Sabtu, 02 Oktober 2010

Brother's Love - 11


Chapter 11


    “DI MANA MEREKA!?”
    “Siapa?” Catherine masih berusaha tenang dengan kedatangan orang tak dikenalnya ini.
    “Dean dan Sam.”
    “Anda Ayah mereka?”
    “Ya, dan saya mau menjemput mereka.”
    “Untuk apa? Untuk Anda siksa lagi?” Catahrine setengah emosi, masih berusaha untuk bersikap sopan.
John langsung panas, “Nyonya jangan ikut campur. Ini urusan saya dengan anak-anak saya. Mereka nakal, dan harus diberi pelajaran!”
    “Tapi tidak dengan memukuli mereka.”
     “Sudah kubilang, itu urusan saya! Sekarang di mana mereka!? DEAN, SAM, PULANG KALIAN! JANGAN SAMPAI KALIAN MENYESAL SAMPAI RUMAH NANTI!!!” kembali berteriak dengan kerasnya.

SPN

Sam sudah mendekap ketakutan di pelukan Dean, begitu juga dengan Dean yang ketakutan dengan ancaman ayahnya.
Dean tidak tahu harus berucap apa. Mereka tidak mungkin tinggal di sini. Keluarga ini bukan siapa-siapa, dan mereka sudah terlalu baik. Ia tidak ingin merepotkan Nyonya Sullivan, terlebih menimbulkan masalah dengan ayah mereka.
    “Kita pulang ya, Sam?” dia tahu betapa ketakutannya Sam.
Sam mengangguk pasrah di pelukan Dean.
Dean menarik nafas, lalu pelan-pelan ia menggendong tubuh kecil adiknya.

SPN

     “Mereka tidak akan pulang. Mereka akan tetap di sini!” Catherine mendekap Gabriel yang kini sudah di sampingnya.
     “Nyonya tidak akan berani.”
     “Tentu saja berani!”
John semakin kesal. “DEEA_!!”
    “Kami sudah siap pulang, pa,” Dean muncul di antara mereka dengan Sam di punggungnya.
John tersenyum kemenangan.
    “Dean…” Catherine dengan cemasnya.
    “Tidak apa-apa, Nyonya, saya yang akan menjaga Sam.”
    “Tapi Dean_”
    “Terimakasih atas kebaikan Nyonya. Saya tidak bisa membalasnya, tapi mudah-mudah saya bisa membayar biaya pengobatan Sam.”
    “Dean, kumohon…” ingin rasanya Catherine memohon untuk mereka jangan pergi, tapi ia tahu ia tidak bisa memaksa Dean. Air mata sudah menetes di pipinya.
Tiba-tiba John merebut Sam dari belakang Dean dan menggendongnya kasar.
    “Jangan sakiti dia!” sergah Catherine.
    “Ayo!” John menarik kerah Dean menuju pintu.
    “Terimakasih, Nyonya, Gabriel!” seru Dean mengikuti ayahnya dengan terpaksa.

Hati Catherine perih tak tertahankan melihat mereka pergi tanpa dapat ia menahannya. Kalau saja Peter ada di rumah, mungkin dia bisa mencegah orang gila itu membawa Dean dan Sam.

Tak berselang lama, Peter kembali dan mendapati Catherine pucat.

    “Ada apa, Catherine?”  Peter tak lagi dapat menutupi ketakutannya.
    “Peter, dia membawanya, dia membawa pulang mereka.”
    “Siapa?”
    “Sam dan Dean. Ayahnya membawanya pulang.”
Peter tertegun.
    “Dia sangat kasar, Peter. Tanpa ada sopan santun, ia berteriak-teriak memanggil Dean dan Sam untuk pulang. Dia mengancam, jika mereka tidak pulang, mereka akan menyesal sesampainya di rumah.”
    “Kau tidak mencegahnya?”
    “Sudah, tapi Dean menginginkan untuk pulang. Dia tahu, pasti akan lebih buruk lagi jika dia tidak menuruti ayahnya, dan aku tak bisa menahannya. Aku hanya bisa melihat orang gila itu menyeret mereka pulang dengan kasar. Mungkin kalau kau tadi ada di rumah, kau bisa mencegahnya,” mulai terisak penuh sesal.
Peter segera memeluk istrinya, “Maafkan aku, Catherine. Maaf, aku tidak lebih cepat pulang,” merasakan kepedihan istrinya.
    “Aku hanya takut membayangkan, bagaimana dia memukul mereka. Terlihat sekali dia tidak menyayangi anak-anaknya dan ia memperlakukan mereka dengan kasar.”
    “Mudah-mudahan tidak, Catherine.”
Catherine hanya mengangguk penuh harap. Dia sudah sangat mencintai kedua anak itu.
SPNSPN

                John menjatuhkan Sam di lantai dengan begitu saja, dan melemparkan Dean dengan kasarnya, sesampainya mereka di rumah.
Keduanya meringis kesakitan.
Matanya John langsung berkilat kilat penuh kemarahan. Sam semakin ketakuatan. Dean segera menutupi Sam di depannya, melindunginya dari segala pukulan ayahnya.
    “KALIAN PIKIR, APA YANG KALIAN LAKUKAN, HAH!? MENCARI PERLINDUNGAN? PINTAR SEKALI!” disertai pukulan keras di pipi masing-masing Dean dan Sam. “KALIAN INGIN KABUR DARIKU, IYA!!??” dengan menjambak rambut Dean kuat.
    “NGGAK!!” Dean memekik di tengah kesakitannya.
     “Sam tertabrak oleh mereka, lalu mereka membawanya pulang untuk melihat apa dia terluka apa tidak. Dan mereka lihat semua luka itu. Sudah kubilang Sam luka parah, dia kesakitan!”
    “Memangnya aku peduli!”
Ia beralih pada Sam yang sudah merapat ketakutan. Dengan kasar ia menarik Sam dan menaruhnya menelungkup di atas meja. Dibukanya baju juga celana Sam, dan melihat pembalut masih menutupi luka-luka itu.
    “Mereka mengobatinya, pa.”
John mendengus kesal. Dengan kasar ia membuka balutan itu seluruhnya, lalu ia melepas sabuknya.
    “Begini caranya mengobati luka ini,” dengan melayangkan sabuk tuanya ke tubuh Sam.
    “JANGAN!” dengan cepat Dean menutupi tubuh Sam. “Jangan pukul dia, pa. Aku mohon.”
    “Minggir kamu!” dengan menyingkirkan Dean, melemparnya ke lantai. “Kamu juga akan mendapatkannya!”
Dean tidak akan mengalah kali ini, terlebih dengan dua cambukan sudah mengenai punggung terbuka Sam.
    “JANGAN!!” dengan mengalahkan segala ketakutannya, ia mendorong tubuh besar ayahnya lepas dari Sam hingga ia tersungkur di lantai.
    “KURANG AJAR!!! BERANI KAMU, YA!!” seraya bangkit penuh emosi.
Dean langsung melindungi Sam.
John sudah tidak melihat Sam. Kali ini amarahnya tertuju pada Dean. Penuh kemarahan ia mulai memukul putranya.

Segala cara Dean berusaha melindungi dirinya dari pukulan ayahnya, tapi tidak berhasil. Hantaman, pukulan, tamparan, sampai tendangan ayahnya, mengenai wajah dan tubuhnya dengan mudahnya. Dia tidak bisa melawan tubuh besar ayahnya, walau dia sudah mabuk. Namun yang paling sakit adalah saat ayahnya memukul tungkai kakinya dengan tongkat sapu bertubi-tubi.
Berapa lama penyerangan itu, Dean tidak tahu. Yang ia rasakan adalah sakit yang luar biasa di seluruh tubuhnya. Ia merasakan darah di wajahnya, juga memar di tubuhnya, dan ia tidak dapat menggerakkan kakinya akibat pukulan tongkat sapu itu. Dean terpaku kesakitan.
Ia semakin ketakutan saat ayahnya beralih pada Sam setelah puas dengannya. Ia tahu ayahnya tidak akan melepaskan Sam, dan kini dia tidak dapat menolongnya.
Benar saja, sesaat kemudian ia mendengar pukulan-pukulan keras sabuk ayahnya juga tongkat sapu mengenai tubuh kecil adiknya, hingga suara-suara benturan kepala Sam ke meja. Dean hanya bisa menangis tanpa bisa menolongnya. Untuk menggerakkan tubuhnya pun dia mati rasa.
Hingga akhirnya, setelah puas menghukumnya, ‘dia’ ‘menyimpan’ Sam yang sudah kembali terluka, di dalam lemari kecil dan menguncinya.

    “Sam…” susah payah Dean merangkak menuju lemari kecil itu.  
    “Sammy…, kamu nggak pa-pa?” dengan mengetuk-ngetuk pintunya.
Tidak ada sahutan.
    “Sam, jawab aku kalau kamu nggak pa-pa.”
Masih sunyi. Hingga akhirnya terdengar ketukan kecil dari dalam sana. Ketukan itu cukup melegakan Dean. “Maafin aku, Sam, maafin aku,” tanpa dapat menahan tangisnya lagi.

TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar