Chapter 13
“Winchester!”
Mendengar namanya dipanggil, Dean maju selangkah menghadap, setelah Adam yang berada di depannya keluar dari barisan.
“Nih upahmu, 50 sen. Sebagian milik Sam. Dia belum menerima upahnya sejak terakhir kali ia mengirimkan suratku,” seraya menyerahkan kepingan itu.
Dean tersenyum senang menerimanya, “Baik Tuan, terimakasih banyak,” dan segera keluar dari barisan.
Betapa senangnya ia menerima uang sebanyak itu, dan ia tahu, sebagian itu milik Sam. Disisihkannya beberapa keping milik Sam, dan sisanya akan ia serahkan pada Nyonya Sullivan. Bergegas ia menuju rumah Keluarga Sullivan.
Di depan pintu rumah besar itu, Dean menimbang-nimbang keping-keping di tangannya. 30 sen, cukupkah untuk mengganti pengobatan Sam? Dean tidak tahu. Mungkin cukup.
Dengan menarik nafas dalam-dalam, Dean mengetuk pintu. Seorang pelayan membuka pintu untuknya dan segera memanggilkan Ny. Sullivan.
“Dean? Syukurlah kau kembali, nak,” Catherine tak dapat menyembunyikan rasa senang dengan kedatangan Dean dan langsung memeluknya. “Ya Tuhan, apa yang terjadi denganmu?” setelah melihat wajahnya yang memar.
“Tidak apa-apa, Nyonya.”
“Dia yang memukulmu, kan?”
Dean tak berani menjawab.
Catherine menarik nafas. “Bagaimana Sam?”
“Sam tidak apa-apa, Nyonya, dia baik-baik saja,” Dean harus berbohong.
“Tidak Dean, saya tidak percaya. Ya, sudah, Kita obati dulu lukamu,” seraya mengajaknya masuk.
“Jangan, tidak usah, Nyonya, terimakasih,” Dean menolak pasti.
“Dean?”
“Saya kemari hanya ingin… hanya ingin…” Dean tidak tahu bagaimana harus berkata. Akhirnya dengan malu-malu dia mengulurkan satu kantong kecil kepada Ny. Sullivan.
Catherine tercenung. “Apa ini, Dean?”
Dean terkatup tetap tangan menyodorkan kantung kecil itu.
Catherine menerimanya dengan ragu. ‘Berat’. Dibukanya, dan terlihat beberapa keping sen di sana.
“Apa ini, Dean?”
“Kalau masih belum cukup, saya akan kembali minggu depan setelah saya menerima upah saya.”
“Dean…,” Catherine harus menggeleng-gelengkan kepala. Diserahkan kembali kantung tersebut ke tangan Dean. “Tidak perlu, Dean.”
“Saya berhutang pada Nyonya.”
“Tidak, Dean, kau tidak berhutang apa-apa. Saya melakukannya dengan senang hati, dan kalau kau ingin tahu, saya sangat menyayangi kalian, kamu dan Sam. Jadi kau tidak berhutang apa-apa.”
Dean terkatup. ‘Ny. Sullivan menyayangiku dan Sam?’
“Simpan kembali uangmu, Dean, kalian sangat membutuhkannya,” Catherine memaksa untuk menyimpan uangnya dengan tersenyum hangat.
Dean masih ragu. “Tapi, Nyonya…”
“Simpanlah,” Catherine memasukkan kantung uang itu kembali ke saku baju Dean.
Dean terdiam, tak tahu harus mengatakan apa.
Catherine menghela nafas dengan tersenyum, “Sudahlah, sekarang kita obati lukamu ini.”
“Tidak usah, Nyonya. Saya tidak apa-apa, terimakasih.”
“Dean…”
“Sungguh saya tidak apa-apa. Ng… terimakasih, Nyonya, saya permisi, Sam sudah menunggu saya di rumah.”
“Tunggu, Saya ikut denganmu, Saya ingin bertemu Sam.”
“Jangan! Jangan Nyonya,” Dean tetap bersikeras.
“Dean…, Sam tidak apa-apa, kan?” Catherine langsung curiga.
“Tentu Nyonya, Sam baik-baik saja. Luka-lukanya semakin membaik, saya yang merawatnya,” penuh harap Dean berdoa Sam baik-baik saja di rumah.
“Syukurlah,” Catherine sedikit bernafas lega.
“Terimakasih atas kebaikan Nyonya,”
Catherine harus tersenyum. Ia membungkuk dan memberi kecupan di pipi Dean, “Berikan salamku pada Sam.”
“Baik, Nyonya, terimakasih. Saya permisi,” dan beranjak keluar.
Catherine kembali melihat Dean keluar dari pintu itu. Sekali lagi ia tidak bisa memaksa Dean.
Betapa senangnya, Dean, mendengar Ny. Sullivan menyayanginya dan Sam. Baru kali ini ada yang mengatakannya pada mereka. Tapi Dean pun tahu, dia tidak boleh mengharapkan apa-apa dari Ny. Sullivan. Dia hanya sayang dan peduli, tidak lebih, dan Dean tidak ingin merepotkannya lagi. Dia sudah sangat baik pada mereka.
Sesampai di rumah, Dean mendapati ayahnya tak sadarkan diri di meja dengan botol-botol minuman yang sudah kosong dan puntung-puntung rokok di sekelilingnya. Dean sedikit dapat bernafas lega. Ada kesempatan untuknya menyimpan uang. Dia hanya menyiapkan 20 sen untuk ayahnya sementara sisanya ia simpan untuk Sam dan selebih untuk persiapan mereka kabur.
Tapi dia tidak melihat Sam.
Ia langsung membuka lemari di bawah tangga. Kosong. Ketakutan mulai menyergap. Dean segera naik ke atas, dan saat itu juga dia bernafas lega. Sam meringkuk di dipannya, tertidur lelap.
“Sam,” disentuhnya pipi adiknya, tapi dia pun terkaget. Badan Sam terasa hangat. “Sam…?”
Tidak ada reaksi.
“Sammy, bangun, Sammy, ini aku.”
Tetap, Sam tidak terbangun. Terlihat darah mengering di tepian bibir Sam.
Dean memutuskan untuk melihat luka Sam di belakang. Luka-lukanya masih mengeluarkan darah, dan semakin terlihat infeksi. Tanpa pikir panjang ia segera turun ke bawah, mengambil air bersih.
Dibersihkannya luka-luka yang masih basah itu, juga darah mengering di sekitar pahanya. Dia tidak tahu dari mana darah itu berasal, tapi mungkin dari luka infeksi di pantatnya.
Sam langsung bergerak panik saat ia menyentuh pantatnya.
“Shs, tenang Sam, ini aku. Jangan gerak dulu. Aku bersihin lukamu.”
Dengan suara kakaknya, Sam langsung tenang dan tetap diam.
“Dia memukulmu lagi?”
Sam menggeleng.
Jawaban Sam cukup melegakannya. ‘Tidak ada pukulan pun, sudah seperti ini, apalagi bila dia memukulnya lagi.’
“Dah,” seraya menutup kembali baju Sam dan memakaikan celananya. “Masih sakit sekali?”
Sam mengangguk pasti. Dean tahu itu, karena itulah suhu tubuhnya sedikit naik. Dia menahan rasa sakit itu.
“Udah, nggak pa-pa,” lalu memeluk tubuh Sam, dan Sam segera meringkuk di sana. “Oh, ya, Sam, aku tadi bertemu Ny Sullivan. Dia titip salam buat kamu. Kamu tahu, dia sayang kamu, Sam.”
Sam sempat tak percaya mendengarnya. Ia tersipu sendiri, lalu memandang memandang mata kakaknya dengan dalam mengirimkan sebuah kalimat ke sana.
“Iya, Sam, aku tahu kamu senang tinggal di sana,” Dean perih membaca mata kecil itu. “Aku juga ingin kamu tinggal di sana biar ada yang jagain. Tapi dia bukan siapa-siapa, Sam. Kita nggak boleh ngerepotin mereka lagi,” ia sangat berharap dapat memberikan kalimat sebaliknya.
Sam mengangguk lirih mengerti.
Dean kembali memeluk adiknya erat, “Jangan takut, Sam, uangku sudah hampir banyak, kita bisa segera pergi dari sini, ya.”
Sam hanya mengangguk di dalam dekapan kakaknya yang hangat.
SPN
Kediaman Kel. Sullivan.
“Aku ingin membawa mereka kemari, Peter.”
“Catherine jangan gegabah. Jangan terbawa emosi.”
“Tapi Peter, tidakkah kau lihat bagaimana wajah Dean saat ia kemari tadi, penuh memar dan luka. Dia pasti memukuli mereka lagi. Dan Sam, … ya Tuhan dia masih sakit.”
“Iya, tapi kau tidak bisa membawanya ke sini dan mengasuhnya, mereka masih memiliki ayah.”
“Ya, ayah yang jahat. Dia tidak berhak mendapatkan anak-anak istimewa seperti Dean dan Sam.”
“Istimewa?” Peter harus tersenyum simpul. “Kau rupanya sudah sangat jatuh hati dengan mereka?”
“Apa itu salah? Mereka anak-anak yang malang, Peter. Mereka terlalu baik untuk seperti itu. Aku memang sudah jatuh hati pada mereka, terlebih Sam. Dia sangat manis. Aku ingin mengasuh mereka, Pete, aku ingin menggantikan ibu yang tidak mereka miliki. Dan aku rasa Gabriel tidak akan keberatan. Mereka sudah berteman.”
“Catherine, kau terlalu baik. Tapi tak semua niat muliamu dapat terkabulkan. Mereka bukan milikmu, dan kau tidak bisa memiliki mereka,” mencoba memberi pengertian.
Catherine menghambur ke dalam pelukan suaminya. “Peter, aku hanya ingin menolong mereka, melindungi mereka, dan mencintai mereka.”
“Aku tahu, sayang. Tapi kau tetap tidak bisa memiliki mereka.”
Catherine hanya mempererat pelukan suaminya.
SPN
Dean terbangun di pagi hari dan harus merasakan tubuh adiknya yang terasa panas.
‘Ya Tuhan.’
“Sam…?”
Mata Sam terbuka perlahan-lahan. Sangat pucat dan sayu, terlihat di bawah matanya menghitam.
“Kamu sakit, Sam.”
Sam hanya memandangi kakaknya.
“DEAN! BANGUN, KAMU!”
Dean tak bergeming dengan panggilan ayahnya. Dia memikirkan bagaimana Sam.
“DEAN!! JANGAN SAMPAI AKU MENYERETMU TURUN!!”
Dean menjadi bingung.
“DEAN!!!!”
Ia tahu, ayahnya tidak main-main.
“Sebentar ya, Sam,” dan segera turun.
“Mana uangmu? Kamu belum menyetorkan uangmu,” tagih John langsung.
Dean menelan ludah. Ia merogoh saku bajunya, dan mengeluarkan kepingan-kepingan sen, lalu menyerahkan pada ayahnya yang langsung direbutnya.
John menghintungnya, matanya berubah melotot seketika.
“Kok cuma segini?”
“Ya, pa, aku beberapa hari nggak masuk, jadi Tn. Singer memotong upahku.”
“Kenapa kamu nggak masuk kerja? Pergi kemana kamu?”
Dean bingung harus menjawab bagaimana.
“Jangan bilang kamu menghabiskan harimu di rumah besar itu, heah!” dengan menjambak rambut Dean.
“Nggak!!!”
“Lalu kemana?”
Dean tidak bisa mengatakannya. Tidak mungkin ia mengatakan ia menyimpan selebih untuk persiapan mereka kabur. Dia sudah tidak punya kebohongan lagi.
“BRENGSEK!!!” disertai pukulan di pipi Dean.
“Pergi kamu dari sini, aku sudah muak melihatmu!” dengan menendang tubuh Dean.
Dean memekik dan beranjak menahan sakit, lalu menarik tubuhnya ke luar rumah. ‘Tuhan lindungi Sam’.
Dean tidak dapat bekerja dengan tenang. Sam sedang sakit, dia demam. Akhirnya ia meminta izin untuk pulang lebih awal. Syukurlah Tn. Singer mengizinkannya. Dia bahkan membawakan makanan untuk Sam. Dengan bergegas ia pulang ke rumah.
SPN
Sam tidak berani melihat ayahnya yang semakin mabuk. Dia berdiri tak jauh dari meja ayahnya. Badannya terasa tidak enak, terasa sakit semua, terlebih dengan bagian bawahnya yang masih melepuh. Dia tidak kuat berdiri. Kakinya bergetar kuat. Keringat dingin semakin membasahi tubuhnya dan membuat luka-lukanya kembali perih. Ia tahu dia demam, tapi untuk naik ke atas untuk berbaring, tentu tidak berani. Ayahnya kapan saja dapat memanggilnya.
“Sini, kamu!”
Sam menegang dengan suara ayahnya yang tiba-tiba.
Dengan gemetar dan sakit saat melangkahkan kaki, Sam mendekatinya, dan langsung tercium nafasnya yang berbau busuk.
“Sini! lamban sekali sih!” dengan menarik kasar Sam dan langsung melayangkan tangannya ke wajah Sam.
Sam meringis dengan menutup mata.
Dan kemudian menjatuhkan Sam ke lantai lalu menendang perut Sam beberapa kali. “BRENGSEK, KENAPA KAMU HARUS HIDUP!!! KENAPA HARUS MARY YANG MATI, BUKAN KAMU!!! GARA-GARA KAMU DEAN KEHILANGAN IBUNYA! KAMU MERUSAK HIDUPKU DAN DEAN!” pekiknya di tengah serangan kakinya ke perut Sam.
Sam meringkuk kesakitan dengan serangan brutal ayahnya. Berusaha keras dia tidak memekik kesakitan ataupun menangis dengan menggigit tepian bibirnya. Hingga tanpa sadar ayahnya sudah menarik tubuhnya dan menengkurapkannya ke atas meja dan melepas seluruh pakaiannya.
Sekali lagi Sam merasakan pukulan dari sabuk tua ayahnya di punggungnya bertubi-tubi. Sam tetap tidak bersuara, pandangannya mulai kabur. Semakin kuat ia menggigit bibirnya untuk menahan teriakan dan rasa sakit, semakin deras darah mengalir dari bibirnya.
“BRENGSEK!” John memberikan beberapa cambukan lagi sebelum menghentikannya dan menyundutkan rokoknya di tengkuk leher Sam. Sam mengejan dengan kuatnya.
Setelah itu John menarik Sam dengan kasar. Ia tahu Sam sudah tak punya tenaga untuk berdiri karena itu ia mengikat kedua tangan Sam menjadi satu dengan tali yang kemudian diikatkan pada kayu di langit-langit rumah yang tak terlalu tinggi namun cukup untuk Sam berdiri di ujung jari-jari kecil kakinya. John melihat sosok lunglai tergantung dengan pasrahnya. Wajah dan tubuhnya sudah biru lebam dengan darah yang menutupi punggungnya akibat sabetan sabuk tuanya yang bertubi-tubi. John tersenyum dengan puasnya.
SPN
“Dean?”
Dean segera menoleh dengan seseorang yang memanggilnya saat perjalanan pulang, dan terkaget, “Ny. Sullivan?”
“Kebetulan kita bertemu di sini,” Catherine memberikan senyum hangat “Senang bertemu denganmu lagi, Dean.”
“Saya juga, Nyonya.”
“Kau baik-baik saja?”
Dean mengangguk sopan.
“Sam?”
Kali ini Dean terkatup. Dia ragu untuk mengatakannya pada Ny. Sullivan. Akhirnya dia kembali mengangguk.
“Syukurlah,” Catherine tersenyum lega. “Mau kemana kamu? Tidakkah kamu bekerja?”
“Saya harus pulang Nyonya, Sam seda…” ia tersadar sendiri, dia hampir terlepas.
“Sam kenapa?” Catherine langsung curiga.
Dean langsung menggeleng, “Tidak apa-apa, Nyonya. Sam tidak apa-apa.”
Tapi Catherine tidak percaya. Dean terlihat sangat gugup. “Jangan bohong, Dean. Ada apa dengan Sam?”
“Sungguh Nyonya, Sam tidak apa-apa. Maaf saya harus pergi,” sesegera mungkin Dean berlari dari hadapan Ny. Sullivan.
“Dean!”
Tapi terlambat, Dean sudah berlari melarikan diri.
“Anton, ikuti dia! Aku tahu dia menyembunyikan sesuatu.”
“Baik, Nyonya,” dengan cepat Anton mengejar Dean.
Dean menyadari dia diikuti. Mereka mengejarnya!
“Nak, jangan lari!” suara Tuan itu tepat di belakangnya semakin mendekat. Dipercepatnya larinya dan berusaha untuk menghindari mereka.
Hingga akhirnya, dia yakin dia telah lepas dari mereka, setelah Dean dengan sukse mengelabui mereka dengan masuk diantara gang-gang sempit yang kotor.
Dean mengatur nafasnya yang tersengal-sengal. Perasaan tidak enak dan rasa bersalah menyelimutinya. ‘Maafkan saya, Nyonya. Saya sudah terlalu merepotkan Nyonya.’
Setelah meyakini dia benar-benar lepas, Dean bergegas pulang. Sam menunggunya.
Tak berapa lama, Dean sudah sampai di depan rumahnya, dan terdengar suara pukulan sabuk ayahnya mengenai sesuatu.
Dean segera membuka pintu dengan panik “SAM!?” dan benar dia mendapati ayahnya sedang memukul punggung Sam yang sudah lemas. Tapi yang membuat Dean shock adalah posisi Sam yang tergantung lunglai pada tali, dengan ayahnya yang terus memukul Sam.
“Hentikan!!” Dean dengan paniknya mendorong tubuh besar ayahnya hingga tersungkur, dan segera melindungi tubuh adiknya.
“KURANG AJAR!!!” John segera bangkit penuh amarah. “MASIH BERANI KAMU YA!!
Dean tahu, ini akan terjadi lagi. Ayahnya akan melampiaskan kekesalannya padanya. Tapi ia tak peduli. Ia siap menerimanya kembali.
Dean berusaha menahan tubuhnya menutupi Sam, tidak peduli pukulan-pukulan sabuk ayahnya mengenai punggungnya. Dean bertahan menutupi tubuh adiknya.
“HEY!!!” seseorang tiba-tiba masuk dan menerjangnya hingga terpelanting tak sadarkan diri, bersamaan dengan sebuah suara yang sangat ia kenal, “Ya, Tuhan, Dean, Sam!”
“Nyonya?”
Catherin sempat shock dengan pemandangan mengerikan yang ia temukan. Sam lunglai tergantung pada tali dengan kaki yang hampir tak menyentuh lantai, tapi ia langsung terasadar dan segera menarik Dean dari tubuh Sam, dan mendekap tubuh kecil Sam yang sudah tak sadarkan diri.
“Anton, lepaskan talinya”
Seperti yang selalu membawa pisau di sakunya, Anton langsung mengeluarkan piasu dan memotong talinya.
Tubuh kecil Sam terlepas dari tali dan langsung jatuh ke pelukan Catherine. Catherine ingin marah rasanya, selain Sam yang tak berpakaian, darah juga memenuhi punggungnya. Tapi lebih kaget lagi dengan tubuh Sam yang panas.
“Sam demam, Nyonya,” Dean memberi tahu.
“Iya, Dean. Kita bawa dia pulang. Anton, kita pulang!” seraya menggendong tubuh Sam yang telah tertutupi syalnya yang lebar dan hangat.
“Hey, kalian!?” protes John tidak terima. Sepertinya ia sudah siuman, dari pingsan sesaat. “Nyonya jangan seenaknya!” berusaha mencegah membawa Sam.
Anton langsung memukul John beberapa kali dengan keras hingga kembali tak sadarkan diri.
Setelah itu mereka segera membawa Sam keluar dari rumah itu.
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar