Chapter 10
“Selamat pagi, Dean.”
Dean segera terbangun dengan sapaan hangat itu. Dilihatnya, Ny. Catherine menghampirinya, sementara Mary membuka tirai lebar-lebar membiarkan sinar pagi masuk ke dalam kamar.
“Selamat pagi, Nyonya.”
“Bagaimana adikmu?” Ny. Catherine penuh perhatian.
Dean melihat adiknya yang masih terlelap tidur. “Baik, Nyonya, terimakasih.”
Tiba-tiba ia teringat ia harus bekerja. Ia melirik Sam yang masih terlelap tidur.
“Nyonya, saya titip Sam lagi.”
“Mau ke mana kau?”
“Saya harus bekerja.”
Catherine terdiam. “Bagaimana kalau kau tidak perlu bekerja hari ini, sehingga kau bisa menemaninya di sini?”
“Boss saya akan memotong upah saya.”
“Kami yang akan menggantikannya.”
“Jangan, Nyonya. Nyonya sudah terlalu baik pada kami. Saya tidak ingin merepotkan Nyonya lagi.”
“Tidak, Dean,” dengan menggenggam tangan Dean dengan hangat.
Dean menggeleng dengan hormat, “Maaf, Nyonya, tidak perlu. Saya harus bekerja.”
Catherine menghela nafas. Dia tahu, dia tidak bisa memaksa anak ini lagi. “Baiklah, Dean.”
“Terimakasih, Nyonya.” Ia menoleh kembali pada Sam, “Saya titip Sam. Saya kembali lagi nanti sore.”
Catherine hanya mengangguk dengan tersenyum.
Dean memberi kecupan di kening Sam. ‘Baik-baik ya, Sam. Aku kembali lagi nanti sore.’ dan beranjak dari tempat tidur.
“Tunggu sebentar,” Ny Catherine mencegahnya, lalu beralih pada Martha, “Martha, kau siapkan makanan untuk bekal Dean.”
“Baik, Nyonya.”
“Nyonya, tidak usah,” Dean langsung menolak dengan rasa tidak enak.
“Dean, aku yang memaksa,” Catherine tersenyum hangat.
Dean hanya bisa mengangguk. “Terimakasih, Nyonya.”
Ny. Catherine membalasnya dengan senyuman.
“Ayo, nak,” Martha mengajaknya ke dapur.
Catherine tersenyum dengan perasaan kagum. Dean anak yang luar biasa untuk seumurnya. Perhatiannya hanya untuk adiknya seorang. Dia sangat menyayangi adiknya.
SPN
“Terimakasih, Martha,” Dean menerima bungkusan untuk bekal makan siangnya.
Martha mengangguk dengan tersenyum, “Baik-baik, ya.”
Dean hanya mengangguk dan segera meninggalkan rumah Kel. Sullivan dengan tersenyum lega. Perasaannya sangat tenang. Baru kali ini ia meninggalkan Sam untuk bekerja tanpa tersiksa rasa takut akan ada yang menyakiti Sam selama ia pergi. Ia bisa pergi dengan tenang.
“Dean!” seruan Castiel segera terdengar begitu ia sampai di kantor.
“Hey,” ia menyapa sahabatnya. “Kamu ketemu ayahku?”
Castiel menggeleng, “dan aku memang berharap nggak akan bertemu dengannya. Aku nggak mau ketemu ayahmu.”
Dean hanya tersenyum. ‘Semua orang takut sama papa.’
“Bagaimana Sam?”
“Sudah jauh lebih baik. Keluarga itu sangat memperhatikannya, mereka merawat luka-luka Sam sampai dia sembuh.”
“Lalu bagaimana dengan ayahmu?”
“Itu masalah nanti. Yang penting, Sam harus sembuh dulu,” sahut Dean pasti.
Castiel mengangguk mengerti.
SPN
Kediaman Kel. Sullivan
“Pagi, sayang,” Peter mengecup istrinya saat mereka bertemu di ruang makan untuk sarapan. “Di mana Dean?”
“Dean sudah pergi pagi-pagi tadi. Dia memaksa untuk bekerja seperti biasanya.”
“Anak itu.”
“Ya, dia memang anak yang baik. Dia tetap ingin bekerja walau aku sudah mengatakan kita akan menggantikan upahnya yang hilang bila ia tidak bekerja untuk menemani adiknya.”
Peter tersenyum, “Anak yang mengagumkan.”
Catherine mengangguk pasti. Dan mereka memulai sarapan.
SPN
Sam merasakan sakit di bagian belakang tubuhnya, tapi tidak sesakit kemarin, juga hangat dan lembutnya tempat tidur ini. Perlahan-lahan matanya terbuka dan menyadari dirinya masih berada di kamar ini.
‘Dean!!’ ia langsung mencarinya. Tapi tidak ada. Ketakutan mulai menyergap. Dengan panik ia menyapu matanya mencari kakaknya. Tetap tidak ada. ‘Dean di mana kamu?’
“Selamat pagi, Sam. Wah kau sudah bangun,” sebuah suara lembut datang dari pintu. Dengan wajah tersenyum hangat ia menghampirinya.
Sam tertegun. Wanita ini, Nyonya ini yang merawatnya kemarin.
Catherine terlihat senang melihat Sam sudah bangun. Dikecupnya kening Sam.
“Bagaimana, sayang, sudah agak lebih baik?”
Sam hanya mengangguk.
“Syukurlah. Aku senang, kau sudah lebih baik. Aku yakin, lukamu pun semakin membaik.”
Sam tidak menyahut. Dia mengalihkan matanya mencari kakaknya.
“Jangan takut, Sam, Dean sedang pergi bekerja. Dia akan kembali nanti sore untukmu.”
Terlihat sekali kelegaan di mata Sam begitu mendengar Dean hanya pergi bekerja dan akan kembali nanti sore, hingga membuat Catherine tersenyum.
“Ya, Sam, dia tidak akan meninggalkanmu. Dan selama dia pergi, kami yang akan menjagamu. Kami tidak akan menyakitimu. Kau percaya pada kami, kan?”
Sam mengangguk dengan malu-malu.
Catherine senang mendengarnya.
Digenggamnya tangan Sam yang kecil dan dekil, terlihat kuku-kukunya yang hitam, lalu dikecupnya tanpa rasa jijik dan risih, tapi tetap membuatnya tertawa geli.
“Sepertinya kau perlu mandi, Sam. Tidak akan sampai membasahi seluruh tubuhmu, hanya membersihkannya dengan kain bersih, bagaimana?”
Kali ini Sam menggeleng.
“Kau harus mandi, sayang, agar kau terlihat bersih dan lebih segar, ya?” Catherine masih tersenyum.
Akhirnya Sam mengangguk. Entah kapan ia terakhir mandi, tapi Dean selalu membersihkan semua darah di luka-lukanya.
Catherine tersenyum, dan meminta Martha membawakan sebaskom air hangat beserta kain bersih.
“Bisa kita mulai, Sam?”
Sam hanya mengangguk dan membiarkan Nyonya itu melepas pakaiannya dan mulai membasuh tubuhnya dengan air hangat.
Dimulai dari wajahnya, kemudian tangan lalu badannya.
Catherine melakukannya dengan selembut dan secepat mungkin, tidak ingin kembali menyakiti Sam.
Sam berusaha untuk diam tak bergerak dan menurut. Baru kali ini ada orang selain Dean yang memperlakukannya dengan baik, tidak menyakitinya.
Hingga akhirnya Nyonya itu sendiri yang mencuci rambutnya.
Setelah itu ia mengeringkan tubuhnya dan memakaikan pakaian yang bagus padanya. Sam hampir tidak percaya. Ia mengira ini hanyalah mimpi dan akan dibangunkan oleh pukulan sabuk ayahnya yang keras. Tapi setelah semua beres, bahkan rambutnya pun telah rapi, Nyonya ini masih berada di hadapannya, masih dengan tersenyum manis dan hangat. Dia tidak sedang bermimpi!
“Nah, sekarang kau sudah terlihat sangat bersih, segar dan tampan,” Catherine dengan senangnya, terlebih kini setelah Sam menujukkan wajah aslinya. Sam sangat manis. Kulitnya memang tampak pucat, mungkin karena jarang terkena matahari setelah ayahnya tidak pernah mengizinkan ia keluar rumah, tapi matanya sangat indah; biru hazel dan tajam. Catherine terpesona melihatnya.
“Kau ingin sarapan sekarang?”
Sam memberi gelengan kepala.
Catherine tersenyum. Ia tahu, Sam selalu menolak bila disuruh makan. “Kau sarapan, ya.”
Tanpa menunggu jawaban Sam, Catherine sudah meminta Martha untuk membawakan sarapannya.
Tak lama kemudian, Martha kembali dengan meja sarapan.
Catherine meletakkannya di atas kaki Sam. Namun saat Catherine hendak menyuapkan sendok pada Sam, Sam menolaknya, dan menginginkan untuk melakukannya sendiri.
Catherine hanya tersenyum, dan membiarkan Sam makan dengan tangannya sendiri, hingga suapan terakhir.
“Anak pintar,” Catherine tersenyum senang melihat piring kosong telah Sam. “Nah, sekarang kau boleh istirahat lagi.”
Sam hanya mengangguk, dan merebahkan tubuhnya.
Catherine merapikan selimut yang menutupi tubuh kecil Sam, lalu mengecupnya. “Istirahatlah, Sam, kami ingin kau sembuh.”
Setelah itu Catherine meninggalkan Sam agar dia dapat beristirahat.
Tapi Sam tidak dapat tidur. Dia tidak dapat memejamkan mata. Dia takut bila ia memejamkan mata, saat ia bangun nanti semua kebaikan ini akan hilang, dan ia akan kembali di rumah bersama ayahnya dengan sabuk di tangan siap memukulnya lagi.
‘Dean, apa aku sudah bebas sekarang?’
“Hi.”
Sam menoleh dengan suara dari arah pintu. ‘Anak itu lagi.’ Dia menghampiri.
“Aku tidak mengganggumu, kan?” Kini dia sudah berdiri di hadapannya
Sam menggeleng pelan.
“Ibu bilang kamu sedang istirahat, tapi kulihat kamu tidak sedang tidur, jadi mungkin aku boleh menemanimu.”
Sam terdiam, tak mengerti.
“Kamu masih ingat aku, kan? Aku Gab.”
Sam mengangguk ingat, membuat Gabriel tersenyum lega.
“Jangan takut. Aku nggak akan tanya apa-apa. Boleh aku di sini menemanimu?”
Sam hanya mengangguk. Walau ia belum mengerti apa maksud anak ini, tapi Sam tahu, dia bermaksud baik.
Mata Sam beralih lirih pada buku yang dibawa Gabriel. Dia tidak bisa menyembunyikan keinginannya untuk melihat buku itu.
Gabriel menyadari mata Sam tak lepas dari buku yang dibawanya.
“Oh, ini sebuah novel. Judulnya ‘The Phantom Opera’ .”
Sam terus memperhatikannya.
“Kamu mau lihat?” seraya menyodorkan pada Sam.
Sam terdiam ragu. Namun akhirnya ia menerimanya dengan malu-malu.
Dengan sedikit takut ia membukanya dan mulai melihat-lihat.
“Kamu bisa baca?”
Sam menoleh dan mengangguk malu-malu.
“Kamu sekolah?”
Sam harus menggeleng.
Gabriel tertegun. “Dean yang mengajarimu?”
Sam kembali mengangguk, membuat Gabriel tersenyum.
“Kamu bisa menulis?”
Kali ini Sam menggeleng. Dean tidak bisa mengajarinya menulis. Seringnya hukuman jepitan pintu membuat jari-jari tangannya tidak bisa menjepit pena.
“Kamu mau sekolah?”
Sesaat Sam ragu. Dia belum pernah sekolah, dan dia ingin bersekolah seperti anak lainnya. Tapi takkan mungkin.
Sam harus menggeleng.
Gabriel terdiam.
“Aku akan masuk asrama di London tahun ini, menyusul kakak-kakakku yang sudah di sana. Mungkin aku akan berangkat beberapa minggu lagi.”
Sam hanya mendengarkan lalu kembali pada bukunya.
“Itu buku bagus,” lanjutnya lagi. “Aku sudah baca setengahnya….”
Cerita berlanjut dengan Gabriel yang menceritakan buku yang sudah ia baca, dan selanjutnya, entah bagaimana, obrolan mereka terus berlanjut dengan Gabriel yang tidak bisa berhenti bercerita. Mulai dari sekolah baru yang akan ia masuki, kakak-kakaknya yang sudah bersekolah di sana, sampai cintanya pada kuda, dan pengalaman pertamanya menunggang kuda, walau Sam tidak pernah menyahut ataupun menjawab ucapan Gabriel. Sam mengerti semua yang diucapkan Gabriel, hingga terkadang Sam tersenyum atau bahkan tertawa lebar (tetap tanpa suara) bila Gabriel mengeluarkan gurauan, atau sibuk menceritakan sesuatu dengan mimiknya yang aneh, sampai Gabriel tertawa sendiri. Gabriel sempat terkaget dengan tawa dan senyuman Sam, karena ia mengira Sam tidak memiliki emosi. Ia cukup lega dapat membuat Sam senang. Mungkin ia sudah menjadi temannya.
SPNSPSN
John hampir naik darah rasanya. Sudah dua hari anak-anaknya tidak pulang, dan dia tidak tahu di mana mereka. ‘Kaburkah mereka? Nggak mungkin! Dean nggak mungkn berani bawa Sam pergi.’ Dan dia bersumpah, dia akan mencincang habis-habisan mereka berdua bila mereka pulang nanti.
“Awas kalian, ya, kalau kutemukan. Nggak ada ampun lagi!!” bergegas dia keluar rumah untuk mencari mereka berdua.
Sam tidak pernah jauh dari kakaknya, berarti harus menemukan dulu Dean, baru ia tahu di mana Sam. Dan tempat satu-satunya Dean berada, adalah di tempat kerjanya.
Sesampainya di pelabuhan. Dia memang melihat Dean, tapi tanpa Sam bersamanya.
‘Di mana Sam? Apa mungkin Dean menyembunyikan Sam darinya? Awas kalau memang benar!’
John tidak bodoh. Jika ingin tahu di mana Sam, dia harus menunggu sampai Dean selesai bekerja. Dean pasti langsung menemui Sam.
SPN
“Salam buat Sam, ya?” Castiel menitipkannya pada Dean saat mereka berpisah pulang usai kerja.
“Ok,” dengan tersenyum.
Dengan perasaan tenang, ia bergegas menuju kediaman Kel. Sullivan. Dia membayangkan bagaimana Sam di sana. Mudah-mudahan sudah agak lebih baik.
Penuh semangat, Dean mempercepat langkahnya.
“Selamat sore, Martha” Dean menyapa Martha di pintu dapur setibanya di kediaman Kel. Sullivan.
“Selamat sore, Dean,” Mary tersenyum ramah dengan kedatangan Dean. Dia mulai senang dengan anak ini.
“Bagaimana Sam, mudah-mudah dia tidak merepotkanmu atau Ny. Sullivan.”
“Tentu tidak, Dean. Adikmu sangat manis. Dan dia sudah mengobrol dengan Tuan Muda Gabriel.”
Dean terpaku. ‘Sudah berbicara lagikah, Sam?’
Ia segera menuju kamar Sam dan menemukan dia duduk membaca sesuatu, sendirian.
Dean masuk tanpa membuat suara hingga tidak menarik perhatian Sam yang asyik dengan bukunya.
“Apa yang kamu baca, Sam?” suara Dean sangat pelan namun tetap mengagetkan Sam.
Sam tidak dapat lagi menyembunyikan kegirangannya dengan kedatangan kakaknya. Ia langsung memeluk Dean, tanpa mempedulikan lukanya.
“Wow, pelan-pelan, Sam,” Dean tersenyum senang.
Dean berharap dia akan mendapatkan sebuah kalimat, atau paling tidak sebuah suara dari mulut Sam.
Tapi yang ia dapat hanyalah binar mata kegirangan Sam. Dean tersenyum lega, ia kembali dapat melihat lesung pipit Sam saat ia tersenyum.
“Kamu nggak pa-pa?”
Sam mengeleng. Lalu ia menunjukkan buku yang dipegangnya dengan tersenyum lebar.
Dean membaca judulnya, “Kamu suka?”
Sam mengangguk pasti. Dean tersenyum ikut senang. Lesung pipit itu tidak pernah lepas dari senyum Sam. Sangat menggemaskan.
“Selamat sore, Dean.”
Dean segera beranjak dari duduknya. “Selamat sore, Nyonya.” Dia sudah sangat hapal suara ini.
Catherine tersenyum, juga pada Sam.
“Adikmu semakin membaik, Dean, dan dia terlihat sangat senang hari ini.”
Dean menengok adiknya yang masih tersenyum, “Ya, Nyonya, dia senang sekali. Terimakasih.”
“Jangan berterimakasih padaku, tapi pada Gab. Dia yang menemaninya sepanjang siang. Mereka asyik bercerita. Gab yang berceloteh dan Sam siap menjadi pendengar. Kamu menyukai Gab bukan?” tanyanya pada Sam.
Sam mengangguk malu-malu.
“Dia juga menyukaimu. Tapi maaf, saat ini Gab sedang bersama gurunya. Ia harus belajar untuk persiapan sekolahnya.”
Dean mengangguk. “Tidak apa-apa, Nyonya.”
“Baiklah, aku tinggal dulu. Aku ingin menengok Gab sebentar, ya,”
Dean kembali menganguk, “Terimakasih, Nyonya.”
Catherine hanya tersenyum dan beranjak keluar kamar.
Dean segera beralih pada Sam yang semakin lebar senyumnya.
“Kamu senang, ya?”
Sam mengangguk pasti.
Tak dapat menahan, Dean langsung memeluk dan mengecup adiknya yang kini sudah bersih dan wangi, semakin gemas jadinya.
“DI MANA ANAK-ANAK SAYA!!??”
Suara keras dan kasar dari arah luar mengagetkan mereka dan langsung membuat mereka terpaku pucat.
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar