Rating : K+
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
ENJOY
Chapter
17
Pada malam hari, Lord
Winchester menemuinya lagi. Ia mengatakan bahwa mulai dari saat ini
dan mungkin selamanya, ia akan tinggal di rumah ini, menjadi bagian dari
keluarga Winchester dan menjadi Nona Adeline. Tapi tidak akan merubah pandangan
mereka akan dirinya, karena Alec tetaplah Alec bukan Adeline. Kamar inipun
menjadi milik Alec, juga dengan semua pakaiannya yang ternyata masih tersimpan
rapi dan bersih di lemari, dan semua mainannya. Alec akan menyerupai Adeline,
dan ini sedikit membuat Alec ketakutan. Ia takut tidak dapat memenuhi apa yang Lord Winchester harapkan. Alec hanya dapat berdoa.
Keesokan
paginya
Alec
terbangun masih di tempat tidur yang besar ini yang
sekarang menjadi miliknya. Dan ia terkaget dengan Miss Emma sudah menunggunya.
“Selamat pagi,
Alec,”Emma menyapanya dengan hangat. Di tangannya telah siap baki
sarapan pagi untuk Nona Adeline.
“Saya harap kau siap menyambut hari pertamamu. Bagaimana, kau ingin sarapan
atau mandi dahulu?” Emma menawarkan dengan senyuman.
Alec tidak tahu
harus menjawab apa. Dia belum pernah dilayani seperti ini sebelumnya.
“Sarapan akan selalu siap di setiap pagi saat kau bangun,
kecuali jika ada sarapan di meja makan,” Emma
menjelaskan. “Dan setelah kau menyelesaikan sarapanmu, air panas telah siap
untukmu mandi. Akan ada dua pelayan yang akan memandikanmu.”
Alec langsung
memerah. ‘Akan ada yang memandikannya?
Tidak mau! Dia sudah besar sekarang, bukan bayi lagi. Apa kata Ben kalau dia
tahu ini?’
“Dan jangan lupa obatmu di setiap pagi dan malam.”
Alec semakin
terpaku.
“Sepertinya lebih baik kau sarapan dahulu, setelah itu mandi,” dengan tersenyum
seraya meletakkan baki sarapan tersebut di pangkuan Alec.
Alec tak
menyahut karena tak tahu harus menjawa apa, dan hanya melakukan apa yang
diminta.
Setelah ia
selesai sarapan dan siap untuk mandi, dari kembali memerah dengan dua pelayan
yang siap di samping bak mandi yang telah berisi air hangat.
“Boleh aku mandi sendiri?” Alec bertanya malu-malu. Dia belum pernah membuka
baju di hadapan orang lain kecuali di depan, suster-suster, itupun dulu saat ia
masih kecil.
“Tidak, Alec, mereka yang akan membantumu, dan tolong jangan membantah,” Emma masih tersenyum hangat.
Alec menggigit
bibirnya, dan membiarkan mereka membuka pakainnya, lalu mmeintanya untuk masuk
ke dalam bak mandi. Ini adalah pertama kali Alec mandi di dalam bak mandi
seperti ini.
Dengan mengesampingkan rasa malunya, dia membiarkan dua pelayan tersebut
memandikannnya. Dan yang lebih membuatnya malu, mereka mencampur air hangatnya
dengan minyak yang wangi. Dia sekarang beraroma seperti anak perempuan!
Ritual mandi sendiri memakan waktu hampir satu jam, hingga akhirnya mereka
mengangkat Alec dari dalam bak mandi dan dengan berbalut handuk tebal, dan
membawanya kembali ke kamar. Dan kembali Alec harus terkaget memerah dengan gaun
berwarna pink yang disiapkan untuknya. ‘Nggak
mungkin aku akan memakai gaun itu!’
Tapi meski ia
berteriak dalam hati tidak mau, ia tidak akan bisa menolaknya. Saat ini ia
adalah boneka yang harus menurut dibuat seperti Adeline. Dia sudah menerima
untuk hidup seperti ini dan ia harus menjalaninya.
Kembali dengan mengesampingkan harga dirinya sebagai anak laki-laki, dia
tidak membantah maupun melawan saat mereka mengenakan gaun cantik pink itu ke
tubuhnya. Bahkan saat mereka mulai menjalin rambutnya dengan kepang dan
memberinya pita yang senada dengan warna gaunnya. Alec berusaha untuk menutup
mulutnya dan tidak berkomentar apa-apa.
Ritual yang cukup lama untuk memakaikan dan mendadani dirinya seperti
Adeline, membutuhkan waktu lebih dari satu setengah jam lamanya. ‘Beginikah anak perempuan kaya kalau memakai
baju selepas mandi? Repot dan lama sekali!’
Dan akhirnya mereka pun terkaget dengan tak percaya, khususnya Emma saat
Alec sudah terbalut dengan gaun tersebut. Betapa mirip sekali Alec dengan mendiang
nona mudanya. Benar-benar seperti melihat Adeline asli, terlebih dengan gaun
yang dikenakan dan jalinan rambut yang sering dipakai Adeline.
“Astaga,”
Emma menutup mulutnya masih terkaget, “Nona muda!” Tapi
ia tahu dan sadar sepenuhnya, anak di hadapannya ini bukannya Adeline,
melainkan Alec. “Kau benar-benar mirip dengannya Nak. Hanya Tuhan yang tahu
kenapa.”
Kemudian
menghela nafas, “Dan mulai saat ini kami harus memanggilmu Nona Muda Adeline,
dan jadilah Nona Adeline untuk kami.”
Dengan itu seluruh
mata pelayan yang ada di kamar ini memanggilnya Nona Adeline, dan memberi
hormat padanya.
Alec menelan
ludah semakin gugup. Dia benar-benar menjadi Nona Adeline sekarang, kehidupan
baru yang harus dijalaninya. ‘Ya Tuhan,
dampingi aku.’
“Alec?”
sebuah panggilan tiba-tiba terdengar dengan pintu yang
dibua, dan wajah Sir Dean muncul dari balik pintu, dan langsung terpaku dengan
sosok yang ada di hadapannya.
Emosi Dean
bercampur aduk. Betapa miripnya anak ini dengan adiknya! Wajahnya yang cantik,
tubuhnya yang kecil dan ramping, warna rambut yang sama dengan Adeline dan
dijalin sama seperti dulu Adeline menjalin rambutnya. Bagaimana bisa terjadi,
hanya Tuhan yang tahu.
“Sir Dean,” suara Alec membawa
Dean kembali ke alam sadar. ‘Ya Tuhan,
suaranyapun sama!’
“Maafkan, Sir,
mereka memintaku untuk memakai gaun ini,” ucapnya malu-malu.
Dean harus
tersenyum, “Tidak, tidak apa-apa. Kau cocok dengan gaun itu, Alec, dan kau
memang mirip dengan Adeline. Atau aku harus memanggilmu Adeline?”
Alec menggigit bibirnya.
“Kau tahu, kita harus melakukannya, Alec, dan kau juga lupa
untuk memanggilku kakak, bukan Sir lagi, kan?”
Alec hanya
mengangguk malu, “Kakak.”
Dean mengangguk
dengan tersenyum hangat. Kemudian menoleh pada pelayan yang berdiri berjajar.
“Terima kasih semuanya, dan aku harap kalian dapat menyembunyilkan dari Mama.”
Semuanya
mengangguk hormat.
Dean tersenyum lega lalu kembali kepada Alec.
“Nah kalau kau sudah siap, Mama sudah menunggumu, kita
bisa keluar sekarang? Kau bahkan belum pernah keluar kamar sendirian, bukan?”
Alec menggeleng.
Dean harus
tersenyum dan mengulurkan tangannya. “Mari, Edele?”
Dengan malu-malu
Alec menerima tangan itu.
Dean menarik
nafas lega dan tersenyum senang, ia mendapatkan kembali adiknya. Merekapun
keluar dari kamar.
Dengan gugup Alec berjalan tenang di samping Dean, sosok yang kini menjadi
idolanya, dan membawanya ke teras samping, di mana ibu dan ayahnya menunggu
mereka.
Dan di sana, Alec melihat Milady duduk di kursi rodanya dengan bantal yang menumpu
punggungnya, dan terselimuti selimut wol yang cantik. Milady asyik memandangi
bunga-bunga yang bermekaran di kebun belakang. Alec semakin gugup dengan adaya
Lord Winchester dan Sir Samuel di sana menemani Miladay, juga Sir Caleb yang
berdiri tak jauh dari Lord Winchester. ‘Ya
Tuhan, lindungi aku.’
“Ma..,”
Dean memanggilnya pelan.
Milady yang
tengah sakit itu menoleh dan tersenyum dengan bahagianya melihat siapa yang
datang, sementara Lord Winchester dan Sir Samuel terpaku dengan apa yang mereka
lihat. Mereka tidak akan mempercayainya jika tidak melihatnya sendiri. Mereka
Benar-benar seperti melihat Adeline!
“Putri kecilku! Sini, sayang,” Milady Mary mengundangnya dengan membuka
tangannya.
Malu-malu Alec
melangkah maju. Ia tahu mata gugup kesemuanya, memandang padanya, dan kata itu
keluar dengan sendirinya, “Ma..?” dengan itu ia menghambur ke pelukannya
menerima pelukan hangat dari wanita cantik ini, dan mencium aroma lembut dari
tubuhnya, Alec menyukai aroma ini.
“Edele-ku, senangnya bisa melihatmu sehat kembali, sayang,” dengan mengusap
pipi Alec. “Kau tampak cantik sekali.”
“Mama juga,” terasa sangat gugup Alec memanggil Milady ini
dengan sebutan mama, terlebih ia tahu sepasang mata Sir Samuel melekat padanya.
Alec tidak peduli.
Mary tersenyum.
“Mama baik-baik saja, selama kau juga baik-baik saja, sayang. Kau adalah cahaya
hidupku, jadi jangan menghilang lagi dari mama ya, sayang.”
Alec
menggeleng, “Tidak akan, ma.”
Mary tersenyum
dan mengecup pipi Alec dengan lembut.
Baik John dan Dean
sama-sama terpesona dengan ikatan yang terjalin antara Mary dengan anak ini.
Mereka hampir menangis melihatnya, tapi tertahan dengan desahan gusar dari
Samuel.
Dean menoleh ke arah samuel dan terlihat desahan nafas gusar yang berusaha
ia tahan agar tidak meledak. Bibirnya berlipat-lipat dan digigit-gigit. Matanya
pun mulai berair dengan hidung yang kembang kempis menunjukkan kegusaran
tingkat tinggi. Samuel sangat terganggu dengan pemandangan di hadapannya ini.
Dean langsung memegang tangan Samuel menenangkannya. Ia tahu jika ia tidak
meredamnya, Samuel bisa lepas kendali yang hanya akan menyakiti ibunya.
Samuel menoleh
dan menerima tatapan hangat dari kakaknya yang menenangkannya. Samuel berusaha
untuk mengatasi kegusaran dan rasa tidak menerimanya. Anak ini memanggil ibunya
dengan sebutan mama, dan terlihat jelas mata sayang itu hanya untuk Adeline, sosok yang sebenarnya bukan Adeline.
Dean semakin menguatkan genggaman tangannya, dan memberi tatapan memohon,
untuk Samuel bisa menahannya.
Samuel menoleh
ke arah ayahnya, tapi yang ia dapat hanyalaha tatapan tajam dengan ancaman,
jangan merusak suasana. Samuel semakin ingin menangis dan berteriak
sekencang-kencangnya. Tapi hanya untuk ibunya dan Dean ia berusaha menahannya.
“Nah Edele, kau mau menemani mama di sini melihat
bunga-bunga itu, mama sangat merindukan mereka?”
Alec hanya
mengangguk.
Dan tanpa
diminta Dean langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri kursi ibunya, lalu
mendorongnya ke tengah halaman agar dapat melihat koleksi bunga-bunganya lebih
dekat, dengan ayahnya mengikuti di belakang, sementara Samuel tak dapat menahan
lagi ia langsung berlari ke dalam rumah.
Dean hanya
menghela nafas, biarlah Samuel menjadi agenda selanjutnya.
Sebuah pemandangan yang indah, dapat melihat Milady kembali tersenyum
bahagia. Rona pink di wajahnya menujukkan kesehatan Milady yang semakin membaik.
Lord Winchester mendesah dengan bahagia, dan sangat berterima kasih dengan
kehadiran Alec di tengah mereka. Dan cukup mengherankan juga, Alec tidak terlihat
gugup ataupun kikuk berada di dekat Milady, ia bahkan sangat menkmatinya. Rona
bahagia terpancar di sana. Tentu John sangat memahaminya, pastinya Alec sangat
merindukan sosok ibu dalam hidupnya. Sebagai seorang anak yatim piatu tentulah
itu hanya impian semata. Dan John merasa terharu dapat membahagiakan anak
seperti Alec. Meski ia menyadari putra keduanya belum menerima kehadiran Alec,
tapi semoga semua dapat berubah dengan seiringnya waktu. Ia hanya bisa
mengandalkan Dean untuk memberi pemahaman pada Samuel. Hanya Dean yang dapat
menembus kekeras kepala-an Samuel. Pemberontakan hanya akan merusak apa yang
telah direncanakan, dan John akan melakukan apapun untuk dapat melihat Mary
tersenyum bahagia seperti ini.
**
Dengan berurai air mata Samuel berlari masuk ke dalam kamarnya. Hatinya terasa
hancur dan tercabik-cabik. Ada anak lain yang merebut perhatian dan kasih
sayang ibunya. Memang ia yang meminta anak itu untuk tinggal, memang ia yang
meminta anak itu untuk menjadi Adeline karena ibunya membutuhkan kehadiran
Adeline, karena ia yakin ia bisa melakukannya itu ibunya. Tapi ia tidak
menyangka akan sesakit ini melihat begitu dekatnya anak itu, Adeline palsu,
dengan ibunya. Ibunya milik dia, anak itu tidak boleh mendapatkan kasih sayang
ibunya sepenuhnya! Ayah sudah sangat jahat padanya, juga pada ibunya. Ayahnya
menciptakan kebohongan ini!
Penuh emosi ia meratakan maket perang berukuran 2x2m kesayangannya hadiah
ulang tahun yang ke-9 dari ayahnya. Prajurit-prajurit kecil yang telah berdiri
di barisan dan pos sesuai komando ‘Jendral Samuel Winchester’ berglimpangan di
lantai. Samuel tidak peduli lagi. Strategi medan perang yang ia susun selama
seminggu ini luluh lantak bersama kebenciannya pada ayahnya. Ia pun terpekur menangis di lantai
Dean dapat mendengar peruntuhan maket dari dalam kamar Samuel saat ia
menaiki tangga ke lantai atas. Tidak perlu ditanya lagi, Samuel sedang
mengamuk. Untunglah tidak sampai terdengar hingga kebun belakang dimana Ibunya
masih menikmati kebun belakang.
Pelayan-pelayan
menunggu di luar memberi jarak dari pintu. Tidak ada yang berani masuk ataupun mendekati
Tuan Muda Samuel kalau ia sedang mengamuk. Pernah ada dulu seorang pelayan
wajahnya biru karena terkena lemparan patung Ares (hadiah dari ayahnya saat
berkunjung ke Yunani) yang terbuat dari logam. Untung tidak parah, hanya saja
sejak itu tidak ada lagi yang berani mendekatinya lagi kalau dia sedang
mengamuk.
Dean mendekati
kamar adiknya, dan memberanikan diri utuk mengetuk pintunya.
Tidak ada
jawaban.
Dean mengetuk
lagi.
“PERGI SANA!” sahutan kencang terdengar
dari dalam.
“Aku boleh masuk nggak?”
“NGGAAAKK!!!!”
Dean tersenyum,
memikirkan apa yang bisa menghentikan amukan adiknya tersayangnya ini, meski
hanya sebentar.
Dean
mengedarkan matanya, dan melihat piano hitam tak jauh dari ia berdiri.
Untunglah ayahnya dulu mengizinkan ia meletakkan salah satu pianonya di lantai
atas.
Dean langsung menghampiri pianonya dan duduk di sana. Ia tersenyum dan
berpikir cuma ada satu lagu yang bisa menarik singa marah kalau sedang marah.
Dengan satu
helaan nafas, jemari Dean langsung menari dengan terampilnya di atas tuts hitam
putih itu memainkan irama cepat dan garang dan penuh emosi. Sebuah lagi favorit
Samuel, dan yakin ia akan keluar ikut bermain kalau ia memainkan lagu ini.
Tapi hingga
reff kedua, Samuel belum juga keluar dari kandangnya, Dean harus mencari celah
lain.
Iapun dengan
sengaja menggelincirkan jarinya pada nada yang salah, ‘ups’.
BRAK!!
“SALAH, TAHU!” teriak Samuel tiba-tiba
muncul di pintu dengan wajah merah.
‘Yap, singa sudah terpancing.’
“Oh, ya? Salah bagaimana?” Dean pura-pura
tidak mengerti.
Samuel
mendengus kesal, dan langsung duduk di samping Dean,
“Salah di sini,” Samuel memberi contoh
kunci yang salah tadi.
“Oh, begitu, pantas, tidak enak didengar.
Kita coba lagi?” pancing Dean langsung.
Tanpa
mengangguk Samuel langsung menarikan jemarinya di atas tuts hitam putih itu
memainkan irama cepat dan garang dan penuh emosi. Dikeluarkan seluruh emosi
yang tertumpuk di dadanya.
Dean mengamatinya,
Samuel sedang menjadikan piano ini sebagai media pelimpahan emosinya. Samuel
bermain hingga hampir menangis. ‘Bagus
tapi tidak bijaksana.’
Dean langsung
mendueti Samuel dengan irama dan emosi yang sama.
Samuel menoleh
pada kakakknya. Dean tersenyum tipis, membuat Samuel harus tersenyum, dan
menerima ajakan kakaknya berduet. Akhirnya mereka bermain bersama, dua pasang
tangan terlatih dan terampil itu menari dengan cepatnya menghasilkan musik yang
keras dan penuh emosi yang membludak. ‘Biarlah,
paling tidak, kalau duet begini, kemarahan Samuel bisa berkurang.’
Hingga mereka
mengakhirnya dengan klimaks yang bagus dan mereka sedikit terengah-engah. Jari
mereka terasa pegal, tapi puas.
Dean melempar
senyum pada Samuel dan disambut Samuel dengan senyuman yang sama, namun segera
berubah kembali, seperti teringat kemarahannya tadi, tapi mungkin sudah jauh
berkurang kadarnya. Air mata menetes di pipinya, dan langsung diusapnya gusar.
Dean merangkul
adiknya, dan kepala Samuel jatuh di pundaknya.
“Kau boleh marah, tapi jangan benci
siapapun.”
Dengan begitu
tangis Samuel langsung tumpah ruah di pundak Dean.
**
Alec dapat
membaca dengan jelas rona dan reaksi ketidak-sukaan Sir Samuel padanya, saat
dia bergabung di teras belakang. Jujur ia ingin menangis. Ia paling tidak kuat
bila ada yang membencinya. Ia terbiasa dengan segala perhatian dan kasih sayang
yang dilimpahkan Bapa dan suster di St. Peter (Tom tidak dihitung), dan kini di
rumah barunya, di keluarga barunya, ada orang yang tidak menyukainya, dan itu
adalah kakak angkatnya sendiri. Tapi bukankah Sir Samuel sendiri yang
memintanya untuk tinggal, Sir Samuel sendiri yang memohon untuk menjadi Adeline
untuk Milady? Sir Samuel sendiri yang memintanya!
Alec bisa
mendengar suara piano yang dmainkan dengan keras, cepat dan penuh emosi. Perasaan
Alec mengatakan, siapapun yang memainkannya, pastilah sedang marah atau
bersedih. Mungkinkah, Sir Samuel?
Sisa
keseluruhan hari ini diisi dengan kebimbangan hari Alec. Dia begitu menikmati
limpahan kasih sayang yang diberikan Milady padanya, juga sanjungan dan
perhatian dari Lord Winchester, tapi juga tersiksa dengan tatapan dingin dari
Sir Samuel yang selalu menghindar bila ada dirinya. Mungkinkan Sir Samuel sangat
membencinya kini? Alec semakin ingin menangis. Ia tidak ingin dibenci Sir
Samuel. Mungkinkan Sir Samuel membencinya karena memanggil Milady dengan
sebutan mama? Tapi Sir Dean dan Lord
Winchester memastikan tidak ada apa-apa,
Alec akan baik-baik saja, dan Samuel tidak membencinya. Tapi tentu Alec
bisa membacanya.
Hingga malam ia
beranjak tidur, dan dirinya kini sudah berganti dengan gaun tidur milik
Adeline, Alec masih belum bisa menghentikan ketakutannya. Bagaimana ia bisa
menjalani hari sebagai Adeline, jika ia harus hidup dengan tatapan seperti itu
setiap hari. ‘Ya Tuhan’ Dia sekarang
menyesal menerima adopsi ini. Ia ingin ketemu Ben sekarang, ia mau dengan Ben,
ia rindu Ben!
Alec semakin tidak
bisa tidur, meski Emma sudah menemaninya. Ia harus pura-pura tertidur agar Emma
segera keluar dari kamar. Dan sekarang ia justru ketakutan dan kebingungan setelah
ditinggal sendiri seperti ini.
Tiba-tiba pintu
terbuka mengagetkannya. Sosok tinggi berdiri di sana. Wajahnya terhalang
bayangan cahaya dari luar. Alec mengkeret ketakutan
“Alec, kau belum tidur?”
Alec langsung
menghela nafas lega dengan suara itu. Suara Sir Dean.
“Maaf, tidak bisa tidur,” sahutnya lirih
Dean
mendekatinya, “Kenapa? Ada yang kau pikirkan? Tentang Samuel?”
Alec menunduk,
dan merasakan Sir Dean duduk di tempat tidur.
“Jangan takut, Samuel tidak apa-apa, ia hanya rindu pada Adeline. Dengan
melihatmu tadi, tentu ia teringat pada Adeline. Tidak apa-apa. Samuel sangat
sayang pada Adeline, jadi harap dimaklum. Jangan takut, ada aku di sini, kau
tidak akan apa-apa, karena apa, karena kau adikku sekarang, dan aku kakakmu,
yang akan melindungimu dari siapapun.”
Alec terdiam
dengan kalimat itu.
“Sama seperti Ben,” ucap Alec lirih. “Ben
juga bilang begitu, dia yang akan melindungiku dari apapun dan siapapun.”
Dean tertegun,
Ia ingat siapa Ben. Saudara kembar Alec?
Dean tersenyum,
“Itu yang akan kulakukan padamu, Alec.”
“Oh, ya, aku jadi teringat,” ia menuju meja
kecil dengan laci di bawahnya. Dibukanya laci itu dan dikeluarkan sebuah kotak
di dalamnya. Dibukanya dan dikeluarkan dua buah kalung di dalamnya.
Alec menahan
nafas melihatnya.
“Maaf terlupakan, ini milikmu, kau
simpanlah.”
Alec terpaku
dan menerimanya. ‘Alec dan Ben’.
“Boleh aku memakainya?”
Dean tersenyum,
“Tentu saja.”
Alec tersenyum
lega dan langsung memakainya.
Dean melihat
rona wajah Alec setelah memakainya, ada aura tenang dan nyaman di sana. Dean
tersenyum lega melihatnya.
“Aku kangen Ben.”
Dean terdiam.
“Di mana dia sekarang?”
“Diadopsi. Dia ninggalin aku.”
Dean tidak
menyahut, dan membiarkan Alec melanjutkan ceritanya.
“Kami sudah berjanji untuk selalu bersama,
dan dia juga sudah berjanji untuk nggak akan ninggalin aku.Jadi kalau ada yang
mau kita, harus berdua, nggak boleh salah satu dari kita saja. “
“Tapi ternyata dia diadopsi lebih dulu dan
meninggalkanmu?” Dean bertanya hati-hati.
Alec mengangguk
dengan sedih. “Mereka nggak mau aku, mereka cuma mau Ben,” air matapun jatuh di
pipi Alec.
Dean menyeka
air mata Alec.
“Kau tahu di mana dia sekarang?”
Alec
mengangkat pundaknya, “Nggak tahu, dia bilang di Dublin.’
‘Dublin’ Dean langsung teringat cerita ayahnya tentang anak ini. Menuju kesanakah
Alec saat ayahnya menemukannya di tepi jalan?
“Tadinya aku mau kesana, tapi nyasar,” Alec tertelan ucapannya sendiri.
Sakit sekali mengakui ia gagal menyusul Ben.
Dean hanya
mengangguk.
“Dia sekarang hidup bahagia dengan orang tua angkatnya,” lanjut Alec lagi.
“Sama seperti yang akan kau rasakan di sini, Alec,” wajah
Dean tidaklah berbohong.
Alec
memandang wajah tampan dan hangat itu. Alec percaya itu.
“Tapi aku akan kangen Ben. Kami nggak pernah berpisah sebelumnya. Dia yang
selalu melindungiku. Dia dulu juga yang selalu menyanyikanku sebelum tidur. Suar Ben bagus.”
“Oh, ya?” Dean tersenyum.
Alec
mengangguk.
“Menyanyikanmu lagu apa?” Dean dengan wajah ingin tahu.
“Aku nggak tahu apa judulnya, Ben membuatnya untukku, dan ia menyanyikannya
setiap malam.
Boleh aku
mendengarnya?”
Alec melihat kakak
angkatnya. Tidak mungkin ia akan menyanyikannya. Tapi wajah kakaknya ini
mengharapkan untuk bisa mendengarnya. Dan akhirnya ia menyanyikannya perlahan,
“Hush…don’t you worry now,” ia menyanyikannya
malu-malu. Tapi Sir Dean masih mendengarkannya. Alec terus menyanykannya. “just close your eyes and you’ll see the
stars.
……
“Just close your eyes, and make a wish for it comes true. Just close
your eyes and don’t you worry, cos I’ll be right here with you. Keep you warm
and safe. Just close your eyes….” Alec mengakhirinya
nyanyiannya dengan suara pelan
Dean tersenyum
dengan lagunya. “Lagu yang bagus, Dik, kau pasti sangat menyukainya?”
Alec mengangguk
malu-malu. Tentu ia sangat menyukainya, dan sekarang
tidak ada lagi yang akan menyanyikannya untuk menenangkannya seperti ini.
Dean menarik
nafas dalam-dalam, ‘Astaga, anak ini benar-benar
sudah mencuri perhatian dan kasih sayangnya.’
“Nah, bagaimana kalau mencoba untuk tidur, biar
kaunyanyikan kau dengan lagu yang tadi.”
Alec terpaku
mendengarnya.
“Tidak apa-apa, kan kalau kakak yang menyanyikanmu, sebelum
kau tidur? Yah mungkin suara kakak tidak sebagus suara Ben, tapi paling tidak
masih bisa didengar,” Dean tersenyum simpul. “Boleh?”
Alec semakin
terpaku, dan akhirnya mengangguk malu-malu.
Dean hanya
tersenyu, “Nah, tidurlah, kutemani kau dengan lagumu tadi. Pejamkan matamu,
sekarang.”
Alec menutup
matanya, dan terdengar suara merdu dari kakak angkatnya ini. Kakaknya ini bisa
menyanyi, seperti Ben. Alec semakin menyukai Dean.
Alec membuka
matanya lagi, serta merta ia langsung memeluk kakaknya erat, “Terima kasih kak, sudah menerimaku
dan baik sekali padaku.”
Dean menghela
nafas dengan tersenyum, dan mengangguk, mengusap-usap punggungnya.
“Nah tidurlahnya,” dengan melepaskan
pelukan Alec dan membimbingnya tidur. Dan melanjutkan bernyanyi.
Sungguh mengherankan
Dean dapat menyanyikan keseluruhan lagu yang baru saja ia dengar tadi.
Alec tersenyum
mendengarnya, dan memejamkan mata, mencoba tidur. Senyum bahagia tersungging di sana. Ia merasa
sangat tenang dengan adanya Sir Dean, kakak pengganti setelah Ben tidak ada. ‘Ben, kau mengirimkan orang yang mirip kamu,
terima kasih.’
Dean memandang
sosok kecil yang sudah tertidur lelap ini. Ia harus tersenyum, lalu dikecupnya
kening Alec atau yang sekarang adalah Adeline. Dean menyukai anak ini, dan ia senang
Alec bisa menjadi adiknya, meski itu artinya harus membagi perhatiannya dengan
Samuel. Dean yakin Alec dan Samuel akan sama-sama menguras emosinya, tapi ia
siap, karena ia menyayangi keduanya.
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar