Dean terbangun dengan sesuatu menggelitik hidungnya. Ia membuka mata dan mendapati sekumpulan rambut menutupi wajahnya, dan sosok kecil meringkuk di dadanya, membuat Dean melompat.
“HIH, apa nih!?” seraya bangun dan mendapati matanya terkatuk foto di atas meja di samping tempat tidur. Foto pernikahan dirinya bersama Layla. Dean langsung teringat semuanya dengan ternganga. Jadi tadi malam itu bukan mimpi? Mimpi seorang gadis cilik. Dean melirik ka arah balita yang masih meringkuk di tempat tidurnya. Ia masih belum ingin percaya. Ia menyapu pandangannya ke seluruh ruangannya. Sebuah ruangan yang pantas disebut kamar tidur, bukan kamar motel. Sinar matahari masuk dengan hanganya diantara tirai jendela yang berwarna merah maroon lembut. Dean kembali menoleh pada gadis cilik di sisinya, ‘Anak ini ini anakku?’ Jadi bukan mimpi? Ini semua nyata? Dean terpaku tidak percaya.
Dean langsung bangkit keluar kamar dan menemukan ruang keluaraga yang sama dengan ia ia liat tadi malam. Dari kejauhan ia melihat Sam sedang duduk di meja makan menikmati sarapannya.
“Sam?” panggilnya pelan.
Sam mendongak dan tersenyum renyah , “Hey, pagi?”
Dean mengangguk mencoba untuk mengingat kembali, “Aku tebak, kamu pasti mau kuliah.”
“Yup, ada ujian penting hari ini,” Sam nyengir bersemangat.
“Yah, jadi tadi malam bener-bener bukan mimpi,” Dean mengangguk dengan menarik nafas dalam-dalam. “Dan balita yang ada di tempat tidurku adalah putriku, kan?”
Sam memandang sam dengan keheranan, dan tersenyum penuh curiga, “Dean, kamu bener_”
“Yap,” potong Dean langsung. “Aku nggak pa-pa, cuma sedikit pusing.”
Sam harus tersenyum. Dia sangat mengenal abangnya, jadi tak perlu ditanyakan lagi.
“Cuma heran, bagaimana ini bisa terjadi?”
“Mabuk, Dean.”
Dean tersenyum kecut.
“Oke, aku pergi sekarang. Jangan lupa bawa keranjang bekalnya, ya, sudah aku siapin semuanya, tinggal dibawa. Ketemu di karnaval, ya...”
Dean terpaku, “Heh, karnaval? Kita mau pergi _?”
Sam kembali memandang abangnya dengan terheran, “Jangan bilang kamu lupa kita mau pergi ke karnaval. Anakmu sudah merengek berhari-hari minta diajak kesana.”
“Oh, nggak, aku nggak lupa,” sahut Dean langsung, “cuma kaget aja, kamu juga mau ikut ke sana,” Dean tertawa geli. Karnaval adalah satu-satunya tempat yang berusaha Sammy hindari seumur hidupnya.
“Emily ingin aku ikut, dan kamu tau sendiri, aku nggak akan bisa menolaknya, kan....”
“Yeah, kamu sayang dia.”
“Kita semua sayang dia, Dean.”
“Pastinya. Mhmm, kembali pertanyaanku yang tadi malam, apa Layla meninggal karen....” Dean mengisyaratkan tangannya ke kepalanya tidak ingin menyebutnya.
“Apa, hilang ingatan?” Sam menebaknya.
Dean tercenung heran. “Bukan, kanker otak...”
Giliran Sam yang tercenung, “Kanker otak dari mana?” protes Sam dengan tertawa geli. Tapi ia harus terdiam lagi dengan wajah Dean yang serius. Dia menarik nafas, “Dean, aku tahu kamu memang nggak mau mengingatnya, tapi Layla meninggal saat melahirkan Emily untuk kamu, dia meninggal tiga tahun yang lalu.”
Dean terkatup, “Astaga.” Tapi yang semakin dia heran, bukankah Layla Rourke sakit Kanker Otak, makanya mereka bertemu di tenda penyembuhan Roy Le Grange? Dean ingin menanyakan lebih lanjut, tapi itu akan membuat Sam semakin curiga. Bisa dibilang gila ia nanti.
“Yeah, tapi kamu hebat, Dean, bisa melakukannya tanpa Layla,” Sam tersenyum dengan bangga.
Dean memaksa tersenyum, tidak ingin membayangkan dirinya menjadi orang tua tunggal bagi gadis kecil itu.
“Key, Dean, ketemu di pasar raya, ya. Oh, dad juga datang.”
KEJUTAN LAIN. Dean terpaku tidak percaya, “Dad? Dad juga datang?”
“Yeah, he langsung dari Lawrence buat ikut ke karnaval bareng kita.”
Dean semakin terpaku, ‘Dad masih hidup, dan tinggal di Lawrence? Aneh sekali..’ Ia harus menarik nafas dalam-dalam dengan tersenyum kulum.
“Dean, kamu nggak pa-pa?” Sam semakin khawatir dengan perubahan Dean.
“Yeah.., aku ngga pa-apa,” dengan senyum meyakinkan.
“Daddy….,” suara kecil bangun tidur terdengar dari belakangnya, Dean langsung menoleh ke belakang dan melihat sosok kecil berdiri di pintu kamarnya dengan mata yang masih mengaantuk.
“Hey, udah bangun?” Dean menyambutnya dan menggendongnya.
“Pagi, cantik,” Sam sudah berdiri di samping Dean, siap memberi ciuman kepada keponakan kecilnya. “Pergi dulu, ya.”seraya mengecup pipi Emily.
“Mau kemana?” suara kecil Emily terdengar kecewa.
“Kuliah, sayang,” Sam tersenyum manis.
“Tapi kita kan mau pergi ke karnaval.”
“Aku menyusul nanti setelah aku selesai ujian. Jangan takut, aku pasati ikut Emily.”
“Janji?”
“Janji. Apa pernah aku bohong?”
Emily menggeleng meski tetap tidak yakin.
Sam tersenyum, “Aku pasti ikut, cantik,” sekali lagi ia mengecup pipi Emily penuh sayang, seraya meyakinkan bahwa dia akan menyusul ke sana.
Dean berdiri dengan terpana. Begitu dekatnya Sam dengan putri kecilnya ini. Tentu saja karena Emily adalah keponakannya tapi tetap saja membuatnya terpana melihat Sam bisa berinteraksi baik dengan anak kecil. Satu hal yang tidak mungkin terjadi. Dean benar-benar tidak percaya.
“Sampai ketemu nanti, okay?”
Emily hanya mengangguk dan kembali mendapatkan kecupan dari pamanya, sampai akhinya pamanya menghilang di balik pintu keluar.
Dean menengok Emily yang masih khawatir pamanya tidak bisa ikut nanti.
“Jangan takut, sayang, Uncle Sammy pasti datang, langsung begitu ia selesai ujiannya.”
Tidak ada jawaban dari Emily.
“Nah, gimana kalau kau mandi dulu sekarang, jadi kita bisa pergi awal?” dean segara mengalihkan perhatian.
Emily mengerutkan bibirnya tanda tidak suka, “Nggak suka mandi.”
Dean sedikit tercenung, ‘ketahuan dehn anak siapa ini’ dengan tersenyum malu.
“Well, dad juga nggak suka mandi, tapi kita nggak akan pergi ke karnaval kalau kau nggak mau mandi.”
Emily semakin cemberut, “Oke, tapi boleh bawa bebekku dan busanya, ya, pwease?”?”
“Kau boleh bawa apa aja,” meski ia tidak tahu benda apa yang dimaksud putrinya ini.
Emily merosot dari gendongan ayahnya dan berlari ke kamarnya mengambil barang yang dimaksud, sementara Dean menyiapkan air hangat di bathtub.
Kembali Dean harus terpana melihat kamar mandi di kamarnya yang lumayan besar dan mewah, mengingat selmaa ini kamar mandi yang ia tahu hanyalah kamar mandi kecil di motel. Itupun kalau ada kamar mandi, biasanya Cuma ada wastafel saja. Dean benar-benar menyukai rumah ini.
Dean menyiapkan air untuk Emily dan membantu putrinya melepaskan piyamanya. Setelah airnya siap, Dean menaikkan Emily ke dalam bathtub.
Ada kecanggungan saat akan mulai memandikan Emily. Belum pernah ia memandikan anak perempuan. Kalau memandikan anak laki, sering. Siapa yang memandikan Sammy waktu dia seumur ini; DEAN! Tapi ia sadar, ia seorang ayah sekarang, ayah dari putri kecil,dan dia harus bisa memandikan putri kecilnya.
Dean masih belum bisa percaya dengan apa yang sedang terjadi. Dia harus cari penjelasannya. Dan ia harus melakukanya sendiri, karena dia tidak mungkin minta bantuan sammy,secara dia sudah mengatakan dia berhenti berburu, jadi tidak mungkin Sammy akan membantunya sekarang. Jadi yang bisa ia lakukan adalah melihat kemana cerita ini berjalan baru mencari penjelasannya.
Dean benar-benar menikmati moment ayah dan anak seperti ini. Ia memandikan Emily dengan hati-hati sementara Emily sibuk dengan mainan bebek-bebeknya. Jujur ia mulai menyayangi putri kecilnya yang baru dikenal beberapa jam yang lalu. Ia harus tersenyum sendiri. Ia mulai menyukai kehidupan barunya ini.
Begitu Dean selesai memandikan Emily, Dean langsung membalutnya dengan handuk dan membawanya ke kamar Emily.
Didudukkannya Emily di tempat tidru dan membuka lemari pakaiannya dan memilih pakaian yang yang bagus untuk dipakai Emily hari ini . Dan ia harus terkaget lagi, dengan koleksi pakaian Emily. Koleksinya berupa kaos dan gaun berwarna pink bergambar Putri dan Barbie dan lain sebagainya. Penasaran juga, siapa yang membelikannya, secara tidak ada wanita di sini. Matanya tiba-tiba tertegun pada koleksi Emily yang berupa dua buah jaket kulit kecil seperti yang biasa ia pakai. Dean menoleh pada Emily,
“Siapa yang membelikannya?”
“Daddy,” dengan nyengir menggemaskan
Dean menyeringai dengan bangga , “Sudah kuduga.”
“Daddy boleh aku pakai yang itu?” Emily menujuk kaus berwarna pink bergambar barbie dan celana jean.
Dean tersenyum, “Tentu saja, sayang,” dan mengambilnya lalu memakaikannya pada putri kecilnya.
Tidak butuh waktu untuk dean memakaikan Emilu dengan baju pilihannya sendiri. Dilihatnya rambut lurus blonde putrinya. Sempat tertergun juga, ‘bagaimana menyisirnya?’
Tapi penuh percaya diri dan pelan-pelan Dean menyisir rambut putrinya dan membuatnya menjadi dua kepang yang sangat rapih. ‘Jangan tanya bagaimana ia bisa melakukannya’
“Selesai” ucap Dean begitu selesai dengan menyemakan pita merah di kepang Emily.
Emily berbalik pada ayahnya.
“Apa aku sudah cantik, dad?”
Dean memandang putri kecilnya dengan senyum penuh bangga, “Cantik sekali,”
Emily tersenyum senang, “Makasih, dad,” dengan memeluk ayahnya dengan erat.
Jantung Dean berhenti seketika tapi segera tergantikan dengan degup jantung putrinya yang terasa begitu damai terasa di dada. ‘Beginikah rasanya?’ Dean tersenyum “Terimakasih kembali, sayang,” dan mengecupnya penuh sayang.
“Nah, kita sarapan sekarang, sekalian kita tunggu kakek datang,” terdengar aneh, Dean menyebutkan ‘kakek;. Ia sendiri tidak yakin.
Emily membulatkan matanya penuh semangat, “Kakek mau datang?”
“Yup, dia mau datang,” meski ia sendiri tidak yakin akan bertemu lagi dengan ayahnya.
Hingga terdengar suara mesin mobil bsar memasuki halaman rumah. Dean keluar kamar dan mengintip dari jendela. Dan ia harus menahan nafas dengan sebuah mobil pik up besar hitam dua pintu seri GMC Siera tahun 1986. Sosok pria tinggi besar dengan wajah bahagia keluar dari dalam truk.
“Aku nggak percaya,” Dean tersenyum sumringah.
“Kakek!” Emily bersorak dengan kedatangan pria besar itu di pintu.
“Hiya, putri cantik, pa kabar, sayang? Hey, kau sudah siap rupanya!” dengan mengangkat Emily tinggi-tinggi dan mengecupnya gemas.
Emily mengangguk dengan bangganya. “Kita mau pergi ke karnaval, kakek mau ikut.”
“Pastinya kakek mau ikut, sayang, makanya kakek datang,” John tersenyum dengan cucunya yang paling cantik sedunia.
Emily tersenyum senang dan memeluk kakeknya erat.
‘Dad’ Dean masih berdiri terpaku tak dapat berucap, melihat sosok ayahnya yang bahagia berdiri depannya, menggendong dan memeluk putrinya dengan wajah bahagia. Jantungnya berdegup kencang.
Dan Dean terkaget dengan tiba-tiba ayahnya menoleh ke arahnya. Jantunya berhenti seketika,
“Hey, Ace,” senyuman dan suara hangat itu sangat Dean kenal.
“D…dad?” Dean hampir saja menangis dan berlari ingin memeluk ayahnya, untuk merasakan pria besar itu adalah benar-benar ayahnya.
Dean masih berdiri tegang dengan senyum bahagia. Tapi justru membuat ayahnya heran bercampur cemas.
“Kau tak pa-pa, Dean? Kau kelihatan pucat?” John pada putra sulungnya.
Dean menarik nafas, “Yah, dad, aku nggak papa,” dengan senyum penuh kebahagiaan.
“Baguslah,” John tersenyum, lalu kembali pada putri cantik di gendongannya.
“Kita pergi sekarang?” tanya Emily.
“Tuh, daddy-mu belum mandir,” John tersenyum geli.
Emily menengok ke arah ayahnya, “Daddy mandi!” dengan nada perintah.
“Oke, daddy mandi sekarang! Emily sama kakek dulu, ya.”
Emilyu mengangguk tersenyum.
“Titip Emily sebentar, ya, yah?” ucap Dean halus.
“Yeah, dia aman bersamaku,” john menyahut dengan hangat.
Dean tersenyum lega. Begitu leganya bisa melihat ayahnya sangat relax dan kalem. Sudah lama ia tidak melihat wajah hangat ayahnya ini, tidak sejak kebakaran itu, sebelum ibu mereka direbut dari mereka, dan sebelum semua kehidupan aneh terjadi. Senangnya bisa melihat senyum itu lagi.
Dean mandi dengan cepat dengan terus berpikir bagaimana ini bisa terjadi. Sejauh ini perkiraanya adalah perbuatan djin atau trickster. ‘Hih, kapan mereka mau selesai main-main dengan kehidupanku?’
Dean harus tau apa yang terjadi, tapi nanti setelah ia pulang dari karnival. Dean harus tersenyum geli, karena terakhir ia pergi kesana, cukup membuat Sammy kacau. Sekarang ia penasaran apa yang akan terjadi nanti.
Begitu selesai mandi, Dean segera bersiap, dan siap untuk pergi, bersama putri dan ayahnya ke karnaval.
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar