Rating : K
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean and Sam
Chapter 11
John masuk ke dalam kamar dan melihat Mary masih
terbaring di tempat tidur dengan memeluk bocah. Kamar sangat hening, bersamaan
dengan malam kembali dating dan tidak ada seseorang lainnya di dalam kemar
selain Emma yang siap melayani kapanpun Milady membutuhkannya. Bapa Simon dan Suster Anne sudah kembali
pulang ke St. Peter beberpa jam yang lalu. Tapi kemudian ia menyadari sunyi
yang melebihi biasanya. Suara hembusan nafas Alec yang mencoba bernafas, tak
lagi terdengar. Ia langsung memeriksa Alec. Anak itu masih terlihat pucat tapi
tak terlihat demam, dan sangat tenang. John meletakkan tangganya di kening dan
terasa dingin. Ia menangkap gerakan kecil dan hembusan nafas yang sangat
teratur tanpa terlihat rasa sakit di sana.
Sesaat John terpaku, tapi kemudian
menghembusakan nafas lega. Akhirnya demanya turun
juga,
dan dia kini bisa tertidur dengan normalnya, bernafas dengan
mudah.
“Terima kasih, Tuhan, terima kasih! Emma, demamnya sudah turun,” ia
setengah berbisik.
“Benarkah?”
Emma langsung mendekati bocah tersebut dan menyentuh keningnya. “Iya, Tuan,
demamnya sudah turun!” ia harus bernafas lega. Ia melihat bocah itu tertidur
dengan tenangnya di pelukan milady, sangat mengingatkan dirinya akan seseorang,
tapi entah mengapa dia sangat tidak keberatan.
“Milady telah membuatnya tetap bertahan.”
“Iya,
Emma,” John harus mengakuinya dengan tersenyum lega. Ia melihat mereka, dan ia
tidak ingin kehilangan lagi.
“Emma…”
“Iya,
Tuan…”
“Kemarilah
sebentar,” John mengajaknya keluar untuk berbicara….
Emma menahan nafasnya dengan terkagetkan
akan apa yang baru saja Tuannya sampaikan,
“Tuan,
Tuan yakin ingin melakukannya?”
“Ya,
Emma.”
“Tapi dia anak laki-laki, Tuan, bukan anak
perempuan.”
“Saya
tahu, tapi kita bisa menjadikannya.”
Emma menggigit bibirnya, tidak akan mengira
Tuannya akan berpikiran seperti itu.
“Ini
untuknya, Emma, jelas sekali anak ini membangkitkan semangat hidup Mary.”
“Tapi
kita akan hidup dalam kebohongan, Tuan, dan orang sudah mengetahui Nona Adeline
sudah meninggal.”
“Saya
tahu, tapi tidak semua orang, Emma, hanya keluarga kita. Saya sudah
mempertimbangkan semuanya.”
“Tapi
Tuan, bagaimana dengan Tuan Muda Dean dan Tuan Muda Samuel?”
“Aku
yang akan berbicara dengan mereka, tapi aku yakin mereka akan menerimanya
selama ini untuk Ibu mereka.”
Emma masih belum yakin dengan rencana ini.
“Tapi tidak dengan Tuan Muda Samuel, Tuan..”
John harus mendesah, “Ya, aku tahu,
Samuel…,” anak keduanya ini memang berbeda dengan si Sulung.
“Akan
kucoba. Tapi kumohon, Emma kau mendukungnya?”
Emma melihat mata memohon Tuannya. Beliau
tidak akan memohon seperti ini jika bukan untuk istri tercintanya..
“Tentu,
Tuan, dengan segenap hati.”
John
menarik nafas lega, “Terima kasih Emma, aku tahu aku bisa mengandalkanmu.”
*
Samuel sedang berada di R. Bermain bersama
kakaknya. Ia sedang menikmati permainan catur bersama Dean. Ini adalah cara
terbaik untuk mengalihkan perhatiannya dari anak itu. Anak sakit itu sudah
menyedot perhatian seisi rumah, dan merepotkan semua orang selama hampir satu
minggu ini. Ayahnya mondar-mandir terus ke kamar Adeline, dan Ibu
sekarang pindah kamar ke kamar itu, demi anak sakit itu. Juga orang-orang dari
panti asuhan yang datang rajin menengok anak itu. Samuel yakin di pantinya sana
juga, anak itu merepotkan semua orang juga dengan penyakitnya. ‘Sudah sakit-sakitan, pakai acara kabur segala, nggak tahu diri’.
Perasaan kesal tak dapat disembunyikan. ‘Kenapa sih ayahnya harus menemukan anak itu?
Kenapa juga anak itu harus mirip dengan Adeline? Huh, menyebalkan sekali’. Sekarang
dia berharap anak itu tidak selamat, agar selesai urusannya, tidak lagi
merepotkan orang serumah.
“Menurutmu
apa anak itu akan mati, Kak?” Samuel berucap
saat menunggu langkah selanjutnya sang kakak
dengan bidaknya.
Dean mendongak ringan, “Semoga tidak,” ia
menjawab dengan ringan seraya menentukan langkahnya. “Skak” ucapnya pelan.
Samuel tercenung dengan jawaban kakaknya,
ingin ia langsung protes, tapi kata ‘SKAK’ kakaknya mengundurkannya. Ia melihat
papan catur dan mencari celah untuk membalas kakaknya. Tidak susah, dengan
cepat ia memindahkan bidak miliknya dan “SKAK MAT!” ucapnya penuh kemenangan.
Dean hanya menghela
nafas, harus mengakui kepandaian adiknya yang masih 13 tahun ini
dalam bermain catur. Tiga jam duduk di sini, sudah dua kali ia dikalahkan oleh
adiknya.
“Aku berharap dia tidak selamat,” lanjut Sam dingin, saat Dean menata
kembali buah catur untuk putaran baru lagi.
Dean tertegun dan melihat wajah adiknya
yang tidak bersahabat. Terlihat jelas Samuel tidak menyukai kehadiran anak
sakit itu.
“Alec, namanya,” timpal Dean tenang.
“Aku nggak peduli, siapa namanya.”
Dean menghela nafas. “Dia membuat mama
bisa bangun dari tempat tidur.”
“Iya, karena anak itu mirip dengan Adeline,” Samuel tercekat sendiri
dengan ucapannya; Adeline, adik kesayangannya. Adeline adalah kesayangan semua
orang.
Dean menangkap perubahan wajah adiknya.
“Aku
rindu dia…,” ucap Samuel lirih.
Dean tidak menyahut. Semua orang tentu
merindukan Adeline.
“Tidak ada yang bisa menggantikan Adeline.”
Dean masih tidak menyahut, ia tahu getir
dari ucapan Samuel. Memang tidak ada yang bisa menggantikan Adeline. Adik
bungsunya itu bak boneka porselin yang sangat cantik dengan rambut emasnya. Dan
suara celotehannya begitu menggemaskan. Dirinya pun sangat merindukan Adeline.
“Ya, tapi jangan mengharapkan dia tidak selamat. Tidak baik…,”
Giliran Samuel yang tak menyahut. Ia
mengalihkannya pada bidaknya, menyusun strategi untuk mengawali langkah
pertamanya.
Konsentrasi Samuel terputuskan dengan
kedatangan ayahnya.
“Anak-anak…”
Keduanya mendongak dan mendapati wajah
ayahnya dengan wajah tenang.
“Pa?” Dean menyambutnya dengan senyuman.
“Papa
tahu papa akan menemukan kalian di sini,” ucap Lord Winchester dengan kedua
putranya yang sedang bermain catur. “Siapa yang menang?”
“Seperti
biasa, dia,” Dean menyahut dengan tersenyum tipis.
“Hebat, Nak,”
John memuji putra keduanya dengan mengusap kepalanya.
Samuel tersenyum dengan bangga. Ada
perasaan berbeda jika ayah memujinya. Karena selama ini ia merasa ayahnya lebih
bangga pada kakaknya yang sebentar lagi akan menyusul ayahnya untuk menjadi
seorang dokter.
“Ada kabar baik tentang Alec, pa?” tanya Dean langsung. Ia tahu
kedatangan ayahnya pasti ada hubungannya dengan anak itu.
John harus tersenyum, Dean sudah
menyebutkan namanya
tanpa beban, itu artinya, Dean tidak ada masalah dengan anak itu. Ia menghela
nafas,
“Yeah, Alec; kabar baik, demamnya sudah turun
dan sekarang sedang tertidur lelap bersama ibu kalian. Kesempatannya untuk
hidup sangat besar.”
Dean menghela nafas lega tipis, sementara
Samuel terpaku kecewa. Raut wajahnya berubah menjadi diam.
John tersenyum
lega dengan reaksi Dean, dan dia sudah mengira bagaiamana reaksi Samuel. Ia
beralih pada Samuel,
“Dia sudah menolong mamamu, nak.”
Samuel
terkatup. Dia memang tidak dapat mengingkari itu.
John menatap
hangat kedua putranya, dia harus menyampaikan ini, bagaimanapun reaksi Samuel
dan Dean nanti.
“Mamamu membutuhkan dia...,” John sangat
berharap kalimat sederhana itu sudah mewakili maksudnya.
Dean menarik
nafas dalam-dalam, “Yea, mama sudah terikat dengan anak itu,” sahutnya tanpa ragu.
“Papa tidak akan bisa lagi memisahkan mama dengan dia.”
John terkatup, “Jadi, kau berkeyakinan …?”
“Papa yang membawanya kemari, dan menjadikan sesuatu. Mama mengira dia
Adeline. Anak itu membuat mama hidup lagi, dan itu sudah cukup, pa.”
Meski ia tahu Dean tidak akan keberatan,
cukup mengagetkan mendengar ucapan gamblang darinya. Ia memandang putranya dengan tidak yakin,
“Jadi, kau benar tidak keberatan...,” John tidak menyelesaikan kalimatnya.
Dean
menggeleng, “Tidak untukku, Pa.”
“Dan menjadikan dia ...?”
Dean mengangguk
John bernafas
lega, sementara Samuel langsung memprotes keras,
“Aku yang keberatan!”
John dan Dean
menahan nafas sudah dapat mengiranya.
“Samuel...”
“Aku nggak mau dia jadi Adeline. Nggak ada
yang bisa menggantikan Adeline!”
“Samuel, tolong mengerti lah, Nak...mamamu
membutuhkan dia, mama melihat dia sebagai Adeline, kau tidak bisa
mengingkarinya...”
“Tapi_”
“Samuel, papa tidak akan memperpanjang ini,
Dean sudah setuju, Emma sudah setuju, kau juga harus setuju,” suara John
berubah tegas.
Samuel hampir
terbelalak mendengarnya, “Papa tidak akan mendengar keberatanku?”
“Maaf Nak, untuk kali ini tidak. Papa lebih
memilih melihat mama memiliki semangat hidup lagi.”
Samuel
menggigit bibirnya menahan amarahnya. Dan tanpa berpamitan, Samuel langsung
berlari keluar dari R. Bermain.
“Samuel!”
“Biar, pa, biar aku yang bicara nanti.”
John menghela
nafas. “Dia berpikir papa tidak mempertimbangkan keberatannya, tapi papa tidak
punya pilihan lain...”
Dean
mengangguk, “Aku mengerti, pa. Biar, biar aku yang bicara nanti dengannya. Papa
lanjutkan saja niat papa.”
John harus
tersenyum dengan nafas lega, “Terima kasih, Dean, terima kasih. Papa tahu ini
tidak akan mudah, tapi kita akan membuatnya mudah.”
Dean mengangguk
lirih dengan tersenyum tipis. Baginya melihat ibunya dapat bangkit lagi dengan
penuh kehidupan adalah yang terpenting, Samuel akan bisa ia atasi.
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar