Rating : K+
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
ENJOY
Chapter
12
Perlahan Alec membuka mata dan menyadari
sekelilingnya. Dia berbaring di tempat tidur, tempat tidur yang bagus. Sinar
matahari masuk dengan cerahnya dari jendela, menghangatkan kamar ini. Alec
tidak tahu di mana dia, dan agaimana ia bisa sampai di sini, yang ia ingat
hanyalah rasa sakit dan ketakutan. Dan juga mimpinya yang gelap tanpa ada orang
di sana yang mendengar rintihannya, tidak ada yang peduli. Tapi semuanya sudah
berlalu, dan ia menaydari dia tidak sendirian. Seseorang berada di sampingnya,
memeluknya hangat. Seseorang yang memandangi dan tersenyum manis padanya. Alec
harus memperjelas penglihatannya dan menyadari sesoerang tersebut adalah
seorang wantia, wanita yang sangat cantik. ‘Malaikatkah?’
“Sayang,
mama tahu, kau takkan meninggalkan mama lagi, sayang…,” ia tersenyum dengan air
mata di pipinya, dan mencium pipinya.
Alec mengerut heran. Terakhir yang ia ingat
dia berada di jalan, basah kuyup dan kedinginan. Di Jalan. ‘Dimana ini? Dan
siapa wanita ini?’
Alec mengedarkan matanya dan melihat dia
sedang berada di sebuah kamar yang terindah yang pernah ia lihat (tapi, berapa banyak
juga kamar yang pernah ia lihat selain kamar besar di St Peter dengan 12 tempat
tidur sederhana di sana). Dan di sana ada wanita lain berdiri dengan tersenyum
lega, dan memberi isyarat untuk tetap tenang, seperti yang sudah diperkirakan
jika dirinya terbangun..
Alec mencoba untuk bangun, tapi tidak
terjadi apa-apa! Dia sama sekali tak dapat bergerak, dan wanita yang ada di
sampingnya menahannya untuk tetap berbaring..
“Shs…, mama di sini, sayang, kembalilah tidur…,” dengan mengusap pipinya
halus dan menenangkannya.
“Mama?”
dan dia harus tersenyum. Tak butuh banyak kata, Alec merasakan tenang dan damai,
meski ia tidak tahu siapa wanita ini. Alec tak punya kekuatan untuk bangun dan
membiarkan tubuhnya tetap berbaring di dalam pelukan wanita hangat ini. Semoga
ini bukan mimpi. Dan dengan cepat ia kembali terlelap tidur.
“Dia
terlihat sangat lemah, Emma,” Marry seraya mengusap pipinya yang cantik.
“Ya, Milady.”
“Ini
salahku, Emma, aku membuarnya seperti ini, aku menurunkan tubuhnya yang lemah
ini…, semua ini salahku,” air matanya kembali jatuh di pipinya yang cantik dan
pucat.
“Bukan…,
Milady…. Nona Adeline tidak apa-apa, dia akan baik-baik, Milady.”
Mary hanya tersenyum, dan masih
mengusap-usap pipi putrinya yang sangat halus. Dikecupnya sekali lagi, dan
menyusulnya tidur.
Emma menarik nafas dalam-dalam sikap Nyonyanya.
Perih terasa, tapi ia dapat memahami mengapa Tuannya sampai terpikir akan
rencana yang awalnya tidak masuk akal. Ini untuk Nyonya, dan dirinya akan
melakukan apapun untuk Nyonyanya.
Namun tak lama kemudian, Emma menyadari
Milady mengalami penurunan fisik. Nafasnya terdengar berat dan
tersengal-sengal, dan semakin terlihat pucat.
“Tuan!”
Lord Winchester langsung berlari ke kamar
dan melihat Mary sudah sangat lemah. Ia langsung memeriksanya. Yup, kondisinya
menurun drastis. Ia tahu ini akan terjadi, Mary terlalu mendorong fisiknya
terlalu kuat, tapi Mary tidak sekuat itu.
“Baiklah, sayang, giliranmu untuk istirahat,” seraya mengangkat tubuh
lemah istrinya..
“Jangan,
aku mohon…. Adele membutuhkanku,” Mary memberontak dengan lemahnya.
“TIdak,
sayang, Adeline baik-baik saja, dirimu yang membutuhkan istirahat sekarang,” dengan
membawanya keluar kembali ke kamarnya tanpa bisa Mary melawannya sembari merintih
kesakitan.
John membaringkan tubuh Mary di tempat
tidur dengan Mary masih merintih,
“Biarkan
aku bersamanya, John.... Adele membutuhkanku ….”
“Tidak,
sayang, kau butuh tempat tidurmu sendiri, kamu butuh istirahat penuh di sini.”
“Aku
baik-baik saja, John.”
Tapi john menggeleng dengan tersenyum
hangat yang tidak bisa Mary bantah. Marypun tahu bagaimana kondisinya sendiri.
“Jangan
tinggalkan dia sendirian, John, dia tidak suka sendirian.”
“Tidak
akan, sayang, Caleb sedang menemaninya.”
Mary hanya tersenyum lega.
John hanya mengangguk, “Nah, sekarang
berhenti bicara, dan istirahatlah,” sembari menaikkan selimut hingga menyentuh
dada istri tercintanya, terdengar
Nafas Mary semakin berat saat ia mencoba
untuk tertidur kembali.
John menarik nafas dalam-dalam dan
menciumnya hangat.
*
Alec
kembali terbangun
dan menyadari dia masih berada di tempat tidur yang bagus. Ia bermimpi seorang
wanita cantik memeluknya hangat dan mengecupnya lembut. Wanita yang ia kira
ibunya. Ya, pastilah hanya mimpi. ‘Di mana ini?’ ia melihat sekelilingnya dan
melihat sosok berambut coklat. ‘Ben?’ ia harus tersenyum. Ini pasti di Dublin,
dan dia sudah menemukan Ben!
Alec mencoba untuk bangun, tapi tubuhnya yang
lemah menahannya.
“B…Be..nn..?”
Sosok tersebut menengok karena suaranya,
dan Alec terkejut, bukan itu bukan Ben! Tapi dia tersenyum padanya.
“Ah… kau sudah bangun rupanya?” laki-laki itu berucap.
Alec kebingungan. Ia merapatkan tubuhnya
saat sosok tersebut mendekatinya.
“Tenanglah,
nak,” ia menenangkan Alec.
“Di…m…man..a..s..aya…?”
“Kau
berada di rumah kami, di Kediaman Kel. Winchester.”
“K..kenapa..say..a..di
..si..ni?”
Laki-laki itu tersenyum, “Sepertinya kau
tidak ingat. Kau kami temukan di tepi jalan, setengah sadarkan diri, basah, dan
kedinginan. Kau terkena radang paru-paru.”
Alec mengiggit bibirnya, “Radang paru-paru?
Mimpi dirinya dalam kegelapan dan kesakitan
mengingatkannya. Hujan lebat, udara dingin, dan rasa sakit di dadanya setiap
kali ia bernafas. Dadanya terasa nyeri, dan seluruha tubuhya terasa sakit. Dia
sedang dalam perjalan ke Dublin.
“Apa
ini Dublin?”
“Dublin?” ia tersenyum. “Bukan, kau bahkan belum keluar dari Amerika.”
Alec terpaku dan kecewa, ‘Mungkin tidak seharusnya ia pergi. Dia
tidak akan bertemu Ben lagi. Tuhan tidak mengizinkannya.’
Ia kemudian teringat St Peter. Mereka pasti
mengkhawatirkan dirinya. Itu menyadarkannya, dirinya sudah menjadi anak yang
nakal.
“Bapa
Simon…maafin aku…” air matanya menetes.
Tapi laki-laki itu menyentuh tangannya,
“Jangan khawatir, nak, mereka tahu.”
Alec tercekat kaget, “Mereka tahu? Mereka
tahu aku di sini?””
“Tentu
saja, dan mereka selalu ada di sini selama kau demam.”
“Dengan
Suster Anne?”
“Ya. Semuanya datang untukmu, berjuang untukmu. Saya yakin, kau akan
baik-baik saja, kau pejuang yang tangguh,nak.”
Alec tersipu. Bagaimana ia dapat kekuatan
lagi untuk melawannya? Ia pun tak tahu untuk apa ia bertahan hidup sekarang.
Dia tidak akan bertemu dengan Ben lagi, jadi untuk apa ia hidup?
“Saya
Caleb. Tuan sedang bersama Milady, dan akan segera kemari. Yang kau butuhkan
sekarang adalah waktu untuk memulihkanmu kembali. Kami hampir saja
kehilanganmu, nak. Jadi istirahatlah. Dan lagi Milady sudah mencurahkan
semuanya untukmu, jangan disia-siakan.”
“Milady?”
“Ya, Milady Mary, beliau yang menjagamu selama ini.”
Alec mengingatnya. Ia ingat nyonya itu. Itu
bukan mimpi, nyonya itu benar-benar yang menjaganya. Nyonya yang menyebut
dirinya ‘mama’ .
Selanjutnya, Alec menemukan dirinya
dikelilingi banyak orang. Semuanya asing untuknya, selain Tuan Caleb. Ada dua
orang laki-laki lain. Satu lebih tua berwibawa dengan pakaianya yang terlihat
mahal, dan satu lagi lebih muda, dengan wajah yang datar tapi menampakkan
kesejukan di sana. ‘Siapa mereka, apa mereka Tuan besar di sini?
“Halo Nak, saya Dr. Winchester,” pria yang lebih tua itu mengenalkan
diri. “Kami menemukanmu di tepi jalan, sakit, jadi kau kubawa kau kemari dan
merawat radang paru-parumu. Sepertinya kau sudah pernah mengalaminya dulu?”
Alec mengangguk, “Saat umur saya 8 tahun.”
“Ya, kami tahu itu. Dan ini putraku, Dean,” ia mengenalkan pemuda yang
berada di sampingnya.
“Terima
kasih, Tuan, telah menyelamatkan saya,” Alec berucap dengan sopan dan
malu-malu.
Lord Winchester tersenyum, “Itu sebenarnya
tergantung pada perawatannya dan kau sendiri.”
Ia kemudian memeriksa kembali Alec.
“Akan membutuhkan waktu, nak. Banyak istirahat, makanan yang sehat,
udara segar, da melatih otot-ototmu. Kau akan tetap di tempat tidur untuk
beberapa minggu ke depan. Kami tidak akan mengambil resiko kau akan kambuh
kembali, lagipula kau seperti bayi yang baru saja dilahirkan. Tapi dengan
perawatan yang baik, kau akan segera membaik, kami yang akan memastikannya!'
“Terima
kasih, Tuan.”
Lord Winchester tersenyum, “Sebenarnya,
kami yang harus berterima kasih padamu.”
Alec terkatup, “Terima kasih, Tuan?”
“Ya, kau membuat istri saya hidup kembali. Mungkin ini masih sulit untuk
kau menggerti, tapi kau di sini karena dan untuk sesuatu. Terima kasih, Nak.”
Alec terpaku, dia sama sekali tidak tahu
harus berucap apa.
“Tuan…,
Milady …” seorang wanita menginterupsi masuk.
Lord Winchester menghela nafas dengan
tersenyum, “Kamu senang dan lega kau ada di sini, nak,” dengan mengusap
rambutnya hangat, “Aku akan segera kembali,” dan segera keluar dari kamar
meninggalkan dirinya bersama Tuan Caleb, dan Tuan Muda Dean.
Alec kembali menegang saat Tuan Muda Dean
mendekatinya, terlebih menangkap mata kebingungannya
Ia menyentuh pipi Alec dengan hangat, “Tidak
apa-apa, nak, kau akan baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan,
sekarang istirahatlah.”
Alec masih kebingungan, tapi Tuan muda ini
hanya mengangguk dengan tersenyum. Mau tidak mau, Alec kembali menutup mata,
meski ia tidak dapat tidur. Ia merasa sangat ketakutan. Kenapa mereka semua
bersikap baik padanya, dan terasa penuh misteri dengan kebaikan yang mereka
berikan? Alec merasa tidak tenang, ia merasa sendirian. Ia ketakutan. Dia ingin
pulang ke St. Peter, dia ingin bertemu Bapa Simon dan Suster Anne, dan dia
janji tidak akan kabur lagi!
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar