Sabtu, 02 Oktober 2010

Brother's Love - 1


Rating :M
Genre : Drama Family

Character : Sam Winchester & Dean Winchester


Chapter 1 


Tahun 1890


“Winchester!”

Mendengar namanya dipanggil, Dean maju selangkah menghadap setelah sahabatnya, Castiel, yang berada di depannya keluar dari barisan.

“Nih upahmu, 50 sen. 5 sen-nya bonus untukmu,” suara Singer tidak ada ramah-ramahnya saat memberikan kepingan tersebut.

Dean tersenyum berbinar senang dengan bonusnya, walau hanya satu sen.

“Terimakasih banyak, Tuan,” dan segera keluar dari barisan.

Dean masih berbunga hati dengan upah yang ia terima hari ini. 50 sen cukup untuknya, setelah bekerja keras dan berat selama seminggu ini. Ia bisa membeli makanan untuk adiknya, lalu menyimpan 10 sen untuk ia tabung, dan sisanya ia berikan pada ayahnya. Ia bisa tersenyum lega. Tidak ada pukulan malam ini.

“Kerja yang bagus, Winchester!“ seseorang menepuk pundaknya dengan semangat.

Dean tersenyum, “Lumayan,” melihat kembali kepingan uang di tangannya. “Kamu dapat berapa?”

Castiel sedikit mencibir, “Dikit, cuma 35. Tapi emang aku sering nggak masuk, sih,” dengan menyeringai kecil

“Mau kamu belikan apa buat Sam?” Castiel tahu, kawannya ini pasti menyisakan upahnya untuk adik laki-lakinya.

“Mungkin roti yang besar,” dengan tersenyum, membayangkan Sam akan senang bila ia pulang dengan membawa roti untuknya.

Castiel langsung teringat, “O ya, hari ini McCullum menjual roti-rotinya dengan murah. Ke sana yuk, sebelum kehabisan!” dan menarik tangan Dean menuju toko roti.

Dean menarik nafas kelegaan dan senang dengan roti besar yang bisa ia beli dengan harga kurang dari 5 sen. Sam pasti senang sekali. Tapi mengingat adiknya, ia pun tidak dapat menahan perih hatinya.

“Cas, bisa nggak besok aku titip Sammy di rumahmu?” dengan wajah memelas.

Castiel terdiam. Ia tahu betapa inginnya kawannya ini membawa adiknya keluar dari rumah mereka. Tapi dengan empat adiknya yang masih kecil-kecil, ibunya sudah sangat kerepotan.

Dan dia harus menggeleng, “Maaf, Dean, kamu sendiri tahu gimana keadaan rumahku. Aku takut nggak ada yang merhatiin Sam.”

“Dia nggak butuh diperhatiin, dia cuma harus keluar dari rumah, jauh dari ‘dia’,” masih dengan memohon. “Dia nggak akan nakal, dia nurut, kok. Dia mau melakukan apa saja.”

“Aku tahu, Dean, tapi maaf, tetep nggak bisa. Ibuku nggak akan tahan dengan kehadiran satu anak kecil lagi,” penuh penyesalan.

Dean menarik nafas menerima, dan mengangguk, “Yah, aku ngerti.”

“Maaf banget. Aku pasti mau menerima Sam, tapi ma…,” Castiel tidak enak. Ia tahu Dean punya alasan kuat kenapa ia harus mengeluarkan Sam dari rumah mereka.

“Ya, ya, aku ngerti. Maaf udah ngerepotin kamu.”

Castiel masih memandang menyesal, tapi Dean memberinya senyuman hangat,

“Udah nggak pa-pa. Aku ngerti kok,” masih terdengar nada perih di sana, membuat Castiel semakin tidak enak.

“Yuk, aku harus cepet pulang, tahulah dia…”

Castiel mengangguk. “Salam buat Sam, ya!”

“Oke!”

Dengan itu mereka berpisah.

Dean menarik nafas dalam-dalam, memikirkan adiknya. Sam harus secepatnya ia bawa pergi sebelum terlambat atau ia akan menyesal seumur hidup.

Dilihatnya langit yang sudah gelap. ‘Waktunya pulang, Sam pasti sudah menunggu.’

Setibanya di rumah, ayahnya sudah menunggunya dengan tidak ramah.

“Kamu telat,” ucapnya dengan suara berat. Nafas berbau busuk bercampur alkohol langsung tercium.

“Maaf, pa.”

“Mana!?”

Dengan jantung berdebar, Dean mengeluarkan semua upahnya setelah mengurangi dua keping yang ia sembunyikan di balik jas kumalnya.

John menerimanya dan langsung menghitungnya. Wajahnya langsung masam,

“35 sen? Bukannya kamu dapat 70 sen?”

Dean menelan ludah, “Mereka memotongnya, pa. Aku sering melakukan kesalahan sehingga mereka harus memotong upahku.”

Sesaat kemudian Dean merasakan panas di pipi juga telinganya setelah ayahnya memberi pukulan dengan keras. “Nggak becus!”

Dean tak menyahut, jantungnya masih berpacu kencang. Tapi ayahnya menerima juga uang itu.

“Apa yang kamu bawa?” John beralih pada kantung yang dibawa Dean.

“Roti buat Sam.”

“Sini!” John merebut kantung itu dan mengeluarkannya.

“Besar sekali,” kemudian menggigitnya. “Dan enak. Uang dari mana?” dengan menatap curiga

“McCullum menjual murah rotinya. Aku beruntung hari ini bisa dapat roti yang besar dengan harga murah.”

“Bohong!!” kembali dengan pukulan.

Dean terpaku, terlebih kini ayahnya memandangnya dengan penuh curiga.

Tiba-tiba ia menariknya dan melepas paksa jas yang Dean pakai, dan menggeledahnya.

Jantung Dean semakin tidak karuan. Hingga terdengar suara benda kecil berjatuhan membentur lantai. Dua keping 5 sen tergeletak di lantai. Dean berharap ia keluar dari sana.

John memungutnya. “Berani kamu menyembunyikannya, hah!!?” disertai dua tamparan keras di wajah Dean.

Mata marah ayahnya berkilat-kilat memandangnya yang sudah pucat ketakutan. Semakin ketakutan saat melihatnya melepas sabuknya.

“Lepas celanamu!”

Dean tidak dapat berbuat apa-apa. Ia menurunkan celananya dan memperlihatkan pantatnya yang kebiruan karena memar.

“Bungkuk!” John membungkukkan tubuh anaknya.

Dean hanya menahan nafas mempersiapkan diri.

Dean berusaha menahan untuk tidak bersuara saat sabuk ayahnya mengenai pantatnya dengan keras. Juga pukulan-pukulan lainnya yang tak terhitung karena ayahnya dalam keadaan mabuk.

Entah berapa kali, Dean tidak tahu, tapi ia merasakan bagian belakangnya panas membara dan sakit. Tidak hanya pantatnya tapi juga pinggangnya. Ia sampai tidak menyadari bahwa pukulan telah berhenti.

“Kamu akan belajar untuk tidak curang lagi sama aku!”

Sesaat Dean tidak dapat bergerak.

Dengan menahan sakit dia memakai kembali celananya.

“Mana Sammy?” ia memberanikan untuk bertanya setelah menyadari dia tidak melihat adiknya sejak ia pulang tadi.

“Di sana,” ayahnya sudah meneguk botolnya tanpa menoleh.

Mata Dean langsung tertuju pada ruang sempit di bawah tangga, dan menujunya. Ia membukanya bersamaan dengan beberapa tikus besar keluar dari sana. Ia mendapati Sam terduduk dengan mata terpejam. Wajah dan tangannya bergores-gores mengeluarkan darah.

“Sammy” panggilnya hati hati, tapi Sam tidak bereaksi.

Dengan hati-hati ia mengeluarkan adiknya dari dalam sana. Kini ia dapat melihat dengan jelas, lehernya pun bergores-gores berdarah.

Melupakan sakit di pantatnya, ia menggendong tubuh kecil adiknya dan membawanya ke kamar mereka di atas.

Dengan hati-hati, ia membaringkan adiknya yang masih tertidur di dipan berkasur tipis.

Diperiksanya luka di wajah, leher dan tangan Sam, hasil karya tikus-tikus besar dan ganas itu.

‘Tikus sialan!’ rutuknya kesal dengan membersihkan darahnya. Tiba-tiba mata Sam membuka lirih.

“Hai, aku pulang,” dengan tersenyum hangat.

Sam tidak menyahut, hanya memandangnya.

“Maaf aku telat. Kamu udah makan?”

Sam memberi gelengan kepala.

Dean menghela nafas. Ia tidak mungkin turun ke bawah meminta kembali rotinya untuk Sam.

“Kamu lapar?”

Sam kembali menggelengkan kepala, membuat Dean perih.

“Sini, aku lihat belakangmu,” seraya membalikkan tubuh adiknya.

Dean menyingkap baju Sam, dan hanya bisa menahan nafas perih melihatnya. Punggungnya tidak jauh beda dengan punggungnya sendiri, bahkan jauh lebih parah. Beberapa di antaranya mengeluarkan darah yang sebagian telah mengering namun sebagian masih segar dan baru. Dia sedikit menurunkan celananya dan menemukan beberapa luka sundutan rokok baru di pahanya menambah koleksi luka-luka sundutan sebelumnya yang diberikan ayahnya. Dean tidak perlu bertanya, kenakalan atau kesalahan apa yang Sam perbuat hingga ayahnya harus menghukumnya seperti ini, karena memang tidak ada kesalahan atau kenakalan yang Sam lakukan. Ayahnya tetap akan memukulnya tidak peduli ia baik atau tidak.

Hati-hati Dean menaikkan celana Sam dan menurunkan kembali baju lalu membuatnya berbalik ke arahnya.

“Masih sakit?”

Kali ini Sam mengangguk.

Dean naik ke atas dipan dan merebahkan tubuhnya di samping adiknya. “Sini,” menarik lembut Sam ke pelukannya tanpa membuatnya kesakitan.

Sam segera meringkukkan tubuh kecilnya di pelukan kakaknya, satu-satunya tempat yang paling aman untuknya.

Dipeluknya hangat Sam. “Aku janji, Sam, kalau uang kita udah cukup, kita keluar dari sini. Kamu nggak perlu lagi tinggal sama dia. Kamu akan terbebas dari dia,” dengan suara pelan.

Sam tidak menyahut, hanya menguatkan pelukannya, dan Dean semakin erat memeluknya, hingga Sam kembali tertidur.


TBC

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar