Sabtu, 02 Oktober 2010

Brother's Love - 5


Chapter  5


    “Ya, Tuhan,” Catherine mendesis dan menoleh pada Dean yang terpaku perih. Perasaan bersalah menyergapnya. Dia tidak menyangka akan separah ini lukanya. “Maafkan kami, nak. Jangan takut, kami sudah memanggil dokter. Dia akan segera diobati. Kami akan merawatnya.”
    “Ganti pakaiannya dengan yang bersih,” ia beralih pada pelayan dengan menggantikan melepas pakaian.
Tapi ia harus lebih menahan nafas lagi saat melepas pakaian Sam dan melihat memar-memar di kulit tubuhnya yang putih pucat, juga luka di seluruh bagian belakang Sam, termasuk bagian bawahnya. Tidak hanya kedua lengannya yang dipenuhi luka bekas sundutan rokok, tapi juga luka bergores-gores terbuka dan luka sundutan rokok pada pantat dan pahanya, dan kulit yang berkerut-kerut mengerikan.
    “Astaga,” ia hampir tidak dapat berucap melihatnya. Ini tidak mungkin disebabkan kecelakaan tadi, dan kulitnya juga bukan akibat penyakit kulit, ini… Ia menoleh kembali pada Dean yang kini memejamkan matanya kuat-kuat.
    “Gabriel, keluarlah, nak!” perintahnya pada putranya yang tak beranjak dari berdirinya memperhatikan Sam.
Gabriel segera mematuhi perintah ibunya
Catherine tidak punya waktu untuk bertanya, dan membersihkan sendiri darah di semua luka itu, hingga ia melihat mata Sam terbuka dengan sayu dan terlihat menahan sakit.
Catherine terpana melihat mata kecilnya yang berwarna blue green yang indah. Dia bergerak mencoba untuk membalikkan tubuhnya,
    “Tenang, nak, jangan bergerak dulu.”
Tapi Sam berontak dan berusaha membalikkan tubuhnya.
    “Sammy?” Dean segera mendekati melihat Sam sudah sadarkan diri. Ia menggenggam tangan Sam yang kini sudah memegang sangat kencang. “Nggak pa-pa, Sam mereka ingin lihat punggungmu,” berusaha menenangkan adiknya.
Sam segera tenang dengan adanya Dean di sampingnya, dan perlahan mengembalikan posisinya kembali menelungkup.
Catherine berusaha selembut dari sehati-hati mungkin. Ia tidak berani memakaikan pakaian bersih sebelum dokter memeriksanya. Ia hanya menutupinya dengan seprai.
Dean masih berdiri terpaku memperhatikan bagaimana wanita ini memperlakukan Sam dengan baik dan lembut. Dia benar-benar seorang ibu.

    “Tuan Walsh telah tiba, Nyonya,” seorang pelayan memberi tahukan dari depan pintu kamar.
    “Di mana anaknya?” seorang pria gempal berusia 50 tahunan masuk ke kamar dan mendekati tempat tidur.
Dengan segera ia memeriksa Sam dengan seksama juga bagian belakangnya dengan sempat menahan nafas saat pertama kali melihat bagian belakangnya. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala dengan simpati.
    “Berapa umurnya?” ia bertanya pada Dean masih dengan memegang kuat tangan adiknya.
    “9, Tuan.”
Dan ia mulai memeriksa Sam. Kemudian ia memberi sesuatu di semua luka itu dan membalutnya dengan perban bersih. Semua dilakukan dengan hati-hati, meski Sam tidak memberontak kesakitan.

    “Istirahatlah,” Tn. Walsh mengusap rambut Sam setelah selesai mengobati. Ia beralih pada Dean. “Jangan takut, dia akan baik-baik saja,” dengan menepuk pundak.
    “Terimakasih, Tuan.”
Ia mengisyaratkan sesuatu pada Catherine.
Catherine segera mengikutinya setelah sempat meminta pelayan untuk memakaikan pakaian pada Sam.


    “Luka di kepalanya, dan di telapak tangannya tidak begitu serius, juga luka sundutan rokok di beberapa tempat akan sembuh dengan cepat. Tapi luka-luka di bagian belakangnya,” Louis menghela nafas, “Luka di punggungnya cukup serius dengan beberapa luka terbuka yang jelas dari pukulan yang bertubi-tubi dan terus menerus, yang bisa dipastikan dari sebuah sabuk yang keras. Dan…kulit belakangnya bekas melepuh yang tidak sembuh sempurna.”
Catherine terpaku. “Dia dianiaya?”
Louis mengangguk. “Punggungnya butuh perawatan yang serius, kalau tidak, bisa terinfeksi dan akan lebih serius lagi,” seraya melirik Sam. “Juga luka-luka di pergelangan tangan, wajah dan lehernya yang cukup dalam. Jelas sekali luka itu bukan dari seekor kuda. Itu luka gigitan dan cakaran.”
Catherine semakin terpaku. Ia memandang Sam penuh iba.
    “Kau akan merawatnya?”
Catherine mengangguk, “Aku yang membawanya kemari, aku harus bertanggung jawab.”
Louis mengangguk lega. “Akan saya berikan obat penahan sakit dan antiseptik agar lukanya  tidak terinfeksi. Oh, kalau malam ini dia tiba-tiba demam, berikan ini untuk penurun panasnya. Kapan suamimu pulang?”
    “Mungkin besok,” dengan menerima obat-obatan tersebut.
Louis mengangguk. “Besok saya akan datang lagi untuk memeriksa punggungnya.”
    “Baik, paman,” seraya mengantarkan keluar kamar.
    “Mungkinkah dia seorang budak?” Catherine mengira-ngira.
    “Mungkin saja,” dengan menghela nafas prihatin. “Hati-hati, Catherine, kalau dia memiliki majikan, kau harus mengembalikannya, atau kau akan dituduh mencuri budak orang.”
    “Aku tahu, paman. Akan kucari tahu.”
    “Baiklah. Jaga dia, dia butuh perawatan malam ini. Saya khawatir, dia tidak kuat menahan luka-luka itu. Tubuhnya terlihat sangat lemah.”
    “Baik, paman.”
Catherine mengantarkan pamannya hingga dia menaiki kereta kudanya dan berlalu dari hadapannya. Setelah itu ia kembali ke dalam.

SPN

Dean terus dipandanginya Sam yang kini sudah terlelap tidur kembali di pelukannya, sampai tidak menyadari Ny. Sullivan sudah berada di belakangnya menyentuh pundaknya dengan pelan.
Dean terkaget dan segera turun dari tempat tidur.
    “Tenanglah, tidak apa-apa, kamu boleh duduk di sampingnya.”
Dean menunduk, “Maaf, sudah merepotkan Nyonya. Saya tidak bermaksud begitu, dan kecelakaan itu, sungguh tidak direncanakan.”
Catherine tersenyum, “Saya percaya, Dean, dan saya senang bisa menolongnya, walau maaf kami sempat menabraknya.”
Dean tidak menyahutnya.
Catherine memandangi dua anak ini. ‘Dilihat dari pakaian mereka yang kumal, mereka jelas bukan anak orang berada. Tapi mungkinkah mereka seorang budak? Budak yang selalu disiksa oleh Tuan mereka?’
    “Ng, Dean_”
    “Boleh saya membawanya pulang sekarang?” Dean berucap pada waktu yang bersamaan, dan terkaget. “Maaf, Nyonya,” segera menunduk sopan.
    “Tidak apa-apa,” dengan tersenyum. “Apa yang kau katakan tadi?”
    “Boleh saya bawa dia pulang sekarang? Saya akan merawatnya di rumah.”
    “Kau akan membawanya pulang? Dia masih terluka parah, Dean. Dia tidak bisa kau bawa pulang, dan tidak akan saya izinkan. Saya ikut bertanggung jawab dengan semua ini.”
    “Bukan. Ini bukan salah Nyonya. Dan maaf, saya sudah merepotkan Nyonya. Saya harus membawa Sam pulang.”
Catherine terdim berpikir, ‘Kenapa Dean memaksa pulang?’
    “Apa ada yang mencari Sam bila dia tidak pulang, Dean?” dengan sangat hati-hati.
Dean terdiam. Dia tidak yakin ayahnya akan mencari Sam, bukankah ‘dia’ sangat membenci Sam.
Dean menggeleng.
    “Lalu kenapa kau ingin membawanya pulang?”
    “Saya tidak ingin merepotkan Nyonya. Terimakasih, Nyonya sudah terlalu baik. Saya bisa menjaganya di rumah.”
Catherine tersenyum lega, “Tapi dia belum bisa dibawa pulang, Dean. Dia masih sangat lemah. Dan kau pasti tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya, bukan?”
Dean terdiam.
    “Biarlah Sam di sini, paling tidak untuk malam ini. Besok kalau dia sudah agak sehat, kau bisa membawanya pulang.”
Dean tidak menyahut.
    “Tidak apa-apa, Dean, biar dia di sini dulu, sampai agak baikan. Kau pun bisa tinggal di sini menemani adikmu.”
Dean terdiam, memikirkan ayahnya, tapi ia juga ingin bersama Sam.
    “Biar Sam di sini dulu, kami yang akan merawatnya hingga luka-lukanya sembuh. Ya?”
Akhirnya Dean mengangguk.
Catherine tersenyum lega. Ia masih memandangi Dean. “Boleh kutahu berapa umurmu?”
    “13,” ada nada heran, Ny. Sullivan menanyakan umurnya.
Catherine tersenyum, “Kau terlihat lebih besar dari umurmu.”
Dean tidak menyahut.
    “Kau sudah makan, nak?”
Dean tidak menjawabnya. Tapi
Catherine tahu jawabannya.
    “Martha!”
Seorang wanita masuk setelah panggilan itu.
    “Ajak Dean ke dapur untuk makan malam.”
    “Baik, Nyonya. Ayo, nak,” Martha tersenyum mengajak Dean keluar kamar.
    “Tidak usah, Nyonya,” Dean mencoba menolaknya.
    “Kau belum makan, kan?” dengan tersenyum manis yang tidak bisa ditolak Dean, hingga Dean mengikuti ajakan Martha  ke dapur.

Catherine menarik nafas melihat Dean keluar bersama Martha. Lalu ia kembali pada Sam. Tubuh kecilnya dipenuhi dengan luka.
    “Anak yang malang.”
Disentuh pipinya. Walau wajahnya dihiasi oleh cakaran-cakaran, ia masih terlihat manis.  
‘Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, nak dan siapa yang melakukannya? tapi kalau aku bisa menolongmu, dengan senang hati akan kulakukan.’
    “Apa dia akan baik-baik saja?” suara Gabriel mengagetkannya.
Catherine mengangguk, “Ibu harap begitu.”
    “Kenapa dia?”
    “Belum tahu. Kakaknya belum bercerita apa yang terjadi dengannya.”
    “Oh. Di mana dia?” Gabriel tidak melihat Dean di kamar.
    “Martha mengajaknya ke dapur untuk makan.”
Mata Gabriel beralih pada bocah itu.
Tiba-tiba Sam bergerak gelisah masih dengan mata masih terpejam, dan semakin kuat.
    “Sam?” Catherine menyentuh keningnya, dan terasa panas. “Dia demam. Gab, jangan bilang_” terlambat, Gabriel sudah melesat keluar kamar.
Catherine menghela kesal, dan segera mengambil obat penurun panas.

SPN

    “Makanlah, nak,” Martha menyadarkannya setelah Dean belum juga menyentuh supnya.
Dean tidak menyahut, kepalanya masih pada Sam.
    “Jangan takut, adikmu tidak apa-apa. Nyonya Catherine menjaganya. Makanlah. Kau tidak perlu disuapi, kan?” dengan sedikit menggoda.
    “Oh, tidak, tidak perlu,” Dean langsung memegang sendoknya dan memakan supnya.
    “Hey, adikmu demam!” Gabriel tiba-tiba muncul di pintu dapur.
Dean langsung meletakkan sendoknya dan berlari ke kamar Sam.

TBC

1 komentar: