Sabtu, 02 Oktober 2010

Beauty Love Brother - 1


Rating : K+

Genre : Family

Character : Alec, Ben, Dean, Sam

Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
 
 
 Di saat semua anak menghabiskan masa kecil mereka dalam kehangatan dan cinta keluarga, masih ada anak-anak yang harus menghabiskan masa kecil mereka tanpa keluarga, tapi mereka tidak akan kehilangan cinta dan kasih saying yang mereka butuhkan.


Bagian 1

Panti Asuhan Putra St. Peter Tahun 1800


    “Selamat jalan Neil…!!! Kami akan merindukanmu!!” anak-anak melambaikan tangan mereka di halaman St Peter mengantarkan kawan mereka yang beruntung mendapatkan keluarga yang mengapdosinya. Memiliki keluarga adalah impian mereka semua.
Anak-anak masih melambaikan tangan hingga Neil bersama kereta kuda yang membawanya pergi berama keluarga barunya hilang dari pandangan mereka.
Beberapa anak meneteskan air mata dengan rasa cemburu, berharap merekalah yang diadopsi. Dan mereka akan terus berdoa dan berharap akan ada keluarga yang mengadopsi mereka, termasuk Ben dan Alec, sepasang saudara kembar yang menyaksikan kepergian teman mereka dari balik jendela.

    “Neil sekarang sudah punya mama papa baru, kita kapan, ya?” ucap Ben seraya berbalik dari jendela.
Alec yang duduk di sebelahnya mengangkat bahunya. “Nggak tau, nggak ada yang mau ngadopsi kita.”
Ben menghela nafas, “Pasti ada.”
    “Kapan?”
Giliran Ben yang mengangkat bahu.
   “Gimana sih, rasanya punya mama papa?” Alec bertanya dengan polosnya.
   “Nggak tau.”
   “Kenapa sih mereka membuang kita?”
Ben tertegun dengan kata yang digunakan Alec;  ‘membuang’, Ben benci kata itu.
   “Apa mereka nggak sayang kita?”
 Ben terkatup. Kata ‘nggak sayang’ juga dibencinya. Dia berusaha untuk menghilangkan kata ‘buang’ dan ‘tidak sayang’ di kamusnya.
    “Ben?” Alec jengah dengan Ben yang tidak menanggapi ucapannya.
    “Heh?” Ben tersadar dengan suara saudaranya yang tipis.
    “Kamu pengen punya mama-papa?”
Ben melirik saudaranya, dan mengangguk, tak berucap.
    “Aku nggak mau. Aku nggak mau diadopsi”
Ben terheran. “Kenapa nggak mau?”
    “Kalau adopsi cuma buat misahin kita, aku lebih milih nggak diadopsi, biar kita nggak pisah.”
Ben terkatup lalu tersenyum, “Nggak ada yang bakalan misahin kita.”
    “Kalo ada orang tua yang cuma adopsi salah satu dari kita gimana?  Mereka Cuma mau ngadopsi kamu saja gimana?”
Ben terdiam, lalu menggeleng, “Aku nggak mau. Aku nggak mau diadopsi kalau cuma mau aku saja, mereka harus mau adopsi kamu juga, mereka harus adopsi kita berdua.”
    “Kalau mereka nggak mau?”
    “Ya, aku nggak mau ikut mereka.”
Alec terdiam.
    “Pokoknya, kita nggak akan berpisah, Alec,” Ben menekankan. “Kita adalah satu kesatuan. Kalau ada keluarga yang mau ngadopsi kita, harus ngadopsi kita berdua, nggak satu-satu.”
Alec terdiam. “Aku nggak mau pisah,” ucapnya seakan menegaskan.
     “Kita nggak akan pisah, aku janji,” tekan Ben.
    “Janji?”
Ben mengangguk, “Janji.”
Alec tersenyum lega.
    “Alec! Pergi dari jendela itu, nak, udaranya semakin dingin,” seruan hangat Suster Anne terdengar dari ruang tengah. “Dan pasti kau belum minum obat, kan?”
Ben tercekat, “Kamu belum minum obat?” mengeluarkan nada marah.
    “Aku nggak sakit, Ben.”
    “ Kamu masih sakit, Alec, dan kamu harus minum obat buat paru-parumu.”
    “Aku nggak pa-pa, aku cuma kena pneumonia sekali!”
    “Hoh, lupa, dua kali, Ben, dan yang terakhir hampir membunuhmu.”
Alec menggigit bibirnya.
    “Ben! Bawa pergi Alec dari jendela sekarang!!!” teriakan Sister Anne terdengar lagi.
    “Iya! Ayo, lec, aku harus nyelametin kamu dari jendela ini,” ucap Ben tergelak dengan menarik tangak Alec menjauhi jendela, membuat Alec tertawa.
    “Ben, kamu mau nyanyiin aku lagi?” saat mereka menjauhi jendela, pindah ke ruang tengah.
    “Kamu pengen aku nyanyi apa?”
    “Apa aja, aku suka kalau kamu nanyi.”
 Ben hanya tersenyum dan mengangguk. Dia akan bernyanyi kapan saja Alec memintanya.
***


                Ben dan Alec sudah menjadi bagian dari keluarga besar St. Peter saat usia mereka diperkirakan masih 6 bulan. Tidak ada yang tahu siapa orang tua mereka, dan tidak diketahui siapa yang meninggalkan mereka berdua di dalam box bayi berselimut kain wol berwarna biru muda, di depan pintu St. Peter. Tak ada pesan lain selain ‘Tolong rawat mereka berdua.’ Di leher mereka terkalung masih-masing sebuah kalung kain bertuliskan nama mereka; Ben dan Alec.
Ben dan Alec tumbuh dengan baik di bawah kasih sayang dari para suster St Peter yang mengasuh dan membesarkan mereka dengan baik dan penuh kasih sayang.  Sebagai anak kembar yang mirip satu sama lain, sedikit sulit membedakan mana Alec mana Ben, namun seiring dengan pertumbuhan usia mereka, mulai terlihat perbedaan mereka. Ben memiliki fisik yang lebih besar dibanding Alec, juga ia memiliki daya tahan tubuh yang lebih kuat dibanding Alec. Tidak ada petunjuk siapa yang lahir duluan diantara mereka, namun sifat Ben yang lebih banyak melindungi Alec, sedikit menunjukkan Ben lebih tua dibanding Alec. Juga Alec yang sering menunjukkan bahwa dia butuh seseorang yang selalu melindunginya, terlebih menyadari dia memiliki kekurangan.
Alec tidak lahir dalam keadaan sehat. Dia memiliki masalah dengan paru-parunya dan sangat lemah. Mereka mengetahuinya saat Alec berusia 5 tahun saat ia terkena radang paru-paru untuk pertama kalinya. Kemudian Alec kembali terkena radang paru-paru saat usia 8 tahun dan hampir merenggut nyawanya. Dan Ben selalu ada di sampingnya. Melihat bagaimana saudara kembarnya berperang melawan maut membuat Ben bertekad untuk selalu melindungi Alec dari apapun, dan berusaha untuk menjaga jangan sampai Alec jatuh sakit, bahkan dari anak-anak lain yang sering mengganggunya karena kelemahan fisiknya. Itu juga yang membuat Alec sangat bergantung pada Ben. Dan meski bukan yang termuda, Alec selalu diperlakukan bak seorang bayi yang harus dilindungi dari apapun,
Selain karena masalah kesehatan, ada alasan lain mengapa Alec begitu deperlakukan layaknya seorang bayi. Itu karena Alec memiliki wajah yang cantik, terlalu cantik untuk seorang anak laki-laki. Mungkin Ben dan Alec memiliki wajah yang sama, tapi rona wajah Alec jauh seperti seorang anak perempuan. Kulitnya pun lebih halus dan lembut dengan rambut yang pirang keemasan, bulu matanya sangat lentik, layaknya seorang anak perempuan. Dia bahkan terlihat seperti anak berusia 8 tahun bukan 11 tahun. Dan itu juga membuat Ben menjadi semakin protektif pada saudara kembarnya; Alec terlalu cantik untuk tersakiti.
***

Suatu hari pada ‘Hari Kunjungan’.

                St. Peter membuka hari kunjungan untuk para pasangan suami istri yang berminat untuk mengadopsi anak-anak dari St. Peter. Pada hari tersebut anak-anak akan menyuguhkan sebuah pertunjukkan untuk menunjukkan bakat mereka sebagai nilai plus yang layak dipertimbangkan untuk menjadi bagian dari keluara mereka.
Diawali dengan paduan suara dari seluruh anak-anak St. Peter, lalu dilanjutkan pertunjukan masih-masing anak untuk menunjukkan bakat yang mereka miliki. Dan Ben seperti biasa akan menunjukkan suara emasnya. Bagi Ben bernyanyi adalah jiwanya. Dia memiliki suara yang tidak dimiliki oleh anak-anak seusianya. Sayangnya, Alec tidak memiliki kemampuan tujukkan kepada para calon orang tua yang datang. Dengan alasan kesehatan, Alec tidak pernah diizinkan untuk mengikuti latihan, baik bernyanyi atau bermain musik, meski ia tertarik pada alat musik piano.
Pada setiap pertunjukan, Ben terkadang dengan sengaja membuat sumbang nada-nada yang ia nyanyikan, dengan harapan tidak akan ada calon orang tua yang tertarik padanya. Namun kali ini Ben bernyanyi dengan baik. Bukan, bukan untuk memberi kesan baik pada mereka, tapi untuk menyenangkan Alec yang ingin Ben bernyanyi untuk dia. Ben hanya berharap, nyanyiannya tidak akan membuatnya dipilih untuk diadopsi.

    “Menurutmu siapa kira-kira yang akan dipilih sekarang?” Alec bertanya-tanya saat mereka duduk di ujung koridor aula setelah acara pertunjukan usai, masih dengan seragam terbaik mereka.
    “Nggak tau, mungkin Charlie, mungkin juga kamu!” Ben tersenyum.
    “Nggak mungkin aku, Ben, paling juga kamu.
    “Kenapa nggak?”
    “Aku nggak bikin pertunjukkan, Ben. Aku nggak bisa nyanyi, aku nggak bisa main musik. Aku nggak kayak kamu. Nggak ada yang bakalan milih aku.”
Ben harus tersenyum dengan mimik wajah Alec.
    “Hello?” sebuah seorang wanita yang hangat membuat mereka mendongakkan wajah mereka. Seorang wanita cantik berdiri di sampaing mereka.
Ben dan Alec langsung memberikan senyum termanis mereka.
    “Siapa di antara kalian yang bernyanyi tadi di acara pertunjukkan?” wanita ini tampak kebingungan dengan sepasang anak kembar yang sulit dibedakan wajahnya.
Alec langsung menengok ke arah Ben. Ben membalasnya.
    “Saya, Nyonya, Ben mengaku.
    “Kau memiliki suara yang indah, nak, dan kau bisa bernyanyi. Siapa namamu, sayang?”
    “Ben, Nyonya!” ia menjawab dengan bangganya.
    “Ah, Ben, nama yang bagus,” dengan tersenyum ramah. “Dan berapa umurmu?
    “Sebelas, Nyonya. Oh, ini saudara kembar saya, Nyonya.”
Nyonya tersebut beralih pada Alec. Dia memperhatikan dengan lebih seksama dan tersenyum.
     “Siapa namamu, sayang?”
     “Alec, Nyonya.”
Nyonya tersenyum tersenyum, “Kau cantik sekali, Nak.”
Hati Alec berbunga mendengarnya meski sedikit kecut, dia kan laki-laki, masak dibilang cantik!
Nyonya tersebut memandang penuh kekaguman pada Alec, diusapnya pipi halus Alec dengan lembut menyiratkan suatu pesan di sana.
Alec tesenyum senang, tapi ia dapat membaca wajah cemburu di sampingnya. Ben cemburu padanya.
    “Saya tidak akan ikut pergi, Nyonya,” ucapan tegas keluar dari mulut Alec mengagetkan Nyonya tersebut. “Juga Ben. Kami tidak akan ikut.”
    “Alec!”
Nyonya tersebut tersenyum.
    “Maafkan dia, Nyonya,” Ben meminta maaf untuk Alec.
    “Tidak apa-apa, nak,” ia tersenyum pada Ben, lalu beralih pada Alec, “Kau tidak akan ikut pergi, sayang?”
Alec menggeleng.
Nyonya itu tersenyum, “Baiklah, sayang, saya pun tidak akan pergi ke mana-mana. Ini untuk kalian,” seraya mengeluarkan dua batang coklat dan diberikan kepada Alec dan Ben.
Mereka menerimanya dengan tak lupa mengucapkan terima kasih.
    “Nah, senang bertemu dengan kalian berdua,” Nyonya tersebut masih tersenyum hangat, layaknya seorang ibu seperti yang ada di bayangan mereka berdua.
    “Terima kasih atas kunjungannya, Nyonya, Ben berucap dengan sopan.
Nyonya tersebut hanya mengangguk dengan tersenyu dan meninggalkan mereka berdua.
                                                                             
    “Alec, kenapa kamu bilang begitu?” Ben dengan wajah marah.
    “Biar kita nggak dipisah!”
    “Siapa yang mau misahin kita, siapa tahu Nyonya itu mau mengambil kita berdua.
Alec menggigit bibir.
    “Jadi menurutmu, dia suka kita berdua?”
     “Mungkin, kamu nggak memberi kesempatan nyonya tadi,” Ben medesah kecewa. “Siapa tahu nyonya itu calon ibu kita.”
Alec terkatup. Dia tidak menyadari kebodohannya. Bisa jadi perbuatannya tadi menghilangkan kesempatan mereka berdua untuk memiliki orang tua dan keluarga yang diimpikan Ben.
    “Maafin aku,” ucap Alec lirih penuh penyesalan.
Ben terkatup, dan melihat wajah sedih saudaranya. Ingin ia menampar mulutnya sendiri karena sudah membuat Alec bersedih.
    “Maafin aku juga. “
Alec terdiam.
    “Mereka suka kamu,” lanjut Ben mengagetkan Alec.
    “Tau dari mana?”
    “Dari nyonya itu memandangmu,” Ben dengan yakin.
Alec terkatup. Iya, dia juga bisa merasakannya.
    “Nyonya itu akan mengadopsimu.”
    “Tapi aku nggak akan pergi kalau nggak sama kamu.  Nyonya itu harus mengambil kita berdua
    “Tapi nggak pa-pa, Alec, kalau Nyonya itu cuma mau mengadopsimu saja.”
    “NGGAK! Kita sudah janji untuk selalu bersama. Nggak ada yang bisa misahin kita. Kita diadopsi bareng atau nggak sama sekali!”
Ben terkaget dengan ucapan lantang Alec, tapi harus tersenyum bangga. Langsung dipeluknya Alec dengan erat.
     “Makasih, ya...”
Alec membalas pelukannya lebih erat, “Kita nggak akan pisah, Ben, apapun yang terjadi.”
Ben mengangguk di pelukan Alec. Bagaimanapun Alec adalah satu-satunya keluaraga yang ia miliki, dan mereka tidak boleh sampai berpisah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar