disertai doa dan harapan untuk semuanya dapat berjalan dengan baik dan Mary dapat melalui kerinduannya pada mama. Ben tersenyum sendiri setelah tadi ia mampu menghibur pengunjung dan meyakinkan pemilik motel bahwa mereka layak untuk bermain setiap malamnya, Ben dapat memejamkan dengan bahagia, terlebih dengan keyakinan hidup di sini akan berjalan dengan baik, untuk Mary. Mudah-mudahan. Ben masih belum mempercayainya dia kini telah berada di Amerika, hanya berdua bersama Marrielle tanpa kedua orang tua mereka. Tapi takdir yang memisahkan mereka. Ben tidak ingin menyalahkan siapa-siapa, terlebih menyalahkan Tuhan, karena ia yakin ini adalah bentuk hukuman dari Tuhan karena ia telah meninggalkan Ben, dan ia harus menerimanya.
Hingga kini Ben masih sedikit sulit menerima kenyataan bahwa kedua orang tuanya telah meninggal, dan kebahagiaan mereka tidak bertahan lama setelah kelahiran Mary. Semua bagaikan mimpi saat tiba-tiba iklim negara mereka tidak mendukung lahan pertanian mereka dan menggagalkan seluruh panen warga. Tidak ada yang selamat, tidak ada yang dapat dijual. Keluarga mereka kehilangan mata pencaharian utama. Dengan terpaksa ayahnya menerima pekerjaan di penambangan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Pekerjaan yang cukup berat untuk seorang petani. Ben sangat ingin membantu ayahnya, tapi tidak pernah diizinkan oleh ayahnya, karena usianya masih sangat muda untuk bekerja di dalam perut bumi.  Namun akhirnya Ben pun harus masuk menggantikan ayahnya karena secara tiba-tiba ayahnya meninggal saat menjalankan tugas. Paru-parunya tidak cukup kuat untuk menahan terjangan hawa batu bara. Meski berat dan tahu resikonya, Ben langsung menggantikan ayah sebagai penopang tulang punggung ayahnya, dan satu-satunya pekerjaan yang dapat membuat mereka bertahan hidup hanyalah sebagai penambang batu bara. Kemampuannya bernyanyi tidak dapat menghasilkan uang, karena semuanya kesulitan hidup akibat gagal panen. Dan itu menjadi sebuah siksaan untuk anak berumur 14 tahun. Bekerja 12 jam di dalam perut bumi dan keluar dengan tubuh luluh lantak, penuh luka dan memar dan wajah yang menghitam akibat jelaga batu bara. Tapi Ben bertahan dan kuat untuk keluarganya, ia harus kuat untuk ibu dan adiknya. Hampir setahun lamanya ia bekerja sebagai penambang dengan upah yang kecil. Ben sering mendapati ibunya menangis dan meminta maaf karena telah tidak dapat memberi hidup yang layak untuk Ben. Tapi Ben tidak menyesalinya, ia cukup bahagia memiliki ayah, ibu dan adik. Namun kemalangan tidak berhenti sampai di situ, saat ibunya terkena wabah tuberculoses yang mulai menyerang lingkungannya, dan hanya bertahan selama 3 bulan. Ben cukup terpukul dengan kepergian ibu angkatnya. Untuk kedua kalinya Ben merasakan ditinggalkan kedua orang tuanya, namun mungkin ini yang terberat karena ia melihat sendiri kepergian mereka dan menitipkan Mary padanya. Ia sempat larut, kalut dalam kebingungan, menerima kenyataan ia kini hanya berdua bersama adiknya yang masih berumur 4 tahun, dan ia tahu, ia tidak mungkin bekerja di penambangan lagi, resiko yang diambil akan sangat besar. Akhirnya ia memberanikan diri untuk keluar dari kampung halamannya, dan mencoba peruntungannya. Nasib mujur mempertemukannya dengan Robert Singer, seorang yang baik, yang memiliki kelompok musik jalanan yang mau menerimanya sebagai anggotanya. Tuan Singer yang tidak memiliki putra langsung menganggap Ben dan Mary sebagai putra yang tidak ia miliki. Dan sejak itu, Ben ikut kemana pun Bobby Singer membawanya. Dan ia yakin Bobby Singer lebih dari dewa penolongnya karena telah membawanya kembali ke tanah Amerika ini, dan memberi kesempatan untuk bertemu lagi dengan adiknya yang lain, saudara kembarnya. Mungkin besok ia harus mengunjungi St Peter,mudah-mudah ia masih ingat alamatnya. Sudah berapa tahun? Enam tahun?
    “Hush…don’t you worry now, just close your eyes and you’ll see the stars. They will lead you to heaven, where the happiness will around you.’
   “Just close your eyes, and make a wish for it comes true. Just close your eyes and don’t you worry, cos I’ll be right here with you. Keep you warm and safe. Just close your eyes…
Ben menarik nafas dalam-dalam. Air matanya menetes perlahan. Setiap kali ia menyanyikan ini, semakin besar rasa rindunya pada Alec. ‘Alec, dimanakah kamu kini? Sehatkah kamu? Bahagiakah kamu? Semoga kamu selalu bahagia bersama keluarga angkatmu. Aku ingin bertemu kamu, Alec, ingin sekali. Aku akan segera menemukanmu, Alec, dan mudah-mudahan kamu masih mau bertemu denganku dan memaafkanku.’
Ben menyeka air matanya, dan semakin mendekap Mary, ‘Alec, kuharap kamu mau berbagi kalung perlindungan kita untuk selalu juga melindungi Mary, dia adik kita juga. Alec,aku sangat rindu kamu Dikecupnya dalam-dalam kening Mary, “Besok kita main ke ‘St. Peter’,  Mary...” sebelum memejamkan mata menyusul adiknya ke alam mimpi.

*

‘Alec,aku sangat rindu kamu’
Alec langsung terbangun dengan ucapan yang terlintas di alam mimpinya. ‘BEN!’ Alec mengerjap-ngerjap matanya dengan jantung berdebar.
Kembali terngiang di kepalanya ucapan di dalam mimpinya, ‘Alec, kuharap kau mau berbagi kalung perlindungan kita untuk selalu juga melindungi Mary, dia adik kita juga. Alec,aku sangat rindu kamu ‘Kalung?’
 Alec langsung bangkit dari tempat tidur dan menuju meja riasnya. Diambilnya kotak perhiasan yang ia pisahkan dengan kotak perhiasaan lainnya.
Dibukanya dan diambilnya kalung dengan dua liontin yang masih menggantung di sana; bertuliskan ‘Ben’ dan ‘Alec’
‘Alec,aku sangat rindu kamu’ Alec menarik nafas dalam-dalam perih, dan dikecupnya kalung tersebut ‘Ben, aku juga rindu. Aku ingin bertemu kamu. Tapi masih maukah kamu bertemu dengan diriku dalam wujudku yang seperti ini?

TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar