Sabtu, 17 November 2012

Beauty Love Brother - Bagian 17


Rating : K+

Genre : Family

Character : Alec, Ben, Dean, Sam


Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?

ENJOY
Chapter 17

                Pada malam hari, Lord Winchester menemuinya lagi. Ia mengatakan bahwa mulai dari saat ini dan mungkin selamanya, ia akan tinggal di rumah ini, menjadi bagian dari keluarga Winchester dan menjadi Nona Adeline. Tapi tidak akan merubah pandangan mereka akan dirinya, karena Alec tetaplah Alec bukan Adeline. Kamar inipun menjadi milik Alec, juga dengan semua pakaiannya yang ternyata masih tersimpan rapi dan bersih di lemari, dan semua mainannya. Alec akan menyerupai Adeline, dan ini sedikit membuat Alec ketakutan. Ia takut tidak dapat memenuhi apa yang Lord Winchester harapkan. Alec hanya dapat berdoa.

Keesokan paginya

                Alec terbangun masih di tempat tidur yang besar ini yang sekarang menjadi miliknya. Dan ia terkaget dengan Miss Emma sudah menunggunya.

    “Selamat pagi, Alec,”Emma menyapanya dengan hangat. Di tangannya telah siap baki sarapan pagi untuk Nona Adeline.
    “Saya harap kau siap menyambut hari pertamamu. Bagaimana, kau ingin sarapan atau mandi dahulu? Emma menawarkan dengan senyuman.
Alec tidak tahu harus menjawab apa. Dia belum pernah dilayani seperti ini sebelumnya.
     “Sarapan akan selalu siap di setiap pagi saat kau bangun, kecuali jika ada sarapan di meja makan,” Emma menjelaskan. “Dan setelah kau menyelesaikan sarapanmu, air panas telah siap untukmu mandi. Akan ada dua pelayan yang akan memandikanmu.”
Alec langsung memerah. ‘Akan ada yang memandikannya? Tidak mau! Dia sudah besar sekarang, bukan bayi lagi. Apa kata Ben kalau dia tahu ini?’
    “Dan jangan lupa obatmu di setiap pagi dan malam.”
Alec semakin terpaku.
    “Sepertinya lebih baik kau sarapan dahulu, setelah itu mandi,” dengan tersenyum seraya meletakkan baki sarapan tersebut di pangkuan Alec.
Alec tak menyahut karena tak tahu harus menjawa apa, dan hanya melakukan apa yang diminta.

Setelah ia selesai sarapan dan siap untuk mandi, dari kembali memerah dengan dua pelayan yang siap di samping bak mandi yang telah berisi air hangat.
   “Boleh aku mandi sendiri?” Alec bertanya malu-malu. Dia belum pernah membuka baju di hadapan orang lain kecuali di depan, suster-suster, itupun dulu saat ia masih kecil.
    “Tidak, Alec, mereka yang akan membantumu, dan tolong jangan membantah, Emma masih tersenyum hangat.
Alec menggigit bibirnya, dan membiarkan mereka membuka pakainnya, lalu mmeintanya untuk masuk ke dalam bak mandi. Ini adalah pertama kali Alec mandi di dalam bak mandi seperti ini.

Dengan mengesampingkan rasa malunya, dia membiarkan dua pelayan tersebut memandikannnya. Dan yang lebih membuatnya malu, mereka mencampur air hangatnya dengan minyak yang wangi. Dia sekarang beraroma seperti anak perempuan!

Ritual mandi sendiri memakan waktu hampir satu jam, hingga akhirnya mereka mengangkat Alec dari dalam bak mandi dan dengan berbalut handuk tebal, dan membawanya kembali ke kamar. Dan kembali Alec harus terkaget memerah dengan gaun berwarna pink yang disiapkan untuknya. ‘Nggak mungkin aku akan memakai gaun itu!
Tapi meski ia berteriak dalam hati tidak mau, ia tidak akan bisa menolaknya. Saat ini ia adalah boneka yang harus menurut dibuat seperti Adeline. Dia sudah menerima untuk hidup seperti ini dan ia harus menjalaninya.

Kembali dengan mengesampingkan harga dirinya sebagai anak laki-laki, dia tidak membantah maupun melawan saat mereka mengenakan gaun cantik pink itu ke tubuhnya. Bahkan saat mereka mulai menjalin rambutnya dengan kepang dan memberinya pita yang senada dengan warna gaunnya. Alec berusaha untuk menutup mulutnya dan tidak berkomentar apa-apa.

Ritual yang cukup lama untuk memakaikan dan mendadani dirinya seperti Adeline, membutuhkan waktu lebih dari satu setengah jam lamanya. ‘Beginikah anak perempuan kaya kalau memakai baju selepas mandi? Repot dan lama sekali!’

Dan akhirnya mereka pun terkaget dengan tak percaya, khususnya Emma saat Alec sudah terbalut dengan gaun tersebut. Betapa mirip sekali Alec dengan mendiang nona mudanya. Benar-benar seperti melihat Adeline asli, terlebih dengan gaun yang dikenakan dan jalinan rambut yang sering dipakai Adeline.

    “Astaga,” Emma menutup mulutnya masih terkaget, “Nona muda!” Tapi ia tahu dan sadar sepenuhnya, anak di hadapannya ini bukannya Adeline, melainkan Alec. “Kau benar-benar mirip dengannya Nak. Hanya Tuhan yang tahu kenapa.”
Kemudian menghela nafas, “Dan mulai saat ini kami harus memanggilmu Nona Muda Adeline, dan jadilah Nona Adeline untuk kami.”
Dengan itu seluruh mata pelayan yang ada di kamar ini memanggilnya Nona Adeline, dan memberi hormat padanya.
Alec menelan ludah semakin gugup. Dia benar-benar menjadi Nona Adeline sekarang, kehidupan baru yang harus dijalaninya. ‘Ya Tuhan, dampingi aku.’

    “Alec?sebuah panggilan tiba-tiba terdengar dengan pintu yang dibua, dan wajah Sir Dean muncul dari balik pintu, dan langsung terpaku dengan sosok yang ada di hadapannya.

Emosi Dean bercampur aduk. Betapa miripnya anak ini dengan adiknya! Wajahnya yang cantik, tubuhnya yang kecil dan ramping, warna rambut yang sama dengan Adeline dan dijalin sama seperti dulu Adeline menjalin rambutnya. Bagaimana bisa terjadi, hanya Tuhan yang tahu.
    “Sir Dean,” suara Alec membawa Dean kembali ke alam sadar. ‘Ya Tuhan, suaranyapun sama!’
    Maafkan, Sir, mereka memintaku untuk memakai gaun ini,” ucapnya malu-malu.
Dean harus tersenyum, “Tidak, tidak apa-apa. Kau cocok dengan gaun itu, Alec, dan kau memang mirip dengan Adeline. Atau aku harus memanggilmu Adeline?”
Alec menggigit bibirnya.
     “Kau tahu, kita harus melakukannya, Alec, dan kau juga lupa untuk memanggilku kakak, bukan Sir lagi, kan?”
Alec hanya mengangguk malu, “Kakak.”
Dean mengangguk dengan tersenyum hangat. Kemudian menoleh pada pelayan yang berdiri berjajar. “Terima kasih semuanya, dan aku harap kalian dapat menyembunyilkan dari Mama.”
Semuanya mengangguk hormat.
Dean tersenyum lega lalu kembali kepada Alec.
     “Nah kalau kau sudah siap, Mama sudah menunggumu, kita bisa keluar sekarang? Kau bahkan belum pernah keluar kamar sendirian, bukan?”
Alec menggeleng.
Dean harus tersenyum dan mengulurkan tangannya. “Mari, Edele?”
Dengan malu-malu Alec menerima tangan itu.
Dean menarik nafas lega dan tersenyum senang, ia mendapatkan kembali adiknya. Merekapun keluar dari kamar.

Dengan gugup Alec berjalan tenang di samping Dean, sosok yang kini menjadi idolanya, dan membawanya ke teras samping, di mana ibu dan ayahnya menunggu mereka.

Dan di sana, Alec melihat Milady duduk di kursi rodanya dengan bantal yang menumpu punggungnya, dan terselimuti selimut wol yang cantik. Milady asyik memandangi bunga-bunga yang bermekaran di kebun belakang. Alec semakin gugup dengan adaya Lord Winchester dan Sir Samuel di sana menemani Miladay, juga Sir Caleb yang berdiri tak jauh dari Lord Winchester. ‘Ya Tuhan, lindungi aku.’

     “Ma..,” Dean memanggilnya pelan.
Milady yang tengah sakit itu menoleh dan tersenyum dengan bahagianya melihat siapa yang datang, sementara Lord Winchester dan Sir Samuel terpaku dengan apa yang mereka lihat. Mereka tidak akan mempercayainya jika tidak melihatnya sendiri. Mereka Benar-benar seperti melihat Adeline!
    “Putri kecilku! Sini, sayang,” Milady Mary mengundangnya dengan membuka tangannya.
Malu-malu Alec melangkah maju. Ia tahu mata gugup kesemuanya, memandang padanya, dan kata itu keluar dengan sendirinya, “Ma..?” dengan itu ia menghambur ke pelukannya menerima pelukan hangat dari wanita cantik ini, dan mencium aroma lembut dari tubuhnya, Alec menyukai aroma ini.
    “Edele-ku, senangnya bisa melihatmu sehat kembali, sayang,” dengan mengusap pipi Alec. “Kau tampak cantik sekali.”
      “Mama juga,” terasa sangat gugup Alec memanggil Milady ini dengan sebutan mama, terlebih ia tahu sepasang mata Sir Samuel melekat padanya. Alec tidak peduli.
Mary tersenyum. “Mama baik-baik saja, selama kau juga baik-baik saja, sayang. Kau adalah cahaya hidupku, jadi jangan menghilang lagi dari mama ya, sayang.”
Alec menggeleng, “Tidak akan, ma.”
Mary tersenyum dan mengecup pipi Alec dengan lembut.
Baik John dan Dean sama-sama terpesona dengan ikatan yang terjalin antara Mary dengan anak ini. Mereka hampir menangis melihatnya, tapi tertahan dengan desahan gusar dari Samuel.

Dean menoleh ke arah samuel dan terlihat desahan nafas gusar yang berusaha ia tahan agar tidak meledak. Bibirnya berlipat-lipat dan digigit-gigit. Matanya pun mulai berair dengan hidung yang kembang kempis menunjukkan kegusaran tingkat tinggi. Samuel sangat terganggu dengan pemandangan di hadapannya ini.
Dean langsung memegang tangan Samuel menenangkannya. Ia tahu jika ia tidak meredamnya, Samuel bisa lepas kendali yang hanya akan menyakiti ibunya.
Samuel menoleh dan menerima tatapan hangat dari kakaknya yang menenangkannya. Samuel berusaha untuk mengatasi kegusaran dan rasa tidak menerimanya. Anak ini memanggil ibunya dengan sebutan mama, dan terlihat jelas mata sayang itu hanya untuk Adeline, sosok yang sebenarnya bukan Adeline.
Dean semakin menguatkan genggaman tangannya, dan memberi tatapan memohon, untuk Samuel bisa menahannya.
Samuel menoleh ke arah ayahnya, tapi yang ia dapat hanyalaha tatapan tajam dengan ancaman, jangan merusak suasana. Samuel semakin ingin menangis dan berteriak sekencang-kencangnya. Tapi hanya untuk ibunya dan Dean ia berusaha menahannya.
   
     “Nah Edele, kau mau menemani mama di sini melihat bunga-bunga itu, mama sangat merindukan mereka?”
Alec hanya mengangguk.
Dan tanpa diminta Dean langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri kursi ibunya, lalu mendorongnya ke tengah halaman agar dapat melihat koleksi bunga-bunganya lebih dekat, dengan ayahnya mengikuti di belakang, sementara Samuel tak dapat menahan lagi ia langsung berlari ke dalam rumah.
Dean hanya menghela nafas, biarlah Samuel menjadi agenda selanjutnya.

Sebuah pemandangan yang indah, dapat melihat Milady kembali tersenyum bahagia. Rona pink di wajahnya menujukkan kesehatan Milady yang semakin membaik. Lord Winchester mendesah dengan bahagia, dan sangat berterima kasih dengan kehadiran Alec di tengah mereka. Dan cukup mengherankan juga, Alec tidak terlihat gugup ataupun kikuk berada di dekat Milady, ia bahkan sangat menkmatinya. Rona bahagia terpancar di sana. Tentu John sangat memahaminya, pastinya Alec sangat merindukan sosok ibu dalam hidupnya. Sebagai seorang anak yatim piatu tentulah itu hanya impian semata. Dan John merasa terharu dapat membahagiakan anak seperti Alec. Meski ia menyadari putra keduanya belum menerima kehadiran Alec, tapi semoga semua dapat berubah dengan seiringnya waktu. Ia hanya bisa mengandalkan Dean untuk memberi pemahaman pada Samuel. Hanya Dean yang dapat menembus kekeras kepala-an Samuel. Pemberontakan hanya akan merusak apa yang telah direncanakan, dan John akan melakukan apapun untuk dapat melihat Mary tersenyum bahagia seperti ini.

**

Dengan berurai air mata Samuel berlari masuk ke dalam kamarnya. Hatinya terasa hancur dan tercabik-cabik. Ada anak lain yang merebut perhatian dan kasih sayang ibunya. Memang ia yang meminta anak itu untuk tinggal, memang ia yang meminta anak itu untuk menjadi Adeline karena ibunya membutuhkan kehadiran Adeline, karena ia yakin ia bisa melakukannya itu ibunya. Tapi ia tidak menyangka akan sesakit ini melihat begitu dekatnya anak itu, Adeline palsu, dengan ibunya. Ibunya milik dia, anak itu tidak boleh mendapatkan kasih sayang ibunya sepenuhnya! Ayah sudah sangat jahat padanya, juga pada ibunya. Ayahnya menciptakan kebohongan ini!
Penuh emosi ia meratakan maket perang berukuran 2x2m kesayangannya hadiah ulang tahun yang ke-9 dari ayahnya. Prajurit-prajurit kecil yang telah berdiri di barisan dan pos sesuai komando ‘Jendral Samuel Winchester’ berglimpangan di lantai. Samuel tidak peduli lagi. Strategi medan perang yang ia susun selama seminggu ini luluh lantak bersama kebenciannya pada ayahnya.  Ia pun terpekur menangis di lantai

Dean dapat mendengar peruntuhan maket dari dalam kamar Samuel saat ia menaiki tangga ke lantai atas. Tidak perlu ditanya lagi, Samuel sedang mengamuk. Untunglah tidak sampai terdengar hingga kebun belakang dimana Ibunya masih menikmati kebun belakang.
Pelayan-pelayan menunggu di luar memberi jarak dari pintu. Tidak ada yang berani masuk ataupun mendekati Tuan Muda Samuel kalau ia sedang mengamuk. Pernah ada dulu seorang pelayan wajahnya biru karena terkena lemparan patung Ares (hadiah dari ayahnya saat berkunjung ke Yunani) yang terbuat dari logam. Untung tidak parah, hanya saja sejak itu tidak ada lagi yang berani mendekatinya lagi kalau dia sedang mengamuk.

Dean mendekati kamar adiknya, dan memberanikan diri utuk mengetuk pintunya.
Tidak ada jawaban.
Dean mengetuk lagi.
    “PERGI SANA!” sahutan kencang terdengar dari dalam.
    “Aku boleh masuk nggak?”
    “NGGAAAKK!!!!”
Dean tersenyum, memikirkan apa yang bisa menghentikan amukan adiknya tersayangnya ini, meski hanya sebentar.
Dean mengedarkan matanya, dan melihat piano hitam tak jauh dari ia berdiri. Untunglah ayahnya dulu mengizinkan ia meletakkan salah satu pianonya di lantai atas.

Dean langsung menghampiri pianonya dan duduk di sana. Ia tersenyum dan berpikir cuma ada satu lagu yang bisa menarik singa marah kalau sedang marah.
Dengan satu helaan nafas, jemari Dean langsung menari dengan terampilnya di atas tuts hitam putih itu memainkan irama cepat dan garang dan penuh emosi. Sebuah lagi favorit Samuel, dan yakin ia akan keluar ikut bermain kalau ia memainkan lagu ini.
Tapi hingga reff kedua, Samuel belum juga keluar dari kandangnya, Dean harus mencari celah lain.
Iapun dengan sengaja menggelincirkan jarinya pada nada yang salah, ‘ups’.
BRAK!!
    “SALAH, TAHU!” teriak Samuel tiba-tiba muncul di pintu dengan wajah merah.
‘Yap, singa sudah terpancing.’
    “Oh, ya? Salah bagaimana?” Dean pura-pura tidak mengerti.
Samuel mendengus kesal, dan langsung duduk di samping Dean,
    “Salah di sini,” Samuel memberi contoh kunci yang salah tadi.
    “Oh, begitu, pantas, tidak enak didengar. Kita coba lagi?” pancing Dean langsung.
Tanpa mengangguk Samuel langsung menarikan jemarinya di atas tuts hitam putih itu memainkan irama cepat dan garang dan penuh emosi. Dikeluarkan seluruh emosi yang tertumpuk di dadanya.
Dean mengamatinya, Samuel sedang menjadikan piano ini sebagai media pelimpahan emosinya. Samuel bermain hingga hampir menangis. ‘Bagus tapi tidak bijaksana.’
Dean langsung mendueti Samuel dengan irama dan emosi yang sama.
Samuel menoleh pada kakakknya. Dean tersenyum tipis, membuat Samuel harus tersenyum, dan menerima ajakan kakaknya berduet. Akhirnya mereka bermain bersama, dua pasang tangan terlatih dan terampil itu menari dengan cepatnya menghasilkan musik yang keras dan penuh emosi yang membludak. ‘Biarlah, paling tidak, kalau duet begini, kemarahan Samuel bisa berkurang.’

Hingga mereka mengakhirnya dengan klimaks yang bagus dan mereka sedikit terengah-engah. Jari mereka terasa pegal, tapi puas.
Dean melempar senyum pada Samuel dan disambut Samuel dengan senyuman yang sama, namun segera berubah kembali, seperti teringat kemarahannya tadi, tapi mungkin sudah jauh berkurang kadarnya. Air mata menetes di pipinya, dan langsung diusapnya gusar.
Dean merangkul adiknya, dan kepala Samuel jatuh di pundaknya.
    “Kau boleh marah, tapi jangan benci siapapun.”
Dengan begitu tangis Samuel langsung tumpah ruah di pundak Dean.

**

Alec dapat membaca dengan jelas rona dan reaksi ketidak-sukaan Sir Samuel padanya, saat dia bergabung di teras belakang. Jujur ia ingin menangis. Ia paling tidak kuat bila ada yang membencinya. Ia terbiasa dengan segala perhatian dan kasih sayang yang dilimpahkan Bapa dan suster di St. Peter (Tom tidak dihitung), dan kini di rumah barunya, di keluarga barunya, ada orang yang tidak menyukainya, dan itu adalah kakak angkatnya sendiri. Tapi bukankah Sir Samuel sendiri yang memintanya untuk tinggal, Sir Samuel sendiri yang memohon untuk menjadi Adeline untuk Milady? Sir Samuel sendiri yang memintanya!
 
Alec bisa mendengar suara piano yang dmainkan dengan keras, cepat dan penuh emosi. Perasaan Alec mengatakan, siapapun yang memainkannya, pastilah sedang marah atau bersedih. Mungkinkah, Sir Samuel?

Sisa keseluruhan hari ini diisi dengan kebimbangan hari Alec. Dia begitu menikmati limpahan kasih sayang yang diberikan Milady padanya, juga sanjungan dan perhatian dari Lord Winchester, tapi juga tersiksa dengan tatapan dingin dari Sir Samuel yang selalu menghindar bila ada dirinya. Mungkinkan Sir Samuel sangat membencinya kini? Alec semakin ingin menangis. Ia tidak ingin dibenci Sir Samuel. Mungkinkan Sir Samuel membencinya karena memanggil Milady dengan sebutan mama? Tapi  Sir Dean dan Lord Winchester memastikan tidak ada apa-apa,  Alec akan baik-baik saja, dan Samuel tidak membencinya. Tapi tentu Alec bisa membacanya.

Hingga malam ia beranjak tidur, dan dirinya kini sudah berganti dengan gaun tidur milik Adeline, Alec masih belum bisa menghentikan ketakutannya. Bagaimana ia bisa menjalani hari sebagai Adeline, jika ia harus hidup dengan tatapan seperti itu setiap hari. ‘Ya Tuhan’ Dia sekarang menyesal menerima adopsi ini. Ia ingin ketemu Ben sekarang, ia mau dengan Ben, ia rindu Ben!

Alec semakin tidak bisa tidur, meski Emma sudah menemaninya. Ia harus pura-pura tertidur agar Emma segera keluar dari kamar. Dan sekarang ia justru ketakutan dan kebingungan setelah ditinggal sendiri seperti ini.
Tiba-tiba pintu terbuka mengagetkannya. Sosok tinggi berdiri di sana. Wajahnya terhalang bayangan cahaya dari luar. Alec mengkeret ketakutan

    “Alec, kau belum tidur?”
Alec langsung menghela nafas lega dengan suara itu. Suara Sir Dean.
    “Maaf, tidak bisa tidur,” sahutnya lirih
Dean mendekatinya, “Kenapa? Ada yang kau pikirkan? Tentang Samuel?”
Alec menunduk, dan merasakan Sir Dean duduk di tempat tidur.
    “Jangan takut, Samuel tidak apa-apa, ia hanya rindu pada Adeline. Dengan melihatmu tadi, tentu ia teringat pada Adeline. Tidak apa-apa. Samuel sangat sayang pada Adeline, jadi harap dimaklum. Jangan takut, ada aku di sini, kau tidak akan apa-apa, karena apa, karena kau adikku sekarang, dan aku kakakmu, yang akan melindungimu dari siapapun.”
Alec terdiam dengan kalimat itu.
    “Sama seperti Ben,” ucap Alec lirih. “Ben juga bilang begitu, dia yang akan melindungiku dari apapun dan siapapun.”
Dean tertegun, Ia ingat siapa Ben. Saudara kembar Alec?
Dean tersenyum, “Itu yang akan kulakukan padamu, Alec.”
    “Oh, ya, aku jadi teringat,” ia menuju meja kecil dengan laci di bawahnya. Dibukanya laci itu dan dikeluarkan sebuah kotak di dalamnya. Dibukanya dan dikeluarkan dua buah kalung di dalamnya.
Alec menahan nafas melihatnya.
    “Maaf terlupakan, ini milikmu, kau simpanlah.”
Alec terpaku dan menerimanya. ‘Alec dan Ben’.
    “Boleh aku memakainya?”
Dean tersenyum, “Tentu saja.”
Alec tersenyum lega dan langsung memakainya.
Dean melihat rona wajah Alec setelah memakainya, ada aura tenang dan nyaman di sana. Dean tersenyum lega melihatnya.
    “Aku kangen Ben.”
Dean terdiam.
    “Di mana dia sekarang?”
    “Diadopsi. Dia ninggalin aku.”
Dean tidak menyahut, dan membiarkan Alec melanjutkan ceritanya.
    “Kami sudah berjanji untuk selalu bersama, dan dia juga sudah berjanji untuk nggak akan ninggalin aku.Jadi kalau ada yang mau kita, harus berdua, nggak boleh salah satu dari kita saja. “
    “Tapi ternyata dia diadopsi lebih dulu dan meninggalkanmu?” Dean bertanya hati-hati.
Alec mengangguk dengan sedih. “Mereka nggak mau aku, mereka cuma mau Ben,” air matapun jatuh di pipi Alec.
Dean menyeka air mata Alec.
    “Kau tahu di mana dia sekarang?”
 Alec mengangkat pundaknya, “Nggak tahu, dia bilang di Dublin.’
‘Dublin’ Dean langsung teringat cerita ayahnya tentang anak ini. Menuju kesanakah Alec saat ayahnya menemukannya di tepi jalan?
    “Tadinya aku mau kesana, tapi nyasar,” Alec tertelan ucapannya sendiri. Sakit sekali mengakui ia gagal menyusul Ben.
Dean hanya mengangguk.
    “Dia sekarang hidup bahagia dengan orang tua angkatnya,” lanjut Alec lagi.
     “Sama seperti yang akan kau rasakan di sini, Alec,” wajah Dean tidaklah berbohong.
 Alec memandang wajah tampan dan hangat itu. Alec percaya itu.
     “Tapi aku akan kangen Ben. Kami nggak pernah berpisah sebelumnya. Dia yang selalu melindungiku. Dia dulu juga yang selalu menyanyikanku sebelum tidur. Suar Ben bagus.”
    “Oh, ya?” Dean tersenyum.
Alec mengangguk.
    “Menyanyikanmu lagu apa?” Dean dengan wajah ingin tahu.
    “Aku nggak tahu apa judulnya, Ben membuatnya untukku, dan ia menyanyikannya setiap malam.
Boleh aku mendengarnya?”
Alec melihat kakak angkatnya. Tidak mungkin ia akan menyanyikannya. Tapi wajah kakaknya ini mengharapkan untuk bisa mendengarnya. Dan akhirnya ia menyanyikannya perlahan,
    “Hush…don’t you worry now,” ia menyanyikannya malu-malu. Tapi Sir Dean masih mendengarkannya. Alec terus menyanykannya.   “just close your eyes and you’ll see the stars.
……
   “Just close your eyes, and make a wish for it comes true. Just close your eyes and don’t you worry, cos I’ll be right here with you. Keep you warm and safe. Just close your eyes….” Alec mengakhirinya nyanyiannya dengan suara pelan
Dean tersenyum dengan lagunya. “Lagu yang bagus, Dik, kau pasti sangat menyukainya?”
Alec mengangguk malu-malu.  Tentu ia sangat menyukainya, dan sekarang tidak ada lagi yang akan menyanyikannya untuk menenangkannya seperti ini.
Dean menarik nafas dalam-dalam, ‘Astaga, anak ini benar-benar sudah mencuri  perhatian dan kasih sayangnya.’
     “Nah, bagaimana kalau mencoba untuk tidur, biar kaunyanyikan kau dengan lagu yang tadi.”
Alec terpaku mendengarnya.
     “Tidak apa-apa, kan kalau kakak yang menyanyikanmu, sebelum kau tidur? Yah mungkin suara kakak tidak sebagus suara Ben, tapi paling tidak masih bisa didengar,” Dean tersenyum simpul. “Boleh?”
Alec semakin terpaku, dan akhirnya mengangguk malu-malu.
Dean hanya tersenyu, “Nah, tidurlah, kutemani kau dengan lagumu tadi. Pejamkan matamu, sekarang.
Alec menutup matanya, dan terdengar suara merdu dari kakak angkatnya ini. Kakaknya ini bisa menyanyi, seperti Ben. Alec semakin menyukai Dean.
Alec membuka matanya lagi, serta merta ia langsung memeluk kakaknya erat, “Terima kasih  kak, sudah menerimaku dan baik sekali padaku.”
Dean menghela nafas dengan tersenyum, dan mengangguk, mengusap-usap punggungnya.
    “Nah tidurlahnya,” dengan melepaskan pelukan Alec dan membimbingnya tidur. Dan melanjutkan bernyanyi.
Sungguh mengherankan Dean dapat menyanyikan keseluruhan lagu yang baru saja ia dengar tadi.
Alec tersenyum mendengarnya, dan memejamkan mata, mencoba tidur.  Senyum bahagia tersungging di sana. Ia merasa sangat tenang dengan adanya Sir Dean, kakak pengganti setelah Ben tidak ada. ‘Ben, kau mengirimkan orang yang mirip kamu, terima kasih.’

Dean memandang sosok kecil yang sudah tertidur lelap ini. Ia harus tersenyum, lalu dikecupnya kening Alec atau yang sekarang adalah Adeline. Dean menyukai anak ini, dan ia senang Alec bisa menjadi adiknya, meski itu artinya harus membagi perhatiannya dengan Samuel. Dean yakin Alec dan Samuel akan sama-sama menguras emosinya, tapi ia siap, karena ia menyayangi keduanya.

TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar