Sabtu, 02 Oktober 2010

Brother's Love - 15


Chapter 15

Dean pucat seketika. “Apa dia…?”
    “Nggak, Dean. Dia hanya patah kaki, tapi mungkin nggak akan bisa berjalan lagi.”
Dean semakin pucat. “Di mana dia?”
    “Ada di rumahmu. Kamu mau melihat dia?”
Sesaat Dean ragu. Tapi kemudian ia berlari keluar.
Sempat ada keraguan saat ia berdiri di depan pintu rumahnya. Kembali ke sini dan bertemu dengan ‘dia’.

Dibukanya pintu perlahan-lahan. Refleks, matanya tertuju pada lemari kecil di bawah tangga. Biasanya bila dia pulang ke rumah, dia langsung ke sana, dan mengeluarkan Sam dari sana . Tidak, Sam tidak ada di sana. Dia aman di rumah Ny. Sullivan.

    “Siapa itu?” suara lirih ayahnya terdengar dari balik kamarnya.
Dean sempat terpaku. Suaranya tidak terdengar sangar lagi. ‘Benarkah dia sudah tidak berdaya lagi? Tidak akan memukulnya lagi?’
    “Siapa di situ!!?” suara John mulai terdengar tidak sabar.
Dean menelan ludah, “Dean, pa,” seraya melangkahkan kakinya ke kamar ayahnya.

Dean diam di tempat saat mendapati ayahnya terbaring di tempat tidur dengan mata memandang tajam padanya.

    “Pulang juga, kamu,” John tersenyum sinis. “Aku tahu kamu pasti pulang. Kalian tidak akan pernah lepas dariku,” dengan penuh kemenangan. “Mana Sam?”
    “Sam masih di sana,” Dean menyahut dengan datar. Ia memperhatikan ayahnya, khususnya kedua kakinya. Terlihat bengkok keduanya, dan sebuah tongkat diletakkan di samping tempat tidur ayahnya.
    “Lebih baik kau cepat bawa dia pulang. Aku butuh dia!” spontan mengeluarkan suara sangarnya.
Dean terdiam. Orang ini masih bisa menyentuh Sam. Tidak boleh!
    “Nggak. Sam nggak akan pulang, dan aku juga nggak akan kembali lagi ke sini.”
John terpaku pucat. 
    “Castiel yang kasih tahu papa kecelakaan, karena itu aku datang, tapi bukan untuk pulang.”
Pipi John memanas, “Untuk apa kamu pulang? Untuk lihat papamu lumpuh, nggak bisa jalan lagi!”
    “Paling nggak aku masih ingat papa.”
John semakin panas. Kalau dia bisa bangun dari tempat tidurnya, sudah dipukulnya Dean dengan keras.
    “Aku juga ingin papa tahu, aku dan Sam akan segera pergi dari sini.”
    “Kamu sudah keluar dari sini,” sergah John kesal.
    “Aku dan Sam akan ikut bersama keluarga itu ke Inggris.”
John kembali terpaku pucat. “Nggak, kamu pasti bohong. Tidak mungkin mereka mengajakmu pergi.”
Dean mengangguk pasti, “Mereka sangat menyayangi Sam, dan mereka akan merawat Sam dengan baik. Mereka akan mengajaknya pergi.”
John semakin pucat, “Nggak, kamu nggak akan berani melakukannya. Kamu nggak akan berani membawa Sam pergi. Kamu nggak akan berani!!”
    “Tentu aku berani, pa. Sudah lama aku menginginkan membawa Sam keluar dari sini, jauh dari papa! Papa yang selalu memukul dan menyiksa dia! Dia nggak berhak diperlakukan seperti itu, pa!”
    “Aku benci dia! Aku benci anak itu!”
    “Kenapa papa begitu benci sama Sam? Dia nggak pernah berbuat salah, kan pa? Dia anak yang baik.”
    “Aku benci dia! Aku benci karena dia membuat mamamu meninggal dan sekarang dia mirip sekali dengannya!”
    “Mama meninggal karena sakit, bukan karena Sam!”
    “Kamu nggak tahu apa-apa! Dari sebelum dia lahir, dia sudah menyakiti mamamu. Seharusnya dia nggak pernah ada!”
    “Mama sangat menyayangi Sam, pa,” dengan getir.
    “Dan itu membuatnya pergi! Dia membunuh mamamu!”
    “BUKAN! Jangan salahkan dia! Sam nggak salah apa-apa, dan dia nggak berhak dihukum!”
    “AKU BENCI ANAK ITU!!” John memekik dengan kesal, membuat Dean terpaku kaget.
Dean menarik nafas, “Baiklah, memang Sam harus pergi dari sini. Papa benci dia, jadi papa nggak usah melihatnya lagi. “Selamat tinggal, pa. Jaga diri papa baik-baik. Mungkin kita nggak akan bertemu lagi,” dengan beranjak keluar.
John kembali pucat. “Dean! Kamu nggak akan meninggalkanku sendirian, kan? Kamu nggak akan meninggalkan orang tua cacat ini hidup sendiri, kan?”
Tapi Dean tetap berjalan keluar,
    “Kamu nggak akan tega, Dean!”
    “Apa pun untuk Sam akan Dean lakukan.”
    “Dean! Aku ayahmu! Aku nggak akan bisa hidup sendiri!”
Perih Dean mendengar ratapan ayahnya. Sebenarnya dia tidak tega meninggalkan ayahnya seperti itu. Benar. Dia tidak akan bisa hidup sendirian dalam keadaan seperti itu. Ayahnya sangat membutuhkannya, tapi…
    “Sam lebih membutuhkanku, pa,” dan berlari keluar dari rumah, tak mendengarkan ayahnya memanggilnya memohon untuknya kembali.

Entah berapa jauh dia berlari. Ingin rasanya ia lepas dari teriakan ayahnya memanggilnya untuk kembali. Dia tidak ingin mendengar suara ayahnya lagi.
Dada Dean terasa sesak, dia tidak sanggup berlari lagi. Dean mengehentikan larinya dengan tersengal-sengal. Dada Dean semakin terasa sesak. Air matanya sulit untuk berhenti. Dia perih melihat ayahnya tak berdaya lagi dan tidak akan tega meninggalkannya, tapi dia juga sangat membencinya. Dia yang sudah menyiksa Sam, dan sangat membenci Sam.
    “Maafkan aku, pa. Tapi aku lebih menyayangi Sam.”

    “Dean, dari mana kamu?” Tn. dan Ny. Sullivan menyambutnya saat ia kembali ke rumah Kel. Sullivan. “Kami sangat khawatir, hingga sore hari kau belum pulang. Sam menunggumu dengan cemas. Dia takut kamu akan meninggalkannya.”
Dean hanya menoleh ke arah kamar dan terlihat, Sam sedang asyik bersama Gabriel.
    “Dean, ada apa? Kau dari mana?” Peter dengan penuh perhatian.
Dean terdiam, ragu untuk menjawab. “Saya pulang sebentar. Maafkan saya.”
Catherine terkatup.
    “Kau bertemu dengannya?” Peter memastikannya.
Dean mengangguk.
    “Tapi kau tidak apa-apa, bukan? Dia tidak memukulmu lagi?” Catherine langsung cemas dan memeriksa tanda-tenda kekerasan di wajah Dean.
    “Saya tidak apa-apa, Nyonya. Dia tidak menyakiti saya, dan mungkin dia tidak akan bisa menyakiti lagi.”
Catherine dan Peter terdiam tidak mengerti.
    “Dia tertabrak mobil dan kedua kakinya patah. Dia tidak akan bisa berjalan lagi.”
Kedua terpaku mendengarnya. “Ya, Tuhan.”
    “Dia tidak bisa menyakiti kami lagi, terlebih Sam. Dia tidak akan bisa menyentuhnya lagi.”
Catherine menahan nafas. Mencoba menangkap maksudnya.
    “Dean…, apa ini maksudmu, kalian akan kembali pulang ke sana?”
Dean terdiam, tidak tahu.
    “Nyonya, saya_”
    “Dean, kau tahu kami hanya ingin menolongmu dan Sam, karena kami sangat menyayangi kalian berdua. Dan kami tidak akan memaksamu untuk tinggal di sini, terlebih memaksa untuk ikut bersama kami. Kami hanya ingin memastikan kalian baik-baik saja dan memberikan apa yang tidak kalian dapatkan.”
Dean tertunduk. Ia malu mengatakannya.
Perlahan ia mengangkat kepalanya pada Tn. dan Ny. Sullivan, “Bolehkah kami tetap ikut?” dengan takut dan malu-malu.
Catherine sempat tidak percaya, “Tentu, Dean. Tentu kalian boleh tetap ikut kami,” dan langsung memeluknya erat, “Syukurlah kalian tetap ikut bersama kami.”
    “Terima kasih, Nyonya.”
    “Nyonya, tolong jangan katakan pada Sam tentang ‘dia’, saya tidak ingin Sam mendengar tentang ‘dia’ lagi.”
    “Tentu, Dean,” Catherine tersenyum sangat senang.
Dean hanya dapat mengucapkan terima kasih.

Dean sama sekali tidak menyinggung tentang keadaan ‘dia’ pada Sam. Dean tidak ingin Sam mengetahuinya. Keadaan Sam semakin baik, dan siap untuk melakukan perjalanan jauh. Dia sudah senang melihat Sam akan memulai hidup baru yang tenang dan sehat bersama keluarga ini, Ny. Sullivan yang menjaganya. Dia tidak ingin merusak kebahagiaan Sam.

Tapi semakin mendekati hari keberangkatan, hati Dean semakin tidak tenang. Ia memikirkan ayahnya yang akan hidup seorang diri, sementara dia kini sangat membutuhkan bantuan orang lain. Dia tidak mungkin hidup sendiri. Sementara siapa yang akan mempedulikannya? Tidak ada yang menyukai John Winchester. John Winchester yang baik dan ramah telah berubah menjadi kasar dan tidak menyenangkan sejak ditinggalkan istrinya Mary. Tidak ada yang mempedulikannya. Dia akan hidup seorang diri. Dean semakin kalut, antara Sam dan ayahnya.
Dia harus segera memutuskannya.


TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar