Rating : K+
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
ENJOY
Chapter 13
Samuel mengurung diri di kamarnya. Sakit hatinya kini berlipat. Ia tidak
percaya ayahnya berpikiran sesuatu yang tidak masuk akal. Ayahnya berencana
menggantikan anak itu sebagai Adeline, adiknya yang paling manis dan cantik
sedunia, meski itu untuk Ibu. Yang benar saja! Mana mungkin mereka menggantikan
sosok Adeline, terlebih oleh anak itu, hanya karena anak itu mirip dengan
Adeline, dan ibu yang menginginkannya. Ia tahu bunya sudah tiga tahun dalam
kondisi seperti itu, iapun tidak mengingkari menginginkan ibunya kembali sehat
seperti itu. Tapi itu tidak menyelesaikan masalah dengan menghidupkan kembali
sosok Adeline. Rencana yang gila! Dan yang lebih mengagetkan, Dean merestui
niat ayahnya. Sam tidak mengerti, apa Dean sudah hilang akalnya?. Adeline tidak
tergantikan. “Enak saja, datang-datang
langsung menarik perhatian seisi rumah, sekarang dia mau dijadikan pengganti
Adeline. Mana penyakitan, lagi.” Sekarang benar-benar doanya dulu yang
mengharapkan anak itu mati saja, berharap didengar Tuhan. “Tidak boleh ada yang menganggantikan Adeline. Kalau sampai itu
terjadi, anak itu tidak akan mudah menjalaninya. Awas saja kalau sampai terjadi!”
Kini Samuel berdoa dengan kuat agar rencana gila ini tidak pernah terjadi.
*
Tapi Seperti doa yang segera terkabul, tak
lama setelah Alec mengucapkan doanya, Bapa Simon muncul di mulut pintu
kamarnya.
“Bapa…!” Alec seperti bertemu bertemu kembali dengan ayahnya.
“Alec,
anakku,” Bapa Simon langusng masuk dan memeluk Alec
dengan erat. Perasaan lega merasuk di dadanya melihat Alec masih kuat bertahan
dan dapat melaluinya. Ia harus menyadari anak ini anak yang sangat kuat.
“Bapa, maafkan aku, aku sudah nakal, maafkan aku,” Alec menangis di pundak
Bapa-nya
“Tidak apa-apa, nak, yang penting kau selamat, itu saja,” bapa Simon
mengusap-usap punggung Alec dan membiarkannya bersandar di pundaknya, pundak
yang Alec kenal.
Alec terisak seraya
melepaskan pelukannya, dan berbaring kemabli.
“Bagaimana perasaanmu, Nak?”
“Lebih baik,
Bapa. Mereka semua baik padaku
Bapa Simon tersenyum.
“Tapi terasa aneh,” Alec berucap pelan.
“Kanapa kau berpikir seperti itu?
Alec menaikan
pundaknya, “Tidak tahu, cuma terasa aneh. Dan Milady…”
“Kenapa dengan Milady?”
Bapa Simon tertarik dengan
suaranya yang hangat.
“Mereka bilang milady yang merawatku memelukku dan menjagaku selama aku
sakit... dia..dia.. yang membuatku tetap hidup... dan sekarang milady sakit
karena merawatku..., betulkah itu, bapa?”
Bapa Simon mengehela nafas dengan tersenyum. Ia ingin mengatakan bukan, tapi Alec
terlalu pandai. Mungkin tubuh Alec memang lemah, tapi ia termasuk anak yang
pandai.
“Iya,
Nak,
beliau yang merawatmu. Beliau yang memelukmu dan
menjagamu selama kau sakit.”
“seperti yang Suster Anne lakukan kalau aku sakit?”
“Ya.”
“Dan sekarang Milady jatuh sakit karena aku?”
“Tentu saja tidak, Nak. Beliau sudah sakit sebelumnya. Belau tidak dapat
bangun dari tempat tidurnya. Sudah hampir 2 tahun, belau tidak dapat bangun..”
“Lalu kenapa dia bisa sekarang, dan merawatku …?”
Bapa Simon menghela nafas, “Itu sebuah keajaiban, Nak, kebesaran Tuhan.”
“Keajaiban?”
“Yeah.”
“Jadi dia bangun dari tempat tidurnya dan merawatku selama aku sakit?”
“Bisa dibilang begitu.”
Alec menggigit
bibirnya, “Kenapa bisa?”
Bapa Simon terkatup. Ia mencari jawaban yang tepat.
“Mmm, belau mengira dirimu adalah putrinya, Nona Adeline.”
Alec terkatup.
“Aku, Nona
Adeline?”
“Ya, kau memiliki wajah yang sama dengan Nona Adeline, mirip sekali.”
Alec mengigit bibir,
dan mengumpat; ia tahu wajahnya yang cantik seperti anak perempuan akan
memberinya masalah.
“Lalu dimana Nona Adeline sekarang?”
Bapa Simon menarik nafas, “Dia sudah berpulang tiga tahun yang lalu
Kali ini Alec
pucat pasi. Jadi Milady mengira dirinya sebagai outrinya yang sudah meninggal?
Bulu kuduk Alec meremang. Tidak heran Milady memeluknya hangat, mengecupnya,
memanggilnya ‘sayang’, menyebut dirinya mama.
“Dia menyebut dirinya ‘mama’ padaku,” ada nada
terpukau di sana
Bapa Simon harus tersenyum. Ia tahu bagaimana perasaan Alec. Pastinya sangat berarti
untuk Alec yang belum pernah menyebut mama sebelumhya.
“Dan bagaimana perasaanmu?” Bapa Simon memancingnya, meski ia tahu Alec menginginkan orang tua, Alec tidak pernah
mau mengakuinya.
Alec bit his lips. Dia tidak mau mengakuinya. Ada harga diri di sana saat ia pernah
mengucapkan, dia tidak butuh mama dan papa.
Tapi Bapa Simon tahu, Alec tidak akan bisa menahannya.
“Katakan saja, Nak, tidak perlu malu mengakui perasaanmu sendiri,”
Alec masih terdiam.
“Bagaimana perasaanmu, Alec... seorang ibu... mama?”
Alec memandang
kedua mata hangatt itu, yang penh dengan kasih sayang dan perhatian, juga penuh
pengertian.
“Luar biasa, Bapa... aku suka mendengarnya,” ia harus mengakuinya dengan tersipu.
Bapa Simon tersenyum, ia mengacak rambut Alec penuh cinta.
“Permisi, maaf, Bapa,”
seseorang menginterupsi mereka. Itu Tn. Caleb.
“Ya?”
“Lord Winchester ingin bertemu dengan
Bapa.”
“Oh, baiklah,” dan beralih pada Alec. “Bapa akan segera
kembali. Kau tak perlu cemas.”
Alec hanya
mengangguk, dan melihat Bapa keluar dari kamar.
Alec menarik
nafas dalam-dalam, ‘Ibu’ sesautu yang baru untuknya. Ben sudah memiliki ibu sekarang, semua orang juga punya, kenapa ia tidak. Ya, jauh di dalam lubuk
hatinya, ia ingin memiliki ibu. Ia ingin merasakan kehangatan dan kasih sayang
seorang ibu. Sentuhan hangat seperti tangan Milady. Ia ingin merasakannya
kembali. Ia ingin memiliki ibu. Air mata menetes di pipinya saat menyadari itu
hanyalah mimpi. Mimpi dan harapan yang diharapkan semua anak di St. Peter
setiap harinya.
Samuel masuk
dengan mengendap-endap ke dalam kamar Adeline saat tidak ada orang di sana.
Anak itu sendirian. Kesempatan yang bagus yang
memberi peringatan pada anak itu.
Dan Samuel bisa
melihat sosok kecil tertutupi selimut tebal milik Adeline. Memang dia mirip
Adeline, tapi dia bukan Adeline. Samuel mendengus kesal.
“Hey....” panggilnya dingin, tidak peduli
dia tertidur atau tidak.
Alec terbangun
dengan suara dingin yang tiba-tiba masuk mengagetkannya. Ia menoleh dan melihat
sosok anak laki-laki yang usianya mungkin tak jauh darinya. Dilihat dari
pakaiannya, sangatlah bagus. “Siapa dia? Dan kenapa mata anak begitu sinis dan
dingin padanya.”
“Aku Samuel, Samuel Winchester, putra kedua
dari Marques Winchester,” sama sekali tidak ada nada bersahabat di sana.
Jantung Alec
mengekeret ketakutan.
“Kau sudah kami tolong, jangan merepotkan
lagi, dan jangan berharap lebih. Bersyukurlah kau ditemukan ayahku, kalau
tidak...,” Samuel menghentikannya karena melihat perubahan wajah anak ini
menjadi pucat, semakin mirip dengan Adeline. Samuel hampir goyah melihatnya,
tapi ia langsung menguatkannya.
“Aku tahu kau dari panti yang nggak punya
orang tua, tapi jangan berharap kau mendapatkan di sini, setelah kau
mendapatkan perhatian seisi rumah.”
Alec pucat pasi
dengan perasaan yang hancur dan sakit. Ia tidak tahu kenapa anak ini
mengucapkan itu semua. Tapi apa benar dia sudah merepotkan orang lagi? Air mata sudah mengalir di pipinya.
“Samuel!” seruan tegas mengagetkan mereka.
Kedua menoleh dan
melihat sosok jangkung telah berada di antara mereka.
“Dean...?” giliran Samuel yang sedikit
mengekeret karena tertangkap basah. Mata Dean terlihat kecewa dan marah.
“Kau keterlaluan Samuel, dan kalau papa
mendengarnya...,”
“AKU NGGAK PEDULI!!!!” pekik Sam seraya
berlari keluar dari kamarnya,
Dean melihat
adiknya keluar dengan menangis. Dia hanya mengela nafas. Dilihatnya anak ini pun
terseguk menangis. Tapi ia mengerti jika ia menangis, ucapan yang baru saja ia
dengar pastilah sangat menyakitkan. Dia benar-benar harus bicara serius dengan
adiknya ini. Tapi untuk saat ini, anak ini lebih menarik perhatiannya. Ia tidak
bisa mengingkari, sosoknya yang lemah dan terpojok membuatnya ingin memberikan
kenyamana. ‘Ya Tuhan perasaan apa, ini?’
“Hey, Nak,” Dean mencoba untuk bersikap
baik. Ia duduk di tepi tempat tidur. “jangan kau hiraukan dia...dia tidak
serius dengan ucapannya,”
Alec masih tersegu-seguk.
Dean menghela
nafas, dan berpindah duduknya ke samping anak ini. Perlahan ia menarik tubuh
kecil Alec ke pelukannya, “Shss., jangan nangis...”
Alec luluh dan
jatuh kepelukan tuan mudanya.
“Ak...u in...gin pu...lang...,” di tengah
isakannya.
Dean hanya
mengeratkan pelukannya.
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar