I'm Sorry Dean
Rate : K +
Genre : Drama - Emitionaly Wrecked , Brotherbond
Character : Dean, Sam and Bobby (not Slash)
Summary : When Sam Winchester feel all the pressure of guilty feeling on his brother, its only Dean who can make him any better ....
Setting :
Antara Episode pertama dan kedua Season ke 7
I'm Sorry, Dean
Dean
mematikan mesin Impalanya dengan tidak sabar, begitu mobil kesayangannya
berhenti di depan pintu kamar motel yang akan mereka sewa. Diliriknya Sam yang
masih tertidur dengan kepala bersandar di jendela. Dean memeriksa kening Sam
yang basah karena keringat. 'Bagus, makin panas badannya,' dengan gusar.
Dean langsung
keluar mobil dan membukakan pintu kamarnya dengan dua tempat tidur. Sebelum
membangunkan Sam, Dean membawa masuk tas-tas mereka ke kamar.
Dean membuka
selimut di tempat tidur yang terjauh dari pintu untuk Sam, lalu kembali ke
mobil untuk menjemput adik tersayangnya.
"Sammy…, kita sudah sampai…,"
panggil Dean pelan membangunkan.
Butuh
beberapa saat, hingga Sam terbangun.
"Huh? … di rumah …Bobby ..?"
tanya Sam lirih, suaranya kecil dan serak.
"Belum, kita masih di Northplate. Aku
memutuskan untuk menginap di motel malam ini, " Ya, Northplate, hanya
tinggal 4 jam lagi untuk sampai ke South Dakota- tempat Bobby- setelah mereka
menyelesaikan pekerjaan mereka di daerah Colorado. Ada sebuah sekte di sana
yang ternyata anggotanya terasuki semua oleh Iblis yang semuanya anak buah
Crowly, iblis-iblis bawaan Crowly pontang panting seperti kehilangan induk
semang dan berbuat ulah, Dean dan Sam yang harus membereskannya. Sebenarnya
tidak sulit, hanya saja, sedikit agak berulah sampai membuat mereka berdua
kewalahan. Tapi untungnya mereka dapat menyelesaikannya, dan segera langsung
bisa pulang ke rumah Bobby. Tapi tidak dengan keadaan Sammy sekarang.
"Huh, kenapa? Kan tinggal beberapa mil
lagi…"
"Nggak, kamu sakit, Sam, dan harus
istirahat di kasur, bukan di mobil."
Sam
menggerutu lirih, "Aku nggak papa, aku masih kuat sampai rumah."
'Rumah'
indahnya sudah menganggap rumah Bobby sebagai rumah mereka.
"Nggak, badan kamu panas, Sam, kamu
sakit, aku nggak mau ambil resiko kamu makin sakit. Dah yuk, turun…,"
seraya membuka pintu untuk adiknya. "Bisa berdiri?"
"Bisa…," Sam mendengus kecil
melawan lemas tubuhnya dan mencoba mengeluarkan kaki panjangnya keluar dari
mobil, lalu berdiri
Namun saat
dua kaki panjang menopang seluruh tubuh besarnya, seakan tidak ada tenaga di
sana. Sam lemas seketika. Tapi dua tangan kuat siap menangkapnya.
"Wow," Dean menangkap tubuh lemas
adiknya yang besar, dan mendekapnya kuat, "Yup, bisa jalan sendiri,
Sam," sahut Dean seraya berusaha memapah tubuh besar adiknya yang hanya
Tuhan yang tahu, adiknya bisa sebesar ini tubuhnya.
"Le...mes," ucap Sam lirih.
"Iya, itu namanya lagi sakit,
Sam," seraya memapah adiknya masuk ke kamar hotel. Ada perasaan bersalah
karena mengizinkan Sam untuk ikut dalam perburuan kali ini.
Susah payah
Dean memapah Sam untuk sampai ke tempat tidurnya yang jauh dari pintu, dan
merebahkan raksasa tersayangnya di tempat tidur. Dilepasnya sepatu sebesar kaki
Shaquill O'Neill dari pemiliknya.
Baju Sam
basah kuyup oleh keringat, dan akan semakin sakit kalau sampai masuk angin.
"Sam, ganti baju dulu," Dean
mencoba membangunkannya.
"Huh?" Sam terbangun lemah.
"Ganti baju dulu Sam, kalu nggak kamu
bisa masuk angin,"
"Nggak… kuat bangun…," sahutnya
hampir tak terdengar.
Dean hanya
menghela nafas, yang artinya dia yang harus mengganti baju Sam.
Sekali lagi,
Dean mengeluarkan tenaga sisanya, untuk bisa melepas baju Sammy dari tubuh
besarnya dan memakaikannya dengan baju yang bersih. Bahkan celana jeansnya pun
Dean mengantikannnya. Sebuah keajaiban, Dean bisa melakukannya dengan sukses.
"Yak, Sammy, kamu hutang sama aku,
karena nggak ada seorang kakak di manapun yang mau menggantikan baju dan celana
adiknya yang sepanjang 190cm lebih dan badan sebesar kingkong, selain
aku," seraya mengatur nafas kelelahannya, lalu menaikkan selimut adiknya
hingga menutup dadanya.
Diambilnya
termometer dari ranselnya.
"Buka mulutmu, Sam."
Sam hanya
menurut dan membiarkan benda panjang dan kecil itu masuk ke mulutnya.
Tak menunggu
lama, benda berbunyi dengan cepat.
"Bagus, 42,5 C°, Sam, mendidih ini
namanya,"
Dean langsung
menyiapkan antibiotik dan obat penurun panas yang memang harus selalu siap di
kotak obat berjalan mereka, dan menaruhnya di atas meja lampu samping tempat
tidur.
"Sam, minum obat dulu," Dean
membangunkan adiknya pelan, seraya menyiapkan obat di tangannya dan segelas air
putih.
"Huh?"
"Minum obat dulu, nanti boleh tidur
lagi."
Sam
mengerjap-ngerjap dengan lemasnya, melihat Dean sudah siap dengan obat dan air.
"Ayo, buka mulutnya"
Sam pun
membuka mulutnya dan menerima butiran pil kecil masuk ke mulutnya. Butuh tenaga
ekstra untuk minum air dari gelas yang dipegang Dean, sampai ia tersedak.
"Uhuk!"
"Ssh..., tarik nafas," Dean
menepuk-nepuk punggung Sam dan mengelap air yg menetes di dagu dan baju Sam.
Sam
terengah-engah mengontrol nafasnya, hingga akhirnya menyerah dan kembali
tertidur.
Teringat luka
di telapak tangan Sam, Dean memeriksanya. Basah karena keringat, tapi tidak ada
tanda infeksi di sana. Jahitannnya pun mulai mengering. Dean membersihkannya
dan mengganti dengan perban yang baru, meski Sam sudah entah sampai mana dibawa
oleh panas tubuhnya yang cukup mengkhawatirkan.
Dean menarik
nafas dalam-dalam setelah semuanya beres, memandangi wajah pucat adiknya.
Diusapkan kepala Sam yang panas dan masih basah oleh keringat sebelum bangkit
mencari baskom kecil untuk diisinya air hangat untuk kompres Sammy, lalu mulai
mengompres kening Sam. Dipandanginya wajah tenang tapi menyimpan rasa sakit di
sana. Yang menjadi ketakutan Dean adalah, kalau Sam terserang mimpi buruk,
karena tidak sakitpun, Sam sering diserang mimpi buruk.
"Istirahatlah, Sam, jangan takut aku
akan di sini kalau kamu mimpi buruk," dengan terus mengusapkan lap hangat
di kening adiknya penuh sayang.
Teringat ia
harus menelepon Bobby untuk mengabarkan mereka tidak pulang malam ini, Dean
merogoh saku celananya dan mengambil ponselnya. Ditekan speed dial nomer 2 yang
langsung terhubungkan pada sosok pria yang sudah ia anggap sebagai ayah mereka
sendiri.
"Bobby?" panggilnya seraya menjauh
dari tempat tidur dan dengan suara yang dipelankan, takut membangunkan Sam.
"Dean?
Semuanya lancar kan?"
"Ya, lancar…., cuma kayaknya kita harus
bermalam di motel."
"Heh? Kenapa? Ada masalah? Di mana
kalian?" suara Bobby berubah cemas.
"Di North Plate. Sammy sakit, badannya
makin panas, aku nggak berani memaksanya tidur di mobil, sampai ke rumah, jadi
aku putuskan untuk menginap dulu."
"Oh, begitu? Apa aku harus ke
sana?"
"Nggak, nggak perlu. Paling cuma
semalam, besok kalau dia agak baikan, kami langsung pulang," menoleh pada
adiknya yang masih tertidur tenang.
"Oh, Oke. Tapi nanti, kalau ada
apa-apa, langsung kabari, ya,"
"Ok!"
"Jaga adikmu baik-baik …"
"SIAP, boss!" Dean harus terkekeh
mengakui betapa sayangnya Bobby pada Sam, dengan tetap memperhatikan adiknya,
lalu menutup telepon.
Dean kembali
pada adiknya dan duduk di tempat tidur, memperhatikan Sam. Rasa sesal itu belum
juga hilang, karena mengizinkan Sammy ikut dalam perburuan ini. Sebenarnya Sam
sudah agak sakit saat mereka berangkat kemarin, dan Dean sempat melarang Sammy
ikut, tapi Sam memaksa dengan mengeluarkan jurus ampuh 'mata anjing kecilnya'
yang bahkan sampai umurnya 29 tahun ini dengan badan sebesar kingkong tetap
ampuh untuk siapapun. Terlebih akhir-akhirnya dia agak sensitive jika ditanya
kondisinya sekarang ini. Halusinasi yang sering menyerangnya selepas dinding
penghalang ingatan akan neraka, runtuh, membuat Sam terus meyakinkan diri bahwa
dia baik-baik saja, dan masih bisa diajak berburu. Tapi siapa yang dapat
menahan serangan-serangan itu, bahkan untuk Sam sekalipun. Dean tahu, di saat
Sam kuat berjuang untuk mentalnya, ternyata tubuhnya tidak sekuat itu. Dengan
tidak berani tidur karena takut mimpi buruk, makan sedikit karena hilang
selera, dan perasaan takut yang selalu menghantuinya, membuat kondisi tubuhnya
turun drastis. . Tapi saat dilarang untuk ikut menemani Dean membereskan Demon
di Michigan, Sam marah-marah. Nah daripada direwelin Sam yang akan membuat urat
sabar Dean putus, akhirnya Dean mengizinkan Sam ikut, meski Dean tahu, Sam
tidak dalam kondisi sehat betul. Dan inilah akibatnya; Sam tak lagi kuat
menopang tubuhnya yang kelelahan fisik dan mental.
Dan sumber
malapetka ini adalah Crowly dan Castiel. Castiel, sudah tidak ada level
tertinggi untuk mewakili rasa kecewanya Dean, ditikam dari belakang oleh
sahabatnya sendiri, kawan lain yg sudah ia sayangi seperti ia menyayangi
adiknya sendiri. Entah setan apa yg merubah dia dari seorang malaikat menjadi
aliansi-nya iblis, dan sengaja menyodorkan jiwanya Sam pada Crowly agar bisa
dengan mudah Sam memburu makhluk-makhluk kesenangan Crowly tanpa belas kasihan.
Crowly, betapa bencinya Dean dengan demon satu itu (well, Dean benci semua
demon; khususnya Rubby dan Crowly- perusak Sammy). Demon penghancur hidupnya
dan semua orang-orang yang disayanginya; Sammy juga Castiel. Castiel sendiri
entah apakah dia masih hidup atau tidak dengan membawa Leviathan di dalam
tubuhnya setelah dengan pongahnya mengatakan dirinya Tuhan, yang ternyata
Leviathan, entah Castiel masih ada di dalam sana ata tidak. Tapi persetan
dengan Leviathan dan persetan dengan Castiel, Sammy sakit sekarang, dan itu
yang menjadi pikiran Dean sekarang.
"Eurgh...Eurgh...!"
Dean
terkesiap dengan Sam yang tiba-tiba mengejang dengan erangan menghentak, masih
dalam mata tertutup.
"Sammy?" diusap-usapkan kepala
Sam, berharap Sam akan tersadar, "Yow, Sam..., Sammy, bangun!" tapi
Sam tetap tidak tersadar, dengan terus mengejang di bawah alam sadarnya.
"De...Deee...," erangan rintih
terdengar diantara kejangnya. "Tolo...ngin aku ..."
Tanpa pikir
dua kali, meski terkaget dengan Sam menyebut dirinya, Deee..., sudah lama ia
tak mendengarnya, terakhir ia mendengarnya saat Sam berumur 7 tahun, itupun
kalau Sam ketakutan, Dean langsung memposisikan di atas Sam dan memeluk Sam,
"Aku di sini, Sam..., aku di sini, cuma mimpi, Sam, cuma mimpi,"
tanpa henti mengusap-usapkan kepala Sam, dan mencoba menghentikan kejang Sam,
"Aku di sini, Sam, kamu aman, nggak kubiarkan hal buruk terjadi sama kamu,
Sam," dengan memeluk tubuh besar itu erat. Namun tetap Sam tidak merespon
pelukan Dean, Sam masih terjebak di dunia mimpi buruknya.
Sam memekik
dengan sekencangnya saat 'mereka' menyiksanya tanpa henti. Tubuh terbelenggu
pada sesuatu yang tak terlihat olehnya, dan 'mereka' terus menyiksanya. Siksaan
yang harus ia terima karena berani menyemplungkan diri ikut dengan Lucifer ke
neraka. Tubuhnya tercabik-cabik hingga tak berbentuk dengan rasa sakit yang
luar biasa. Inikah neraka? Dean... tolong aku... tolong aku ...!' tapi ia tahu,
ia pantas berada disini, karena ulahnya karena perbuatannya sendiri.
Perbuatannya yang sudah menyusahkan semua orang, terlebih abangnya .. 'Dean..
maafin aku...Dean... tolongin aku... Deee..." Sam sudah tak sanggup lagi
merintih kesakitan. Tidak hanya sakit di tubuhnya, tapi juga di hatinya, yang
sudah banyak mengecewakan Dean...
Tiba-tiba ada
sebuah pelukan yang menyelamatkannya. Ia yakin ia mendengar suara Dean ...
begitu menenangkan mendengar suara Dean..., 'Deee...' Ketakutan dan rasa sakit
perlahan menghilang dengan terus mendengarkannya. Dia aman, dia sudah ditolong,
dia sudah berada di pelukan seseorang, di pelukan Deee…. Dia dapat merasakan
ketegangannya dan perlahan mengendur saat dirasakan sentuhan aman yang
menenangkannya menguat. Dan karena kelelahan Sam dengan cepat tertidur di
pelukan yang penuh cinta itu.
Dean menghela
nafas lega, saat merasakan ketegangan tubuh Sam mengendur dan melemas di
pundaknya. Sam masih juga belum sadarkan diri, tapi ritme nafasnya sudah
beraturan, dan paling tidak sudah tidak kejang lagi.
Dean
membiarkan Sam berada di pelukannya untuk beberapa saat sebelum ia memastikan
Sam kembali tertidur pulas dan bisa direbahkan kembali ke tempat tidur.
Diusap-usapnya kepala Sam untuk membuat adiknya semakin tenang, karena Dean
tahu, tangannya masih ampuh untuk menenangkan Sam jikalau Sam tidak bisa tidur
tenang.
Dean menarik
nafas dengan perih. Ketakutannya terbukti. Lebih ditakutkan lagi jika Sam harus
mengalami mimpi buruk seperti ini sepanjang malam.
Diambilnya
lap basah dan diusapkannya pada leher dan kening Sam yang kembali berkeringat.
Dean menarik
kursi dan ditaruhnya di samping tempat tidur, lalu duduk di sana, karena ia
yakin ini akan menjadi malam panjang untuk berjaga.
Benar, tak
berapa lama, Sam mulai berontak dan mengejang lagi. Dean harus kembali memeluk
dan menenangkan Sam,
"Shsss..., aku di sini, Sam, aku di
sini..."dengan memeluk adiknya erat.
Sam tiba-tiba
berada di sebuah bengkel kosong. Dihadapannya terikat seorang pria yang tertawa
sinis padanya. Namun hanya sesaat karena Sam sudah mengeluarkan kekuatan
setengah iblisnya dari tangannya, untuk mengenyahkan iblis yang merasuki tubuh
pria yang terikat ini.
Semuanya
berjalan cepat, dan iblis itu bisa dikeluarkan dari pria malang ini. Sosok
wanita di sampingnya tersenyum dengan puasnya.
"Nggak ada rasa pusing lagi, kan?"
Sam harus
tersenyum dengan puas pada iblis wanita yang kini menjadi teman dan mentornya. "Nggak ada, sudah nggak pusing
lagi."
Iblis itu
tersenyum dengan puasnya.
Namun senyum
mereka terhempaskan dengan kedatangan Dean di bengkel itu dan menunjukkan wajah
kecewa dan rasa tidak sukanya karena Sam ternyata memakai kekuatan setengah
iblisnya yang paling tidak dibenci Dean, juga dengan sosok wanita iblis yang
adalah Ruby sosok yang paling dibenci Dean.
Selanjutnya
adalah kemarahan Dean karena Sam melakukan semuanya di belakang Dean, dan
berkoalisi dengan iblis, mahkluk yang pantang didekati. Dean bahkan bersumpah,
kalau dia tidak mengenal Sam, sudah pasti Dean akan mengejarnya dan
membunuhnya. Tak terkira rasa sakit Sam saat mendengarnya dari mulut kakak yang
paling disayanginya, tapi ini memang kesalahan Sam, dia sendiri yang sudah
berjanji untuk tidak menggunakannya lagi, tapi ia mengingkarinya, Sam tidak
menepati janjinya dan sudah mengecewakan Dean.
Tidak hanya
menggunakan kekuatan iblis yang amat dibenci Dean, tapi Sam juga mulai
ketagihan dengan darah iblis yang menjadi sumber kekuatan Sam melakukan
pemusnahan iblis dengan hebat. Ini lebih-lebih amat dibenci Dean, karena itu
berarti, setengah darah yang masuk ke dalam tubuh Sam adalah darah Iblis, dan
Dean tidak akan mengakui adiknya seorang iblis. Puncaknya Dean memergoki dengan
jelas Sam begitu menikmati bahkan penuh nafsu menyedot darah iblis yang
mengalir deras dari leher iblis yang mati. Tak terkira kecewa dan marahnya
Dean, hingga harus mengunci Sam dalam 'Panic Room' milik Bobby, untuk
menghilangkan ketagihannya. Sekeras, sekencang apapun Sam memohon bahkan hingga
menangis-nangis berteriak untuk dikeluarkan dari 'panic room', Dean tidak
mempedulikannya, dan membiarkan Sam dengan rasa sakit akan rasa ketagihannya
pada darah iblis. Tapi Sam pantas menerimanya. Sekali lagi Sam telah
mengecewakan Dean.
Berapa kali
ia telah mengecewakan Dean? Sam bahkan tak bisa menghitungnya lagi. Tapi
mungkin yang paling menyakitkan dan paling mengecewakan untuk Dean, adalah
bagaimana Sam tidak melihat Dean dan keluarganya sebagai pusat kehidupan Sam,
sementara Dean sebaliknya, menaruh Sam sebagai pusat dari kehidupannya. Wajah
kecewa Dean dan perih tampak jelas di sana, saat mengetahui, saat bahagia Sam
adalah saat merayakan Thanksgiving di rumah orang lain bersama keluarga orang
yang menyajikan makan malam dengan sempurna, juga kabur selama dua minggu dari
Dean untuk memiliki kehidupan sendiri di luar Dean dan ayahnya yang ia tidak
menyadari sudah sangat menyusahkan Dean. Hanya Tuhan yang tahu apa yang terjadi
pada Dean, saat ayahnya tahu Sam kabur dan Dean tidak tahu di mana adiknya
berada. Sam tidak berani membayangkannya. Lalu puncak dari kebahagiaan Sam yang
tentunya kehancuran hati Dean adalah saat Sam memutuskan untuk meninggalkan
keluarganya terlebih meninggalkan Dean, untuk kuliah dan memiliki dunia sendiri
di luar ayah dan abangnya. Tak terkira lagi betapa kecewa dan sedihnya Dean,
rasa bahagia Sam justru mimpi buruk Dean. Sam tidak pernah menempatkan dirinya
sebagai pusat kehidupannya, dan percuma saja dengan kalung jimat pemberian Sam
yang selalu Dean pakai, terlebih menyadari kalung itu awalnya bukan untuk Dean,
tapi untuk ayah. Sam tidak benar-benar memberikannya untuk Dean, hanya sebagai
pengalihan rasa kecewa Sam pada ayahnya, jadi untuk apa Dean memakainya lagi.
Kalung itu sudah tidak berarti apa-apa. Tidak ada rasa cinta di sana, dan
memang pantas untuk dibuang. Sam tak sadar air matanya mengalir di pipinya saat
Dean membuang kalung jimat pemberiannya di tong sampah. Kalung yang tidak
pernah sekalipun dilepas oleh Dean sejak ia memberikannya saat umur Sam 8
tahun! Dan saat itu juga, tidak ada lagi mata sayang seorang kakak di sana.
Dean sudah banyak terluka dan dikecewakan oleh. Sakitnya sampai ke ulu hati
menyadari mungkin ia sudah kehilangan kakak yang sangat menyayanginya.
"Dean maaafin aku ...maafin aku
...Dee..."
Dean
terkesiap dengan erangan lirih Sam masih dengan mata tertutup.
"Dee...maafin aku ..."
Dean sempat
tercenung dengan erangan Sam,
"Yow, Sammy, bangun Sam...,"
dengan menepuk-nepuk pipi Sam, dan disadari air mata keluar dari pelupuk mata
Sam yang masih tertutup. Sam menangis.
"Sam? Bangun, Sam... Sammy..."
Tapi Sam tak
juga bangun.
"Aku
menyesal punya adik seperti kamu, Sam. Aku harap aku nggak punya adik seperti
kamu. Kamu sudah membunuh mama. Aku yakin kalau kamu nggak ada, Ibu pasti masih
ada, dan aku nggak akan punya kehidupan yang aneh seperti ini. Aku pasti bisa
kuliah, aku pasti bisa punya keluarga normal, dan aku pasti nggak dipusingkan
dengan segala kacau balau yang kamu buat. Kamu memang petaka, Sam. Keluarga
kita dikutuk sejak kamu lahir. Kalau saja kamu nggak lahir, Sam, kalau saja
kamu nggak ada..., semuanya pasti akan indah ...
Air mata Sam
mengalir deras, ia tidak ingin mendengar ini semua, tidak dari mulut abangnya.
Dean menyesal punya adik seperti dia. Dean tidak menginginkannya, Dean
membencinya.
"Tapi mungkin bisa, kalau aku pergi.
Kita harus berpisah, biar aku tidak terus-terus dikejar masalah dari kutukan
yang selalu kamu bawa."
"Jangan, jangan pergi ...jangan
tinggalin aku, Dean..."
"Aku harus pergi Sam, kamu juga bukan
kamu lagi seperti dulu. Kamu adalah makhluk yang nggak punya jiwa. Nggak ada
satu manusia yang tega menyodorkan kakaknya ke sarang vampir, membiarkan
kakkanya berubah menjadi vampir, dijadikan umpan biar bisa masuk dengan leluasa
ke sarang vampir. Nggak ada Sam, nggak ada seorang adik yang tega mengorbankan
kakaknya untuk kepentingannya, tanpa ada rasa bersalah. Kamu bukan adikkku
lagi, entah makhluk apa kamu ini, dan memang aku berharap nggak pernah punya
adik seperti kamu."
Semakin sesak
Sam mendengarnya, "Dean, tolong jangan bilang itu, jangan bilang kamu
menyesal punya adik aku ...kumohon Dean..."
Tak jauh
darinya sosok yang amat ditakutinya tersenyum dengan culas dan puasnya.
Lucifer.
"Kau
lihat sendiri, kan, Sam..., bahkan Dean pun membencimu. Kau seharusnya ikut
denganku. Kau memang ditakdirkan bersamaku, Sam, tidak ada Dean ..."
"Nggak! Kamu sumber petaka
ini...!" Sam memekik marah dan ketakutan.
"Tapi kamu yang membukakan pintu
untukku, aku ada juga karena kamu, Sam. Sudah sepantasnya Dean membencimu, dan
yah..., Dean menyesal punya adik kamu, Sam," semakin tersenyum dengan
culasnya.
"Nggak! Dean... tolong jangan bilang
itu, jangan bilang kamu menyesal punya adik aku ...kumohon Dean...
Dean...kumohon..."
Dean
tercenung dengan erangan baru Sam,
"Aku mohon, Dean, jangan bilang kamu
menyesal punya adik aku..."
"Sam?
Bangun Sam...,"
"Jangan bilang menyesal..." terus
mengerang dengan air mata mengalir deras di sana.
"Sammy...," diusapnya air mata Sam
dengan berharap Sam terbangun dari mimpi buruknya.
Tiba-tiba
mata Sam terbelalak terbuka mengagetkan Dean.
"Sam?"
Sam menoleh
kea rahnya, dan langsung mencengkeram baju Dean kuat...
"Dean maaafin aku ..., jangan pergi
..jangan tinggalin aku, dan jangan menyesal punya adik aku... maafin aku,
Dean..."
Sesaat Dean
terpaku dengan wajah pucat memelas, mengiba, dan menangis...
"Sammy, nggak akan pernah aku
meninggalkanmu ...dan aku nggak akan pernah bilang: aku menyesal punya adik
kamu," sahut Dean pasti dengan menatap mata Sam, meski Dean tidak yakin
Sam mengerti ucapannya, karena Sam masih belum sepenuhnya sadar.
"Maafin aku Dean maafin aku ..."
dengan lirih dan kesungguhan hati .
"Sudah aku maafin, Sam...sudah aku
maafin..."
Cengkeraman
Sam semakin kuat, bahkan hampir menyekik Dean. Tetap Sam tidak mau
melepaskannya. Terpaksa Dean melepas kemeja yang dicengkeram Sam dan membiarkan
Sam memeluk baju itu sepenuhnya, tanpa Dean melepaskan pelukannya.
Perlahan-lahan
mata Sam kembali tertutup dan tubuhnya kembali melemas, Sam kembali tak
sadarkan diri...
Untuk
beberapa saat Dean masih memeluk Sam dan mengusap-usap punggung Sam, hingga
dirasa Sam sudah kembali tertidur pulas, sebelum dikembalikan ke bantalnya.
Dean menarik
nafas dalam-dalam, semakin perih melihat Sam seperti ini. Mimpi apa yang
menyiksanya di sana? Sam menangis, meminta maaf, dan memohon untuknya jangan
pergi.
"Oh, Sam..., kamu tahu, kan, aku nggak
akan pernah ninggalin kamu..., nggak akan pernah..." seraya mengusap air
mata Sam yang masih tersisa di pipi adiknya.
Sepanjang
malam Dean harus terjaga dengan kondisi Sam yang seperti itu. Suhu badannya
tidak juga turun, dan terus mengigau dan memberontak. Dean harus terus berada
di samping Sam dengan memeluknya karena Sam terus mengigau untuk jangan
meninggalkannya. Kemeja milik Dean yang dipeluk Sam tidak juga dilepaskan,
layaknya Sam menggantungkan hidupnya pada kemeja itu.
Saat keesokan
paginya Sam belum juga ada penurunan demamnya, Dean terpaksa memanggil Bobby.
Dirinya tak yakin bisa menghadapinya sendiri. Tidak sekarang dengan kondisi Sam
yang sedang labil. Ia butuh dukungan.
Kedatangan
Bobby tidak merubah banyak keadaan Sam. Sammy masih tetap demam dan mengigau,
bahkan berteriak. Tapi untuk membawa Sam pulang ke rumah Bobby juga tidak
mungkin. Dalam keadaan demam, Dean dan Bobby terus berusaha memaksanya untuk
minum kalau tidak ingin Sam terkena dehidrasi. Selama itu pula Dean dan Bobby
tidak tidur, bahkan Dean tidak sedetikpun meninggalkan Sam. Mereka sudah
memutuskan kalau di hari ketiga demamnya tidak juga turun, mereka terpaksa
harus membawanya ke rumah sakit, meski mereka tahu Sam sangat takut dan benci
dengan rumah sakit.
Namun
untunglah, tepat di hari ketiga panas Sam akhirnya turun.
SPNSPSN
Sam mencium
aroma yang amat dikenalnya. Aroma keringat, aftareshave, bubuk mesiu dan parfum
murahan. Ini aroma Dean. Dean di sini..., Dean tidak pergi, Dean tidak benci
dirinya, Dean masih menyayanginya...Ada perasaan lega di sana. Dia ingin
bertemu Dean..., dia mau lihat Dean untuk memastikan Dean ada di sana dan tidak
meninggalkannya.
Susah payah,
Sam membuka mata, dan berharap Dean ada di sana, berharap Dean lah yang pertama
kali ia lihat. Tapi jantungnya langsung berhenti, saat tidak ada Dean di sana.
Dia tidak melihat Dean. Dimana Dean ?
"De..dean ..?"
"Sam?"
Sam langsung
menoleh ke arah sumber suara. 'Bobby', yang langsung mendekatinya dan duduk di
tepian tempat tidur,
"Bobby?"
"Hey, Sam, kau sudah bangun? Agak
mendingan sekarang?"
"Di
mana Dean?" Dia tidak berminat menjawab pertanyaan Bobby, ia hanya ingin
tahu dimana Dean? Perasaan takut langsung menyergapnya. Dean sudah pergi, Dean
benar-benar meninggalkannya!
"Bobby, Dean pergi ya, Dean ninggalin
aku, ya..., Dean bener-bener benci aku sekarang?" rentetan pertanyaan
panik keluar dari bibir yang masih lemah dan bergetar itu. Suaranya seperti
anak umur 5 tahun yang ditinggal ibunya.
"Wooow..., tenang, nak..., Dean tidak
pergi, Dean tidak meninggalkanmu, Sam..."
"Terus, di mana Dean?" masih
dengan panik.
"Dia ada di kamar mandi...kau dengar
itu ...?"
Sam mencoba
mendengarkan, dan memang terdengar suara air dari kamar mandi. Dean sedang
mandi.
"Kasihan abangmu, tiga hari dia nggak
mandi."
Sam
tercenung. "Tiga hari ?"
"Ya, tiga hari kamu demam, bikin takut
abangmu sampai nggak bisa tidur dan mandi."
"Jadi 3 hari aku demam?"
"Yup dan Dean tidak tidur, dia bahkan
tidak meninggalkanmu barang sedetik pun. Begitu panasmu turun, baru dia berani
meninggalkanmu dan pergi mandi."
Sam terkatup,
"Owh ..." ada perasaan lega di sana.
Tak lama
pintu kamar mandi terbuka, dan sosok yang amat disayanginya muncul dari sana.
"Eh, putri tidur sudah bangun, sudah
kangen diriku kah ?" dengan senyum menyeringai menggoda.
Sam tersenyum
kecut, namun perasaan amat lega di sana.
"Ok, ada yang mau sarapan? Aku
belikan," sela Bobby.
"Burger, telur acah, pancake
strawberry, susu, sama coke. Anak ini nggak boleh makan burger dulu."
"Sialan.." rutuk Sam kecil.
Dean
tergelak. Bobby hanya tersenyum.
"Ok, aku pergi ya."
Dean
mengangguk dan melihat paman kesayangan mereka keluar dari kamar motel.
"Bagaimana keadaanmu sekarang,
Sam?" Dean langsung berubah penuh perhatian selepas Bobby pergi, seraya
memeriksa kening Sam. Tidak panas.
"Apa
yang kamu rasain sekarang..., pusing...?"
"Nggak, aku merasa baikan
sekarang."
Dean
tersenyum lega "Syukurlah. Kamu membuatku takut setengah mati."
Sam
tersenyum.
"Aku demam 3 hari, ya?"
"Yup, tiga hari full dengan igauanmu,
suhu badanmu setinggi tiang bendera!" dengan terkekeh kecil .
Sam ikut
terkekeh.
"Lain kali, kalau aku bilang jangan
ikut berburu, nurut, ya!"
Sam harus mengangguk.
Dean
mengangguk tersenyum dengan memandang adiknya hangat,
"Dean... maafin aku ..."
Dean
terkatup, Sam mengucapkannya lagi dalam keadaan sadar.
"Maaf kenapa..?"
"Untuk semua rasa kecewa yang
kuberikan. Aku selalu mengecewakanmu, dan aku nggak pernah nurut."
Dean terdiam,
dan mengangguk,
"Permintaan maaf, diterima, "
dengan tersenyum renyah.
Sam tersenyum
lega, "Dan terima kasih ... terima kasih karena nggak pernah ninggalin
aku, betapapun aku sudah menyusahkan dan mengecewakanmu."
Dean kembali
terdiam, mengendalikan perasaannya sendiri. JIka ingin diukur, sudah tak
terukur lagi rasa kecewa dan marahnya jika mengingat kelakuan Sam, tapi
bagaimanapun juga ia tidak akan bisa membenci Sam, adiknya yang amat
disayanginya, yang menjadi tumpuan hidupnya, dan menjadi alasan utama ia tetap
hidup sampai detik ini. Sam adalah pusat kehidupannya, apapun yang terjadi.
"Sam, aku nggak akan pernah sekalipun
meninggalkanmu. Karena aku abangmu, dan seorang abang tidak akan pernah
meninggalkan adiknya. Dan aku nggak akan pernah membiarkan sesuatu yang buruk
terjadi padamu. Kamu aman denganku."
Sam
mengangguk dengan tersenyum
"Dan satu lagi..., aku nggak pernah
menyesal punya adik kamu, inget itu, ya ..."
Sam terdiam
dan mengangguk.
Dean
mengangguk pasti. Perih sekali melihat Sam seperti ini, terlebih 2 malam
sebelumnya, mendengar rintihan, erangan dan tangisan Sam di bawah alam
sadarnya. Ada rasa ingin menanyakan dan mengorek mimpi yang dialami Sam, tapi
tentu itu akan melukainya, dan melukai Sam adalah hal terakhir yang ingin Dean
lakukan. Ia hanya bersyukur, dia belum kehilangan Sam, Sam masih menjadi
adiknya sepenuhnya. Dean menarik nafas penuh kelegaan.
"Ng... Dean..., kenapa aku meluk
bajumu, ya ?" Sam tiba-tiba sadar ia memeluk erat kemeja kakaknya.
"Karena kamu hampir mencekikku, pengen
meluk bajuku. Kalau kamu suka sama bajuku, bilang saja Sam, nggak usah sampai
mencekikku, pasti aku kasih, kok," dengan tersenyum nakal.
Sam
tercenung.
"Aku merasa aman..." ucapnya
lirih.
Dean terdiam.
"Ya, aku tahu, Sam...," dengan tersenyum hangat, dan perasaan lega
bercampur haru mengumpul di sana, menyenangkan hati Dean.
Tamat
Ceritanya lbh ke drama ya - let the whole world know brotherly love between Sam and Dean :)
BalasHapus