Sabtu, 02 Oktober 2010

Beauty Love Brother - 6


Rating : K+

Genre : Family

Character : Alec, Ben, Dean, Sam


Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?

ENJOY 


 

Bagian 6

   “Selamat tinggal Alec,maafin aku, aku nggak bisa bantu kamu lagi, kamu sudah besar, sekarang...
   “Nggak…Ben, … jangan pergiaku masih butuh kamu….” Alec mengerang dalam tidurnya, terjebak dalam mimpi buruk yang selalu menghantuinya.   “Ben…aku mohon....BEENN!!!!” teriakannya membangunkan dirinya dari tidur dengan pucat dan berkeringat. “Ben?” ia segera menengok ke arah tempat tidur di sampingnya, tempat tidur Ben. Tapi tempat tidurnya kosong!
    “Ben!?” rasa takut langsung menyergapnya; ketakutan akan mimpi buruknya menjadi kenyataan. Ia kemudian tersadar ada sesuatu yang melingkar di lehernya. Bukan kalungnya,tapi ada kalung lainnya. Dilihatnya kalung tersebut, dan langsung terpaku pucat melihat nama Ben tersemat dia salah satu kalung yang melingkar di lehernya. Jantungnay langsung berpacu kencang
     “Nggak…Ben!?” ia bergegas memeriksa lemari kecil milik Ben dan menemukan lemarinya telah kosong, dengan sepucuk surat di sana. Bentuk tulisan cakar ayam Ben langsung membuatnya pucat,
    Maafin aku Alec, aku harus pergi. Ada yang ingin mengadopsiku untuk jadi anak mereka. Aku nggak mau pergi, tapi harus. Aku akan tinggal kalau aku bisa. Kamu boleh benci aku, tapi aku nggak akan membencimu. Baik-baiklah, dan jaga diri kamu baik-baik. Aku akan mengingatmu di dalam hatiku, dan maafin semua ucapanku tadi sore. Aku sayang kamu melebihi barang apapun yang pernah aku punya, dan aku akan selalu bersamamu di hatiku.
Selamat tinggal, semoga kita bisa ketemu lagi nanti – Ben-
Alec langsung merasa sesak dengan panik. Ben sudah pergi, Ben sudah meninggalkan dia!
    “NGGAK... NGGAK....NGGAKKK ……BEEENNNN!!!!” Alec berlari keluar dengan menangis deras

    “Alec?” Suster Anne melihat sosok kecil berlari dengan histeris keluar gerbang.

    “NGGAAAAKKK!! BEEEEEENNN!!!!!! Jangan tinggalin aku... kamu udah janji nggak akan ninggalin aku, Ben, kamu udah janjI!!!! Nggak, tolong jangan perg, Ben!!!” Alec menangis dengan histerisnya, meski ia tidak tahu untuk apa ia menangis karena ia sudah tidak menemukan Ben lagi di sana. Mungkin Ben sudah pergi, jauh sebelum Alec bangun.
Alec lemas ke tanah, berlutut dengan tangisnya yang deras. Dia menangis, dia memaki, dia mengutuk Ben karena sudah meninggalkan dirinya. Dia menangis dengan histerisnya, tak peduli tubuhnya bisa menyokongnya. Dan Alecpun mulai kesulitan bernafas. Dia tersengal-sengal mencari udara diikuti rasa sakit yang menekan dadanya, tapi rasa panik dan histerisnya hanya membuatnya semakin kesulitan bernafas,dan akhirnya ia kehilangan semuanya saat semuanya tiba-tiba menjadi gelap
   “ALEC!!!” Suster Anne langsung berlari mengejar dan menangkap tubuh Alec saat melihat sosok kecil itu akhirnya tumbang.  

    “Alec, sayang?” saat Suster Anne sudah memeluk tubuh yang sudah tak sadarkan diri, dan kemudian perlahan berubah menjadi biru. “Ya Tuhan,” ia langsung mengangangkatnya dan berlari ke dalam “BAPA!!”
 Mereka segera membaringkannya di ruang kesehatan dan mulai memberikan tindakan yang kini menjadi hal rutin mereka, bila Alec terkena serangan.
Suster Anne memakaikan masker oksigen sederhana pada Alec, sementara Suster Theresa meracik obat yang biasa mereka gunakan untuk mengurangi rasa sesak dan sakit di dada Alec dan langsung mengolesinya di dada dan punggung Alec dan menghangatkan tubuhnya.
    “Tidak apa-apa sayang, kembalilah pada kami, nak, kau kuat, sayang,” Suster Theresa terusmengusapnya hangat, memanggil Alec disertai doa.
Dan perlahan mereka dapat mendengar rintihan lirih diantara suara nafas yang tersengal-sengal berusaha mencari udara
    “B... Ben…!”
   “Tidak apa-apa, nak, tenanglah, bernafas pelan-pelan, sayang ….”
   “Ben…a..ku...mau...B..Ben!Alec mulai berontak di tenga kesakitannya.
  “Shs….tenang, sayang, kau masih memiliki kami, nak,” Sister Anne  mencoba menenangkan Alec.
   “Ng..g...ngg..akk, … Ben… t..o..l...ong, ng..ga..k...b..is..a...na..fa...s!kembali menangis di tengah kesulitan bernafas. Dadanya terasa sakit sekali, dan akhirnya ia tak daopat melawannya, dan kemabli tak sadarkan diri terjebak dalam sakit di dadanya
Father Simon membalutnya kain yang sudah diolesi obat mengelilingi dadanya, yang akan membantu meringanakan Alec bernafas. Mereka tahu ini bukan radang paru-paru dari udara dingin, tapi dari serangan emosi yang berat dan mendadak. Tapi bisa jadi memburuk kalau mereka tidak merawatnya dengan baik. Sekarang yang bisa mereka lakukan adalah menunggu tubuh Alec menyerap obatnya dan membuatnya tenang.

Pelan-pelan Alec membuka matanya dengan lemahnya, dan menemukan Suster Anne duduk di tepi tempat tidur.
Suster tersenyum dengan leganya, “Hey sayang.”
Dada Alec terasa sakit sekali. Ia melihat sekelilingnya dan menyadari dirinya ada di ruang kesehatan, dan langsung teringat kemungkinan kenapa dia sampai terdampar sini, Ben!
Alec langsung dan mencari sosok Ben yang biasanya tidak pernah meninggalkan dia di saat sakit seperti ini. Ben akan selalu di samping tempat tidur Ben menemaninya, Ben adalah orang pertama yang biasanya ia temu saat membuka mata di saat sakit. “Ben…?”
Tapi tidak ada. Tidak ada Ben. Rasa takut kembali menyergap, benarkah Ben sudah benar-benar pergi meninggalkan dia?
   Suster, Ben mana?” dengan mata sayunya. Suaranyapun begitu kecil dan lirih
Suster Anne menghela nafas, “Alec…”
    “Ben nggak ninggalin aku, kan, Suster?
    “Alec, sayang…”
Alec terpaku, “Jadi dia bener ninggalin aku, Suster?” itu seperti penekanan akan kenyataan yang menjadi mimpi buruk Alec, saat menyadari Ben benar-benar telah pergi dan tidak akan kembali.
    “Dia harus pergi, Alec....”
    “Tapi dia udah janji, Suster, dia janji nggak akan pernah ninggalin aku, dia udah janji!”
    “Suster tahu, sayang, tapi dia harus pergi.”
    “Nggakk…, Ben…,” ia mulai menangsi lagi. Dadanya semakin terasa sakit.
    “Shs… sayang, tidak apa-apa, kau masih memiliki kami, sayang,” tersu mencoba untuk menangkan bocah yang sedang hancur hatinya.
    “Terus siapa yang mau nyanyiin aku!?”
    “Kami yang akan menyanyikanmu, nak.”
Tapi untuk sekarang Alec hanya ingin Ben yang menyanyikannya. Dia hanya mau Ben!
    “Aku benci dia! Aku benci dia! Aku benci dia! Aku benci dia!Alec mulai histeris lagi
Suster Anne langsung memeluk Alec ke dalam pelukannya menenangkanya, dan memastikan semua akan baik-baik saja
     “Shss… kau akan baik-baik saja, sayang, kami janji,” terus menenangkannya hingga Alec tidak berontak lagi. Bagaimanapun Alec harus tetap bisa menerimanya

TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar