“SAM!!!!”
Sam langsung terbangun dengan teriakan ayahnya dan segera turun dari tempat tidurnya.
Dean pun mendengar teriakan ayahnya, tapi karena punggungnya masih terasa sakit, ia sulit untuk bangun dan tidak bisa mencegah Sam memenuhi panggilan ayahnya.
Sesaat Dean berusaha menahan sakit dan mencoba untuk bangun, tapi ia segera mendengar suara sabetan keras mengenai sesuatu.
‘Sammy!!?’
Sekuat tenaga Dean segera bangun dan turun ke bawah. Benar, ia melihat ayahnya sedang memukul punggung terbuka Sam yang berdiri berpegangan pada tembok, dengan sabuk usangnya yang keras. Sam menerimanya tanpa bersuara.
“Hentikan!!” Dean memekik panik. “Jangan pukul dia lagi, pa!”
Tapi ayahnya tidak mendengarnya dan terus memukulnya.
“Jangan…jangan pukul dia…,” air matanya sudah mengalir. “Jangan…”
“DEAN!!!! BANGUN, PEMALAS, KAMU TERLAMBAT KERJA!!!”
Suara ayahnya yang lantang dari bawah membangunkan Dean dan menghentikan pemandangan perih di matanya.
‘Sam?’ ia segera melihat sebelahnya, dan langsung bernafas lega. Sam masih di sampingnya, masih tertidur pulas.
SPN
“Biar aku ajak Sam ke pelabuhan,” Dean meminta izin saat ia akan berangkat kerja.
John memandangnya heran, kemudian curiga, “Kenapa?”
“Tn. Singer ingin lihat Sam, mungkin dia sudah bisa diterima kerja di sana,” Dean harus berbohong untuk ayahnya percaya, agar boleh membawa Sam keluar dari rumah.
John melirik Sam sinis, tubuhnya sangat kecil untuk seusianya, “Bisa apa dia?”
“Tn. Singer pasti punya pekerjaan yang cocok buat dia,” penuh harap ayahnya akan percaya.
Sesaat John berpikir, tapi kemudian ia mengangguk, “Bawalah. Aku juga muak lihat dia seharian di rumah.”
Dean bernafas lega dan tersenyum pada Sam. Ia segera menggandeng adiknya keluar dari rumah. ‘Hari ini kamu akan bebas dari pukulan, Sam, aku janji.’
Setelah mereka jauh dari rumah,
“Nih, makan, kamu belum makan sejak tadi malam, kan?” Dean memberikan sepotong roti kecil yang sempat ia ambil dari meja makan tanpa sepengetahuan ayahnya.
Sam menerimanya dan langsung memakannya dengan lahap. Dean tersenyum melihatnya. ‘Hari ini kamu bebas, Sam.’
“Yuk, aku telat, nih,” dengan kembali menggandeng tangan Sam yang masih sibuk mengunyah.
“Dean!!” seruan dari belakang membuat Dean berbalik. Dilihatnya Castiel belari kecil menujunya.
“Hi, Sam,” Castiel tersenyum menyapa Sam yang sudah memegang kuat celana Dean, berlindung di belakang tubuh kakaknya..
Sam hanya tersenyum tipis.
“Kamu bawa dia?” Castiel terheran.
Dean mengangguk, “Dia bisa duduk di mana aja menungguku sampai aku selesai kerja, yang penting nggak di rumah sama ‘dia’.”
Castiel hanya mengangguk mengerti, kemudian tersenyum kembali pada Sam.
Sesampainya di pelabuhan, Dean menyuruh Sam duduk di tepi, tidak jauh darinya, sementara dia bekerja sebagai kuli pelabuhan di perusahaan jasa pengiriman barang Tn Singer. Sebuah pekerjaan yang berat. Tapi untuk anak 13 tahun, Dean cukup kuat untuk mengangkut kotak-kotak barang ke kapal. Tapi tidak untuk Sam, mustahil Sam bisa melakukannya. Tubuhnya sangat kecil bahkan untuk umur 9 tahun. Dia terlihat seperti anak umur 7 tahun ketimbang anak umur 9 tahun. Untunglah Sam anak yang penurut hingga Dean tidak terlalu khawatir ia akan berbuat sesuatu yang akan menyusahkan Dean ataupun dirinya sendiri.
“Siapa kamu!? Sedang apa kamu di sini!?”
Suara sangar Bobby Singer mengagetkan Dean, ia segera menoleh dan melihat Sam-lah yang dimaksud. Sam sudah menampakkan ketakutannya. Dean segera menghampiri mereka.
“Dia adik saya, Tuan.”
Singer memperhatikan Sam yang sudah berlindung di belakang Dean. “Oh, ini adikmu yang nggak bisa bicara itu, ya?”
“Iya, Tuan.”
“Siapa namanya?” ia sepertinya tertarik.
“Sam, Tuan.”
“Umurnya?”
“9 tahun.”
Singer masih memperhatikan Sam dengan seksama.
“Apa dia bisa bekerja?”
Dean menulan ludah. “Bisa, Tuan.”
“Bagus. Kalau dia mau, dia bisa bekerja denganku.”
Dean sedikit takut kalau Sam harus bekerja seperti dia. Sam belum bisa melakukannya.
“Dia akan jadi kurirku, sebagai pengantar surat-suratku ke pelanggan, juga orang yang bisa kupercaya untuk menyimpan rahasiaku. Dia nggak akan bicara, kan?”
“Dia nggak pernah bicara, Tuan.”
“Bagus. Nah, kamu mau kerja denganku?” kembali pada Sam. “Kuberi 5 sen setiap satu surat yang kamu antarkan, dan kamu nggak perlu bekerja keras seperti itu,” dengan tertuju pada buruh-buruh yang sedang bekerja. “Kamu mau?”
Sam bingung. Ia menoleh pada Dean meminta persetujuannya.
“Terserah kamu.”
Akhirnya Sam malu-malu mengangguk menerima.
“Bagus,” Singer tersenyum senang. “Kamu bisa bekerja mulai hari ini, karena ada beberapa surat yang harus kamu antarkan. Kamu bisa?”
Sam kembali menggangguk.
“Anak pintar. Ikut aku,” Singer sudah berbalik lagi.
Tapi Sam belum beranjak dari berdirinya. Matanya masih menampakkan ketakutan.
Dean menggeleng, “Nggak pa-pa, ikut dia.”
Dengan begitu, Sam mengikuti Tuan Singer berjalan di belakangnya.
Dean hanya bisa tercenung tidak percaya. Rekaan yang ia buat untuk ayahnya percaya tadi pagi, kini benar-benar terjadi. Tapi sungguh ini tidak direncanakan. Tapi syukurlah bila Tuan Singer menerima Sam bekerja. Dengan begitu, Sam tidak perlu lagi seharian berada di rumah bersama ‘dia’, dan mereka sama-sama dapat mengumpulkan uang untuk mereka pergi dari sana.
Sam bekerja dengan baik. Dia mengantarkan surat-surat Tuan Singer dengan tepat waktu. Dan Sam terlihat senang melakukannya. Mungkin dengan begini, Sam bisa melupakan sakit di tubuhnya, walau memang tidak pernah ia tunjukkan. Dean bernafas lega, dia tidak perlu mengkhawatirkan Sam lagi. Tidak ada yang menyakitinya lagi.
“Adikmu pintar sekali, Winchester, dan sopan,” Singer memuji Sam saat mereka hendak pulang.
“Terimakasih, Tuan,” Dean tersenyum bangga dengan melirik Sam yang berdiri di sebelahnya.
“Besok banyak surat yang harus kamu antar lagi. Kamu bisa, kan?” pada Sam.
Sam mengangguk tersenyum semangat.
“Bagus.
“Ya sudah, kalian boleh pulang.”
“Terimakasih, Tuan,” dan menggandeng Sam pulang.
Dean melirik adiknya, yang sejak tadi senyumnya tersungging di bibirnya. Ia tahu, Sam senang sekali hari ini. Tidak pernah ia melihat Sam tersenyum terus seperti ini.
“Kamu senang, ya?” dengan menggodanya.
Sam mengangguk pasti, melebarkan senyumnya.
“Kamu dapat berapa hari ini?”
Sam mengacungkan tiga jarinya, dan nol.
“30 sen!?” Dean terbelalak takjub tidak percaya.
Sam mengangguk bangga, dan mengeluarkan semua uangnya dari saku bajunya.
Dean tersenyum ikut bangga. “Kamu mau beliin apa uang ini?”
Sam terdiam seketika, lalu menyerahkan semua uangnya pada kakaknya.
“Kok, dikasihin aku?” dengan terheran.
Sam menggeleng lirih, matanya terlihat sedih.
“Ini uang kamu, Sam. Kamu bisa pakai sesukamu.”
Sam tetap menggeleng.
“Oke, aku yang simpen. Tapi kamu bisa ambil kapan pun kamu mau, ya.”
Dean berharap mata Sam kembali ceria, tapi ia tetap bersedih.
“Oh, ‘dia’,” Dean mengerti sekarang. “Aku janji, Sam, dia nggak akan tahu uang ini. Lagi pula, kalau dia tahu kamu udah kerja, dia nggak akan menagih kamu setiap hari, dia kan hanya tahu Tuan Singer menggaji para pekerjanya setiap hari Senin. Dia nggak akan tahu kamu dapat upah setiap hari, dan kamu bisa menyimpannya dengan tenang. Ya kan?”
Sam terdiam sejenak, lalu menampakkan senyumnya dan mengangguk.
“Iya, uang ini aku simpan dulu,” setelah Sam meminta Dean untuk tetap menyimpannya dulu dengan menggunakan matanya.
“Yuk, pulang,” Dean menggandeng kembali adiknya dan berjalan bersama.
Saat melewati sebuah toko buku, tiba-tiba saja Sam berhenti dan menatap sebuah buku yang terpajang di etalase, dan tidak mau beranjak dari sana.
“Kamu mau buku itu?” Dean dengan hati-hati.
Sam menggeleng sedih.
“Sam, kamu bisa beli buku itu kalau kamu mau. Kamu punya uang, kan?”
Sam menoleh ragu.
“Nggak pa-pa, kamu bisa pakai uang itu. Besok kamu juga dapat lagi, ya kan?”
Sam masih ragu.
Tapi Dean harus tersenyum, “Yuk, kita lihat apa uang kamu cukup untuk beli buku itu,” seraya mengajak adiknya masuk ke dalam toko.
“Halo, Ny. Tuck,” Dean menyapa wanita setengah baya yang berada di balik meja kasir.
“Oh hai, Dean,” Ny. Tuck menyambutnya dengan hangat. Ia beralih pada bocah di samping Dean dan tersenyum takjub, “Sam-kah ini?”
Dean mengangguk tersenyum.
“Tampan sekali dia, mirip dengan Mary,” tanpa lepas matanya dari Sam.
Dean masih tersenyum. ‘Ya, Sam memang mirip sekali dengan mom.’
“Dia masih belum mau bicara?” dengan wajah simpati.
Dean harus menggeleng.
Ny. Tuck tersenyum perih pada Sam.
Ia menghela nafas, “Nah, apa yang bisa saya bantu?” ia kembali pada Dean.
“Ng… buku yang dipajang itu…” Dean menunjuk etalase.
“Buku yang mana?” Ny. Tuck seraya keluar dari mejanya dan berjalan ke arah etalase.
“Yang itu,” Dean menunjuk sebuah buku.
Ny. Tuck mengambilnya, dan memperhatikan buku tersebut, berjudul ‘Oliver Twist’.
“Kau menyukainya?” tanyanya pada Dean.
“Sam menyukainya.”
Ny. Tuck tersenyum pada Sam. “Kau bisa baca, sayang?”
Sam mengangguk malu.
Ny. Tuck tanpa ragu memberikan buku itu pada Sam. Sam menerimanya dengan senang hati.
“Berapa harganya?” tanya Dean malu.
“Itu buku bagus, Dean, tapi untuk kalian cukup 30 sen saja,” dengan tersenyum.
Dean menoleh ragu pada Sam, tapi Sam mengangguk pasti. Dean mengeluarkan semua uang di dalam sakunya.
Ny. Tuck menerimanya, namun ia memberikan lima sen kembali, “Kau simpan saja,” dengan tersenyum hangat.
“Terimakasih, Nyonya.”
Ny.Tuck mengangguk.
“Kami permisi, Nyonya.”
“Ya.”
Dean menggandeng Sam keluar.
“Dean…”
“Ya, Nyonya?”
“Jaga Sam baik-baik,”
Dean mengangguk pasti, dan menggandeng tangan adiknya keluar dari toko.
Sam mendekap erat buku yang baru dibelinya dengan wajah tersenyum. Dean pun ikut tersenyum. Dia senang bila melihatnya bahagia, dan dia memang hanya ingin Sam bahagia, sesuai janjinya pada ibunya.TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar