Sabtu, 02 Oktober 2010

Beauty Love Brother - 2


Rating : K+

Genre : Family

Character : Alec, Ben, Dean, Sam


Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?

ENJOY 




Bagian 2

Beberapa hari kemudian

    “Ben…Ben….,” Alec berbisik di tengah kegelapan dari tempat tidurnya.
    “Ya, Alec?” Ben menjawab setengah bangun.
    “Aku nggak bisa tidur.”
Ben langsung terbangun dan segera menghampiri tempat tidur Alec yang berada tepat di sampingnya
Ben mengusap punggung Alec, “Kamu nggak bisa nafas? Apa kamu kedinginan,” dengan memeriksa punggung Alec, apakah basah oleh keringat.
   “Nggak! Aku nggak pa-apa, Ben.”
   “Terus kenapa?”
   “Aku pengen dinyanyiin, Ben,” dengan tersenyum semanis-manisnya
Ben harus mengela nafas dengan tersenyum. “Ini sudah tengah malam, Alec, kita bisa bangunin semua orang.”
    “Nyanyinya pelan-pelan aja, ya?
Ben menarik nafas dengan geleng-geleng kepala, ”Baiklah.” Dan mulai bernyanyi pelan.
   “Hush…don’t you worry now, just close your eyes and you’ll see the stars. They will lead you to heaven, where the happiness will around you.
   “Just close your eyes, and make a wish for it comes true. Just close your eyes and don’t you worry, cos I’ll be right here with you. Keep you warm and safe. Just close your eyes….”

Tidak butuh waktu lama, sampai Alec kembali tertidur pulas. Itu adalah lagu yang Ben buatkan untuk Alec saat Alec terkena radang paru-paru yang hamper merenggut nyawanya. Ben terus bernyanyi hingga Alec terbangun dari demam panjangnya saat itu, dan hingga kini Ben masih menyanykkannya untuk Alec, setiap kali Alec tidak dapat tidur.
Ben harus tersenyum dengan Alec yang sudah tertidur pulas dengan wajah malaikatnya.  “Tidur yang nyenyak, ya, mimpi yang indah,” seranya mengecup kening saudaranya, dan menarik selimut Alec hingga menutupi dadanya.
    “Tapi bagaimana kita akan memberitahukannya pada Ben?” sebuah suara yang yang mencurigakan terdengar dari luar kamar menarik perhatian Ben. Pintu kamar yang sedikit terbuka dan terlihat terang benderang di luar sana. Ada yang sedang membicarakan sesuatu di luar sana. Dengan penasaran, Ben sedikit mengintip di pintu. Dilihatnya Suster Anne, Suster Theresa dan Bapa Simon sedang membahas sesuatu yang penting.

    “Bagaimana kita akan memberitahu mereka. Mereka akan sangat terpukul, mereka tidak pernah berpisah.”
    “Ya, tapi mereka harus menerimanya,” Suster Theresa merasakan kepedihan yang sama bila harus memisahkan saudara kembar itu
    “Dan Alec? Kita tahu, dia tidak pernah bias jauh dari saudaranya.”
    “Dia akan bisa. Dia harus bisa. Mereka menginginkannya, Suster,” Bapa Simon sedikit menegaskan.

Ben terhenyak. Mereka menginginkannya, mereka menginginkan Alec. Alec akan pergi. Alec akan memiliki orang tua! Ben hamper bersorak gembira, tapi ia segera teringat, mereka hanya menginginkan Alec, dirinya tidak ikut serta, yang artinya mereka akan berpisah. Tidak, Alec tidak akan mau kalau harus berpisah dengan Ben. Mereka sudah berjanji untuk selalu bersama, apapun yang terjadi. Tapi bagaimana kalau kesempatan ini adalah satu-satunya kesempatan Alec untuk mendapatkan keluarga, orang tua? Tidak, Alec harus mendapatkannya, meski itu harus berpisah dengan Ben. Ben rela harus berpisah dengan Alec, jika memang Alec mendapatkan keluarga yang baik dan orang tua yang sayang pada Alec. Alec akan ada yang merawatnya, meski itu akan sangat menyakitkan untuk Ben karena harus berpisah dengan Alec Air matanya perlahan menetes di pipinya. Tapi Ben rela, Ben rela, asalkan Alec bahagia.
    “Ya, tapi tolong, jangan saya yang menyampaikannya, saya tidak bisa Bapa,” Suster Anne memohon.
Suster Theresa menengok pada Bapa Simon, dan ia mengangguk,
    “Saya yang akan menyampaikannya,” Bapa Simon menghela nafas dengan perih.
    “Tidak perlu, Bapa.”
Ketiganya terkaget dan menoleh ke sumber suara.
    “Ben?
    “Apa kau baru saja menguping?” Suster Anne dengansuara yang dibuat marah.
    “Maafkan saya, Suster, saya tidak bermaksud menguping,” Ben sedkit terisak.
Mereka melihat Ben menangis, membuat mereka terkatup. i
    “Jadi kau sudah mendengarnya, nak?”
    “Iya, Suster. Tapi jangan khawatir, saya nggak pa-pa. Kita memang sudah berjanji untuk tidak akan berpisah, tapi kalau itu bisa membuat Alec bahagia, saya rela, suster,” dengan menguatkan untuk tersenyum. Begitu menyakitkan harus kehilangan Alec.
   “Oh, anakku,” Sister Anne langsung memeluk  Ben.
Ben berusaha menguatkan diri, “Kapan mereka akan membawa Alec pergi, Suster?”
Ketiganya terpaku dengan pertanyaan Ben, dan wajah terheran.
    “Apa besok?” Ben masih berusaha untuk tersenyum, senyum kepedihan.”Apa saya masih bisa mengucapkan selamat tinggal?”
Mereka saling berpandangan, dengan wajah perih.
    “Ben…,” Suster Theresa akhirnya berucap. “Bukan Alec yang akan pergi, nak.
Ben langsung terpaku kaget, “Jadi siapa yang akan pergi?”
Sister There menengos sesaat pada Bapa Simon.
Ben beralih pada Bapa Simon yang menghela nafas, “Kau nak, kau yang akan pergi, bukan Alec. Kau akan memiliki keluarga dan orang tua.”
Ben tepaku dengan pucatnya.
   “Dengan Alec?” Ben menengok pada suster kesayangannya.
Suster Anne harus menghela nafas dengan perih, “Tidak sayang.”
Ben semakin terpaku. “NGGAK!!!!”

TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar