Rating : K+
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
ENJOY
Wellington terpaku sesaat dengan panggilan
itu. Ia baru saja menarik nafas, mengontrol dirinya akan keterkagumannya pada
permainan piano lady pujaan hatinya, saat suara ayahnya memanggil namanya.
“Ya, kak?”
Wellington langsung menujukkan diri di hadapan orang tuanya.
“Wellington, berduetlah kau dengan lady cantik ini. Kau pandai bermain
piano, jadi mainkan lagu untuk ayahmu ini bersama dia sebagai hadiah ulang
tahunku.”
Wellington menelan ludah tak percaya. Ia
seperti seorang anak yang baru saja permohonannya dikabulkan oleh peri biru!
Jantungnya langsung berdebar kencang. Kakaknya memintanya untuk
bermain dengan lady yang sudah menarik hatinya?? Oh, terima kasih Tuhan!
Wellington memandang putri cantik di
hadapannya, dan tersenyum manis padanya.
Lady Adeline tertunduk tersipu sesekali
membalas pandangan mata sang pangeran.
“Hamba yakin tidak dapat menandingi kepandaiannya, Ayahanda.”
“Ah, janganlah begitu, Wellington. Kau pandai bermain piano, dan aku
ingin kau bermain dengannya, anakku.”
Wellington menelan ludah, meski iapun ingin
duduk bersama dengan Adeline bermain piano.
Wellington mengangguk, “Baiklah ayahanda.”
Lalu beralih pada Adeline.
“Milady, perkenankan saya bermain dengan milady,”
Lady Adeline menahan nafas sesaat, sebelum
akhirnya mengangguk sipu.
Wellington tersenyum dengan lega dan duduk
di samping sang putri
“Apa yang akan kita mainkan?” tanya lagi karena tidak tahu mau memainkan
lagu apa.
“Bila itu kehendak
Pangeran,”
Adeline menjawab dengan sopan.
Wellington tersenyum sumringah mendengar
suaranya yang merdu. Sudah cantik, pintar bermain piano, sopan, merdu lagi
suaranya; Wellington semakin jatuh hati.
“Coba kalian mainkan salah satu milik Beethoven,” Jendral Edward
mengajukan permintaan.
Keduanya mengangguk, meskipun mereka tidak
tahu judul mana yang dimaksud.
Wellington memulainya dengan satu kunci
nada, yang langsung dikenal Adeline, dan segera menduetinya bermain.
Mereka memainkan musik
milik Beethoven dengan sangat indah. Sekali lagi permainan Lady Adeline memukau
semua orang di sana, terlebih didampingi Pangeran Wellington. Jujur belum
pernah ada sebelumnya seorang Lady muda yang mampu bermain piano seindah dan
semenghanyutkan begitu.
Dan Wellington tak henti-hentinya merasakan
jantungnya berdebar sanagt kencang berdekatan dengan Lady Adeline. Wangi parfum
begitu lembut di hidungnya. Dari samping, Wellington bisa menikmati wajah cantiknya.
Terlihat jelas hidungnya yang mancung, kulit pipinya yang halus, bulu matanya
yang lentik, membuatnya tampak sempurna di mata Wellington. Sesekali ia mencuri
pandang putri yang begitu menikmati permainan pianonya. Adeline begitu
terhanyut dalam pianonya, hingga hanya satu kali Adeline
membalas pandangan matanya, dan kembali berkonsentrasi. Wellinton semakin
meleleh. Wellington benar-benar sudah jatuh cinta pada lady muda ini. Claudia?
Jauh di belakang lady ini!
Riuh tepuk tangan langsung terdengar begitu
mereka menyelesaikan permainan mereka. Semua tamu tampak terhibur.
“Indah
sekali, indah sekali,” seru sang jendral puas. “kau harus bermain lagi untukku
lain waktu, Nak.”
“Dengan
senang hati, Yang Mulia.”
“Di
mana kau belajar bermain hingga seindah itu, anakku? Siapa gurumu? Pastilah
pemusik yang handal, guru musik nomor satu.”
“Betul sekali, Yang Mulia,” Adeline menyahut dengan sopan.
“Siapa dia, anakku? Siapa yang mampu mengajarkan permainan piano hingga
seindah itu? Di sekolah music mana ia mengajar?”
“Bukan, Yang Mulia, guru hamba bukan guru sekolah musik.
Guru hamba adalah kakak hamba sendiri, Samuel, ” Adeline tersenyum dengan
melirik pemuda tinggi yang ada di sebelah Lord Winchester. “Dan dia tidak
mengajar di mana-mana.”
“Oh, ya, dan kau mengambil sekolah musik
juga?” sang jendral terheran.
“Tidak, Yang Mulia, hamba tidak mengambil sekolah musik
hamba hanya belajar di rumah.”
“Wow, mengagumkan. Dan kakakmu, apakah dia mengambil sekolah musik?”
Adelien menengok sesaat pada kakaknya, dan
memintanya untuk menjawabnya sendiri.
“Tidak,
Yang Mulia, saya tidak yang mengambil sekolah musik.
“Oh, berarti memang sudah mengalir di darah
kalian, meski saya tidak tahu apakah ayah kalian dapat bermain seindah
putranya,” Jendral Edward terkekeh. “Lord Wicnhester, Anda punya gen yang
bagus!” serunya dengan tersenyum.
Lord Winchester tersenyum mengangguk
menerima pujian Sang Pangeran, “Terima kasih, Yang Mulia, semuanya berkat pemberian
Tuhan.”
“Wellington, undanglah Lady Adeline untuk
kelas musikmu bersama Sir Michael.”
Wellington
tergugup, ‘durian runtuh lagi, nih’
“Tentu saja, Ayah...,” Wellington tersenyum
dengan senangnya.
Alec menengok
ke arah Samuel dengan kebingungan, dan dibalas dengan senyum nakal oleh Samuel.
‘Sama sekali
tidak membantu!’ balas Alec.
“Milady, akan menjadi kehormatan bagi saya,
jika Milady dapat bergabung dalam kelas musik saya, setiap sore bersama guru
musik saya, Sir Michael,” undang Pangeran muda dengan mata penuh harap.
Alec menela
ludah gugup dengan mata penuh harap yang tak dapat ia tolak. Alec mengangguk
sopan,
“Suatu kehormatana bagi saya, Yang mulia,
mendapat undangan ini. Dengan senang hati saya menerimanya, terima kasih, yang
mulia.”
Wellington
menghela nafas penuh kelegaan dan kebahagiaan,
Jendral Edward
turut tersenyum bahagia.
“Baiklah, mari kita lanjutkan. Mainkan
musik!” seru sang jendral.
Alunan musik
kembali terdengar, dan para tamu pun kembali berdansa berpasangan melanjutkan
pestanya; kali ini dengan musik yang lembut menghanyutkan. Tapi tidak dengan Sang
pangeran muda, yang masih belum rela melepaskan pandangan matanya dari putri
cantik di hadapannya, yang tentu saja membuat Adeline tersipu dan salah
tingkah.
Jantung Alec
berdetak sangat kencang, merasakan sesuatu yang tidak biasa dari tatapan semua
pria padanya. Pangeran Wellington sangat berbeda dengan semua pria yang
dikenalnya. Matanya memiliki sesuatu yang menyentuh kalbunya. Tidak, itu tidak
boleh terjadi. Tidak boleh terjadi. Alec tahu kodratnya, dan dia tidak boleh
membiarkan rasa ini berlanjut.
“Yang mulia,” Adeline menunduk menghindari
sorot mata pangeran muda tampan ini.
Wellington tersenyum
renyah, “Panggil saja Wellington, jangan dengan pangeran,” penuh semangat.
Adeline hanya
mengangguk anggun, meski merutuk dalam hati, ‘gawat, kalau pangeran minta
dipanggil nama saja.’
Dean menangkap kegelisahan
mata Alec dari tatapan mata mematikan sang pangeran muda. Ia harus segera menyelamatkannya.
Dean langsung
menghampirinya mereka.
“Mohon maaf, Yang Mulia, izinkan saya
berdansa dengan adik saya,” pinta Dean dengan sopan dan penuh wibawa.
Wellington
tersadar dengan suara yang masuk di sampingnya. Ada rasa kesal, seseorang
menganggunya, tapi begitu mengetahui orang tersebut adalah sang kakak,
Wellington tak dapar berbuat apa-apa, ia akan sangat menghormati hubungan
keluarga.
Wellington
menarik nafas gusar, “Ya, tentu saja, Tuan,”
Dean tersenyum
tanpa rasa bersalah.
Wellington
kembali pada Adeline, “Mungkin lain kali saya bisa mengajakmu berdansa?”
Alec mengangguk,
“Tentu Yang Mulia,” dengan tersenyum manisnya.
Wellington
tersenyum senang. Ia meminta tangan Adeline, dan mengecupnya,
“Senang bertemu denganmu, Milady,”
Alec menganguk, “Kehormatan bagi hamba dapat
bertemu dengan Yang Mulia.”
“Kita bertemu lagi, besok.”
Alec
mengangguk.
Wellington
mengangguk tersenyum, dan beralih pada Young Lord Winchester, “Silahkan.”
Dean mengangguk
sopan, “Terima kasih, Yang Mulia,” dengan meminta tangan Alec, dan dengan
senang hati Alec menerimanya.
Dean menarik
Alec ke tengah ballroom, dan mereka berdansa dengan hangat.
“Terima kasih, Kak,” Alec menghela nafas
lega, di pelukan kakaknya. Begitu aman dan nyaman berada di pelukan ini.
Dean hanya
tersenyum, “Dia jatuh hati padamu.”
“Aku tahu,” sahutnya lirih dan merapatkan
pelukannya, seakan mencari perlindungan di sana.
Dean menghela
nafas dan semakin erat berdansa.
Wellington
memperhatikan dari jauh, kerapatan Young Lord Winchester dengan Lady Adeline,
lebih mirip sepasang kekasih dibandingkan kakak beradik.
“Harap maklum, Yang Mulia, kakak kami
memiliki syndrom Sister’s Possesive Protection tingkat tinggi,” ucap Samuel di
samping Sang Pangeran memberanikan diri.
Wellington
mengangguk mengerti, “Tidak akan heran jika memiliki adik secantik Adeline.”
Samuel hanya
mengangguk.
Wellington
menoleh kepada sang kakak yang tinggi badannya jauh melebihi dirinya dan lebih
mirip sebagai seorang pengawal, “Dan apakah kau juga?”
Samuel
tersenyum nakal, “Dua kali lipat, Yang Mulia.”
Wellington
harus tersenyum geli, sudah dapat ditebaknya.
“Samuel ?
Samuel
mendongak dengan suara panggilan ayahnya. “Ya Papa?” melihat ayahnya tengah
bersama salah seorang koleganya.
“Mari sini,”
Samuel
mengangguk, “Permisi Yang Mulia,” dan menuju tempat ayahnya berada.
Lord Winchester
tersenyum bangga dengan kedatangan putranya.
“Ini putraku, Samuel, ia baru saja kembali
dari Boston,” John memperkenalkan putranya kepada kawan dekatnya. “Samuel, ini Sir Albert
Johnson, pendiri Firma Hukum Johnson&Partner.”
Samuel langsung
tersenyum sumringah dengan kata ‘Firma Hukum Johnson&Partner’, siapa yang
tidak kenal firma hukum yang satu ini; firma yang berkonsentrasi pada hukum
masyarakat, seluruh kalangan masyarakat.
“Tuan...,” Samuel menghormat anggun dan menjabat
tangan pria yang usianya terlihat lebih tua daripada ayahnya
“Samuel Winchester, tidak diragukan
lagi,kau menuruni wajah ayahmu, nak,” Albert Johnson dengan tersenyum takjub.
Samuel harus
tersenyum bangga. “Terima kasih, Tuan.” Dia senang sekali kalau ada yang
mengatakan wajahnya mirip ayahnya.
John pun
tersenyum, memang tidak bisa dipungkiri, Samuel memang mirip dengannya,
sementara Dean, menuruni wajah Mary.
“Kudengar kau mengambil jurusan hukum,
nak?”
“Benar sekali, Tuan,” Samuel menjawab
dengan penuh kebanggaan.
“Bidang konsentrasi apa?”
“Hukum Masyarakat, Tuan.”
Albert
Johnson tersenyum, “Menarik sekali.
Sudah ada rencana untuk membuka firma sendiri.?”
Samuel tersipu,
“Ada niat seperti itu, Tuan, tapi
mungkin saya masih harus banyak belajar, pengalaman saya masih nol,” dengan
sangat jujur.
Albert Johson
tertawa, “Kau sangat merendah, lain daripada yang lain, saya suka itu.
Bagaimana prestasimu di sekolah?”
“Honored,
Tuan,” Samuel menjawab dengan apa adanya.
Albert Johnson
tersenyum semakin tertarik. “Tertarik
untuk bergabung bersama kami, sampai kau merasa siap untuk berdiri sendiri?” tawarnya langsung.
Samuel
terhenyak tak percaya. Senyum senangnya langsung tersungging dengan indahnya.
Diliriknya ayahnya yang juga tersenyum mengangguk mendukung.
...........................................
***
Di saat yang sama di sebuah motel murah sekaligus bar lokal bernama
‘Charlie’s, sebuah kelompok musik bernama ‘The Singer’s’ sedang memainkan
pertunjukan mereka. Ada beban dan perasaan campur aduk saat mereka
memainkannya; antara senang, semangat gugup, dan harap-harap cemas. Ini kali
mereka bermain di tanah harapan ini.
Hari pertama mereka tiba di sini, Dewi Fortuna sudah hingga pada mereka, meski
sempat membuat mereka patah arang, karena sulit mendapatkan tempat menginap
yang sangat murah. Namun saat tengah hari, sang ketua mendapatkan tempat
menginap yang sangat murah untuk mereka, iapun mendapatkan kesempatan untuk mereka
menujukkan kemampuan mereka pada malam hari. Jika mereka dapat memuaskan pengunjung,
mereka akan mendapatkan setengah harga untuk harga kamar perharinya. Kesempatan
yang tidak boleh dilewatkan. Sang ketua, langsung memberi semangat untuk
anak-anaknya dapat bermain bagus. Dan itu yang dilakukan Ben saat ini. Ia
bernyanyi dan bermain musik sebagus mungkin dengan flute dan Godram yang menjadi
keahliannnya. Ia tidak akan mengecewakan bosnya yang sudah susah payah
mencarikan mereka tempat menginap dan mereka untuk bermain sebagai mata
pencaharian mereka.
Ben bermain dengan bagusnya. Ia bernyanyi serta memainkan musik dengan
sangat lepas dan begitu menikmatinya, seakan saat ia berada di atas panggung,
beban di pundaknya terlepas Dan pengunjungmu terlihat sangat menikmati
permainan pertunjukkan mereka. Tak sekali pengunjung yang maju ke tengah untuk
menari berpasangan diiringi hentak musik dari tanah Irlandia yang ceria,
menghibur para pengunjung bar. Ben semakin menikmati permainnya. Sesekali ia melirik adiknya yang duduk pinggir
panggung dengan tersenyum bahagia tak lepas dari mata pengawasannya. Marielle
membalas dengan senyum cerianya menyemangati permainan sang kakak. Bermain
bagus untuk ‘The Singer’s’ sudah menjadi kewajibannya Ben sebagai balas budi yang
telah menolong dirinya dan adiknya dari kehidupan yang memburuk.
****
Kediaman Lord
Winchester.
Alec tak dapat menahan untuk menghela nafas lega begitu mereka tiba di
rumah. Perasaannya campur aduk selama ia berada di pesta tadi, terlebih dengan
sang pangeran yang masih juga tak lepas memandangnya meski ia sudah bersama
Dean. Sang pangeran benar-benar jatuh hati padanya, dan dia harus segera keluar
dari rumah itu, menarik nafas menangkan diri dari mata yang mematikan itu. Dan
berada di rumah benar-benar menyelamatkannya. Dan untung saja, Lady Mary sudah pergi tidur
saat mereka tiba di rumah, atau kalau tidak, Milady akan bertanya tentang pesta
tadi. Kalaupun ingin bercerita, jangan malam ini, Alec cukup letih untuk
mengendalikan perasaannya. Dan ia cukup lega kedua kakaknya tidak terlalu
menggodanya karena kejelasan Sang Pangeran yang sudah jatuh hati padanya.
“Ini bencana, kak,” ucap Alec tak tahan lagi
saat Samuel dan Dean mengantarkannya ke kamar.
“Yup,” Samuel mengangguk pasti.
“Jangan salahkan aku...,”
“Tidak ada yang menyalahkanmu, sayang.”
sesal Dean.
Ketiganya
terdiam.
“Aku letih, kak, aku mau berganti pakaian
dan segera istirahat...,” ucap Alec lirih.
Dean dan Samuel
mengangguk. “Istirahatlah.” Mereka mengecup kening Alec sebelum keluar dari kamar
Alec.
Alec menarik
nafas dalam-dalam begitu kedua kakaknya keluar dari kamar. Mendapat hati sang
pangeran sangat jauh dari perkiraannya, tapi bukan hal yang tidak mungkin. Dan
dan tahu ini akan terjadi.
Ia menengok
Nana-nya yang sudah menunggu dengan tersenyum untuk membantunya berganti pakaian.
Alec hanya tersenyum pasrah.
“Nona pantas mendapatkannya,” ucap Emma.
“Tentu saja, kalau aku seorang perempuan,
akan sangat indah, Nana,” desah Alec.
Emma tersenyum
perih, dan mulai menggantikan pakaian nona mudanya tanpa berucap lagi.
****
Lord Winchester
naik ke peraduan perlahan-lahan tidak ingin mengganggu lelap tidur istri
tercintanya. Namun tetap membuatnya terbangun.
“John....kau sudah pulang?” Mary berbalik
memandang suaminya.
“Yea, kami sudah pulang, sayang,” seraya mengecup Mary.
“Bagaimana pestanya?”
“Menyenangkan. Dan putri kecil kita didaulat
untuk bermain piano bersama pangeran muda.”
Marry
terbelalak kagum, “Benarkah?”
“Yup, mereka mengagumi permainan putri
kita.”
“Tidak mengherankan, John, putri kita
memang sangat berbakat.”
John harus
tersenyum perih, “Yeah. Dan putra kita, Samuel, akan bergabung dengan firma
hukum milik Sir Albert Johnson.”
Mary langsung
tersenyum, “Sir Albert Johnson? Syukurlah, Albert seorang yang baik. Putra kita
sangat beruntung,”
“Yeah,” John tersenyum seraya menarik
lembut tubuh ringkih istrinya ke dalam pelukannya.
Mary memeluk
hangat suaminya, “Adeline, putri emas kita , aku sangat bersyukur dia selalu
dalam keadaan sehat,” dan perlahan tertidur lelap di pelukan suaminya
John terkatup
mendengarnya. Ia menghela nafas, “Yeah,
aku juga,” sekuat tenaga ia menahan perasaan bersalahnya, ’maafkan aku, Mary.’
****
“Ma...mama...”
Ben langsung
terbangun dengan igauan lirih di sampingnya. Ditengoknya adiknya yang sedang
tidur terperangkap dalam mimpinya. Ben langsung mengusap-usap pungggung adiknya
untuk menenangkannya dengan sebuah nyanyian yang selalu ia nyanyikan untuk
adiknya. Tidak sekali ini Marielle menggigau seperti ini, terlebih setelah
kedua orang tua mereka meninggal. Mary merindukan mama. Ben perih merasakannya,
Mary terlalu kecil untuk merasakan kehilangan seorang ibu, di saat telah
mengenal kasih sayang dan kelembutan seorang ibu. Lebih beruntung dirinya dan
Alec, yang telah kehilang kasih-sayang seorang ibu sejak mereka bayi, sehingga
tidak terlalu perih dirasakan saat kehilangannya - bisa dikatakan ‘Kau tidak
akan kehilangan sesuatu yang tidak pernah kau miliki’. Tapi tidak untuk Mary, Mary terlahir dengan
merasakan kesempurnaan kasih sayang sebuah keluarga lengkap. Karenanya Ben berusaha keras
untuk dapat menggantikan kasih-sayang yang hilang untuk adiknya ini, dan
membuat semuanya tampak normal dengan seluruh kemampuannya, meski berat dirasakannya.
“Just close your eyes, and
make a wish for it comes true. Just close your eyes and don’t you worry, cos
I’ll be right here with you. Keep you warm and safe. Just close your eyes…,” Ben bernyanyi lirih dengan mendekap hangat tubuh
adiknya. Perlahan Mary dapat kembali tertidur pulas di dalam pelukannya kakak
tersayangnya.
Ben menarik
nafas dalam-dalam disertai doa dan harapan untuk semuanya dapat berjalan dengan
baik dan Mary dapat melalui kerinduannya pada mama. Ben tersenyum sendiri setelah
tadi ia mampu menghibur pengunjung dan meyakinkan pemilik motel bahwa mereka
layak untuk bermain setiap malamnya, Ben dapat memejamkan dengan bahagia,
terlebih dengan keyakinan hidup di sini akan berjalan dengan baik, untuk Mary. Mudah-mudahan.
Ben masih belum mempercayainya dia kini telah berada di Amerika, hanya berdua
bersama Marrielle tanpa kedua orang tua mereka. Tapi takdir yang memisahkan
mereka. Ben tidak ingin menyalahkan siapa-siapa, terlebih menyalahkan Tuhan,
karena ia yakin ini adalah bentuk hukuman dari Tuhan karena ia telah
meninggalkan Ben, dan ia harus menerimanya.
Hingga kini Ben
masih sedikit sulit menerima kenyataan bahwa kedua orang tuanya telah
meninggal, dan kebahagiaan mereka tidak bertahan lama setelah kelahiran Mary. Semua
bagaikan mimpi saat tiba-tiba iklim negara mereka tidak mendukung lahan pertanian mereka dan menggagalkan seluruh panen warga.
Tidak ada yang selamat, tidak ada yang dapat dijual. Keluarga mereka kehilangan mata pencaharian utama. Dengan terpaksa ayahnya menerima pekerjaan di penambangan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari mereka. Pekerjaan yang cukup berat untuk seorang petani.
Ben sangat ingin membantu ayahnya, tapi tidak pernah diizinkan oleh ayahnya, karena usianya masih sangat muda untuk bekerja di dalam perut bumi. Namun akhirnya
Ben pun harus masuk menggantikan ayahnya karena secara tiba-tiba ayahnya meninggal
saat menjalankan tugas. Paru-parunya tidak cukup kuat untuk menahan terjangan hawa batu bara. Meski berat dan tahu
resikonya, Ben langsung menggantikan ayah sebagai penopang tulang punggung
ayahnya, dan satu-satunya pekerjaan yang dapat membuat mereka bertahan hidup
hanyalah sebagai penambang batu bara. Kemampuannya bernyanyi tidak dapat
menghasilkan uang, karena semuanya kesulitan hidup akibat gagal panen. Dan itu
menjadi sebuah siksaan untuk anak berumur 14 tahun. Bekerja 12 jam di dalam
perut bumi dan keluar dengan tubuh luluh lantak, penuh luka dan memar dan wajah
yang menghitam akibat jelaga batu bara. Tapi Ben bertahan dan kuat untuk keluarganya,
ia harus kuat untuk ibu dan adiknya. Hampir setahun lamanya ia bekerja sebagai
penambang dengan upah yang kecil. Ben sering mendapati ibunya menangis dan
meminta maaf karena telah tidak dapat memberi hidup yang layak untuk Ben. Tapi
Ben tidak menyesalinya, ia cukup bahagia memiliki ayah, ibu dan adik. Namun
kemalangan tidak berhenti sampai di situ, saat ibunya terkena wabah tuberculoses
yang mulai menyerang lingkungannya, dan hanya bertahan
selama 3 bulan. Ben cukup terpukul dengan kepergian ibu angkatnya. Untuk kedua
kalinya Ben merasakan ditinggalkan kedua orang tuanya, namun mungkin ini yang
terberat karena ia melihat sendiri kepergian mereka dan menitipkan Mary
padanya. Ia sempat larut, kalut dalam kebingungan, menerima kenyataan ia kini
hanya berdua bersama adiknya yang masih berumur 4 tahun, dan ia tahu, ia tidak
mungkin bekerja di penambangan lagi, resiko yang diambil akan sangat besar.
Akhirnya ia memberanikan diri untuk keluar dari kampung halamannya, dan mencoba
peruntungannya. Nasib mujur mempertemukannya dengan Robert Singer, seorang yang
baik, yang memiliki kelompok musik jalanan yang
mau menerimanya sebagai anggotanya. Tuan Singer yang
tidak memiliki putra langsung menganggap Ben dan Mary sebagai putra yang tidak
ia miliki. Dan sejak itu, Ben ikut kemana pun Bobby Singer membawanya. Dan ia
yakin Bobby Singer lebih dari dewa penolongnya karena telah membawanya kembali
ke tanah Amerika ini, dan memberi kesempatan untuk bertemu lagi dengan adiknya yang
lain, saudara kembarnya. Mungkin besok ia harus mengunjungi St
Peter,mudah-mudah ia masih ingat alamatnya. Sudah berapa tahun? Enam tahun?
“Hush…don’t you worry now, just
close your eyes and you’ll see the stars. They will lead you to heaven, where
the happiness will around you.’
“Just close your eyes, and
make a wish for it comes true. Just close your eyes and don’t you worry, cos
I’ll be right here with you. Keep you warm and safe. Just close your eyes…
Ben menarik
nafas dalam-dalam. Air matanya menetes perlahan. Setiap kali ia menyanyikan
ini, semakin besar rasa rindunya pada Alec. ‘Alec,
dimanakah kamu kini? Sehatkah kamu? Bahagiakah kamu? Semoga kamu selalu bahagia bersama keluarga angkatmu. Aku ingin bertemu kamu, Alec,
ingin sekali. Aku akan segera menemukanmu, Alec, dan mudah-mudahan kamu masih mau bertemu denganku dan memaafkanku.’
Ben menyeka air
matanya, dan semakin mendekap Mary, ‘Alec,
kuharap kamu mau berbagi kalung
perlindungan kita untuk selalu juga melindungi Mary, dia adik kita juga. Alec,aku
sangat rindu kamu Dikecupnya dalam-dalam kening Mary, “Besok kita main ke
‘St. Peter’, Mary...” sebelum memejamkan
mata menyusul adiknya ke alam mimpi.
*
‘Alec,aku sangat rindu kamu’
Alec langsung
terbangun dengan ucapan yang terlintas di alam mimpinya. ‘BEN!’ Alec
mengerjap-ngerjap matanya dengan jantung berdebar.
Kembali
terngiang di kepalanya ucapan di dalam mimpinya, ‘Alec, kuharap kau mau berbagi kalung perlindungan kita untuk selalu
juga melindungi Mary, dia adik kita
juga. Alec,aku sangat rindu kamu ‘Kalung?’
Alec langsung bangkit dari tempat tidur dan
menuju meja riasnya. Diambilnya kotak perhiasan yang ia pisahkan dengan kotak
perhiasaan lainnya.
Dibukanya dan
diambilnya kalung dengan dua liontin yang masih
menggantung di sana; bertuliskan ‘Ben’ dan ‘Alec’
‘Alec,aku sangat rindu kamu’ Alec menarik nafas dalam-dalam perih, dan dikecupnya kalung tersebut ‘Ben, aku juga rindu. Aku ingin bertemu
kamu. Tapi masih maukah kamu bertemu dengan
diriku dalam wujudku yang seperti ini?’
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar