Chapter 9
“Hallo, nak,” Dean terkaget dengan suara berat di sampingnya. Dia pria yang bersama Ny. Catherine. “Tuan,” segera beranjak dari duduknya dan melepas pelukan adiknya. Ia meyakini dia adalah suami Ny. Catherine, Tn. Sullivan.
“Tidak perlu, Dean. Duduklah, adikmu sangat membutuhkanmu.”
Dean melirik Sam yang memang sejak tadi tidak melepaskan genggaman tangannya dengan erat.
“Jangan kuatir Tuan, saya akan membawanya pulang. Saya tidak akan merepotkan Tuan dan Nyonya lagi.”
“Tidak usah Dean. Sam boleh berada di sini sampai dia sembuh. Kau ingin adikmu sembuh, bukan?”
Dean mengangguk lirih.
“Kau sangat menyayanginya, dan dia begitu menurut padamu.”
Dean terdiam. “Dia kesakitan.”
“Ya, kami sangat melihat itu.”
Peter menghela nafas.
“Dean, kalau boleh kami tahu, apa yang terjadi dengannya? Siapa yang melakukannya?” Peter dengan penuh hati-hati tidak ingin menyinggungnya.
Dean terkatup.
“Dean, mungkin dengan kami mengetahuinya, kami bisa menolong adikmu. Maaf, apa adikmu bisu?”
Dean menggeleng lirih “Dia tidak bisu, dia bisa bicara. Dia hanya tidak mau bicara.”
Catherine terkatup. “Kenapa dia tidak mau bicara?”
“Karena… karena ‘dia’ tidak suka mendengar suara Sam, juga tangisan dan teriakannya. ‘Dia’ sangat membenci Sam.”
“Dia? Dia siapa, Dean? Siapa yang begitu membenci Sam?”
Dean terkatup.
“Apa dia Tuanmu? Majikanmu, atau orang tua kalian?”
Dean sempat terdiam, dan menggeleng. Dia tidak ingin mengatakannya. Dia tidak boleh menceritakannya.
“Dean, ayolah, kami hanya ingin membantu. Adikmu sudah mengalami hal yang buruk; adikmu sudah diperlakukan dengan tidak baik. Dia disakiti, Dean, kau ingin adikmu terus mengalami ini?” Catherine mencoba untuk terus membujuk.
Dean menggeleng perih.
“Karena itu, ceritakan pada kami. Siapa yang melakukannya, dan kami akan membantu kalian,” Peter turut membujuk. “Apa kau takut padanya?”
Dean menggeleng lirih.
“Nah, ceritakanlah,”
Dean menengok lirih pada Tuan dan Nyonya Sullivan lalu pada Sam, lalu kembali pada Tuan dan Nyonya yang baik ini, hingga tanpa sadar ia mengucapkannya,
“Pa,” lirih hampir tak terdengar. “Dia yang melakukannya.”
Peter menahan nafas mendengarnya.
“Dia selalu memukulnya setiap hari. Sam tidak pernah diperbolehkan keluar rumah dan selalu menerima kemarahannya. Dia sangat membenci Sam. Dia tidak pernah menyukainya, bahkan tidak menginginkan Sam lahir.”
“Ibumu?”
“Ma sudah meninggal saat Sam umur 3 tahun, dan sejak itu ‘dia’ tidak pernah berhenti memukulnya.”
Peter terdiam, tidak tahu harus berkata apa.
“Apa kau juga sering dipukulnya?”
Dean mengangguk. “Tapi tidak sesering Sam. Hanya bila saya membuatnya marah.”
“Dengan apa dia memukul kalian?”
“Dengan apa saja. Dengan sabuk tuanya, sapu, juga tangannya. Terkadang juga dengan kakinya, atau membenturkan kepala kami ke dinding. Tapi lebih sering dengan sabuknya.”
Catherine kemudian teringat dengan luka-luka gigitan di wajah dan tangan Sam. “Luka gigitan itu?”
“ ‘Dia’ sering memasukkan tikus-tikus besar bila ia mengurung Sam dalam lemari. ‘Dia’ tahu Sam sangat takut tikus, dan akan panik bila dekat dengan mereka_”
“Dan bila ia panik, mereka akan lebih panik lagi, lalu menggigitnya?” Peter mencoba menebak.
Dean mengangguk.
“Dan luka melepuh di paha belakang Sam?”
“ ‘Dia’ menyiramnya dengan air panas waktu Sam masih berumur 5 tahun karena Sam selalu menangis dan berteriak kesakitan setiap kali ia memukulnya, dan sejak itu Sam tidak berani mengeluarkan suaranya lagi. Sam tidak pernah lagi menangis, juga tidak pernah berteriak kesakitan.”
Peter dan Catherine, menarik nafas dalam-dalam, hampir tidak percaya dengan apa yang mereka dengar. Peter semakin mual mendengarnya
Spontan Catherine memeluk Dean, “Tidak apa-apa, Dean. Selama Sam di sini tidak ada yang bisa menyakitinya lagi. Kami yang akan merawat lukanya hingga sembuh, begitu juga kamu. Kamu boleh tinggal di sini.” dengan air mata yang sudah menetes di pipi.
Peter pun mengangguk pasti disertai senyuman.
“Terimakasih, Tuan, Nyonya, ” ada perasaan lega. Ia menemukan keluarga yang menyayangi Sam.
*
Catherine sangat ingin mengajak kedua anak malang itu untuk tinggal bersamanya. Dean dan Sean sudah sangat menderita, mereka teraniaya, dan ia harus mengehentikannya. Tapi tentu tidak akan segampang itu mengajak mereka berdua untuk tinggal bersama. Mereka masih memiliki ayah, meski aayah yang selalu menyakiti mereka, tapi Catahrine tidak memiliki hak untuk mengambil Dean dan Sam dari ayahnya. Kini yang dapat ia lakukan hanyalah merawat Sam hingga benar-benar sembuh. Tapi tentu saja, harus persetujuan Gabriel. Bagaimanapun Catherine harus tahu apakah putra bungsunya dapat menerima kehadiran dua anak yang sama sekali tidak ia kenal untuk tinggal bersama mereka, meski hanya sampai Sam sembuh benar.
“Gabriel sayang, kau tidak keberatan bukan, bila Sam juga Dean tinggal bersama kita hingga Sam sembuh benar?” Catherine dengan hati-hati.
Gabriel tercenung. “Kenapa dengan mereka? Apa yang telah terjadi pada mereka?”
“Sangat menyedihkan, sayang. Ayah mereka yang melakukannya.”
Gabriel terdiam. “Dia yang memukul anak itu?”
Catherine mengangguk, “Ya, hampir setiap hari. Ayahnya begitu membencinya dan selalu melampiaskan kemarahannya pada Sam.”
Gabriel terkatup.
“Karena itu, ibu ingin merawat Sam hingga ia benar-benar sembuh. Kau tidak keberatan bukan?”
Gabriel masih terdiam, tapi kemudian menggeleng, “Tidak, aku tidak keberatan, bu. Dia sepertinya anak baik.”
Catherine menghela nafas lega, dan tersenyum, “Mereka anak yang baik, Gab, dan malang. Mungkin kau bisa menjadi temannya, terlebih dengan Sam.”
“Aku mau menjadi temannya, dan aku sudah mencobanya tadi siang. Aku sapa dia, tapi dia tidak menyahutnya. Dia tidak pernah menjawab apa yang aku tanyakan,” dengan terheran.
“Karena dia tidak bisa bicara, Gab. Ayahnya menghentikan suaranya sejak ia berumur 5 tahun. Dia tidak mau bicara, bahkan tidak mau mengeluarkan suaranya.”
Gabriel benar-benar terdiam.
“Kau bisa menjadi temannya, kan, sayang?”
Gabriel mengangguk.
Catherine tersenyum lega. “Ibu tahu, kau anak yang baik. Dan dia sedikit takut, mungkin trauma karena perlakuan ayahnya. Jadi kau harus pelan-pelan dengannya, jangan membuatnya takut.”
Gabriel kembali mengangguk.
Catherine langsung mengecup putra tersayangnya. “Terimakasih, sayang, kau memang anak yang baik.”
“Sekarang masuklah, mungkin kau bisa menemaninya bersama Dean.”
Sesaat Gabriel ragu, tapi ibunya mengangguk meyakinkannya, membuatnya melangkahkan kakinya menuju kamar Sam.
Dia menemukan Dean duduk di samping Sam yang tertidur dengan tangan terus memegang tangan kakaknya.
“Hi,” Gabriel menyapanya dengan tersenyum.
Dean segera menoleh. Sempat ada ketakutan dengan kedatangannya. Ia tahu dia Tuan Muda Sullivan, bernama Gabriel. Mungkinkan dia tidak senang Sam berada di rumahnya? Dean tahu, anak-anak kaya bisa sangat sombong, meski orang tua mereka sangat baik. Tapi dia tersenyum ramah.
“Boleh aku ikut menemaninya?”
Dean sempat terheran. Tapi dia masih menunjukkan kehangatannya. Dean hanya bisa mengangguk.
Gabriel tersenyum senang, lalu duduk di tepian tempat tidur, membuat Dean harus berdiri untuk menghormatinya, dan mungkin saja dia tidak suka dengannya.
“Mau ke mana? Kamu boleh menemaninya. Kita bisa menemani Sam sama-sama, kalau kamu nggak keberatan.”
‘Keberatan? Justru aku yang heran kenapa kamu mau menemani Sam?’ Tapi Dean hanya mengangguk, “Terimakasih.”
Dean tidak tahu harus berucap apa. Dirinya dan Sam diperlakukan dengan baik oleh Keluarga Sullivan. Mereka bahkan mengajaknya makan malam bersama di meja yang besar setelah melayani Sam makan malam di tempat tidurnya. Mereka menerimanya, tidak melihat betapa miskinnya ia. Mungkinkah karena Sam? Mungkin mereka iba pada Sam, atau mungkin jatuh hati? Dean tidak peduli. Yang penting Sam sembuh, mereka bersedia merawatnya. Dia juga tidak ingin memikirkan apa yang akan mereka terima sepulangnya mereka nanti ke rumah. Sudah pasti ayahnya akan marah besar dan memukulinya, terlebih Sam. Dean merinding memikirkannya.
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar