Sabtu, 17 November 2012

Beauty Love Brother - Bagian 28


Rating : K+

Genre : Family

Character : Alec, Ben, Dean, Sam


Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?

ENJOY


Chapter 28

            Pagi yang cerah saat sebuah kapal merapat di dermaga. Kapal penumpang itu baru saja berlabuh dengan selamat setelah mengarungi lautan luas selama lebih dari tiga hari dari daratan Eropa menuju daratan baru Amerika- sebuah daratan yang penuh dengan masa depan yang cerah, begitulah kiranya harapan para imigran yang keluar dari perut kapal. Imigran yang didominasi oleh warga Irlandia yang mencari harapan dan keberuntungan di tanah baru Amerika. Salah satunya adalah sekelompok pemusik jalanan yang mempertaruhkan segalanya untuk mengadu nasib di daratan baru ini. Sekelompok pertunjukan musik yang hanya diawaki tidak lebih dari 10 orang, dan entah hendak main di mana, dan siapa yang akan menerima mereka bermain musik. Tapi mereka tidak peduli. Sudah bulat tekad mereka untuk menyeberang lautan dan menginjakkan kakinya di daratan Amerika ini. Terlebih salah satu anggota mereka yang telah lama ingin kembali ke tanah ini karena telah meninggalkan sesuatu yang ia miliki di sini beberapa tahun yang lalu, dan ia hampir tidak mempercayai telah kembali ke tanah kelahirannya. Pemuda itu hampir menangis bahagia begitu ia menjejakkan kakiknya di pelabuhan. Ia telah banyak menangis di tahun-tahun sebelumnya. Banyak yang ia alami di rumahnya yang dulu dan harus ia terima dengan ikhlas. Tapi cukup, ia akan berhenti menangis sekarang, ia tidak akan menangis lagi, karena ia yakin akan ada keberuntungan yang akan menunggunya, karena ia sudah menerima keberuntungan itu sebelumnya dengan bertemu dengan seorang pria yang baik hati, yang melihat kemampuannya dalam bernyanyi dan mengajakknya bergabung dengan kelompok pertunjukan musiknya. Dia tidak akan menangis karena ada adiknya di sampingnya yang tidak boleh ikut merasakan beban di pundaknya, menjaga titipan kedua orang tuanya.

    “Kak, kita di mana sekarang?” suara kecil adiknya menyadarkan dari alam pikirnya.
Pemuda itu menengok pada adiknya yang berada di gendongannya. Wajah polos gadis cilik berusia 5 tahun menampkan kecemasannya.
Ia tersenyum manis,  “Kita sudah ada di Amerika sekarang, Marielle.”
    “Kita akan baik-baik saja,kan?”
Ia harus mengangguk lagi, penuh harapan memeluknya hangat sekaligus menguatkan dirinya juga. “Ya, kita akan baik-baik saja. Aku janji kita akan baik-baik saja.”
    “Ben, ayo cepat!” seruan dari bawah bosnya terdengar lantang.
    “Iya, Bos!!!”
Ben menarik nafas dalam-dalam dan menyusul bosnya sekaligus penolongnya, melindungi Marielle desakan orang-orang yang memenuhi pelabuhan.

**

Pada sore harinya, di kediaman Kel. Earl Winchester

Sore yang indah saat Alec menikmati mandi sorenya bersama Emma dan dua pelayan setianya. Namun kali ini sedikit berbeda. Ritual mandi sorenya sedikit istimewa dibanding biasanya. Emma dan dua pelayannya pun lebih istimewa dalam memberikan ritual mandinya. Air mandi yang digunakan tidak hanya bercampur dengan ekstrak bunga mawar, tapi juga ekstrak cedarwood bercampur dengan minyak zaitun. Pijatan-pijatan yang diberikan pun sangat lembut dan menenangkannya. Putri Adeline harus terlihat istimewa malam ini. Hampir satu jam Alec menikmati mandi sore istimewanya, dan Alec hampir terlena.

    “Sudah selesai, Nona,”  suara halus Emma menyadarkan Alec.
    “Terima kasih, Nana,” Alec tersenyum dan dengan anggun bangkit lalu keluar dari bak mandinya. Rambut panjang basahnya tergerai di pundak mulusnya. Emma langsung mengeringkan tubuhnya dan rambutnya dengan mantel handuk. Dua pelayannya kembali membalurkan minyak zaitun beraroma cedarwood ke seluruh tubuh Alec, kemudian membalutkan mantel handuk sebelum kembali ke kamarnya.

Di kamarnya mereka segera mengeringkan rambut panjangnya yang indah, dan menjalinkan menjadi sebuah tatanan rambut yang indah. Lalu mereka mulai merias wajah Alec dan menjelmanya menjadi seorang putri bangsawan nan cantik. Kemudian mereka beralih pada gaun malam elegan yang telah menunggunya.

Korset ketat dipasangkan beserta dua bantalan di dalamnya, yang cukup membuat Alec setengah bernafas. Alec harus berpegangan pada salah seorang pelayannya agar ia tidak terjatuh saat jalinan tali korset di punggungnya menegakkan tulang belakangnya. Alec memejamkan mata untuk menyesuaikan diri dengan korset yang akan mengikatnya selama beberapa jam ke depan. Meski sudah sering memakainya, Alec tidak akan pernah terbiasa, karena memang bukan kodratnya ia memakai ini.
Setelah korset terpasangkan dengan kuat dan rapi, mereka segera memakaikan Alec dengan gaun malamnya, sebuah gaun malam bermodel setengah sabrina yang cantik nan elegan berwarna biru tua. Sepasang sarung tangan berbahan satin dipakaiakan di tangan Alec. Dan tidak ketinggalan kalung emas bertahtahkan berlian dilingkarkan di leher jenjang Alec, cukup untuk menutupi identitas aslinya. Kembali sapuan minyak wangi disemprotkan dari ujung kaki hingga rambut. Sebuah prosesi yang cukup lama untuk seorang Lady Adeline Winchester, dan semuanya tampak sempurna.

   “Nona sudah siap,” ucap Emma kembali menujukkan senyuma puas dan bangganya.
Alec memutar tubuhnya dan melihat pantulan diirnya di cermin tinggi di hadapannya. Alec memeriksa kembali dan mengangguk puas. Sangat sempurna.
    “Bagaimana penampilanku, Nana?”
    “Cantik, sekali, nona, cantik sekali!” Emma harus mengagumi sosok Adeline di hadapanya, meski…
Alec melihat kembali sosok dirinya. Ya, dia terlihat cantik sekali, jauh lebih cantik dari biasanya. Dan ia harus tersenyum puas.

    “Alec, sudah siapkah, kau?” suara Samuel menyeruak masuk di pintu dengan semangatnya. Dan ia harus terpaku terpesona dengan sosok di hadapannya.
    “Edele…?” desisnya tanpa sadar.
Alec harus tersenyum, meski perih. Karena kalau Samuel sampai memanggilnya Edele berarti dirinya.  memang sudah bertranformasi menjadi Adeline, bukan lagi Alec.  Alec pun terpesona dengan sosok Samuel. Setelah tiga tahun tak berjumpa, ia hampir lupa betapa gagahnya kakaknya yang satu ini, tapi bukan berarti kakak sulungnya tak kalah gagahnya, hanya tinggi tubuh Samuel membuatnya lebih terlihat menarik. Bentuk tubuhnya yang bidang dan tinggi sangat memukau mata, terlebih dengan balutan tuxedo mahal dan elegan rancangan peracang terkenal, membuatnya jauh lebih tampan. Alec yakin teman-temannya akan sibuk mecari perhatian kakaknya. Mereka tidak tahu, aku punya
     “Bagaimana menurutmu, kak, cantikkah aku?” 
     “Mempesona!” Samuel harus mengakuinya. Ia tahu Alec sangatlah cantik dalam bentuk wanita, tapi malam ini Alec jauh-jauh terlihat lebih cantik. Kalau dia tidak tahu sosok asli di balik gaun itu, mungkin sudah ia ajak kencan.  “Bisa kupastikan kau akan menjadi putri tercantik di pesta malam ini, mengalahkan semuanya. Aku sampai lupa kau bisa secantik ini!” entah niat bergurau atau tidak.
Alec langsung tersenyum kecut plus merah karena dipuji.
Samuel menawarkan tangannya dan Alec menyambutnya anggun yang kemdian dikecupnya santun oleh Samuel.
     “Enchanter.”
Alec tersipu, pipinya bertambah merah. Heran, tidak seperti biasanya ia merasa tersipu begini, terlebih dengan kakaknya. Atau mungkin sudah lama ia tidak mendengar pujian dari kakaknya yang satu ini. Ah, memang dia merindukan pujian dari Samuel.
    “Edele?” suara lainnya muncul di pintu. Dan sekali lagi pria bangsawan Winchester lainnya, terpukau dengan sosok di hadapannya. Dean Winchester benar-benar terpukau dengan adiknya ini, semakin membuatnya silap mata, kalau di balik gaun cantik itu adalah Alec.
    “Aku sudah siap, kak,” sahut Alec menyadarkan keterpukauan Dean.
Dean menarik nafas tersadar. Suara tawa geli terdengar dari sampingnya. .
   “Diam, kau,” Dean menghardik pelan Samuel, lalu tersipu malu.
Sama seperti yang dilakukan Samuel, Dean menawarkan tangannya pada Edele dan menyambutnya anggun yang kemudian dikecupnya santun oleh Alec.
     “Enchanter,” ucap Dean penuh hormat, yang kemudian dilanjutkan dengan kecupan di pipi Alec.
Kembali Alec tersipu merah dengan kecupan di pipi. Berbeda dengan Samuel, kakaknya yang satu ini yang tahu bagaimana memperlakukan seorang wanita dengan baik, bahkan dapat membuatnya berdebar-debar. Tapi karena terlalu sering diterimanya, Alec tak lagi merasakan debaran itu.
    “Akan banyak pria yang jatuh hati padamu, Edele...,” ada nada penyesalan di suara Dean.
   “Tidak akan diragukan lagi,” timpal Samuel.
Alec terkatup, menyadari itu semua. “Yah, terima sajalah, kita jalani saja.”
    “Tapi jangan takut, kita yang akan menjagamu..., kau tidak akan tersentuh sedikitpun oleh pria manapun. “
Alec hanya tersenyum tipis.
   “Sudah? Bisa kita keluar sekarang? Papa sudah menunggu kita, dan mama ingin segera melihatmu,” Dean segera berucap dengan membuka pintu.
Alec mengangguk pasti. Dan saat ia akan melangkahkan kakinya, Samuel sudah menawarkan lengannya untuk mendampinginya berjalan. Dan dengan senang hati Alec menerimnya dengan senyum manisnya.


Di luar telah menunggu Lord Winchester bersama Lady Mary. Mereka tak sabar untuk melihat putri kecil mereka dalam balutan gaun malam. Dan mereka pun harus terpukau dengan bangga begitu melihat putri kecil mereka didampingi kakaknya berjalan menuju mereka.

    “Mama, papa …?” Alec tersenyum manis. Ia menghampiri ibundnya dan bersimpuh di hadapannya. Digenggamnya tangan Lady Mary, “Mama...”
    “Edele… malaikat kecilku...,” Lady Mary tersenyum dengan harunya. Diusapnya pipi halus itu. “Kau cantik sekali, sayangku...,” dan dikecupnya pipi itu.
Alec merasakan cinta dan sayang itu, “Terima kasih mama,” dan mengecup pipi ibundanya.
Ia kemudian mendongak ke atas, pada ayahnya, lalu berdiri.
Ayahnya tersenyum penuh rasa bangga, lalu dipelukanya hangat. Sebuah kecupan sayang mendarat di pipinya.
    “Putri kecilku... kau cantik sekali, seperti biasanya.”
Alec tersipu, “terima kasih papa,” dan kembali pada ibundanya, kembali berlutut di hadapannya.
Lady Mary masih terpesona dengan kecantikan putri kecilnya. Ia tidak meragukan akan banyak pria yang jatuh hati pada putrinya kecilnya, putri yang telah menjelma menjadi putri muda yang mempesona.
    “Bersenang-senanglah, sayang, dan jangan takut, kakakmu yang akan menjagamu di sana.”
Baik Dean dan Samuel,mengangguk dengan pasti, meyakinkan Alec akan terjaga dengan baik.
Alec mengangguk dengan tersenyum, “Iya, ma,” dan kembali mengecup pipi ibundanya.

Lord Winchester melirik jam tangan emasnya, dan menghela nafas,
    “Baiklah, kita harus berangkat sekarang atau kita akan terlambat.”
Dean dan Samuel kembali mengangguk dengan tersenyum.
Alec mendaratkan kembali kecupan di pipi Ibundanya sebelum berdiri dan menerima tangan ayahnya untuk mendampinginya berjalan.
Dean dan Samuel mendaratkan kecupan di pipi ibundanya sebelum menyusul ayahnya keluar.

Di halaman telah menunggu dua kereta kuda untuk mereka. Alec akan bersama ayahnya, sementara Dean dan Samuel akan dalam satu kereta, di belakang kereta ayahnya. Kedua kereta itu menuju Kediaman Jendral Edward August-Duke of Kent.


            Setiba mereka di kediaman Jendral Edward August-Duke of Kent sudah terlihat para tamu yang mulai berdatangan. Mereka itu adalah para Earl, Baron, dan Marques. Alec merasakan perutnya berputar tidak enak, bersamaan dengan rasa tidak nyaman yang mulai menyelimutinya. Ia tidak akan pernah nyaman berada di tengah-tengah para bangsawan ini terlebih dengan para putri bangsawan, tidak dengan sikap mereka yang sombong. Tapi untuk ayahnya ia harus bisa menjaga sikap.

            Pintu kereta kudanya terbuka dari tak lama setelah mereka merasakan kereta kuda berhenti. Lord Winchester keluar terlebih dahulu, yang kemudian disusul Alec yang dibantu turun oleh ayahnya.
Perut Alec semakin tidak karuan, tapi langsung ditenangkan oleh ayahnya yang seakan tahu kegelisahan putrinya.
    “Jangan takut, mereka tidak akan menyakitimu,” Lord Winchester menenangkan putrinya.
Alec hanya mengangguk dengan tersenyum. Ia menengok ke belakang dan terlihat kedua kakaknyapun telah turun dari keretanya. Mereka tersenyum nakal menenangkan Alec. Ia akan aman bersama kedua kakaknya.
Lord Winchester mengapit tangan putrinya dan mulai berjalan memasuki kediaman Jendral Edward August-Duke of Kent, dengan diikuti Dean dan Samuel Winchester di belakang mereka.

Begitu memasuki  ballroom rumah mewah itu, kedatangan mereka langsung menarik perhatian semua orang yang ada di sana. Semua mata tertuju pada Lady cantik yang berjalan dengan anggunnya mendampingi Lord John Winchester yang mereka yakini sebagai putri Lord Winchester. Sudah menjadi rahasia umum kecantikan Lady Adeline. Tubuhnya yang ramping terbalut indah gaun yang cantik, menambah kesempurnaan kecantikan Lady Winchester. Mereka tidak dapat menahan rasa kagum mereka.

Tidak hanya mereka yang terkagum dengan kecantikan putri Lord Winchester, tapi juga dengan ketampanan putra Lord Winchester lainnya. Mereka sudah mengenal Sir Dean Winchester dengan profesinya yang sebagai seorang dokter. Siapa yang tidak terkagum-kagum, tampan, dokter pula. Dan mereka hampir saja lupa ada satu Winchester lagi yang belum pernah mereka jumpai, dan mereka kembali terkagum dengan ketampanan dan kegagahannya. Gen keluarga  Winchester memang terlalu bagus. Yakinlah para gadis akan langsung berusaha menarik perhatuan dua pemuda Winchester itu.

Alec merasakan seluruh mata tertuju padanya, menambah kegugupannya. Ia merasakan apitan tangan ayahnya menguat untuk memberinya kekuatan. Alec menarik nafas dalam-dalam dan mulai memberikan senyum sopan dan hormat pada mereka semua.

Tak berapa setelah mereka berjalan, musik menghentak dari "Meyton Townhall" langsung terdengar mengundang untuk berdansa di ballroom, dan muda-mudi langsung mencari pasangan untuk menari. Alec langsung menoleh ke arah Samuel dengan tersenyum mengundang yang diangguki pasti oleh Samue. Lord Winchester yang mengerti arti senyuman putra putrinya hanya bisa tersenyum dan melepaskan apitan tangannya, dan membiarkan Adeline menari dengan kakaknya.

   “Kamu cari gadis yang lain, aku masih kangen sama Edele,” bisik Samuel nakal pada kakaknya sebelum menarik tangan Alec untuk berdansa bersama.
Dean hanya geleng-geleng dengan tersenyum, lalu menyapu sekelilingnya dengan anggun untuk mencari pasangan menari. Dan dengan kemagnetan seorang Dean Winchester, ia mampu mengajak seorang gadis cantik, yang menurut radar instingnya adalah gadis baik-baik.

Lord Winchester tersenyum bahagia melihat ketiga putranya menikmati dansa mereka. Ia pun memutuskan untuk menghampiri sang tuan tuan rumah, Sang Pangeran, Jendral Edward-Duke of Kent bersama istri, Lady Victoria.

Iringan musik "Meyton Townhall” memenuhi ballroom, mengiringi 10 pasang mudi-mudi yang berdansa dengan riang, mengikuti hentak riang musik, termasuk Samuel dan Alec. Alec sedikit melepaskan kekakuan sebagai seorang putri dan membiarkan dirinya keluar sebagai gadis yang berdansa dengan riang bersama kakaknya. Alec begitu senang bisa menari lagi dengan Samuel, karena sudah lama ia tidak menari kakaknya ini, selama ini ia selalu menari dengan Dean bila menghadiri acara seperti ini. Dan tidak ada bedanya, kedua kakaknya sama-sama bisa menari dengan mahir.
Tidak hanya Alec yang menikmatinya, tapi juga Samuel. Perasaannya begitu lepas, terlebih bisa melihat senyum lepas Alec. Alec menari dengan riang, gemulai dan lepas, tak terhambat dengan gaunnya yang mungkin menyiksanya. Ia tahu Alec adalah seorang laki-laki di dalam, tapi kecantikan dan kemurnian perasaannya tidak bisa Samuel pungkiri. Samuel menyayangi Alec, meski hanya sebatas sebagai seorang kakak, tidak boleh lebih. Dan Samuel bisa menjaganya.

Keceriaan dan wajah lepas Adeline tapi tidak menghilangkan keanggunan seorang putri bangsawan, menarik perhatian mereka semua dan dibuatnya kagum. Salah satunya diantaranya adalah seorang pemuda yang diapun sedang berdansa dengan pasangannya. Hanya saja perhatiannya tidak terfokus pada pasangannya, melainkan pasangan gadis cantik yang menari dengan riang dan lepas bersama pasangannya yang jika dilihat dari kedekatan mereka, lebih dari sekadar pasangan dansa, kekasihkah?
Matanya tak bisa lepas dari gadis ceria itu. Saat itu juga ia merasakan perasaan yang tak menentu, belum pernah ia melihat gadis secantik itu, bahkan dengan gadis yang berada di sampingnya yang hanya mengejar dirinya karena status ayahnya. Tapi gadis itu sangat berbeda, begitu cantik, manis, dan polos. Kalau ia tidak sedang bersama pasangannya ini dan gadis itu sedang tanpa pasangan sudah pasti ia akan langsung menghampiri dan mengajaknya berdansa.
Begitu terpesonanya hingga ia tidak memperhatikan langkah tarinya dan menginjak kaki pasangan.
    “Aduh!” pekik pasangannya pelan, menyadarkannya dari lamunanya.
    “Oh, Maaf, Claudia.”
    “Pangeran, fokuslah padaku,” hardik pasangannya jengkel.
    “Maaf,” Wellington hanya bisa mengangguk memonta maaf, dan mencoba untuk fokus pada pasangannya. Tapi tetap tidak bisa dan akhrinya tak dapat menahannya.
    “Claudia, kau tahu siapa Lady yang sedang menari di sana?” tanyanya masih dengan tetap menari seraya menunjuk pasangan yang sedang menari dengan riangnya.
Claudia menengok ke arah yang ditunjukkan Sang Pangeran.
    “Oh, itu mungkin putri dari Marques Winchester,” sehutnya dengan nada cemburu. Tak seharusnya Pangeran menanyakan gadis lain di saat ia sedang berdansa dengan gadis lagi.
    “Dan yang menjadi pasangannya?”
Claudia kembali memperhatikan pemuda yang dimaksud pangeran, “Oh, saya tidak mengenalnya, mungkin kekasihnya, Yang Mulia,” jawabnya sekenanya.
   “Oh,” Sang pangeran menelan ludah pahit.
Tepat kemudian, musik berhenti bermain dan mereka pun berhenti menari disambut dengan tepuk tangan.
Mata Wellington masih belum lepas dari Lady cantik itu yang kini telah memenuhi hatinya. Ia memperhatikan dari jauh sang Lady kini didampingi oleh pria berumur yang lebih pantas menjadi ayahnya dengan dua pria mengikuti di belakang, termasuk pria yang tadi berdansa dengannya, menuju tempat ayahnya berdiri. Mereka mengenal kakaknya! Itu artinya ia masih ada kesempatan untuk bisa mengenal dengan lady pujaan hatinya.


Setelah menari dengan riang, Lord Winchester mengajak Adeline untuk menemui Sang Jendral dengan istrinya, untuk memperkenalkan putri kesayangannya pada Sang Pangeran, dan tentunya Samuel mengiringi di belakangnya membiarkan Dean yang masih asyik dengan gadis barunya.

   “Ini pasti putrimu, Lady Adeline,” Sang Jendral tersenyum sopan, setelah diperkenalkan.
Alec langsung memberi hormat dengan santunnya, “Yang Mulia.”
Jendral mengangguk menerima hormatnya, sementara Lady Victoria memberinya kecupan hangat di pipi, mengejutkan Alec.
    “Kau memiliki putri yang cantik, Milord,” timpal Lady Victoria. “Aku sudah lama mendengar rumor tentang kecantikan putrimu, dan ternyata bukan rumor belaka, putrimu memang cantik, Milord.”
John menghormat dengan tersenyum, “Terima kasih, Yang Mulia, sungguh tersanjung saya menerimanya.”
Sementara Alec mengangguk dengan senyum sipu. Cukuplah orang memuji kecantikannya dirinya.
    “Saya dengar kau pandai bermain piano, Nak,” Lady Victoria dengan tersenyum hangat.
Alec menelan ludah gugup, “Hamba tidak terlalu pandai, Milady.”
    “Oh, ya, tapi saya tidak begitu percaya. Bagaimana kalau kau memainkan sebuah lagu untuk kam
    “Betul, mainkan untuk saya yang sedang berulang tahun ini, dan pastinya mereka semua ingin mendengar permainanmu,” timpal Pangeran Edward  penuh semangat.
Alec terkatup. Sebenarnya ia tidak siap dengan permintaan yang mendadak, tapi ini permintaan sang jendral, dan dia tidak ingin mempermalukan ayahnya. Ia menengok kepada ayahnya dan ayanya memberi anggukan, juga kakakknya Samue yang tersenyum mengangguk.
Akhirnya Alec mengangguk sopan dengan tersenyum.
Lady Victoria tersenyum senang, “Silahkan, sayang...,”
Alec mengangguk dan menghampiri piano terdekat. Piano yang besar dan cantik.

Dengan gugup Alec duduk di sana. Sesaat ia menyapu ke sekililingnya dan menyadari semua orang telah memperhatikannya dan menunggunya untuk bermain.
Alec menarik nafas dalam-dalam, sebelum memulai bermain. Ia memilih sebuah lagu yang tak berjudul dan sangat ia cintai.

Dan segera ia terhanyut oleh alunan musik yang ia bawakan sendiri. Tidak hanya Alec tapi juga semua orang yang ada di sana. Mereka semua terhanyut dengan permainan piano yang sangat indah. Kembali rumor tersebut terbukti benar. Lady Adeline dapat bermain piano dengan sangat indah. Lady cantik ini semakin mengagumkan.

Alec menyelesaikan lagunya dengan indah, dan langsung disambut dengan riuh tepuk tangan dari para tamu. Mereka menyukai lagu yang dimainkkannya, lagu yang belum pernah mereka dengar sebelumnya.

    “Indah sekali , anakku, indah sekali...,” Sang Jendral terpukau. “Kau menghanyutkan kami dengan lagumu. Lagu sedihkah itu?”
    “Iya, Yang Mulia.”
    “Ah, kenapa kau memainkan lagu yang sedih di hari ulang tahunku?”
Alec berubah pucat. Dia memainkan lagu yang salah. Sang Jendral tidak menyukainya
    “Mohon maaf, Yang Mulia,” Alec langsung membukuk memohon maaf.
   “Oh, tidak apa-apa, tidak apa-apa, saya tetap menyukainya.
Alec mengehla nafas lega, “Terima kasih Yang Mulia.”
    “Hanya saja kau mengingatkanku pada seseorang yang selalu memainkan lagu-lagu sedih seperti itu. Dia juga bisa bermain piano sepertimu,” Sang Jendral tersenyum. “Mungkin kau bisa berduet dengannya?”
Alec terkatup, juga dengan semua orang yang di sana. Siapa yang dimaksud Sang jendral?
    “Di mana dia? Mana adikku?” seraya menengok kesekelilingnya mencari. “Wellington...?”

TBC 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar