Chapter 3
Sesampai di rumah, mereka mendapati ayahnya tertidur di meja makan dengan botol-botol di sampingnya. Sesekali ayahnya mengeluarkan dengkurannya yang keras dan lucu.
Dean dan Sam mengikik melihatnya.
“Udah, kamu naik dulu.”
Sam mengangguk menurut dan segera naik ke atas.
“SAM!!!”
Langkah Sam terhenti dan terpaku seketika dengan panggilan tiba-tiba yang keras.
Ayahnya perlahan-lahan bangun dan langsung menatap ke arahnya.
“Dari mana kamu!!?” sangat tidak ramah.
“Tn. Singer menerimanya bekerja, pa,” jawab Dean langsung.
“Kerja? Dia kerja?” tersenyum sinis pada Sam.
“Iya, pa.”
“Sini, turun kamu!”
Sam mematuhinya, dan perlahan-lahan turun kembali. Wajahnya sudah pucat ketakutan.
“Kamu bener-bener kerja?” dengan mencengkeram kerah Sam.
Sam mengangguk dengan ketakutan.
“Pa, dia jadi orang kepercayaan Tn. Singer,” Dean mencoba melunakkan hati ayahnya agar melepaskan Sam.
John berkerut tidak percaya. “Berapa kamu dibayar dia?”
“30 Sen seminggu,” Dean menjawab langsung.
John memperhatikan Sam tanpa melepaskan tangannya dari kerah Sam, kemudian melemparkannya begitu saja hingga Sam terjatuh di lantai, juga bukunya yang ia sembunyikan di balik baju kumalnya.
“Apa itu?” John segera memungutnya dan melihatnya. “Kamu dapat dari mana!?”
“Ny. Tuck memberikannya.”
“Diam!!” dengan memukul Dean. “Bukan kamu yang ditanya!”
Ia kembali pada Sam yang sudah pucat ketakutan.
“Dapat dari mana!?” ia menjambak rambut Sam. “Kamu mencurinya, ya!?”
Sam menggeleng panik ketakutan.
John justru murka. Dipukulnya wajah Sam dua kali dengan keras hingga membentur tembok, “Aku nggak punya anak pencuri!” lalu melepas sabuknya dengan satu tangan sementara tangan yang lain kembali mencengkeram kuat rambut Sam.
“Nggak, pa! Dia nggak mencuri! Ny. Tuck benar-benar memberikan gratis untuk dia!” Dean berusaha meyakinkan ayahnya.
“Diam!! Kamu pikir aku percaya!? Nggak ada orang memberikan buku mahal seperti ini dengan gratis, terlebih buat dia!”
“Tapi, pa_”
Plash!! Sabuk sudah melayang dan mengenai wajah Dean.
“Naik ke atas, atau kamu akan mendapatkannya juga!”
Dean tetap tidak bergeming, membuat John semakin murka.
Ia melepaskan Sam dan beralih pada Dean. Dia menarik kasar Dean dan memasukkan ke dalam lemari sempit di bawah tangga, dan menguncinya. Setelah itu ia kembali pada Sam yang sudah meratap tembok penuh ketakutan.
“Mana tanganmu yang buat mencuri!?”
Sam mencoba untuk menggeleng.
"Jangan bikin aku tambah marah, Sam. Atau kamu mau ‘jepitan pintu’?"
Mendengar jepitan pintu membuat Sam semakin pucat. Ia masih bisa merasakan buku-buku tulang tangannya remuk saat ayahnya menjepit kedua telapak tangannya beberapa kali dengan keras ke pintu. Dan karena dia tidak bisa menahan suara rintihan sakitnya, ia mendapatkannya lebih banyak dan dua kali lipat pukulan ganggang sapu di pantat dan punggungnya. Sam pingsan dibuatnya dan dua hari tidak bisa bangun dari tempat tidurnya, dan hanya bisa menangis dalam tidurnya. Dia juga tidak bisa menggerakkan jemarinya dengan baik selama dua bulan.
"Nah, mana yang kamu pilih. Sabuk atau jepitan pintu?" dengan menyeringai licik.
Sam lebih memilih tangannya dicambuk sabuk daripada dijepit pintu, walau keduanya sama-sama sakit. Dengan menunduk pasrah, Sam mengulurkan tangan terbuka dan segera menerima hukuman cambuk di kedua telapak tangannya.
Berapa kali, Sam tidak tahu. Yang ia tahu telapak tangannya yang sudah merah membara dengan kulit terkelupas, mulai mengeluarkan darah segar. Rasa panas dan perih terasa hingga seluruh kedua tangan Sam. Sakit sekali! Tapi sekuat tenaga Sam menahan suara rintihan ataupun air mata untuk tidak keluar, dan ia sudah sangat belajar untuk bisa menahannya.
“Sekarang, turunkan celanamu!”
Sam sama sekali tidak bisa menggerakkan tangannya, dan ini hanya membuat John kembali marah. Dengan kasar John menarik tubuh kecil sam dan menghempaskannya ke atas meja dan langsung memukul punggung dan kaki Sam dengan ganggang sapu.
Dean hanya dapat mendengar pukulan-pukulan itu dari balik pintu ruang kecil yang gelap ini. Tidak hanya suara sabuk, tapi juga suara sabetan ganggang sapu melayang ke tubuh Sam. Sekuat tenaga ia menendang-nendang pintu agar terbuka, tanpa ada hasil. Air matanya mengalir deras di setiap sabetan dan pukulan keras mengenai tubuh adiknya yang ia dengar. Teriakannya untuk memohon ayahnya untuk berhenti memukul Sam, tidak didengar. Bodoh sekali ia, merasa telah melindungi Sam dari pukulan ayahnya sehari ini. Tapi tetap, Sam harus menerima pukulannya. Tidak ada suara tangisan ataupun suara merintih kesakitan. Sam sama sekali tidak bersuara.
Hingga akhirnya suara itu berhenti. Dean mengira-ngira bagaimana Sam di sana. ‘Ya, Tuhan!’
Pintu baru dibuka pagi hari. Sinar matahari masuk menyilaukan mata Dean setelah kegelapan ruang itu semalaman.
Matanya langsung mencari Sam. Dan dia menemukannya tertelungkup di lantai tepat di samping kaki meja makan dengan celana menggantung di kakinya.
“Sam!” segera menujunya, dan tak dapat bernafas melihatnya.
Pantat juga pahanya berwarna biru kemerahan dengan memar-memar mengerikan dan luka terbuka yang masih mengeluarkan darah, bertumpuk dengan memar-memar sebelumnya yang belum sempat sembuh. Terlihat juga kedua telapak tangannya terkelupas dengan darah mengering, juga bajunya yang basah dan lengket. Hati-hati ia mengintipnya dan membuatnya kembali tak dapat bernafas.
“Sammy?” panggilnya hati-hati. Ia ingin membetulkan celana Sam tapi takut semakin menyakitinya
“Bangunkan dia, kalau dia nggak mau terlambat kerja,” suara ayahnya dingin tanpa menoleh.
“Dia nggak akan bisa kerja dengan seperti ini!” protes Dean marah melawan ketakutannya.
“Oh, ya, tentu saja bisa.”
“Dia luka parah, pa!”
“Nanti juga sembuh sendiri!”
“Nggak, dia nggak boleh kerja hari ini_ AW!!” Dean memekik dengan ayahnya menjambak rambutnya.
“Kalian berdua harus tetap kerja, atau sabukku yang akan bekerja.”
Dean menelan ludah.
Ia masih meringis sakit saat ayahnya melepaskan rambutnya dengan kasar.
“Bangunkan dia,” dengan menendang kaki Sam.
Dean tak bisa berbuat apa-apa, dan mencoba membangunkan adiknya.
“Sammy, bangun, Sam…”
Mata Sam terbuka lirih.
“Bangun, Sam, kita harus kerja, ingat?” dengan sehalus mungkin.
Sam mengangguk dan mencoba menggerakkan tubuhnya, dan langsung terpaku. Matanya menampakkan kesakitan tanpa bersuara. Dean sampai terheran, Sam tidak pernah mengeluarkan suara dan air mata setetes pun untuk ini semua.
“Aku tahu masih sakit, Sam, tapi kamu nggak bisa di sini, kalau nggak dia akan memukulmu lagi.”
Dean membantu Sam untuk berdiri dan memakaikan kembali celananya. Wajahnya semakin terpaku kesakitan.
Dean sempat mengganti pakaian Sam dengan yang bersih dan membersihkan luka-lukanya, lalu membawanya keluar dari rumah. Dan Akhirnya ia harus menggendong Sam di punggungnya sampai pelabuhan. Dia tidak kuat untuk berjalan sendiri.
“Kenapa dia?” Castiel penuh simpati melihat Dean menggendong adiknya yang terkulai lemah.
“Dia memukulnya lagi.”
Castiel terkatup.
“Dia tetap bisa memukulnya, meski sudah aku bawa dia keluar seharian,” Dean tak dapat menyembunyikan kesedihannya.
“Dia nggak akan bisa kerja, kan?” Castiel terheran.
Dean menggeleng. “Mudah-mudahan Tn. Singer mengerti.”
Sesampainya di pelabuhan, Dean langsung menjelaskannya pada Tn. Singer, dan untunglah dia mengerti. Dia akan menunggu sampai Sam mampu untuk mengantarkan surat-surat kembali. Dia bahkan mengizinkan Sam untuk beristirahat di kantornya.
Saat istirahat, Dean boleh menjenguknya. Sam masih terlihat lemah. Tn. Singer mengizinkan Sam berbaring di sini hingga waktu pulang nanti. Walau perih, Dean sedikit dapat bernafas lega. Tn. Singer tampaknya menyukai dan menyayangi Sam. Ada sebersit harapan, mungkin dia bisa menitipkan Sam pada Ny. Singer. Mereka belum memiliki anak, mungkin ia akan senang dengan kehadiran Sam. Dean tersenyum sendiri dengan pikirannya. ‘Mudah-mudahan.’
Dean bisa bekerja dengan tenang. Nanti bila sampai rumah, dia bersumpah dia tidak akan membiarkan sabuk ayahnya menyentuh tubuh Sam lagi!
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar