Rating : K+
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
ENJOY Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
Bagian 4
Ben masih mendekap tubuh Alec yang masih terlelap tidur di pelukannya. Lamat-lamat ia mulai menyanyikan lagu kesayangan Alec,
“Hush…don’t you worry now, just close your eyes and you’ll see the stars. They will lead you to heaven, where the happiness will around you.
“Just close your eyes, and make a wish for it comes true. Just close your eyes and don’t you worry, cos I’ll be right here with you. Keep you warm and safe. Just close your eyes….” air matanya mengalir deras disertai sesak dadanya. Lebih perih menyadari ia menyanyikan lagu ini untuk menenangkan dirinya sendiri saat takut kehilangan Alec, lagi. Teringat saat dulu ia pertama kali menyanyikan lagu ini untuk Alec dan bagaimana lagu ini tercipta tanpa sengaja dari bibir mungilnya.
Flashback
Ben kecil duduk di bersimpuh di samping tempat tidur saudaranya. Tangannya tak lepas menggenggam tangan Alec yang basah dan panas oleh keringat. Perasaannya tidak karuan melihat Alec yang belum juga sadarkan diri. Sudah lima hari Alec terbaring di tempat tidur tanpa kesadaran dengan nafas yang tersengal-sengal mencari celah untuk dapat bernafas di tengah rasa sakitnya. Keringat terus membasahi seluruh tubuh kecil Alec. Perih Ben melihat Alec yang terlihat sangat kesakitan meski dalam tidurnya. Yang lebih menyakitkan mengingat penyebab dari kondisi adalah Alec dirinya karena lepas dari pengawasannya. Ben ingat seminggu yang lalu saat Bapa Simon mengajak anak-anak untuk berkunjung ke kebun binatang. Semua anak ikut, termasuk Alec yang memang saat itu cuaca di bulan Juli sedang hangat-hangatnya. Semua berjalan aman dan menyenangkan. Tak terkira girang dan bersemangatnya Alec saat diizinkan ikut ke kebun binatang, meski dengan perjanjian; Alec tidak boleh lepas dari tangan Ben.
Ini adalah kali pertama Alec pergi ke kebun binatang karena waktu kunjungan-kunjungan sebelumnya, selalu tidak tepat dengan kondisi tubuhnya yang sedang tidak baik dan sama sekali tidak diizinkan ikut. Tak lepas mata Alec berbinar dengan beraneka macam hewan di dalam kandang, yang selama ini hanya bisa ia lihat di buku cerita yang sering dibacakan oleh Suster Anne sebelum mereka tidur, dan selama itu pula Ben menjaga benar saudaranya dengan tak lepas genggaman tangannya dari tangan Alec.
Semua berjalan lancar hingga sampi Ben harus menalikan tapi sepatunya yang terlepas.
“Bentar, tali sepatuku lepas,” seraya melepaskan tangannya dari tangan Alec. “Jangan kemana-kemana dulu,” tambahnya lagi kemudian bersimpuh untuk menalikan sepatu.
“Ben, itu ada angsa hitam! Lihat ke sana yuk!”
“Huh?” Ben mendongak melihat Angsa Hitam yang ditunjuk Alec di sebuah kolam besar. Cukup jauh. Kemudian ia melihat rombongan anak-anak St. Peter yang digiring Bapa Simon.
“Kita nggak bisa ke sana, Lec, kita nggak boleh pisah sama yang lain,” sahutnya masih sibuk dengan tali sepatunya.
“A..a, aku pengen liat…, bentar aja,” Alec mulai merajuk.
“Nggak Alec,” Ben bersikeras. Dia tidak mau mencari gara-gara melanggar titah Bapa Simon kalau tidak mau dihukum kurung di kamar hukuman yang gelap.
Ben masih mendengar Alec mendesah kecewa dengan jawaban Ben. Sebenarnya Ben tidak tega, tapi ya untuk kebaikan mereka juga.
Sesaat Ben masih sibuk dengan tali sepatunya yang entah kenapa terasa sulit sekali menalikannya. Tentu saja ia tidak bisa meminta bantuan Bapa Simon atau Suster Anne, karena mereka sudah mengajarkannya, dan Ben sudah bisa menalikannya sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara panik samar-samar, “Ada anak terpeleset masuk ke kolam!”
Ben tidak terlalu mendengarnya, hingga Bapa Simon menyadarkannya,
“Ben, Alec mana?”
“Huh?” Ben mendongak dan tidak menemukan Alec di sampingnya. “Tadi di sini, Bapa.”
Bapa Simon langsung panik, dan menggandeng tangan Ben menariknya ke arah kolam yang mulai dipenuhi orang yang berkerumun di pinggir kolam.
Dan Ben harus melihat pemandangan yang menjadi mimpi buruknya. Seseorang sedang menolong seorang anak yang tercebur ke dalam kolam. Dari seragamnnya yang sama dengannya, ia sudah yakin itu Alec.
Dan ia terpaku begitu anak itu diangkat ke permukaan dengan setengah sadar, dan menunjukkan sepenuhnya bahwa itu Alec, saudara kembarnya, yang menjadi tanggung jawabnya untuk menjaganya.
Ben masih terpaku tak dapat bergerak melihat Bapa Simon bersimpuh di samping Alec dan memeluknya, hingga mereka menggiringnya pulang, setelah memastikan Alec tidak apa-apa.
Alec memang tidak tenggelam atau hilang kesadaran dan terlihat baik-baik saja saat dibawa pulang ke Panti, tapi dinginnya air kolam yang membasahi tubuh ringkih Alec, langsung memicu radang di paru-parunya, meski Bapa Simon sudah langsung mengganti pakaian Alec dengan yang kering sebelum pulang ke panti. Dan malamnya Alec langsung demam dan berlanjut pada radang paru-paru akut.
Ben tidak berhenti-berhenti menyesali diri dan meyakini itu kesalahannya, meski Bapa Simon, Suster Theresa, dan Suster Anne terus meyakini itu bukan salah Ben. Alec yang menginginkan untuk pergi ke kolam seorang diri, meski Ben sudah melarangnya. Tetap Ben terus menyalahi dirinya dan tidak pernah meninggalkan Alec, terlebih dengan kondisi Alec yang tak kunjung membaik. Alec berkeringat, menggigau, merintih, dan bernafas dalam kesakitan di bawah alam sadarnya. Bapa Simon, Suster Anne, dan Suster Theresa bergantian menjaga Alec dan mengganti kopresnya, juga membalutnya dengan krim obat pereda sesak nafas di dadanya yang harus diganti setiap dua jam sekali.
Ben terus di samping Alec dengan dihantui ketakutan akan kehilangan Alec. Dan di tengah ketakutannya itu, terciptalah sebuah lagu yang tanpa sadar teruntai dari bibir kecilnya yang dirundung kesedihan. Tak terhitung lagi berapa kali Ben menyanyikan lagu itu untuk Alec saat menunggunya sadar, bahkan saat demam Alec telah turun dan berganti pada dua hari terbaring tanpa suara dan gerakan, Ben masih tetap menyanyikannya. Yang menandakan dia masih hidup hanyalah hembusan nafas Alec yang naik-turun secara beraturan. Hingga akhrinya mata kecil itu mengerja-ngerjap terbuka dan lansung mendapati isak kebahagiaan Ben, dan Alec membalasnnya dengan senyuman tipis yang melegakan semua yang menunggu kesadaran Alec.
Dan kini bernyanyi untuk Alec yang mungkin untuk yang terakhir kalinya. Semakin perih dan sesak perasaan Ben. Dikecupnya dalam-dalam kening saudara kembarnya. Dia benar-benar tidak bisa melepaskan Alec, Alec sangat bergantung padanya, Alec tidak akan bisa hidup tanpanya. Bagaimana Alec nanti, kalau dia pergi? Bayangan Alec akan sendiri, bayangan Alec akan melakukan semuanya sendiri, bagaimana kalau dia nanti sakit, siapa yang akan menemaninya? Siapa yang akan menyanyikannya lagi? Ben hanya bisa menangis, ‘Maafin aku, Alec, maafin aku.”
“Ben?” suara kecil Alec mengagetkannya. Ben mengutuk dirinya, pasti suara tangisnya yang berusaha ia lirihkan sukes membangunkan Alec.
“Kok kamu di sini?” Alec terheran, mata bulat kecil Alec tertuju padanya “Kamu kenapa? Kok nangis?”
“Huh? Nggak kok, siapa yang nangis?” Ben langsung mengusap pipinya dengan gusar.
“Jangan bohong, kamu nangis, Ben,” seraya menyentuh pipi Ben yang dingin dan basah.
“Iya,aku nangis. Aku mimpi buruk tadi,” Ben langsung mencari alasan yang pas.
Alec tertegun, “Mimpi buruk? Mimpi apa? Pasti karena itu kamu pindah ke tempatku ya?” Alec tersenyum renyahnya.
Ben menghela nafas mengatur perasaannya, “Iya,” pura-pura mengakuinya.
“Mimpi apa?”
Ben terdiam, “Mimpi kamu sakit lagi, dan kamu nggak bangun lagi.”
Alec terkatup mendengarnya. “Aku nggak pa-pa, kok Ben, aku janji aku nggak akan sakit lagi.”
Ben terkatup, “Janji nggak akan sakit lagi?”
Alec mengangguk, “Kan ada kamu yang jagain aku, terus aku nggak akan macem-macem lagi yg bisa bikin aku sakit.”
Ben terdiam, “Janji?”
“Janji,” Alec mengangguk pasti.
Ben menarik nafas lega.
“Ng… aku boleh tidur di sini, ya?” tanya Ben malu-malu.
“Sempit, tau.”
“Nggak pa-apa, biar aku tenang aja.”
Alec terkikik, “Kamu kayak anak perempuan…”
“Enak aja!” protes Ben langsung, “Kamu tuh, yang kayak anak perempuan.”
Alec langsung memanyunkan bibirnya, “Kamu jahat.”
Ben tercekat ‘Jahat’ kalimat yang tiba-tiba menjadi momok untuknya. Alec akan mengira dia jahat kalau dia tahu yang sebenarnya dan apa yang akan terjadi.
“Ben?” suara kecil Alec kembali masuk.
“Huh?”
“Kenapa?” dengan terheran
“Nggak, pa-pa, dah tidur yuk, ntar Suster Theresa dengar kita kena hukum nanti.”
Alec terkikik lagi, dan mengangguk.
Ben tersenyum lega.
“Ben, dingin,” ucap Alec lirih.
Tanpa diminta Ben langsung memeluk hangat tubuh kecil adik kembarnya, dan dalam hitungan menit keduanya langsung terlelap tidur.
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar