Sabtu, 02 Oktober 2010

Brother's Love - 12


Chapter 12

    “Bangun! Kerja!”
Dean memekik kesakitan saat seseorang menendang perutnya yang sudah membengkak, membangunkannya. Ia merasakan sakit di seluruh  tubuhnya. Tidak mungkin ia dapat bekerja, tapi bila tidak bekerja, berarti pukulan lagi.
    “Sammy…” ia langsung teringat dengan Sam yang masih berada di dalam lemari.
    “Jangan pikirin dia. Dia nggak akan keluar dari sana sampai dua hari ke depan.”
    “Hah!?”
    “Nggak usah takut, dia nggak akan mati kelaparan. Bukannya dia sudah makan enak kemarin? Dan jangan harap dia bisa keluar lagi dari rumah ini. Selamanya dia nggak boleh melewati pintu itu selain aku yang nyuruh. Mengerti!!?”
Dean terkaget mendengarnya, tidak boleh keluar berarti siksaan tanpa henti untuk Sam, dan semakin sulit membawanya pergi dari rumah. ‘Sialan! Bajingan!’ ingin rasanya Dean memukul orang ini. Tapi dengan rasa sakit ini, ia tidak mungkin bisa melawannya
    “Mengerti!?” tekan John tidak mendengar sahutan Dean.
    “Mengerti,” Dean mengangguk pasrah.
    “Bagus, sekarang pergi kamu dari sini,” sekali lagi menendang perut bengkak Dean.
Dean sempat terpaku dengan rasa sakit yang memakukan kedua kakinya tak dapat digerakkan. Tapi dengan segenap sisa kekuatannya, ia mencoba untuk bangun melawan rasa sakitnya, dan menarik tubuhnya ke tempat kerja dengan berat hati karena meninggalkan Sam sendirian bersama orang itu. ‘Ya Tuhan lindungi Sam.’

John melirik lemari dengan tersenyum sinis. Dia tidak akan membiarkannya pergi lagi.
    “Kamu dengar itu, Sam!” seraya menguncang-guncangkan pintunya. “Kamu nggak akan bisa lepas dariku. Mamamu meninggalkanmu untukku.”
    “Apa? kamu kesepian?” seraya mendengar baik-baik sesuatu dari dalam sana. “Baiklah, akan kubawakan teman untukmu,” dengan tertawa lepas, dan keluar dari rumah.
Tak berapa lama, John kembali dengan satu kantong besar yang bergerak-gerak liar.
    “Nih, temanmu. Kamu pasti suka,” seraya membuka pintu lemari dan memasukkan makhluk-makhluk ganas itu ke dalam lemari, dan segera menutupnya kembali. “Kamu nggak akan kesepian lagi, kan?” meledakkan tawanya, tak peduli Sam meronta-ronta meminta keluar. Tapi hanya sesaat. Sam tidak punya kekuatan lagi untuk meronta, lalu hening.

SPN

    “Astaga!” Castiel terkatup tertahan melihat Dean. Wajah Dean biru lebam dan berjalan dengan terseok-seok susah payah menyeret kakinya.
    “Dia menemukan kami, dan membawa kami pulang. Sesampai di rumah…”
Castiel terkatup. Dean tidak perlu menjelaskan lagi, ia sudah tahu apa yang terjadi.  “Sam?”
    “Nggak jauh beda. Dia bahkan akan mengurung Sam di dalam lemari selama dua hari.”
Castiel tidak dapat berucap apa-apa. Dia prihatin melihat sahabatnya.
    “Kamu nggak mungkin bisa kerja, Dean.”
    “Harus, kalau nggak dia akan memukulku lagi,” susah payah ia menyeret kakinya.
Castiel langsung membantunya berjalan. Dia tidak tahu bagaimana Dean akan dapat bekerja dengan keadaan seperti ini. Berjalanpun sulit terlebih mengangkat beban berat di pundaknya.

Tapi Dean bisa. Meski dengan susah payah dan menahan rasa sakit, ia dapat menyelesaikan pekerjaan. Lagipula dia tidak enak dengan Tn. Singer, Sam sudah tidak dapat lagi bekerja untuknya.

    “Maaf aku nggak bisa bantu kamu apa-apa,” Castiel penuh penyesalan saat membantu Dean berjalan pulang.
    “Nggak pa-pa. Doain aja aku kuat, dan uangku segera terkumpul banyak. Aku sudah nggak bisa membiarkan Sam bersamanya lebih lama. Dia bisa membunuhnya!”
Castiel hanya mengangguk pasti.


Sesampainya di rumah, satu-satunya yang Dean tuju pertama adalah lemari di bawah tangga. Pintunya masih terkunci tidak dapat dibuka.

    “Sam? Kamu masih di situ?” ketakutan menghantuinya. “Kamu nggak pa-pa, kan?”
Tidak ada sahutan.
    “Sammy…!?” semakin ketakutan dengan mengetuk pintunya.
Akhirnya ketukan kecil yang sangat lemah menyahut. Dean sangat lega mendengarnya. “Bertahanlah, Sam. Aku akan di sini nemenin kamu,” dan duduk bersandar tepat di samping pintu.

Tidak ada yang berubah. Keesokan harinya, Dean masih tetap bekerja dan Sam masih berada di lemarinya.

Setelah dua hari berlalu, John masih belum mengeluarkan Sam.

    “Pa…,” Dean memohon untuk ayahnya segera mengeluarkan Sam. Dia sudah tidak bisa membayangkan bagaimana Sam di dalam sana.
    “Nggak! Kamu kalau belum pergi juga, kamu tahu apa yang akan kamu dapatkan!”
Ingin rasanya Dean melawannya, tapi ia tahu ia tidak mungkin. Dengan berat hati, ia menarik kakinya menuju tempat kerjanya. Hanya satu yang bisa ia pohonkan, Sam kuat bertahan.

Saat pulang ke rumah, Dean sudah tak bersemangat lagi, selain untuk duduk di samping pintu lemari, menemani Sam.
    “Bawa dia naik ke atas,” suara ayahnya menyambutnya saat ia baru memasuki rumah.
Dean tak terkira berbinarnya. Ia segera menuju lemari yang sudah tidak lagi terkunci.

Ia membukanya dan langsung tercium bau yang tidak enak, juga beberapa tikus besar keluar berebutan dari sana, sementara Sam terduduk tak sadarkan diri tanpa mengenakan celananya dengan darah yang telah mengering di mana-mana bercampur dengan muntahannya.
    “Ya, Tuhan,” perih Dean melihatnya.
Dia segera menarik adiknya keluar dan menggendongnya naik ke atas.

Bau tidak enak tercium jelas di tubuh Sam. Dia membasahi dirinya dengan air seninya sendiri, juga mengotori tubuhnya dengan muntahannya. Dean tidak bisa menyalahkannya.
Hati-hati ia meletakkan Sam di atas dipan dan mulai mengganti pakaiannya, juga membersihkan tubuh adiknya. Luka goresan di wajah, leher dan tangan dari gigitan tikus-tikus besar itu semakin banyak dan dalam.
Dia hanya bisa menahan nafas, saat melihat bagian belakang Sam yang kembali terluka. Punggungnya dipenuhi sabetan sabuk, sementara pantat dan pahanya merah dipenuhi sabetan tongkat sapu hingga mengeluarkan darah, dan kini terlihat mulai terinfeksi lagi. Dean membersihkan luka-luka itu dengan air bersih, agar tidak semakin terinfeksi.
Sampai ia mengenakan Sam dengan pakaian bersih, Sam tidak juga bangun. Ini yang membuat Dean ketakutan.
    “Sam…” panggilnya pelan. “Sammy,” dengan menepuk-nepuk pelan pipi adiknya.
Sesaat tidak ada reaksi. Namun perlahan-lahan kedua mata kecil itu terbuka. Sangat kecil dan sayu, juga pucat.
Dean langsung bernafas lega, “Hi, Sam,” tersenyum menyambutnya.
Sam tidak membalas senyumannya, tapi sorot matanya yang kecil itu menunjukkan dia senang  akhirnya keluar dari sana.
Dean teringat sesuatu. Ia merogoh sakunya, dan mengeluarkan sepotong roti dari sana.
    “Makanlah. Castiel memberinya untuk kamu,” seraya menyodorkannya.
Sam menerimanya lemas. Kedua tangannya seperti tak bertenaga. Dean segera membantunya dan menyuapkan sepotong demi sepotong ke mulut Sam dengan perlahan-lahan.
Setelah Sam menghabiskan rotinya, Dean segera turun ke bawah untuk mengambil air minum untuk Sam.
Terlihat sekali Sam sangat kehausan saat menghabiskan minumnya. Dean semakin perih.
Dikecupnya erat adiknya, dan memeluk tubuh adiknya tanpa berusaha menyakitinya lagi.

Keesokan harinya, Dean harus kembali meninggalkan Sam untuk bekerja. Perasaan takut meninggalkan Sam bersama laki-laki itu semakin menyiksanya. Tapi ia belum bisa berbuat apa-apa sebelum uang mereka terkumpul banyak, terlebih kini ia harus mengganti pengobatan Sam pada Ny. Sullivan. Nanti bila ia sudah mendapatkan upahnya, akan ia berikan semuanya pada Ny Sullivan. Entah apakah itu sudah cukup mengurangi jumlah seluruh biaya pengobatan.

SPN

    “SAM!!!”
Sam segera terjaga dengan panggilan itu. Bagaimana masih sakitnya tubuhnya, ia harus menjawab panggilan ayahnya dengan secepatnya.
Perlahan-lahan ia menuruni tangga dengan gemetar.
Ayahnya sudah menunggunya dengan tatapan datar.
    “Sini kamu.”
Sam tidak berani mendekatinya.
    “SINI!” dengan menarik Sam lebih dekat. Dengan kasar ia membalikkan tubuh Sam dan menyingkap pakaiannya yang berwarna merah karena noda darah.
Sam menahan nafas, ia harus siap dengan segala pukulan lagi.
Tapi tidak ada.
    “Ke meja!”
Sam mematuhinya. Dia menelungkupkan tubuhnya di meja seperti biasanya. Sam menguatkan diri dengan cambukan dari sabuk ayahnya akan mendarat di tubuhnya.
Tetap tidak ada. Justru ia terkaget dengan usapan kain basah di punggungnya dengan lembut. Sam tidak mengerti, ayahnya membersihkan luka-lukanya?
Sam berusaha tetap diam dan tidak membuat ayahnya marah. Bahkan hingga ayahnya menutup kembali pakaiannya.
    “Bangun.”
Dengan patuh Sam bangun.
    “Sini,” memintanya untuk berdiri tepat di hadapannya. Memandang mata ayahnya yang sangat ia takuti.
Sesaat ayahnya memandangi wajahnya dengan mata sedih, juga disentuhnya pipinya. Sam sama sekali tidak mengerti, ayahnya tidak pernah seperti ini sebelumnya.
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Sam “BRENGSEK! kenapa kamu mirip sekali dengan dia!!” membuat Sam kembali terpaku ketakutan.
    “Kamu semakin mengingatkan aku, menyesal sekali aku membiarkanmu hidup, sementara kamu sudah membunuh Mary.”
Sam menahan perasaannya. Tidak sekali ini ia mendengar ayahnya berkata seperti ini; bahwa dialah yang membunuh ma. Ma meninggal karena dia, dia yang membuat Dean kehilangan Ma. Kalau dirinya tidak lahir, ma tidak akan meninggal. Tidak heran pa sangat membencinya karena memang dirinya yang membunuh ma. Dan ia yakin segala perlakuan yang ia terima adalah bentuk dari hukuman untuknya karena menyebabkan ma meninggalkan, meski Dean selalu mengatakan itu bukan kesalahan Sam. Sam menerimanya.
    “Belikan aku bir,” suara ayahnya menggetkannya dan menyadarkan dengan memberinya beberapa sen.
Tanpa diperintah dua kali, Sam melaksanakan perintah ayahnya dengan secepatnya.

Dan kembali dengan segera.Diserahkannya empat botol bir pada ayahnya.
    "Berdiri di sana!" perintah John, dan mulai meminum birnya.
Sam mundur, dan berdiri di tempat yang ditunjukkan ayahnya.

Dari tempat Sam berdiri, Sam menunggu dengan tegang. Ayahnya dengan cepat mulai mabuk dan sebentar lagi dia akan hilang kendali dan mulai melampiaskan padanya. Sam sudah sangat hafal, dan dia tidak pernah berani untuk pergi dari tempat dia berdiri untuk mencari perlindungan
Semakin tegang Sam melihat ayahnya semakin mabuk.
    "Sam!!"
Sam tersentak dengan panggilan ayahnya.
    "Lepas celana, ke meja!"
Sam menahan nafas. Ia melepas celananya dan menelungkupkan tubuhnya di meja makan. Ayahnya pasti akan memukulnya. Tidak mungkin ayahnya membersihkan lukanya lagi.
Ia harus siap dengan cambukan lagi. Sama sekali ia tidak berani menengok ayahnya.
Kemudian ia merasakan kedua kakinya diikatkan pada kaki meja dalam posisi merenggang, Sam langsung pucat. Dia tahu apa yang akan dilakukan ayahnya. Belum sempat ia mempersiapkan diri, ia sudah merasakan panas terbakar di area bawahnya saat ayahnya menyundutkan rokoknya dalam-dalam. Sam mencengkeram kuat pinggiran meja. Belum selesai dia menahan sakitnya, sesuatu yang besar masuk dengan keras dan kasar di tempat yang sama dan mendorongnya kuat.
Sam menggigit bibirnya untuk menahannya berteriak dengan memejamkan matanya kuat-kuat menahan sakit dan semakin mencengkeram kuat tepian meja.
    "Jangan salahkan aku, Sam," di tengah tekanannya. "Kamu yang memaksaku melakukan ini. Kamu bunuh mamamu, jadi ini yang harus kamu terima! Brengsek! seharusnya kamu nggak ada, setan kecil! Bangsat tengik!!" umpatan dan kemarahannya mengiringinya mencapai puncak dan memberikan tekanan penuh dan keras ke dalam tubuh Sam. Dia tidak lagi ingat, putranya yang masih 9 tahun yang ia jadikan pelampiasan kebuasan nafsunya.
Hentakan keras saat ayahnya mencapai puncaknya, membuat Sam seperti hilang kesadaran. Sakit di dalam tubuhnya membuatnya tidak dapat bergerak. Sam harus menunggu hingga ayahnya mengendalikan nafasnya yang memburu kelelahan sebelum akhirnya mengeluarkannya dari tubuh Sam. Kakinya bergetar kuat.
John memakai kembali celananya tanpa mempedulikan darah mengalir di paha putranya akibat serangan brutalnya tadi. Dihisapnya rokok dalam-dalam penuh kenikmatan hingga api kembali membara, kemudian diliriknya pantat Sam yang kembali memar. Sekali lagi disundutkannya api rokok ke tempat yang sama dalam-dalam sebagai penutup.
Sam mengejan dengan kuat dan semakin dalam mengigit bibirnya tidak dapat menahan dengan sakitnya. Air matanya menetes tanpa mengeluarkan suara. Kakinya semakin bergetar kuat.
John tersenyum sangat puas melihat Sam kesakitan. Dibukanya ikatan kaki Sam, "Naik ke atas. Oh, kamu masih menyimpan rahasia kecil kita ini, kan?"
Sam mengangguk lemah.
     “Bagus. Awas kalau sampai Dean tahu, dia yang akan aku hajar habis-habisan sampai dia mati, dan kamu nggak akan punya siapa-siapa lagi. Kamu mengerti? Heran, kenapa Dean begitu sayang padamu, sementara kamu nggak lebih dari sampah yang bisanya Cuma nyusahin aja.”
Sam tidak menghiraukan kalimat terakhir ayahnya karena sudah sering ia mendengarnya, tapi ia langsung pucat dengan ancaman ayahnya yang akan membunuh Dean. Dean tidak boleh mati, tidak ada yang boleh mati lagi gara-gara dia.
Sam memejamkan mata menahan emosinya, dan mengangguk.
John kembali tersenyum, “Dah, sana naik ke atas,” setelah sempat membenturkan kepala Sam sekali lagi ke meja.
Sam menarik nafas kesakitan dan segera mengusap air matanya, ayahnya tidak boleh tahu dia menangis kalau tidak ingin ada pukulan lagi. Ia mencoba untuk bangun, tapi ia seperti hilang tenaga. Setiap gerakan menimbulkan rasa sakit yang luar biasa. Kakinya masih bergetar dan tidak kuat menapak lantai. Akhirnya ia mendarat dengan keras di lantai. Tak terkira lagi bagaimana sakitnya saat pantatnya membentur lantai. Sekuat tenaga Sam kembali memakai celananya dan merangkak naik ke atas.

TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar