Sabtu, 02 Oktober 2010

Beauty Love Brother - 5


Rating : K+

Genre : Family

Character : Alec, Ben, Dean, Sam


Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?

ENJOY 


Bagian 5

Keesokan harinya, Ben bangun lebih awal dari Alec dan melakukan sedikit kontak dengan Alec. Ben mulai tidak mempedulikan Alec. Ben terpakasa melakukannya untuk membuat Alec membencinya, sehingga tidak akan begitu sakit jika Ben meninggalkan dia.

Sehari penuh Ben benar-benar tidak mempedulikan Alec, sampai Alec kesal sendiri.

    “Ben! Kamu kenapa sih?” tanya Alec langsung begitu bisa berhadapan dengan Ben.
    “Nggak pa-pa,” Ben berkilah.
    “Kamu aneh!”
    “Aneh? nggak”
    “Terus kenapa kamu nyuekin aku?”
    “Aku nggak nyuekin kamu,” protes Ben jengah.
    “Iya!”
Ben menggigit  bibirnya.
Alec-pun hanya menghela nafas. 
   “Ben, bisa tolong aku_?”
   “Alec!” Ben setengah membentak sebelum Alec menyelesaikan kalimatnya, “Alec, aku pikir, ini saatnya kamu berhenti bergantung padaku. Kamu udah 11 tahun, kamu harus bisa melakukan semuanya sendiri.”
Alec terhenyak dengan ucapan saudaranya, “Ben?”
    “Iya, kayaknya aku udah nggak bisa bantu kamu lagi.”
    “Hah? Maksud kamu?”
    “Aku pengen kamu melakukan semuanya sendiri, dan berhenti minta tolong sama aku. Aku capek jadi pengawal kamu.”
Alec berkerut tak perceya mendengarnya, “Ben?”
    “Mungkin kamu bener, kamu sudah nggak sakit lagi, itu artinya kamu bisa mengurus diri kamu sendiri, dan bisa membela diri dari siapapun. Bahkan kalau kamu butuh obat, kamu bisa melakukannya sendiri tanpa harus diingatkan atau disuapin, karena aku nggak akan bantu kamu lagi, aku bukan pembantu kamu!”
Bibir Alec ternganga dengan pucatnya dan terkaget tidak percaya.
   “Tapi aku kira, kamu senang melakukannya, Ben?”
   “Iya, dulu. Tapi sampai sekarang kamu masih aja nggak bisa apa-apa dan terus bergantung  bikin aku capek tauk!!! Kamu sudah sebelas tahun,  kamu harus bisa apa-apa sendiri. Pantesan Tom suka ngerjain kamu, karena kamu anak yang manja dan lemah, nggak bisa apa-apa. Cuma jadi beban buat semua orang.”
Mata Alec terbelalak dengan kagetnya. Dia syok dengan ucapan Ben dan tidak percaya mendengarnya. Air mata sudah mengalir di pipinya. Ben saudara kembarnya yang ia sayangi dan menyayanginya. Refleks Alec langsung memukul pipi Ben dengan air mata yang tak terbendung lagi. Hatinya sakit sekali.
    “Kamu nggak perlu ngomong begitu, Ben. Nggak usah kamu bilang juga aku sudah lama pengen melakukan semuanya sendiri, tapi nggak pernah kamu izinin. Jadi jangan salahin aku kalau aku bergantung sama kamu, karena kamu sendiri yang bikin aku bergantung sama kamu! Dan sekarang aku benci sekali sama kamu! Aku kira kita saudara, aku kira kita saling menyayangi, aku kira kamu sayang aku, tapi ternyata nggak, kamu nggak pernah sayang aku!” penuh emosi Alec mengeluarkan semuanya,  dan dengan menangis ia berlari meninggalkan Ben yang kini menganga tekejut.
Hati ben serasa tertusuk. Dia tidak percaya Alec akan bisa mengatakan itu semuanya dengan berani, tidak seperti Alec yang biasanya. Dia tahu Alec marah dengan ucapannya. Pipinya terasa sakit. Disentuhnya pipi yang kini terasa linu. Alec baru saja memukulnya. Dirinya memang sudah keterlaluan. Air mata langsung membasahi pipinya. Perasaan bersalah langsung menyergap,
    “Maafin aku, Alec, aku nggak bermaksud nyakitin kamu....,” tapi ia tidak bisa menarik kembali ucapannya.

Giliran Alec yang kini tidak mempedulikan Ben dan sama sekali tidak mengajaknya bicara. Itu sangat menyiksa Ben, tapi mungkin ini yang terbaik Alec bisa melepasnya, atau mungkin untuk dirinya sendiri; Ben bisa pergi dengan tenang, setelah yakin Alec sangat membencinya. Menyakitkan memang, tapi ia harus bisa menerimnya.

Dalam gelap, Ben dapat melihat sosok kecil tidur di tempat tempat tidur di samping miliknya dalam beberapa menit. Setelah itu, tempat tidur ini bukan lagi miliknya. Dia akan meninggalkannya, meninggalkan tempat tidur ini, juga rumah St. Peter ini, dan yang pasti ia akan meninggalkan Alec. Dia akan pergi tanpa sempat mendapat maaf dari Alec akan apa yang sudah ia ucapkan tadi siang. Dan itu akan disesalinya seumur hidup, bahkan jika ia telah bahagia bersama keluarga barunya.
Dipandanginya kembali wajah malaikat itu untuk yang terakhir kalinya, karena setelah itu ia akan kehilangan di selamanya.
    “Alec maafin aku,aku nggak bermaksud mengucapkan itu semua. Aku bener-bener sayang kamu, Lec. Aku seneng bisa jagain kamu, aku seneng ngelayanin kamu, dan mastiin kamu baik-baik saja. Aku bener-bener minta maaf, Lec” air mata mengalir di pipinya. “Dan aku bener-bener nggak mau pergi. Aku tahu aku sudah melanggar janjiku sendiri, dan kamu boleh benci aku, Alec, tapi Tuhan tahu aku sangat sayang kamu, aku tetep mau ada di samping kamu, buat jagain kamu. Tapi...
   “Aku bener-bener minta maaf.”
Lalu dilepasnya kalung kain bertuliskan namanya yang sudah melingkar di lehernya mungkin sejak ia lahirnya dan belum pernah ia lepas. Alec memiliki kalung yang sama yang bertuliskan namanya sendiri yang juga tidak ia lepaskan hingga kini. Mereka tidak pernah melepaskan kalung yang menjadi identitas diri mereka. Kemudian disematkan kalungnya ke leher Alec tanpa membangunkannya.
    “Selamat tinggal Alec, dengan kalung ini aku tahu kamu akan selalu ingat aku dan terlindungi, karena ada aku di kalung ini yang akan selalu melindungi kamu.”
Dikecupnya kening Alec, “Aku nggak akan lupain kamu, kamu akan selalu ada di hatiku, mudah-mudahan kita bisa ketemu lagi suatu hari nanti.”
    “Ayo Ben, mereka sudah menunggumu,” ucapan halus Suster Anne sedikit mengagetkannya.
Ben mengangguk dan mengambil tasnya.
    “Selamat tinggal, Alec,’ dengan melihatnya untuk terakhir kalinya.

Di ruangan kantor Bapa Simon, sudah menunggu sepasang suami istri yang akan mengadopsinya. Dan yang membuat Ben terkejut, Ben pernah bertemu dengan nyonya ini.

Suster Theresa tersenyum dengan kedatangannya.
    “Ben… ini Tuan dan Nyonya Wesson. Mereka kini orang tuamu,” Suster Theresa mengenalkan mereka.
    “Hello, Ben,” suara lembut dan hangat terdengar dari wanita yang pernah ia jumpai sebelumnya.
Ya, nyonya ini adalah nyonya yang memberinya dan Alec coklat kemarin!
Ben melihat ke arah mereka dan menyapa mereka dengan sopan.
Mereka senang mendengarnya, “Nah, Ben, kau bisa panggil kamu ayah dan ibu, kami sekarang orang tuamu, “Nyonya Wesson tersenyum hangat. “Mungkin kami bukan orang kaya, tapi kami kaya akan kasih sayang. Kami akan menyayangimu seperti anak kami sendiri, karena kau adalah satu-satunya anak kami. Ya?”
Ben hanya mengangguk. Ia memandang wanita cantik ini yang kini adalah ibunya.
     “Kenapa saya, Nyonya, kenapa bukan Alec?” pertanyaan itu masih menggelitik di kepalanya.
     “Ben?” Suster Theresa langsung memperingatkan.
Ny.Wesson tersenyum,  “Karena kami menyukaimu, Ben...,”
     “dan Alec, dia kan cantik, manis, wangi?”
     “Ben, tolonglah, Nak,” Suster Theresa semakin memperingatkan Ben dengan suara tegas.
     “Kami menyukai Alec” ,masih dengan tersenyum,
    “Kalau begitu bolehkah Alec ikut bersamaku?” Ben langsung bertanya penuh pengharapan.
     “Ben, sayang, bersikap manislah,” Suster Anne langsung mengambil alih untuk menghentikan adegan yang tidak perlu terjadi lagi tanpa ada kemarahan dari Suster Theresa.
Ben langsung mengatupkan bibirnya.
Tapi Tn. dan Ny. Wesson tersenyum dengan hangat.
     “Kami tahu, kau sangat berat meninggalkan saudaramu, tapi kami kami janji, tahun depan kita akan kembali ke sini untuk menjemput saudaramu,” Tn Wesson berucap.
     “Tidak bisakah sekarang?”
     “Ben!” Suster Anne hampir habis kesabarannya.
Tapi Tn. dan Ny Wesson tidak menunjukkan kemarahan mereka.
Ben mengalah, ia pun harus tahu diri,dan tidak bertindak kurang ajar. Ia mengangguk lirih. “Tapi janji akan kembali tahun depan untuk menjemput Alec?”
    “Kami janji!” ucap Tn. Wesson sebelum Suster Theresa mengeluarkan peringatan yang lebih keras.
     “Terima Kasih”
Tn. & Ny Wesson mengangguk dengan tersenyum. Ny. Wesson memberi kecupan di pipi Ben, membuati pipi Ben merona.
     “Baiklah, bisa kita pergi sekarang?”
Ben mengangguk lirih. Ia melihat Ny. Wesson mengulurkan tangannya, dan malu-malu Ben menyambutnya, sementara Tn. Wesson membawakan tasnya.

Dengan berbekal nasehat-nasehat dan pesan-pesa  terakhir dari Bapa Simon, Suster Theresa dan Suster Anne, Ben meninggalkan St Peter bersama orang tua barunya, menyambut kehidupan barunya yang sudah lama ia impikan, meninggalkan Alec.
    “Selamat tinggal Alec, aku mohon maafin aku... aku nggak akan lupain kamu, aku akan berdoa untuk kesehatan dan kebahagiaanmu.”

TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar