Chapter 6
Dean melihat Nyonya Catherine sedang menenangkan Sam yang mulai berontak tak sadar karena demam.
“Sammy,” Dean segera menghampirinya. “Izinkan saya, Nyonya,” ia sempat meminta izin sebelum naik ke tempat tidur.
Catherine mengangguk pasti.
Dean memeluk Sam hangat, “Shss, nggak pa-pa, Sam, aku di sini,” tangan Sam terasa panas dan berkeringat banyak.
“Dia sudah meminum obat penurun panasnya, sekarang tinggal menunggunya.”
Dean mengangguk, “Terimakasih, Nyonya” dan terus mendekap Sam erat.
Dean terus memeluk Sam, dengan Nyonya Catherine dan pelayannya ikut menjaga.
Hingga tengah malam, demam Sam tidak kunjung turun dengan Sam masih terus bergerak gelisah dan tanpa henti mengeluarkan keringat, hingga Dean kelelahan dan tertidur masih dengan memeluknya. Catherine segera menggantikan. Ia memeluk dan mengusap keringat Sam dengan lembut.
Sam tetap berontak di pelukan Catherine. Sampai akhirnya perlahan-lahan Sam mereda, dan dapat tenang kembali, diikuti panas tubuhnya yang mulai turun.
Catherine tersenyum lega, dan membiarkan Sam tidur dengan tenang. Namun yang ia herankan, selama Sam demam tinggi, ia sama sekali tidak mengeluarkan suara erangan dalam igauannya. Sangat mengherankan.
Dean terbangun tanpa tahu di mana ia berada. Kasur yang empuk, halus, dan hangat, pasti bukan di rumahnya. Matanya langsung berhadapan dengan Sam yang tertidur pulas di sebelahnya. Ia langsung ingat. Disentuhnya kening Sam. Tidak terasa panas lagi. Dean langsung panik,
“Sam…?”
“Shss,” Dean tersadar dengan suara Nyonya Catherine yang duduk di tepi tempat tidur. “Jangan, dia baru bisa tidur. Panasnya sudah turun.”
Dean menarik nafas lega, dan menengok adiknya yang tidur dengan damainya. Dikecupnya kening Sam.
Catherine tersenyum melihatnya. Pertanyaan yang akan ia tanyakan tadi malam, kembali datang di kepalanya. Semalam dia gagal menanyakannya, mungkin sekarang kesempatannya.
“Dean…”
Mata Dean kembali pada Catherine.
Catherine ragu untuk melanjutkannya, tapi ia harus tahu. Mata Dean masih menunggunya.
“Adikmu baru melewati demam tinggi, dia terluka parah. Kau ingin cerita, apa yang terjadi dengannya? Siapa yang melakukannya?” dengan sangat hati-hati, takut menyinggung perasaan Dean.
Dean terdiam. Dia tidak bisa menceritakannya.
Tiba-tiba Dean teringat, “Saya harus ke pelabuhan. Kemarin saya sudah pergi sebelum waktunya pulang. Saya harus bekerja.”
Catherine sempat terkaget.
“Boleh saya bawa dia pulang?”
“Jangan, Dean, biar dia sini dulu,” Catherine memaksa. “Kau tidak bisa membawanya pulang, dia masih membutuhkan perawatan.”
Dean terlihat ragu, tapi Catherine mengangguk.
“Saya boleh datang lagi nanti sore?” tanyanya ragu.
“Tentu.”
Dean tersenyum lega. “Terimakasih Nyonya. Saya titip Sam, nanti sore saya datang lagi.”
Catherine mengangguk. Setelah itu ia membiarkan Dean pergi. Dean jelas tidak ingin menceritakannya, tapi Catherine harus tahu, dan dia akan menunggu sampai Dean menceritakannya
SPNSPN
Dean bekerja dengan perasaan tidak tenang. Ia meninggalkan Sam sendiri di sana sebelum ia bangun. Bagaimana kalau dia bangun di tempat yang asing tanpa melihat dirinya? Sam pasti sangat ketakutan.
“Winchester!”
Dean mendongak dengan suara panggilan Tn. Singer di tengah pekerjaannya.
“Mana Sam?”
“Maafkan saya, Tuan, saya kemarin keluar sebelum waktunya pulang.”
“Lupakan kemarin. Sekarang di mana Sam? aku tahu dia kemarin tertabrak kereta.”
“Dia berada di rumah mereka. Mereka merawatnya setelah Sam demam tinggi karena luka-luka di punggungnya.”
Singer menghela nafas menyesal, “Maafkan saya, Dean. Dia memaksa untuk tetap mengantarkan surat itu, walau saya sudah mengatakan tidak usah. Tapi dia tetap memaksa.”
“Saya mengerti Tuan, tidak apa-apa.”
“Bagaimana dia sekarang?”
“Demamnya sudah turun, tapi belum juga bangun.”
Singer mengangguk dan membiarkan Dean kembali bekerja.
SPNSPSN
Kediaman Kel. Sullivan
Catherine terus menjaga Sam di samping tempat tidurnya. Hingga akhirnya ia melihat mata Sam berkedip-kedip dan perlahan terbuka.
Catherine kembali terpana dengan mata blue Hazel indah anak ini. Belum pernah ia melihat mata seindah ini, terlebih pada anak sekecil Sam.
“Hi, Sam,” dengan tersenyum hangat menyambutnya.
Sam tidak membalas senyumannya. Ia masih memfokuskan pandangannya.
“Kau demam tadi malam.”
Sam tersadar, dia bukan berada di kamarnya. ‘Kamar siapa ini?’ Ia mengedarkan matanya ke sekelilingnya. Takut mulai menyergap.
“Jangan takut, kau aman di sini. Kau ingat, kau tertabrak kereta kemarin? Kami yang menabrakmu. Tapi jangan takut, dokter sudah mengobatimu, juga luka di punggungmu.”
Saat itu juga Sam teringat dengan ayahnya dan Dean. Ia mencari Dean. Matanya semakin ketakutan dengan tidak dilihatnya kakaknya. Ia segera beranjak turun, namun segera ditahan,
“Hey, mau ke mana? Jangan bergerak dulu, lukamu bisa terbuka lagi,” dengan menahan Sam.
Tapi Sam tidak peduli, ia berontak berusaha untuk turun, tidak peduli ia dipegang kuat.
“Anton!!!” Catherine memanggil bantuan. “Tenang, Sam, Dean pasti datang.”
Mendengar nama Dean disebut, Sam berhenti memberontak.
Catherine mengangguk memastikan, “Dean pasti ke sini, dia akan menengokmu,” meyakinkannya.
Sesaat Sam terdiam untuk percaya.
Catherine mengangguk pasti. “Dia tahu kau di sini dan terluka, tapi sekarang ia harus bekerja dulu. Nanti sore dia akan datang lagi, untukmu.”
Sam mulai percaya.
“Tidak apa-apa, Anton,” melihat Anton sudah berada masuk ke dalam kamar. Lalu ia kembali pada Sam.
“Sekarang kau istirahat dulu. Kau harus istirahat, nak. Nanti kau akan lebih segar saat Dean datang. Ya?”
Sam menurutinya, lagipula tubuhnya masih terasa sakit dan lemas. Ia tidak bisa lagi melawan.
“Pintar,” Catherine tersenyum lega dengan mengusap rambut coklatnnya. “Kau mau sarapan sekarang?”
Sam menggeleng.
“Kau belum makan dari kemarin. Kau harus makan sekarang.”
Sam tetap menggeleng. “Baiklah, aku tidak akan memaksa. Kau ingin tidur lagi?”
Kali ini Sam mengangguk. Dia tidak kuat. Tubuhnya terasa lemas dan sakit. Dia ingin tidur.
“Baiklah, kau boleh istirahat lagi. Tapi kau harus makan nanti, ya?”
Sam mengangguk menurut dan membiarkan dia dituntun posisi tidur.
Catherine menarikkan selimutnya hingga menutupi dada Sam. Ia melemparkan senyuman sebelum keluar kamar.
Catherine keluar setelah menitipkannya pada Anton untuk menjaganya, dengan kepala terheran. Sam tidak bicara, hanya menggeleng dan mengangguk. Ada yang aneh pada Sam, apakah dia bisu? Tapi yang jelas dia tidak tuli.
“Bagaimana Sam, bu?” Gabriel bertanya ingin tahu.
“Baru saja sadarkan diri.”
“Boleh aku melihatnya?”
“Jangan. Dia sedang istirahat, jangan ganggu dia dulu.”
Gabriel langsung mengeluh kesal.
“Mainlah sendiri sana. Sebentar lagi ayahmu pulang, ibu akan menyiapkan kedatangannya.”
Gabriel hanya mengangguk, dan melihat ibunya berlalu dari hadapannya.
Menunggu hingga ibunya jauh darinya, dengan mengendap-endap Gabriel memasuki kamar, dan melihat bocah itu tertidur.
Tanpa suara ia mendekatinya dan memperhatikan anak itu lebih dekat.
‘Cukup manis, tapi kecil sekali tubuhnya. Berapa umurnya?’ Gabriel bertanya-tanya. ‘Dia terlihat lebih baik dari saat ia datang kemarin’
Gabriel jadi teringat dengan luka-luka di tubuhnya, sampai bergidik ngeri sendiri.
“Sedang apa kau di sini, Gab?” sebuah suara pelan dari sampingnya sangat mengagetkan Gabriel, sampai ia terlonjak dari berdirinya dengan memekik tertahan.
“Anton!” Gabriel memekik marah tertahan setelah tahu siapa yang mengagetkannya.
“Maaf, Gab,” Anto sedikit membungkuk hormat.
“Sedang apa kau di sini?” Gabriel masih menenangkan kekagetannya.
“Saya mendapat tugas menjaganya. Kau sendiri sedang apa di sini?”
“Aku hanya ingin melihatnya,” seraya menoleh pada anak itu yang kini matanya telah terbuka memandangnya heran.
“Hai!” Gabriel langsung menyapanya dengan tersenyum gugup. “Maaf, aku membangunkanmu. Aku hanya ingin melihat keadaanmu, tapi dia mengagetkanku dari belakang,” Gabriel seramah mungkin.
Sam hanya diam.
“Siapa namamu?”
Sam tidak memberi jawaban.
“Ok, aku tahu namamu Sam, dan kakakmu Dean,” Gabriel mengalah setelah sepertinya ia enggan memberitahukan. “Berapa umurmu? Sepertinya kita sebaya.”
Sam hanya diam.
Gabriel mulai risih, tidak mendapat jawaban satu pun. Tapi dia masih ingin mencoba untuk ramah dengannya. “Oh ya, namaku , Gabriel, Gabriel Sullivan, dan orang disamping ini lebih sering memanggilku Gab. dan kamu berada di rumahku. Kamu sudah bertemu ibuku tadi, dia yang menjagamu semalam,” dengan tersenyum renyah.
Gabriel masih belum juga mendapatkan sahutan, ini semakin membuatnya heran. “Kamu sakit? Aku lihat luka-luka di tubuhmu. Itu sakit sekali, kan?” wajah Gabriel berubah simpati.
Tetap belum ada sahutan.
“Kamu bisa bicara? Kamu tidak bisu, kan?” Gabriel tidak dapat menahan lagi.
“Sudahlah, Gab, Sam butuh istirahat, kau lebih baik keluar,” Anto mulai menggiring Gabriel keluar kamar.
Gabriel mau tak mau menurutinya. Wajahnya kecewa. “Aku sudah berusaha ramah padanya, tapi dia tidak menyahutku. Kenapa sih, dia?”
“Dia baru saja turun demamnya. Mungkin dia masih lemah. Kau jangan menganggunya.”
“Tapi paling tidak, dia kan bisa bilang ‘iya’ atau ‘tidak’, jangan diam saja!” sedikit bersungut-sungut kesal.
Anton hanya tersenyum geleng-geleng kepala.
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar