Rating : K+
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
ENJOY
CHAPTER 18
Sementara Alec baru memulai untuk hidup di kehidupan barunya sebagai
Adeline, jauh di sana menyebrangi lautan, Ben sudah menikmati kehidupan barunya
sebagai bagian dari keluarga Wesson.
Keluarga Wesson bukanlah keluarga bangsawan ataupun keluarga kaya, tapi
mereka memiliki sebidang lahan untuk mereka tanami jagung, dan peternakan sapi
dan ayam, yang lebih dari cukup untuk menghidupi mereka, dan Ben cukup
bersyukur mendapat Kevin dan Patricia Wesson sebagai orang tuanya. Mereka
benar-benar pasangan suami istri yang baik dan sangat menyayangi Ben. Sebagai
satu-satunya putra mereka yang telah mereka tunggu setelah 10 tahun pernikahan
mereka, Ben menjadi pusat perhatian dan kasih sayang mereka. Setiap malam,
Patricia selalu menemani Ben dan membacakan cerita sebelum tidur, meski menurut
Ben dia sudah terlalu besar untuk hal-hal seperti itu. Dia sudah 11 tahun!
Setiap pagi, ibunya menyiapkan sarapan yang sangat menyehatkan, roti, telur,
dan susu murni, langsung dari peternakan mereka. Juga Kevin yang mengajarkan
bagaimana memerah sapi, atau memilih telur-telur yang bagus, atau melihat
telur-telur itu menetas. Semuanya menjadi hal-hal baru untuk Ben, dan ia sangat
menikmatinya. Namun yang lebih membuatnya senang adalah ayah dan ibu angkatnya
senang bermain musik dan bernyanyi. Sang ayah mahir dalam memainkan alat musik
piano, bodran dan flute, sementara ibunya pandai bernyanyi dan memiliki suara
yang bagus, hingga hampir setiap malam selepas makan malam, ada pertunjukan
kecil di rumah dengan Ben dan ibunya bernyanyi bersama diringi sang ayah. Ben
sangat menyukainya. Dia sangat bersyukur mendapatkan mereka, dan tentunya
berharap Alec di sana. Ben tidak pernah melupakan Alec satu haripun. Setiap ia
mulai belajar hal-hal baru, ia tidak pernah lupa untuk mengirimkan apa yang ia
pelajari dan ia lihat kepada Alec melalui hatinya, dan berharap Alec dapat
menerimanya. Ia semakin tidak sabar
untuk segera tahun depan, karena ayah ibunya sudah berjanji untuk kembali ke
Amerika menjemput Alec. Terlebih setelah satu bulan berlalu sejak ia
mengirimkan surat pada Alec, memberi kabar tentang keadaannya dan keluarga
barunya. Tapi belum juga ada balasan dari Alec, dan membuatnya sangat cemas.
Pertanyaan-pertanyan muncul di kepalanya. Apakah suratnya sampai, ataukah
memang Alec tidak mau membalasnya? Apakah Ben masih marah padanya? Ben tidak akan memaafkan dirinya jika memang
Alec membencinya. Tapi memang Alec pantas membencinya, bukankan dirinya yang
melanggar janjinya. Ben sudah mengkhianati janji mereka sendiri untuk tetap
selalu bersama. Ben sudah pasrah jika Alec memang membencinya.
“Alec tidak akan membencimu, Ben, terlebih
jika membaca suratmu,” Patricia menenangkan putranya.
“Lalu kenapa dia tidak membalas suratku?”
“Sabarlah, sayang, jarak Irlandia dengan
Amerika tidaklah dekat, membutuhkan waktu lama untuk mengirimkan surat.”
“Ataukah memang tidak sampai suratnya?” Ben
menduga.
“Mungkin saja. Tapi kau menuliskan
alamatnya dengan benar, kan?”
Ben mengangguk.
“Berarti pasti sampai.”
“Atau mungkin, Ben sudah diadopsi?” Ben
menjadi pucat dengan dugaan lain.
Patricia
tersenyum tipis, “kalau Alec sudah ada yang mengadopsi, tentunya akan ada
berita untukmu, kan, dari St. Peter.”
“Kalau mereka tidak mau memberitahuku?”
Patricia
tersenyum lagi, ini yang hal lain yang membuatnya jatuh hati pada Ben, Ben anak
yang cerdas, dia selalu bertanya, dan tidak pernah puas dengan jawaban yang
diberikan. “Mereka pasti memberitahumu, sayang.”
Ben mengigit
bibirnya. “Berarti Alec memang membenciku, dan dia tidak mau membalas suratku.”
“Ayolah, sayang, jangan begitu. Kita tunggu
satu bulan lagi, mungkin memang belum sampai.”
Ben terdiam,
dan menoleh pada ibu angkatnya, “Kalau memang tidak ada kabar yang memberi tahu
Alec sudah diadopsi atau belum, masih maukah Ma menjemputnya?” dengan sedikit
takut.
Patricia menghela
nafas dan tersenyum, “Tentu kalau kita ada rezeki untuk pergi ke sana. Kita
akan jemput Alec seperti janji kami padamu. Alec akan menjadi bagian dari
keluarga kita.”
Ben harus
tersenyum lega, dan langsung memeluk ibu angkatnya.
“Terima kasih, Ma.”
“Sama-sama, sayang, Ma sayang kamu, Ben.”
“Ben juga sayang ma,” Ben merona dengan
menyebutkan kata Ma, sesuatu yang sangat ingin ia ucapkan seumur hidupnya. Kini
dia memiliki Mama. ‘Alec aku punya Mama,
kau juga punya nanti, tunggu aku, Alec.’
***
Setelah malam itu, Alec perlahan-lahan mulai menerima dan menjadi
kehidupannya sebagai Adeline. Setiap ia bangun pagi, akan selalu ada pelayan
yang siap dengan sarapan paginya dan memandikannya, kemudian mendadaninya
seperti anak perempuan. Setelah itu menemani ibunda Mary di kamar
Seorang guru kepribradian didatangkan untuknya. Jane Watson, seorang guru
kepribadian keluarga, yang sudah mengajarkan Sir Dean, Sir Samuel dan Adeline.
Alec pun baru mengetahui jika anak laki-laki pun butuh guru kepribadian selain
guru privat untuk ilmu pengetahuan sebelum mereka masuk ke sekolah tingkat
lanjut bersama anak bangsawan dan orang kaya lainnya atau langsung masuk ke universitas. Mrs. Watson akan mengajarkan tata
krama dan membentuk kepribadian untuk menjadi seorang Lady sejati. Alec sampai
pusing membayangkan dirinya akan menjadi seorang Lady. ‘Ya Tuhan!’ Mrs. Watson sama sekali tidak berkomentar dengan
dirinya yang dijadikan Adeline dan harus menyerupai Adeline, karena Mrs. Watson
tahu benar keadaan Milady Mary.
Semua Alec pelajari, bahkan cara berkuda pun, Alec pun akan belajar.
Bagaimana layaknya seorang putri yang memakai gaun duduk di atas kuda dan
belajar mengendarainya. Ini yang membuat Alec bingung. Bagaimana ia bisa naik
kuda dengan gaun panjang, sementara ia belum pernah naik kuda seumur hidupnya?
Dan sebenarnya ia ingin bisa naik kuda seperti anak laki lainnya, gagah,
seperti Sir Dean dan Samuel. Tapi tidak akan mungkin terjadi, Alec harus
bersikap sepenuhnya layaknya anak perempuan.
Hubungan Alec dengan Sir Samuel masih sangatlah dingin. Alec sama sekali
tidak ingin berdekatan dengan kakak angkatnya yang satu ini. Selain wajahnya
yang selalu masam, juga ia yang selalu membentak-bentak pelayan. Alec tidak
akan berani mendekatinya, meski sesungguhnya Alec ingin sekali dekat dengan
Samuel seperti Dean. Sosok Samuel yang dingin menjadi suatu hal yang menarik
untuknya. Diam-diam Alec memperhatikan Samuel dari jauh. Cara ia berjalan, cara
ia makan yang sangat sopan, cara ia naik kuda, bahkan ia ingin sekali masuk ke
dalam kamar Samuel . Ia sempat melihat dari jauh ada mainan di atas meja yang tak jauh dari tempat tidur Samuel juga,
buku-buku tebal di lemari dan meja belajarnya. Alec jadi semakin ingin tahu
buku-buku apa saja itu sampai disimpan di kamarnya dan tidak disimpan di ruang
baca?
Dari pelajaran-pelajaran yang telah diajarkan Mrs. Watson, ada satu yang
belum diajarkan pada Alec dan Alec sudah sangat menunggunya. Tapi sepertinya
Mrs. Watson tidak mahir di bidangnya, jadi sepertinya tidak akan diajarkan oleh
Mrs. Watson, meski Alec ingin sekali belajar. Alec ingin bisa seperti Sir Dean
dan Sir Samuel memainkannya. Akhirnya Alec hanya bisa memandanginya dari jauh
dengan keinginan yang membludak.
Namun akhirnya dia tidak dapat menahannya. Diliriknya dari jauh benda
tersebut dan pelan-pelan didekatinya, dan duduk di sana. Alec membuka
penutupnya dan melihat tuts hitam putih. Sudah sejak dulu Alec mengagumi alat
musik ini dan ingin bisa memainkannya. Bukan karena Sir Dean atau Sir Samuel
yang memainkannya, tapi karena memang Alec suka akan suaranya. Di St. Peter ada
piano yang biasa mengiringi mereka paduan suara, dan beberapa anak bisa
memainkannya, Alec-pun ingin bisa. Tapi sekali lagi, karena kesehatanannya,
Alec tidak pernah dizinkan untuk berlatih.
Dengan
malu-malu Alec menekan salah satu tutsnya. Satu tapi sudah terdengar indah. Ia
menekan tuts yang lain, kemudian yang lain lagi, sampai Alec tersenyum sendiri.
Dia bermain piano!
“Tertarik dengan benda hitam ini?” suara hangat Dean
mengejutkannya.
Alec pun
tersenyum manis.
“Kenapa tak kaumainkan?”
Alec
menggeleng, “Aku nggak bisa memainkannya.”
Dean tersenyum,
“Tidak bisa memainkannya?”
Alec
menggeleng,
Dean menghela
nafas dengan tersenyum dan duduk di samping Alec. “Mau dengar satu lagu?”
Alec mengangguk
pasti dengan tersenyum girang.
Dan Alecpun
mengendengarkan sebuah lagu yang dimainkan secara lembut, dan enak didengar,
berbeda sekali dengan waktu itu yang ia dengar. Pastilah yang itu Sir Samuel
yang memainkannya, bukan Sir Dean.
Alec tersenyum
kagum, hingga akhir lagu dan langsung memberi tepukan tangan.
“Kau suka piano, ya?”
Alec mengangguk,
“Tapi aku nggak bisa mainnya.”
“Bagaimana kalau aku yang mengajarimu,” tawar Dean
tiba-tiba mengejutkan Alec.
“Mengajariku?” Alec terpaku.
Dean
mengangguk. “Yah, sebenarnya Samuel yang
lebih cocok mengajarimu, dia jauh lebih pintar bermainnya, dibanding aku.
Kuberi tahu, Samuel pandai di segala hal, kepandaiannya melebihi aku,” Dean
tersenyum geli. “Tapi jangan takut, aku juga bisa mengajarimu, kok.”
Alec masih terpaku,
kakaknya ini mau mengajarinya bermain piano?
“Bagaimana, kau mau?” tanya Dean lagi,
larena belum ada jawaban dari Alec.
Alec tersenyum
dan mengangguk pasti.
“Baiklah, kita mulai besok.”
Alec tersenyum
lagi.
“Kumainkan satu lagu lagi, ya, ” Dean tersenyum dan memulai lagi satu
lagu yang membuat Alec terpana dan semakin kagum.
Alec
mendengarkan permainan kakaknya, dan membuat Dean lengkap di mata Alec sebagai
kakak yang paling hebat di dunia. Alec mendekap lengan kakanya dan dipeluknya
erat.
Dean merasakan
lengannya didekap Alec, ia harus tersenyum. Alec memang seperti anak perempuan.
Dari jauh,
sepasang mata memperhatikan mereka dengan rasa cemburu. Setelah ibunya diambil
anak itu, sekarang kakaknya pula diambil. Lama-lama ia mencuri seluruh
perhatian dan kasih sayang dari semua orang yang ada di sini. Anak itu harus
disingkirkan. Tapi harus dengan cara yang halus.
**
Di suatu siang saat Alec baru saja menyelesaikan pelajarannya bersama Mrs.
Watson. Rumah kelihatan lengang. Ia tahu Ayahnya dan kakaknya Dean sedang
pergi, hingga tinggal Samuel dan dirinya yang berada di rumah, dan tentu saja
ibunya yang berada di kamarnya.
Perasaannya masih kalut dengan pelajaran yang baru saja ia pelajari. Ia
sebenarnya menyukai pelajaran-pelajaran baru yang diberikan Mrs. Watson, baru
dan menarik dan iapun menyukai Mrs. Watson, hanya saja ia sedikit mulai
tertekan dengan segala peraturan dan tata krama yang diajarkan. Bagaimana cara
ia berjalan, bagaimana cara ia duduk, bagaimana cara ia makan di meja makan
yang basar, dan bagaimana cara ia berbicara pada orang yang lebih tua dengan
pemilihan-pemilihan kata yang tepat. Sungguh menyesakkan. Masih kurangkah sopan
santun yang diajarkan di St Peter? Ia tahu bagaimana cara bersikap dan
berbicara di depan orang yang lebih tua, karena kalau tidak begitu, tidak akan
ada yang mau mengadopsi mereka dengan cap anak tidak tahu sopan santun. Tapi
tentu ia tahu, yang ia perankan adalah anak perempuan, bukan anak laki-laki.
Mungkin tidak terlalu sulit jika dia harus memerankan anak laki-laki kaya
dengan segala peraturan yang ada, tapi ini, dia memerankan Adeline, seorang
putri bangsawan! Alec hanya bisa menarik nafas dalam-dalam mencoba untuk lebih
menerimanya.
Dan Alec baru akan kembali ke kamarnya, saat melihat pintu kamar Samuel
sedikit terbuka. Sudah lama ia Alec ingin masuk ke dalam kamar kakaknya yang
satu ini dengan rasa keingin-tahuan yang besar. Ia tahu, Samuel tidak ada di
kamarnya, entah kemana. Alec melirik kiri kanan untuk memastikan keadaan aman,
dan masuk ke dalam.
Alec langsung
ternganga dengan mainan di atas meja, setinggi dadanya. Mainan yang lengkap
dengan prajurit –prajurit kecil, meriam, pasukan berkuda, dan benteng
pertahanan, bahkan ada sebuah kapal perang di sebelah sisinya. Alec takjub
melihatnya. Ia membungkuk untuk melihat detail dari unit-unit kecil ini. Alec
belum pernah melihat mainan seperti ini. Ia bahkan tidak tahu ada mainan
seperti ini.
“HEH, JANGAN PEGANG MAKETKU!!!” hardikan
keras mengagetkan Alec membuatnya melonjak, terlebih dengan tahu suara siapa
itu.
Alec langsung
mundur menjauh dari meja itu, “Aku nggak pegang apa-apa, cuma lihat!” sahutnya
langsung.
Samuel langsung
memeriksa maket perangnya kesayangannya, apa ada unit yang hilang atau
rusak. Butuh beberapa hari untuk
menyusun kembali maket ini seperti strategi yang diterapkan sebelumnya, sebelum
ia meluluh lantakkan karena anak ini. Dan sekarang anak ini beraninya masuk ke
kamarnya. ‘Anak nggak tahu sopan santun!’
Ia semakin benci anak ini.
“Ngapain kamu di sini?” hardiknya lagi.
Alec mengkeret.
“Maaf. Cuma mau lihat itu. Mainannya bagus,” ucap malu-malu.
“Ini bukan mainan tahu, ini adalah Medan
Pertempuran. Nggak bisa lihat apa, ada prajurit dan meriam?” sahut Samuel
sinis.
“Aku tahu, itu perang –perangan. Aku baca di
buku. Aku juga pengen main.”
Samuel
terkatup. “Kamu nggak boleh main ini. Kamu kan anak perempuan, mana boleh main
ini.”
Alec tercekat
dengan ucapan Samuel. Ucapan yang sangat mengena di dirinya. ‘Ia sekarang adalah anak perempuan.’ Setelah tadi 3 jam terkungkung dalam pelajaran
tata krama seorang perempuan yang membuatnya sesak, kini kalimat itu semakin
menguatkan dirinya kini, siapa Alec sekarang. Ia terpucat, dan tubuhnya
langsung bergetar.
Samuel melihat
perubahan Alec, anak ini termakan ucapannya. Samuel tersenyum kemenangan,
“Ya, kan, kamu sudah jadi anak perempuan,
nggak boleh mainan beginian. Mainanmu itu boneka kepunyaan Edele, dan rumah
bonekanya yang tingginya saja setinggi badan kamu. Itu mainan kamu, bukan ini.”
“Aku bukan anak perempuan,” ucap Alec
lirih.
Samuel menengok
dan melihat sosok Edele yang ada di hadapannya, dari ujung rambut hingga ujung
kaki.
“Pakai baju Edele, rambut ikat kuda,
berpita pula, apa bukan anak perempuan namanya?”
Bibir Alec
semakin bergetar. ‘Ia anak perempuan’, begitu kuat di telinganya. Bukan, ia
bukan anak perempuan.
“AKU BUKAN ANAK PEREMPUAN!” pekiknya
tiba-tiba dengan berlari keluar kamar, mengagetkan Samuel.
Tapi Samuel
tersenyum dengan puasnya.
Alec masuk ke kamarnya
dengan menangis, dan langsung melepas gaun yang dipakainya.
“Aku bukan Adeline, aku bukan Adeline, aku
bukan Adeline!” desisnya berurai air mata, dengan membuka seluruh pakaiannya .
“Adeline!?” seruan kaget mengagetkanya.
Dilihatnya Guru kepribadiannya terkaget dengan apa yang dilakukannya.
“Apa yang kau lakukan, sayang?” dengan
paniknya.
“Aku bukan, Adeline, aku bukan anak
perempuan, aku Alec, dan aku anak laki-laki!” pekiknya menangis.
Jane terkatup.
“Ow, Alec,” dan langsung mendekati bocah yang hampir histeris. Langsung
dipeluknya erat untuk menghentikan dirinya membuka seluruh pakaiannya hingga
tak tersisa.
“Shss, Alec sayang, Alec sayang..., kenapa
sayang?” dengan menenangkannya.
Alec langsung
jatuh di pelukan guru kepribadian keluarga ini, dan menangis di sana.
“Aku bukan Adeline, aku Alec, aku anak
laki-laki!”
“Tentu kau bukan Adeline, Nak, kau, Alec,
dan kau anak laki-laki.”
“Lalu kenapa aku berpakaian seperti
Adeline, seperti anak perempuan?”
“Karena Milady menginginkanmu menjadi
Adeline, dia membutuhkanmu, Alec, Milady membutuhkanmu menjadi Adeline.”
“Tapi itu tidak normal!”
“Memang tidak normal.”
Alec terkatup.
Jane menghela
nafas. Sejak pertama ia bertemu Alec sebulan yang lalu, dan melihat penerimaan
Alec sebagai Adeline, Jane tahu cepat ataupun lambat hal ini akan terjadi. Dan
memang terjadi. Untunglah saat ini Lord Winchester dan Dean sedang keluar, dan
hanya ada Samuel, jadi tidak akan menyakitkan mereka jika mendengar ini.
“Alec, ingatkah kau, saat pertama kali kita
bertemu, dan aku menanyakan sebuah pertanyaan padamu?”
Alec terdiam
dan mencoba untuk mengingatnya.
“Kau akan dipanggil Adeline, dan menjadi Adeline, kau
tidak akan apa-apa dengan semua itu?’
Alec mengangguk
lirih.
“Dan kau ingat apa jawabannya saat itu?”
Alec mengangguk
lirih, ‘Untuk Lord Winchester dan Milady.’
“Dan kau pun masih ingat apa alasanmu?”
Sekali lagi
Alec mengangguk. “Aku menyayangi mereka. Mereka mengadopsiku. Mereka orang
tuaku, orang tua yang tak pernah kumiliki. Aku menyayangi mereka.”
Jane Watson mengangguk, “Dan kau bersedia melakukannya untuk mereka, meski itu artinya
kau menjadi Adeline?”
Alec mengangguk
lirih.
“Untuk berapa lama?” Jane mengulang pertanyaan yang dulu pernah diberikan
pada Alec.
Alec terkatup
dan mengingat jawabannya dulu.
“Selama yang mereka butuhkan,” dan ia langsung tercekat
sendiri. Alec menghambur ke pelukan gurunya dan menangis di sana.
“Tidak apa-apa, Alec, tidak apa,” Jane
mengusap-ucap punggungnya penuh kasih sayang.
Cukup lama Alec
menangis di sana, hingga akhirnya berhenti dan mau untuk memakai baju Adeline
lagi.
Jane mengusap
airmata Alec, dan tersenyum.
“Kau anak yang kuat, Alec. Meski kau
menjadi Adeline, hatimu dan di dalam sini haruslah tetap Alec,” Jane menyentuh
dadanya. “Karena itulah kau yang sebenarnya, tidak boleh berubah.”
Alec
mengangguk, dan memeluknya lagi.
“Kau ingin bertemu Milady? Semoga beliau
tidak sedang istirahat.”
Alec hanya
mengangguk, dan pasrah saat Mrs. Jane menggendongnya keluar kamar.
Dan untunglah
Milady tidak sedang istirahat. Beliau duduk di tempat tidur bertumpu pada
beberapa bantal besar di belakang. Dan tentu saja Milady Mary terkaget dengan
sosok digendong oleh Jane.
“Edele?” wajah cemas tampak di wajahnya.
“Kenapa sayang?” dengan mengulurkan tangannya meminta putrinya.
Alec naik ke
tempat tidur dan langsung meringkuk di pelukan ibu angkatnya yang menerimanya
dan mendekap erat putri kesayangannya ini.
“Ssh... mama di sini, sayang... mama di
sini...,” Mary mengusap-usap kepala Adeline, dan Alec pun tertidur di sana.
Jane tahu siapa
yang memulai hal ini dan membuat Alec gundah, tapi tak bijak pula bila ia
melaporkannya pada Lord Winchester. Ia tahu bagaimana Lord, dan Jane tidak
ingin memberi masalah pada Samuel, karena sebenarnya Samuel pun terluka, dengan
perhatian yang kini tertuju pada Alec.
Sepasang mata
kembali melihat dengan rasa cemburu dan amarah yang memuncak, melihat sosok
yang dibencinya itu meringkuk manja di pelukan ibunya yang belum sehat benar.
Adeline dulu pun tidak semanja ini. Ini
sudah kelewat batas. Dan sekarang jelas, seluruh rumah ini sudah terperdayai
dengan kebohongan ini semua, bahkan Mrs. Watson, yang ia harapkan menjadi orang
yang paling rasional dibanding semua orang di rumah sini. Tapi apa nyatanya
Mrs. Watson pun mendukung bahkan melindungi anak itu, mereka semua mendukung
anak itu menjadi Adeline. Sungguh memuakkan!
Samuel mendengus
kesal tingkat satu merasakan kemarahan yang tidak bisa ia tahan lagi, dan
langsung menuju kamar Adeline dan membuka lemarinya. Dilihatnya gaun dan
pakaian Adeline yang masih tersimpan rapi selama tiga tahun. Memang sudah salah, menyimpan gaun dan
pakaian Adeline, sementara Adelinenya pun sudah tidak ada. Ini harus
dienyahkan.
Dengan penuh emosi
ia mengambil semua pakaian itu semampu tangannya mendekapnya, dan langsung
membawanya keluar.
“Tuan Muda Samuel?” Emma tercekat dengan
sosok penuh amarah keluar dari kamar nona mudanya dengan membawa pakaian
Adeline. “Mau kau bawa kemana, Tuan?” serunya seraya mengejar Samuel yang
keluar dari rumah melalui pintu belakang.
Panggilan Emma
tidak ia hiraukan. Ia tidak peduli apa akibatnya jika ia melakukannya ini, tapi
yang pasti apa yang dipegangnya ini harus dimusnahkan.
Sampai di
halaman samping dekat dapur, Samuel menjatuhkan tumpukan pakaian-pakaian
Adeline begitu saja ke tanah.
Nafasnya masih
memburu saat ia masuk ke dapur untuk mengambil kayu bakar dari kompor.
“Tuan? Apa yang akan kau lakukan?” Emma
semakin panik, terlebih dengan melihat Samuel membawa kayu bakar yang membara
dan menuju tumpukan pakaian Adeline. Da sudah menduga apa yang akan dilakukan
Samuel
“TUAN!? JANGAN!!! TUAN!!!”
Terlambat,
Samuel sudah terlanjur melempar kayu bakar itu ke atas tumpukan pakaian
Adeline, dan dengan cepat lidah api itu menyambar kain-kain bagus yang
berbentuk gaun milik Adeline.
“NAH, BIAR KALIAN TAHU, ADELINE SUDAH TIDAK
ADA, ADELINE SUDAH PERGI TIGA TAHUN YANG LALU!!!” pekiknya histeris.
Seluruh pelayan
terpaku menyaksikan sesuatu yang di luar dugaan mereka. Mereka melihat
kemarahan tuan muda mereka yang baru berusia 13 tahun, sudah mendekati di luar
kewarasan. Mereka pun cemas, Tuan Mudanya memiliki penyakit yang sama dengan
Milady.
“SAMUEL!!!!” hardikan keras dan lantang
terdengar tak jauh dari mereka.
Semua mata
menoleh ke sumber suara dan terpaku, terlebih Samuel. Di sana ayahnya
menatapnya penuh kemarahan! Ayahnya lebih marah besar. Juga Dean yang berada di
sebelah ayahnya yang memandangnya kecewa. Dunia Samuel terasa hancur menimpa
kepalanya.
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar