Sabtu, 02 Oktober 2010

Brother's Love - 8


Chapter 8

Kediaman Kel. Sullivan

    “Nyonya, Tuan Louis telah datang,” seorang pelayan memberitahukan.
Catherine segera beranjak dari duduknya untuk menyambut pamannya.

    “Bagaimana keadaannya hari ini? Apa dia demam?” tanya Tn. Walsh penuh perhatian.
    “Ya, semalam dia demam, tapi sudah dapat turun pagi tadi. Sepertinya sudah agak lebih baik dan dia sudah masuk makanan walau sedikit.”
    “Paman,” Peter menyambutnya.
    “Peter, kau sudah kembali?”
Peter hanya tersenyum mengangguk.
    “Baiklah kita lihat dia,” Louis segera menuju kamar Sam, diikuti Catherine dan Peter di belakang.

Mereka mendapati Sam masih tertidur pulas.
Tanpa berusaha membuatnya terbangun, Louis duduk di sampingnya, dan memeriksa luka di wajah dan telapak tangannya.
Tetapi tetap Sam terbangun dan langsung pucat, menunjukkan wajah ketakutannya. Satu lagi orang asing di hadapannya.
    “Selamat sore, Sam,” Louis menyapa dengan hangat begitu melihat wajah takut Sam.
    “Jangan takut, Sam,” Catherine langsung menenangkannya. “Ini Paman Louis, dia yang mengobatimu semalam.”
Louis memberikan senyuman hangat. “Kudengar kau demam semalam, ya? Yah, luka di punggungmu cukup parah, Sam. Tapi kau hebat, kau bisa kelihatan segar sekarang.”
Wajah Sam masih terlihat takut.
    “Ayo kita lihat luka di belakangmu.”
Untuk kali ini, Sam memasang kuat tubuhnya tidak mau bergerak dengan menggeleng panik.
    “Tidak apa-apa Sam, paman hanya ingin melihat punggungmu.”
Sam tetap menggeleng panik mempertahankan.
    “Paman harus melihat punggungmu, untuk mengetahui apa sudah lebih baik atau belum, dan lukamu juga harus dibersihkan agar tidak terinfeksi,” perlahan tangannya menyentuh tubuh Sam untuk menelungkupkan tubuhnya, yang langsung dijawab dengan reaksi panik Sam, dan berontak.
Dia merapatkan tubuhnya ke tempat tidur, menolak disentuh dengan matanya yang sangat ketakutan. Pemandangan yang mengerikan, mengingat luka-luka di punggungnya yang masih baru.
    “Sam, sayang…,” Catherine berusaha membujuknya.
Sam tetap menggeleng dan semakin merapatkan tubuhnya.
*
    “Selamat sore, Martha,” Dean menyapa dengan tersenyum di pintu dapur, sesampainya ia  di rumah Kel. Sullivan
    “Selamat sore, Dean!” Martha tersenyum lega melihat Dean kembali. “Kau datang tepat waktu Dean, Tn. Louis ingin memeriksa luka adikmu, tapi ia menolaknya dan mulai memberontak.”
Mendengar itu, Dean langsung menuju kamar Sam. ‘Mudah-mudah tidak salah kamar’.
Ia segera masuk ke kamar dengan pintu yang terbuka.

    “Sam?” Dean masuk dengan cemas, dan melihat mereka sedang membujuk Sam yang merapat di ujung tempat tidur. Mata panik dan ketakutan terlihat di sana.
Saat itu juga mata Sam tertuju padanya, dan langsung berbinar lega.
Dean langsung berlari menujunya dan memeluknya sebelum Sam terjun dari tempat tidurnya.
    “Shss, aku di sini, Sam, aku di sini,” memeluk Sam dengan erat, sementara Sam membenamkan kepalanya di pelukannya dan berpegangan dengan kuat, seakan tidak ingin dilepaskannya.
    “Maaf aku ninggalin kamu, tapi aku harus kerja, ingat kan? Iya, iya, aku nggak akan pergi lagi,” merasakan pelukan Sam semakin kuat.
    “Dean, dokter ingin memeriksa luka-luka di punggungnya, tapi dia berontak. Dia tidak mau menelungkupkan tubuhnya, dan menolak disentuh. Bisa kau bujuk dia?” Catherine dengan hati-hati.
Dean beralih pada Sam yang masih menenggelamkan kepalanya di dadanya.
    “Sam, mereka hanya ingin lihat luka-lukamu. Mereka nggak akan nyakitin kamu.”
Sam menggeleng di dalam pelukan kakaknya.
Dean menghela nafas.
    “Belakangmu masih sakit?” sehalus mungkin.
Kali ini Sam mengangguk pasti.
    “Boleh aku lihat?”
Sesaat Sam ragu, tapi perlahan ia mengangkat kepalanya dari pundak Dean.
Malu-malu ia menyingkap bajunya, dan melihat sendiri punggungnya tertutupi pembalut.
    “Aku nggak bisa lihat Sam, aku nggak berani buka. Biar dokter yang buka, ya?”
Sam langsung menggeleng.
    “Gimana aku bisa lihat, dong. Biar dokter yang buka, terus dia bisa ngobatin kamu, ya kan?” dengan membujuk.
Sam diam sesaat, dan memandang orang-orang yang memperhatikannya, menunggunya. Mereka mengangguk tersenyum meyakinkannya.
    “Mereka nggak akan nyakitin kamu, Sam. Aku janji. Aku ada di samping kamu kok. Ya?”
Setelah beberapa saat, akhirnya Sam mengangguk.
Dean membantu Sam menelungkupkan tubuhnya.
Louis tersenyum lega, dan mulai membuka pembalut yang menutupi. Tapi saat itu juga ia merasakan ketegangan tubuh Sam, dan tangan yang memegang erat kakaknya, juga terlihat sangat tertekan.
    “Nggak pa-pa, Sam, aku di sini,” Dean berusaha menenangkan adiknya.

Peter menahan nafas saat sedikit demi sedikit pembalut anak itu terbuka, dan melihat luka-luka di punggungnya juga di pantat dan di pahanya. Dia ingin muntah melihatnya. Bukan karena jijik, tapi karena marah ini harus terjadi pada anak 10 tahun.
Catherine hanya menggenggam tangan suaminya, menguatkan.

Louis menghela nafas setelah punggung Sam terbuka. “Belum terlihat baik, Sam, tapi akan cepat membaik. Kubersihkan sebentar ya.”
    “Ini akan sedikit perih, Sam, berteriaklah kalau kau tidak kuat menahannya. Atau kau ingin Catherine yang melakukannya?”
Sam tidak menjawab.
    “Biar Catherine saja, mungkin dia bisa mengurangi rasa perihnya,” seraya memberikan kain basah itu pada Catherine.
    “Kau boleh berteriak kalau tidak kuat,” Catherine tersenyum sebelum membasuh punggung Sam.

Catherine sebisa mungkin tidak menambah sakit Sam, tapi tubuh Sam semakin menegang dan tangannya meremas tangan Dean, sementara tangan satunya meremas kuat seprai. Ia tahu, Sam kesakitan, walau tidak terdengar rintihan atau erangan kesakitannya.
    “Iya Sam, aku tahu, sakit. Nggak pa-pa, aku di sini,” Dean menenangkan adiknya dengan mengecup kepalanya.
Catherine kembali membasuh dengan lebih lembut dan hati-hati lagi. Tapi tetap badannya kaku menahan sakit.
    “Teriaklah kalau kau tidak kuat, Sam.”
Sam menggeleng. Cukup dengan kecupan kakaknya sedikit dapat menahan sakit itu.

Catherine diam terheran. Ia berusaha melakukan secepat dan selembut mungkin. Ia tidak ingin menambah sakit Sam.
Catherine mengoleskan obat pada luka-luka itu membuat Sam semakin berusaha menahan sakit dan perihnya. “Maaf, sayang.”
Setelah itu, Catherine membalut punggung Sam dengan pembalut baru.
    “Nah, sudah selesai,” Catherine tersenyum lega sendiri.
Sam masih terpaku kesakitan.
    “Jangan berbalik dulu kalau kamu belum kuat.”
Sam diam dengan posisinya. Sementara Dean terus mengusap-usap rambutnya penuh kasih sayang.
    “Baiklah Sam, besok aku akan datang lagi melihat lukamu. Istirahatlah,” Louis sempat mengusap-usap rambut Sam, sebelum ia keluar bersama Peter membiarkan Sam bersama kakaknya dan Catherine.

SPN

    “Mengerikan sekali,” desis Peter mengantarkan Louis keluar.
    “Ya,” Louis mengangguk prihatin. “Karena itulah istrimu sangat memperhatikannya.”
    “Jangan tanya, dia sangat mencintai anak-anak. Untuknya anak sangatlah istimewa, dan harus diperlakukan dengan istimewa pula.”
Louis mengangguk pasti.
    “Sudah kau tahu siapa dia?”
Peter menggeleng. “Belum, kakaknya belum bercerita pada Catherine.”
Louis terdiam perhatian.
    “Dan dia sama sekali tidak bersuara. Paman lihat tadi, tidak terdengar rintihan atau erangan, padahal Kita tahu, sekuat tenaga ia menahan rasa sakitnya. Dia juga tidak bicara. Tapi dia tidak tuli. Mungkinkah ada sesuatu dengan pita suaranya?”
    “Sudah kau tanyakan pada kakaknya?”
    “Belum. Tapi akan kutanyakan.”
Louis hanya mengangguk.

SPN


Catherine meninggalkan Dean yang masih memeluk Sam yang sudah tertidur di pangkuannya.

    “Bagaimana dia sekarang?” Peter segera menanyakan melihat istrinya keluar dari kamar.
    “Sudah tidur di pangkuan kakaknya.
    “Anak yang malang,” desis Catherine perih.
    “Kita harus tahu siapa anak itu, Catherine, dan apa yang terjadi padanya.”
    “Sudah kucoba, tapi Dean tidak pernah mau menjawab. Dia selalu menghindar setiap kusinggung siapa yang melakukannya. Seperti ada yang ditutupinya.”
    “Menutupi seseorang yang melakukannya itu?”
Catherine mengangguk.
    “Baiklah, akan kucoba nanti.”
Catherine kembali mengangguk dan melihat suaminya kembali masuk kemudian mengikuti di belakangnya.

TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar