Sabtu, 02 Oktober 2010

Beauty Love Brother - 7


Rating : K+

Genre : Family

Character : Alec, Ben, Dean, Sam


Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?

ENJOY


 

Bagian 7

Alec merasa hampa. Ia masih dalam proses penyembuhan dari kesulitan bernafasnya, meski masih terasa sakit di dada. Rasa sakit  karena marah, sedih, dan kecewa bercampur menjadi satu di dadanya. Tapi rasa ditinggalkan adalah yang paling sakit dibanding paru-parunya. Tidak ada lagi yang bernyanyi untuknya, tidak ada lagi yang diajanknya bermain bersama. Dia benci Ben, dia sangat membencinya, tapi dia juga merindukannya. Alec merindukan Ben.

Alec tidak berminat untuk pergi bermain atau berbaur dengan anak-anak lagi. Dia tidak mau berhubungan dengan siapapun. Dia tidak mau merasakan sakit hati lagi jika orang yang disayangnya harus pergi lagi seperti Ben. Percuma, toh akan berpisah juga.
Seluruh Suster merasa sedih dengan sikap Alec, tapi merekapun tak dapat berbuat apa-apa. Alec adalah anak yang paling keras kepala di St. Peter. Akhirnya mereka memutuskan untuk membiarkan Alec dengan sikapnya untuk beberapa saat, memberinya sedikit waktu untuk bisa menerimanya.

Sudah hampir sebulan berlalu, dan Alec masih terkungkung dalam kesedihannya. Dia masih tidak mau bermain dengan anak lain. Bagaimanapun usaha teman-temannya untuk mengajaknya main, tidak membuahkan hasil, hingga tak ada lagi anak-anak yang mengajaknya bermain. Alec semakin merasa kesepian dan merasa tidak ada yang mempedulikan, dan tidak ada lagi yang menyanyanginya. Tidak ada kalau bukan dari Ben. Tidak ada yang dapat para suster lakukan, atau malah akan semkain menyakiti Alec. Dan kesedihan Alec dimanfaatkan oleh Tom untuk selalu mengganggunya.

    “Udahlah, berhenti mikiran dia, dia nggak akan kembali, Alec. Kamu cuma buang waktu kayak gini. Nggak ada yang peduli sama kamu, tau nggak, nggak ada yang sayang sama kamu lagi. Nggak akan ada orang tua yang mau ngadosi kamu, kamu akan membusuk di sini,” Tom puas sekali bisa menganggu dan membuat kesal Alec.
Alec mencoba untuk tidak membalasnya, tapi tidak bisa.
    “Iya, kayak kamu nggak akan membusuk juga di sini!” Alec membalasnya, “Nggak ada yang mau ngadopsi kamu, dan kamu juga sama bakalan membusuk di sini!”
    “Yea... tapi paling nggak aku bisa mandiri, nggak kayak kamu, manja dan sakit-sakitan, bisanya cuma ngerepotin orang aja!”
Alec terpucat dengan ucapannya. Ucapan yang sama persis dengan yang diucapkan Ben. 
  “Nggak heran Ben mutusin untuk mau diadopsi, padahal kalian kembar yang seharusnya nggak berpisah. Tapi kayaknya Ben udah capek jadi pembantu kamu, dia capek dengan kamu yang sakit-sakitan melulu, dan yang pasti dia udah muak sama kamu!’
Air mata sudah mengalir deras di pipi Alec. Dia tidak mau mendengarnya lagi, tapi Tom belum puas,
    “Kamu tau, Ben tuh nyesel punya saudara kembar kayak kamu. Punya adik kok bisanya ngerepotin melulu. Dia tuh sebenernya kepaksa, nggak bener-bener sayang kamu. Mungkin dia nggak pernah sayang kamu. Nah sekarang saat ia meresa cukup dan ada orang tua yang mau ngadopsi dia, ya.. nggak pikir dua kali buat pergi dengan  mereka,ninggalin kamu buat selamanya. Ben nggak akan kembali lagi, dan kamu penyakitanbakalan sendiri, nggak ada yang peduli sama kamu, dasar penyakitan!”
BUG!!!
Sebuah kepalan tangan kecil mendarat mantab di pipi Tom hingga ia menjerit kesakitan, tak menyangka Alec akan memukulnya dengan keras. Punya kekuatan dari mana dia?
    “CUKUP, AKU NGGAK MAU DENGER LAGI!!!!” dan berlari meninggalkan Tom dengan menangis

Alec masih menangis di bawah pohon besar di belakang temapt bisa ia duduk bersama ben dulu. Ia menangis dengan sepuasnya,

    “Ben, tolong jangan kamu nggak sayang aku, jangan bilang kamu nyesel punya adik aku. Kamu sayang aku, kan Ben, dan kamu bener-bener nggak berniat ninggalin aku kaya gini. Dan kita akan ketemu lagi nanti? Ben... tolong janji kita akan ketemu lagi nanti,” ia terisak perih. Diliriknya kalung ben yang masih melingkar di lehernya bersama kalung miliknya. “Aku kangen, Ben, aku kangen kamu, dan mengecupnya lalu kembali menangis.

Alec tidak tahu berapa lama ia duduk menangis di bawah pohon itu,sampai Suster Annne membangunkannya pelan.

    “Hey, sayang? Kau baik-baik saja di sana?” Suster Anne menggodanya dengan tersenyum hangat.
Alec mengusap tangisnya dan mengangguk.
    “Mm..mungkin ini bisa membuatmu semakin baik,” seraya memberikan sebuah amplop.
Alec terkaget. Siapa yang mengirimkan dia surat? Mungkinkah?
    “Ben, ya?” dengan jantung yang mulai berpacu kencang
Suster Anne hanya mengangguk dengan tersenyum
Jantung Alec hampri meledak kegirangan. Dia langsung menyobek amplopya dan membacanya.
Alec harus tersenyum dahulu dengan tulisan cakar ayam Alec yang belum berubah,

Dear, Alec
    “Bagaimana kabarmu? Aku harap kamu baik-baik saja dan selalu sehat. Aku harap kamu nggak marah lagi sama aku, tapi nggak apa-apa kalau kamu masih marah. Aku tahu kamu pantes marah. Memang salahku, aku melanggar janjiku sendiri, tapi aku harap kamu mengerti ini bukan keinginannku, aku harus melakukannya.
     Alec, aku di Dublin sekarang, jauh sekali dari Amerika. Kami naik kapal besar selama beberapa hari. Pasangan yang mengadopsiku bernama Tn James dan Ny. Patricia Wesson. Kamu ingat ada nyonya yang memberikan kita sebatang coklat waktu hari kunjungan? Itu Ny. Wesson, Alec, dia adalah ibuku sekarang. Mereka petani tapi mereka baik sekali, dan mereka sangat menyayangiku. Seperti yang pernah aku bilang, Alec, punya keluarga itu enak. Punya mama punya papa yang sayang sama kita. Aku juga pengen kamu punya keluarga Alec, punya mama punya papa kayak aku.  Jadi aku mohon kalau ada orang tua yang menginginkanmu untuk menjadi anak mereka, jangan ditolak. Kamu akan bahagia be rsama mereka, mereka akan menyayangimu.  
Oh ya, tahun depan mungkin kami akan kembali ke Amerika, dan mereka berjanji kami akan menjengukmu, dan kalau kau masih belum ada yang mengadopsi, mereka akan mengadopsimu juga, dan kita akan kembali bersama.
Aku kangen kamu, Alec, kangen banget. Tiap malam aku selalu mimpi kamu, dan tiap malam aku terus berdoa agar kita bisa ketemu lagi dan tinggal bersama, tidak terpisahkan lagi.
Aku sayang kamu, Alec, aku pengen jagain kamu lagi, pengen ngelayanin kamu lagi, mastiin kamu baik-baik saja dan selalu sehat. Aku nggak akan ngelupain kamu, dan tetep aku simpan di hati aku.
Jaga diri baik-baik, Alec, dan jangan nakal. Semoga Tuhan mengizinkan kita untuk bertemu lagi dan tidak akan terpisahkan lagi selamanya.
-Love Ben –
Hush…don’t you worry now, just close your eyes and you’ll see the stars.
 They will lead you to heaven, where the happiness will around you.
Just close your eyes, and make a wish for it comes true.
Just close your eyes and don’t you worry, cos I’ll be right here with you.
 Keep you warm and safe.
Just close your eyes….

Pipi Alec basah oleh tangisnya. Dia lega sekali Ben masih ingat dirinya, dan yang paling penting Alec sayang dirinya. Ben bahahia sekarang bersama orang tua dan keluarga barunya.
Alec mendongak, “Dia bahagia sekarang, suster, dia punya keluarga dan mama papa sekarang”
    “Iya Alec,” Suster Anne tersenyum. “Kau juga sama, kamu akan mendapatkanya juga.”
    “Dia di Dublin sekarang, tapi katanya tahun depan dia akan kembali kesini untuk menjemputku.”
Suster Anne masih tersenyum, Bagus sekali itu, Alec,” meski dirinya ragu Ben akan kembali untuk Alec.
Alec melihat amplopnya dan membaca namanya : Ben Wesson, beralamatkan ‘Dublin-Irlandia’.
    “Apa jauh?
    “Apa, Dublin?”
Alec mengangguk.
    “Ng.. menyebrangi lautan, sayang.”
    “Kata Ben, dia naik kapal besar selama beberapa hari kemarin. Berarti jauh ya, suster?”
    “Ya... mungkin memakan waktu tiga atau empat hari untuk sampai kesana.”
Alec tertegun.
    “Aku pasti ketemu dia lagi, kan, Suster?”
    “Berdoa saja, sayang, dan Tuhan akan mendengarnya.”
Alec tersenyum mendengarnya, dan melihat kembali surat Ben.
     “Suster...”
     “Ya, sayang?”
     “Tulisan tangan Ben jelek sekali ya...,” dengan polosnya.
Suster Anne hampir meledak tawanya, tapi tertahan dengan wajah polos Alec.
    “Yuk ah, kita masuk, udaranya mulai dingin di sini,” Suster Annelasgung mengalihkannya, “kita nggak mau kamu sakit lagi, kan, dengan suara hangat, tapi cukup membuat Alec menggigit bibir. Ia teringat ucapan ben dan Tom.
    “Suster?”
    “Ya, sayang,” Suster Anne masih tersenyum geli dengan ucapan Alec tadi, dan ia siap dengan celetukan polos Alec yang di luar dugaan.
    “Suster, apa aku cuma jadi beban di sini, sakit-sakitan, merepotkan semua orang?” dengan wajahnya yang sedih.
Suster Anne terkatup dengan pertanyaan Alec yang mengejutkan. “Kau, beban? Nggak sayang. Kau sama sekali bukan beban. Sebalikanya, kau adalah cahaya St Peter, dengan rambut emasmu yang indah, dan wajah cantikmu. Kau bayi kesayangan kami, Alec, karena itu kami tidak bisa jika melihatmu sakit dan kesakitan. Kamu sama sekali tidak mebebani kami. Dan sakitmu, adalah sesauatu yang tidak bisa kamu tolak. Yang bisa kau lakukan adalah menjaga kesehatanmu dan berdoa agar Tuhan selalu menjagamu dan selalalu memberikanmu kesehatan.  Ya sayang?” dengan menyentuh pipi Alec yang sehalus kulit bayi.
Alec mengangguk dengan tersenyum lega.
    “Nah, sekarang kita masuk,” Ssuter Anne bangkit dan mengulurkan tangan pada Alec. Alec menyambutnya dan bersama-sama mereka masuk ke dalam, tapi di kepalanya sudah tersusun sebuah rencana yang harus dilakukan, tak perlu menunggu sampai tahun depan tapi harus dilakukan sekarang!

Saat tengah malam

Alec memasukkan barang terakhirnya yang ia miliki ke dalam tasnya tanpa bersuara, dan menutupnya kuat-kuat. Ia menghela nafas dengan tersenyum. Ia sudah berkemas dan siap untuk pergi. Ini akan menjadi perjalanan panjang, ke Dublin. Dia harus bertemu dengan Ben sekarang, dia tidak bisa menunggu hingga tahun depan, harus sekarang

Ia membaca kembali surat pendek yang ditulisnya dengan rapi yang menurut Ben seperti tulisan tangan anak perempuan (huh, semuanya seperti anak perempuan!) :
   “Bapa Simon, Suster Anne, Suster Theresa, maafkan aku, tapi aku harus bertemu Ben. Doakan aku berhasil. Dan Terima kasih untuk semuanya, dan terima kasih atas kasih sayang dari menjagaku selama ini. Aku tidak akan melupakan St Peter, kalian akan selalu ada di hatiku. TERIMA KASIH
-Alec-
NB. Jangan khawatir, aku sudah membawa semua obatku dan tidak akan lupa untuk meminumnya. Aku janji!

Alec melihat semua anak sudah tertidur pulas, kemudian ditaruhnya surat itu di atas bantalnya.
    “Daag semuanya, semoga kita bertemu lagi suatu hari nanti,” ucapnya penuh keyakinan. Dia tahu dia mengambil resiko tinggi dengan keputusan ini. Dia tidak punya panduan, tidak punya peta, tidak punya uang, yang ada hanya surat Ben. Tapi ia punya keyakinan, dan keyakinan itu yang akan menuntunnya bertemu kembali dengan Ben. Dia tahu dia akan bertemu lagi dengan saudara kembarnya, mudah-mudahan satu minggu maksimal.  Tuhan yang akan membimbingnya dan melindunginya selama di perjalanan. Dia akan segera bertemu Ben!
Ditariknya nafas dalam-dalam, lalu mencangklongkan tasnnya.
    “Maafkan aku, Bapa.”
Dan dengan mengendap-endap ia keluar dan sukses melewati pintu gerbang tanpa ada yang mengetahuinya.

Alec masih belum percaya dia berhasil keluar dari Panti tanpa ada yang mengetahuinya. Ini artinya Tuhan mengizinkan ini terjadi dan akan tetap melindunginya selama perjalanan ini.
    “Terima kasih Tuhan,” Alec tersenyum lega. Ia menggenggam kalung Ben di lehernya, dengan erat dan mengecupnya disertai tarikan nafas tanda kesiapan, Ben aku datang, tunggu aku!’ lalu melangkahkan kaki untuk perjalanan panjang menuju Dublin.

TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar