Sabtu, 17 November 2012

Beauty Love Brother - Bagian 18


Rating : K+

Genre : Family

Character : Alec, Ben, Dean, Sam


Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?

ENJOY
CHAPTER 18

Sementara Alec baru memulai untuk hidup di kehidupan barunya sebagai Adeline, jauh di sana menyebrangi lautan, Ben sudah menikmati kehidupan barunya sebagai bagian dari keluarga Wesson.
Keluarga Wesson bukanlah keluarga bangsawan ataupun keluarga kaya, tapi mereka memiliki sebidang lahan untuk mereka tanami jagung, dan peternakan sapi dan ayam, yang lebih dari cukup untuk menghidupi mereka, dan Ben cukup bersyukur mendapat Kevin dan Patricia Wesson sebagai orang tuanya. Mereka benar-benar pasangan suami istri yang baik dan sangat menyayangi Ben. Sebagai satu-satunya putra mereka yang telah mereka tunggu setelah 10 tahun pernikahan mereka, Ben menjadi pusat perhatian dan kasih sayang mereka. Setiap malam, Patricia selalu menemani Ben dan membacakan cerita sebelum tidur, meski menurut Ben dia sudah terlalu besar untuk hal-hal seperti itu. Dia sudah 11 tahun! Setiap pagi, ibunya menyiapkan sarapan yang sangat menyehatkan, roti, telur, dan susu murni, langsung dari peternakan mereka. Juga Kevin yang mengajarkan bagaimana memerah sapi, atau memilih telur-telur yang bagus, atau melihat telur-telur itu menetas. Semuanya menjadi hal-hal baru untuk Ben, dan ia sangat menikmatinya. Namun yang lebih membuatnya senang adalah ayah dan ibu angkatnya senang bermain musik dan bernyanyi. Sang ayah mahir dalam memainkan alat musik piano, bodran dan flute, sementara ibunya pandai bernyanyi dan memiliki suara yang bagus, hingga hampir setiap malam selepas makan malam, ada pertunjukan kecil di rumah dengan Ben dan ibunya bernyanyi bersama diringi sang ayah. Ben sangat menyukainya. Dia sangat bersyukur mendapatkan mereka, dan tentunya berharap Alec di sana. Ben tidak pernah melupakan Alec satu haripun. Setiap ia mulai belajar hal-hal baru, ia tidak pernah lupa untuk mengirimkan apa yang ia pelajari dan ia lihat kepada Alec melalui hatinya, dan berharap Alec dapat menerimanya.  Ia semakin tidak sabar untuk segera tahun depan, karena ayah ibunya sudah berjanji untuk kembali ke Amerika menjemput Alec. Terlebih setelah satu bulan berlalu sejak ia mengirimkan surat pada Alec, memberi kabar tentang keadaannya dan keluarga barunya. Tapi belum juga ada balasan dari Alec, dan membuatnya sangat cemas. Pertanyaan-pertanyan muncul di kepalanya. Apakah suratnya sampai, ataukah memang Alec tidak mau membalasnya? Apakah Ben masih marah padanya?  Ben tidak akan memaafkan dirinya jika memang Alec membencinya. Tapi memang Alec pantas membencinya, bukankan dirinya yang melanggar janjinya. Ben sudah mengkhianati janji mereka sendiri untuk tetap selalu bersama. Ben sudah pasrah jika Alec memang membencinya.

     “Alec tidak akan membencimu, Ben, terlebih jika membaca suratmu,” Patricia menenangkan putranya.
    “Lalu kenapa dia tidak membalas suratku?”
    “Sabarlah, sayang, jarak Irlandia dengan Amerika tidaklah dekat, membutuhkan waktu lama untuk mengirimkan surat.”
    “Ataukah memang tidak sampai suratnya?” Ben menduga.
    “Mungkin saja. Tapi kau menuliskan alamatnya dengan benar, kan?”
Ben mengangguk. “Berarti pasti sampai.”
    “Atau mungkin, Ben sudah diadopsi?” Ben menjadi pucat dengan dugaan lain.
Patricia tersenyum tipis, “kalau Alec sudah ada yang mengadopsi, tentunya akan ada berita untukmu, kan, dari St. Peter.”
    “Kalau mereka tidak mau memberitahuku?”
Patricia tersenyum lagi, ini yang hal lain yang membuatnya jatuh hati pada Ben, Ben anak yang cerdas, dia selalu bertanya, dan tidak pernah puas dengan jawaban yang diberikan. “Mereka pasti memberitahumu, sayang.”
Ben mengigit bibirnya. “Berarti Alec memang membenciku, dan dia tidak mau membalas suratku.”
    “Ayolah, sayang, jangan begitu. Kita tunggu satu bulan lagi, mungkin memang belum sampai.”
Ben terdiam, dan menoleh pada ibu angkatnya, “Kalau memang tidak ada kabar yang memberi tahu Alec sudah diadopsi atau belum, masih maukah Ma menjemputnya?” dengan sedikit takut.
Patricia menghela nafas dan tersenyum, “Tentu kalau kita ada rezeki untuk pergi ke sana. Kita akan jemput Alec seperti janji kami padamu. Alec akan menjadi bagian dari keluarga kita.”
Ben harus tersenyum lega, dan langsung memeluk ibu angkatnya.
    “Terima kasih, Ma.”
    “Sama-sama, sayang, Ma sayang kamu, Ben.”
    “Ben juga sayang ma,” Ben merona dengan menyebutkan kata Ma, sesuatu yang sangat ingin ia ucapkan seumur hidupnya. Kini dia memiliki Mama. ‘Alec aku punya Mama, kau juga punya nanti, tunggu aku, Alec.’

***

Setelah malam itu, Alec perlahan-lahan mulai menerima dan menjadi kehidupannya sebagai Adeline. Setiap ia bangun pagi, akan selalu ada pelayan yang siap dengan sarapan paginya dan memandikannya, kemudian mendadaninya seperti anak perempuan. Setelah itu menemani ibunda Mary di kamar

Seorang guru kepribradian didatangkan untuknya. Jane Watson, seorang guru kepribadian keluarga, yang sudah mengajarkan Sir Dean, Sir Samuel dan Adeline. Alec pun baru mengetahui jika anak laki-laki pun butuh guru kepribadian selain guru privat untuk ilmu pengetahuan sebelum mereka masuk ke sekolah tingkat lanjut bersama anak bangsawan dan orang kaya lainnya atau langsung masuk ke universitas. Mrs. Watson akan mengajarkan tata krama dan membentuk kepribadian untuk menjadi seorang Lady sejati. Alec sampai pusing membayangkan dirinya akan menjadi seorang Lady. ‘Ya Tuhan!’ Mrs. Watson sama sekali tidak berkomentar dengan dirinya yang dijadikan Adeline dan harus menyerupai Adeline, karena Mrs. Watson tahu benar keadaan Milady Mary.

Semua Alec pelajari, bahkan cara berkuda pun, Alec pun akan belajar. Bagaimana layaknya seorang putri yang memakai gaun duduk di atas kuda dan belajar mengendarainya. Ini yang membuat Alec bingung. Bagaimana ia bisa naik kuda dengan gaun panjang, sementara ia belum pernah naik kuda seumur hidupnya? Dan sebenarnya ia ingin bisa naik kuda seperti anak laki lainnya, gagah, seperti Sir Dean dan Samuel. Tapi tidak akan mungkin terjadi, Alec harus bersikap sepenuhnya layaknya anak perempuan.

Hubungan Alec dengan Sir Samuel masih sangatlah dingin. Alec sama sekali tidak ingin berdekatan dengan kakak angkatnya yang satu ini. Selain wajahnya yang selalu masam, juga ia yang selalu membentak-bentak pelayan. Alec tidak akan berani mendekatinya, meski sesungguhnya Alec ingin sekali dekat dengan Samuel seperti Dean. Sosok Samuel yang dingin menjadi suatu hal yang menarik untuknya. Diam-diam Alec memperhatikan Samuel dari jauh. Cara ia berjalan, cara ia makan yang sangat sopan, cara ia naik kuda, bahkan ia ingin sekali masuk ke dalam kamar Samuel . Ia sempat melihat dari jauh  ada mainan di atas meja yang  tak jauh dari tempat tidur Samuel juga, buku-buku tebal di lemari dan meja belajarnya. Alec jadi semakin ingin tahu buku-buku apa saja itu sampai disimpan di kamarnya dan tidak disimpan di ruang baca?

Dari pelajaran-pelajaran yang telah diajarkan Mrs. Watson, ada satu yang belum diajarkan pada Alec dan Alec sudah sangat menunggunya. Tapi sepertinya Mrs. Watson tidak mahir di bidangnya, jadi sepertinya tidak akan diajarkan oleh Mrs. Watson, meski Alec ingin sekali belajar. Alec ingin bisa seperti Sir Dean dan Sir Samuel memainkannya. Akhirnya Alec hanya bisa memandanginya dari jauh dengan keinginan yang membludak.

Namun akhirnya dia tidak dapat menahannya. Diliriknya dari jauh benda tersebut dan pelan-pelan didekatinya, dan duduk di sana. Alec membuka penutupnya dan melihat tuts hitam putih. Sudah sejak dulu Alec mengagumi alat musik ini dan ingin bisa memainkannya. Bukan karena Sir Dean atau Sir Samuel yang memainkannya, tapi karena memang Alec suka akan suaranya. Di St. Peter ada piano yang biasa mengiringi mereka paduan suara, dan beberapa anak bisa memainkannya, Alec-pun ingin bisa. Tapi sekali lagi, karena kesehatanannya, Alec tidak pernah dizinkan untuk berlatih.
Dengan malu-malu Alec menekan salah satu tutsnya. Satu tapi sudah terdengar indah. Ia menekan tuts yang lain, kemudian yang lain lagi, sampai Alec tersenyum sendiri. Dia bermain piano!
     “Tertarik dengan benda hitam ini?” suara hangat Dean mengejutkannya.
Alec pun tersenyum manis.
     “Kenapa tak kaumainkan?”
Alec menggeleng, “Aku nggak bisa memainkannya.”
Dean tersenyum, “Tidak bisa memainkannya?”
Alec menggeleng,
Dean menghela nafas dengan tersenyum dan duduk di samping Alec. “Mau dengar satu lagu?”
Alec mengangguk pasti dengan tersenyum girang.

Dan Alecpun mengendengarkan sebuah lagu yang dimainkan secara lembut, dan enak didengar, berbeda sekali dengan waktu itu yang ia dengar. Pastilah yang itu Sir Samuel yang memainkannya, bukan Sir Dean.
Alec tersenyum kagum, hingga akhir lagu dan langsung memberi tepukan tangan.
     “Kau suka piano, ya?
Alec mengangguk, “Tapi aku nggak bisa mainnya.
     “Bagaimana kalau aku yang mengajarimu,” tawar Dean tiba-tiba mengejutkan Alec.
    “Mengajariku?” Alec terpaku.
Dean mengangguk.  “Yah, sebenarnya Samuel yang lebih cocok mengajarimu, dia jauh lebih pintar bermainnya, dibanding aku. Kuberi tahu, Samuel pandai di segala hal, kepandaiannya melebihi aku,” Dean tersenyum geli. “Tapi jangan takut, aku juga bisa mengajarimu, kok.”
Alec masih terpaku, kakaknya ini mau mengajarinya bermain piano?
    “Bagaimana, kau mau?” tanya Dean lagi, larena belum ada jawaban dari Alec.
Alec tersenyum dan mengangguk pasti.
    “Baiklah, kita mulai besok.”
Alec tersenyum lagi.
    “Kumainkan satu lagu lagi, ya, ” Dean tersenyum dan memulai lagi satu lagu yang membuat Alec terpana dan semakin kagum.
Alec mendengarkan permainan kakaknya, dan membuat Dean lengkap di mata Alec sebagai kakak yang paling hebat di dunia. Alec mendekap lengan kakanya dan dipeluknya erat.
Dean merasakan lengannya didekap Alec, ia harus tersenyum. Alec memang seperti anak perempuan.

Dari jauh, sepasang mata memperhatikan mereka dengan rasa cemburu. Setelah ibunya diambil anak itu, sekarang kakaknya pula diambil. Lama-lama ia mencuri seluruh perhatian dan kasih sayang dari semua orang yang ada di sini. Anak itu harus disingkirkan. Tapi harus dengan cara yang halus.

**

Di suatu siang saat Alec baru saja menyelesaikan pelajarannya bersama Mrs. Watson. Rumah kelihatan lengang. Ia tahu Ayahnya dan kakaknya Dean sedang pergi, hingga tinggal Samuel dan dirinya yang berada di rumah, dan tentu saja ibunya yang berada di kamarnya.
Perasaannya masih kalut dengan pelajaran yang baru saja ia pelajari. Ia sebenarnya menyukai pelajaran-pelajaran baru yang diberikan Mrs. Watson, baru dan menarik dan iapun menyukai Mrs. Watson, hanya saja ia sedikit mulai tertekan dengan segala peraturan dan tata krama yang diajarkan. Bagaimana cara ia berjalan, bagaimana cara ia duduk, bagaimana cara ia makan di meja makan yang basar, dan bagaimana cara ia berbicara pada orang yang lebih tua dengan pemilihan-pemilihan kata yang tepat. Sungguh menyesakkan. Masih kurangkah sopan santun yang diajarkan di St Peter? Ia tahu bagaimana cara bersikap dan berbicara di depan orang yang lebih tua, karena kalau tidak begitu, tidak akan ada yang mau mengadopsi mereka dengan cap anak tidak tahu sopan santun. Tapi tentu ia tahu, yang ia perankan adalah anak perempuan, bukan anak laki-laki. Mungkin tidak terlalu sulit jika dia harus memerankan anak laki-laki kaya dengan segala peraturan yang ada, tapi ini, dia memerankan Adeline, seorang putri bangsawan! Alec hanya bisa menarik nafas dalam-dalam mencoba untuk lebih menerimanya.
Dan Alec baru akan kembali ke kamarnya, saat melihat pintu kamar Samuel sedikit terbuka. Sudah lama ia Alec ingin masuk ke dalam kamar kakaknya yang satu ini dengan rasa keingin-tahuan yang besar. Ia tahu, Samuel tidak ada di kamarnya, entah kemana. Alec melirik kiri kanan untuk memastikan keadaan aman, dan masuk ke dalam.
Alec langsung ternganga dengan mainan di atas meja, setinggi dadanya. Mainan yang lengkap dengan prajurit –prajurit kecil, meriam, pasukan berkuda, dan benteng pertahanan, bahkan ada sebuah kapal perang di sebelah sisinya. Alec takjub melihatnya. Ia membungkuk untuk melihat detail dari unit-unit kecil ini. Alec belum pernah melihat mainan seperti ini. Ia bahkan tidak tahu ada mainan seperti ini.

     “HEH, JANGAN PEGANG MAKETKU!!!” hardikan keras mengagetkan Alec membuatnya melonjak, terlebih dengan tahu suara siapa itu.
Alec langsung mundur menjauh dari meja itu, “Aku nggak pegang apa-apa, cuma lihat!” sahutnya langsung.
Samuel langsung memeriksa maket perangnya kesayangannya, apa ada unit yang hilang atau rusak.  Butuh beberapa hari untuk menyusun kembali maket ini seperti strategi yang diterapkan sebelumnya, sebelum ia meluluh lantakkan karena anak ini. Dan sekarang anak ini beraninya masuk ke kamarnya. ‘Anak nggak tahu sopan santun!’ Ia semakin benci anak ini.
     “Ngapain kamu di sini?” hardiknya lagi.
Alec mengkeret. “Maaf. Cuma mau lihat itu. Mainannya bagus,” ucap malu-malu.
   “Ini bukan mainan tahu, ini adalah Medan Pertempuran. Nggak bisa lihat apa, ada prajurit dan meriam?” sahut Samuel sinis.
   “Aku tahu, itu perang –perangan. Aku baca di buku. Aku juga pengen main.”
Samuel terkatup. “Kamu nggak boleh main ini. Kamu kan anak perempuan, mana boleh main ini.”
Alec tercekat dengan ucapan Samuel. Ucapan yang sangat mengena di dirinya. ‘Ia sekarang adalah anak perempuan.’  Setelah tadi 3 jam terkungkung dalam pelajaran tata krama seorang perempuan yang membuatnya sesak, kini kalimat itu semakin menguatkan dirinya kini, siapa Alec sekarang. Ia terpucat, dan tubuhnya langsung bergetar.
Samuel melihat perubahan Alec, anak ini termakan ucapannya. Samuel tersenyum kemenangan,
   “Ya, kan, kamu sudah jadi anak perempuan, nggak boleh mainan beginian. Mainanmu itu boneka kepunyaan Edele, dan rumah bonekanya yang tingginya saja setinggi badan kamu. Itu mainan kamu, bukan ini.”
    “Aku bukan anak perempuan,” ucap Alec lirih.
Samuel menengok dan melihat sosok Edele yang ada di hadapannya, dari ujung rambut hingga ujung kaki.
    “Pakai baju Edele, rambut ikat kuda, berpita pula, apa bukan anak perempuan namanya?”
Bibir Alec semakin bergetar. ‘Ia anak perempuan’, begitu kuat di telinganya. Bukan, ia bukan anak perempuan.
    “AKU BUKAN ANAK PEREMPUAN!” pekiknya tiba-tiba dengan berlari keluar kamar, mengagetkan Samuel.
Tapi Samuel tersenyum dengan puasnya.

Alec masuk ke kamarnya dengan menangis, dan langsung melepas gaun yang dipakainya.
   “Aku bukan Adeline, aku bukan Adeline, aku bukan Adeline!” desisnya berurai air mata, dengan membuka seluruh pakaiannya .
   “Adeline!?” seruan kaget mengagetkanya. Dilihatnya Guru kepribadiannya terkaget dengan apa yang dilakukannya.
    “Apa yang kau lakukan, sayang?” dengan paniknya.
    “Aku bukan, Adeline, aku bukan anak perempuan, aku Alec, dan aku anak laki-laki!” pekiknya menangis.
Jane terkatup. “Ow, Alec,” dan langsung mendekati bocah yang hampir histeris. Langsung dipeluknya erat untuk menghentikan dirinya membuka seluruh pakaiannya hingga tak tersisa.
     “Shss, Alec sayang, Alec sayang..., kenapa sayang?” dengan menenangkannya.
Alec langsung jatuh di pelukan guru kepribadian keluarga ini, dan menangis di sana.
     “Aku bukan Adeline, aku Alec, aku anak laki-laki!”
     “Tentu kau bukan Adeline, Nak, kau, Alec, dan kau anak laki-laki.”
     “Lalu kenapa aku berpakaian seperti Adeline, seperti anak perempuan?”
     “Karena Milady menginginkanmu menjadi Adeline, dia membutuhkanmu, Alec, Milady membutuhkanmu menjadi Adeline.”
    “Tapi itu tidak normal!”
    “Memang tidak normal.”
Alec terkatup.
Jane menghela nafas. Sejak pertama ia bertemu Alec sebulan yang lalu, dan melihat penerimaan Alec sebagai Adeline, Jane tahu cepat ataupun lambat hal ini akan terjadi. Dan memang terjadi. Untunglah saat ini Lord Winchester dan Dean sedang keluar, dan hanya ada Samuel, jadi tidak akan menyakitkan mereka jika mendengar ini.
    “Alec, ingatkah kau, saat pertama kali kita bertemu, dan aku menanyakan sebuah pertanyaan padamu?”
Alec terdiam dan mencoba untuk mengingatnya.
    “Kau akan dipanggil Adeline, dan menjadi Adeline, kau tidak akan apa-apa dengan semua itu?’
Alec mengangguk lirih.
    “Dan kau ingat apa jawabannya saat itu?”
Alec mengangguk lirih, ‘Untuk Lord Winchester dan Milady.
    “Dan kau pun masih ingat apa alasanmu?”
Sekali lagi Alec mengangguk. “Aku menyayangi mereka. Mereka mengadopsiku. Mereka orang tuaku, orang tua yang tak pernah kumiliki. Aku menyayangi mereka.”
Jane Watson mengangguk, “Dan kau bersedia melakukannya untuk mereka, meski itu artinya kau menjadi Adeline?”
Alec mengangguk lirih.
     “Untuk berapa lama?” Jane mengulang pertanyaan yang dulu pernah diberikan pada Alec.
Alec terkatup dan mengingat jawabannya dulu.
     “Selama yang  mereka butuhkan,” dan ia langsung tercekat sendiri. Alec menghambur ke pelukan gurunya dan menangis di sana.
     “Tidak apa-apa, Alec, tidak apa,” Jane mengusap-ucap punggungnya penuh kasih sayang.
Cukup lama Alec menangis di sana, hingga akhirnya berhenti dan mau untuk memakai baju Adeline lagi.
Jane mengusap airmata Alec, dan tersenyum.
    “Kau anak yang kuat, Alec. Meski kau menjadi Adeline, hatimu dan di dalam sini haruslah tetap Alec,” Jane menyentuh dadanya. “Karena itulah kau yang sebenarnya, tidak boleh berubah.”
Alec mengangguk, dan memeluknya lagi.
    “Kau ingin bertemu Milady? Semoga beliau tidak sedang istirahat.”
Alec hanya mengangguk, dan pasrah saat Mrs. Jane menggendongnya keluar kamar.

Dan untunglah Milady tidak sedang istirahat. Beliau duduk di tempat tidur bertumpu pada beberapa bantal besar di belakang. Dan tentu saja Milady Mary terkaget dengan sosok digendong oleh Jane.

    “Edele?” wajah cemas tampak di wajahnya. “Kenapa sayang?” dengan mengulurkan tangannya meminta putrinya.
Alec naik ke tempat tidur dan langsung meringkuk di pelukan ibu angkatnya yang menerimanya dan mendekap erat putri kesayangannya ini.
    “Ssh... mama di sini, sayang... mama di sini...,” Mary mengusap-usap kepala Adeline, dan Alec pun tertidur di sana.

Jane tahu siapa yang memulai hal ini dan membuat Alec gundah, tapi tak bijak pula bila ia melaporkannya pada Lord Winchester. Ia tahu bagaimana Lord, dan Jane tidak ingin memberi masalah pada Samuel, karena sebenarnya Samuel pun terluka, dengan perhatian yang kini tertuju pada Alec. 

Sepasang mata kembali melihat dengan rasa cemburu dan amarah yang memuncak, melihat sosok yang dibencinya itu meringkuk manja di pelukan ibunya yang belum sehat benar. Adeline dulu pun tidak semanja ini.  Ini sudah kelewat batas. Dan sekarang jelas, seluruh rumah ini sudah terperdayai dengan kebohongan ini semua, bahkan Mrs. Watson, yang ia harapkan menjadi orang yang paling rasional dibanding semua orang di rumah sini. Tapi apa nyatanya Mrs. Watson pun mendukung bahkan melindungi anak itu, mereka semua mendukung anak itu menjadi Adeline. Sungguh memuakkan!

Samuel mendengus kesal tingkat satu merasakan kemarahan yang tidak bisa ia tahan lagi, dan langsung menuju kamar Adeline dan membuka lemarinya. Dilihatnya gaun dan pakaian Adeline yang masih tersimpan rapi selama tiga tahun. Memang sudah salah, menyimpan gaun dan pakaian Adeline, sementara Adelinenya pun sudah tidak ada. Ini harus dienyahkan.
Dengan penuh emosi ia mengambil semua pakaian itu semampu tangannya mendekapnya, dan langsung membawanya keluar.

    “Tuan Muda Samuel?” Emma tercekat dengan sosok penuh amarah keluar dari kamar nona mudanya dengan membawa pakaian Adeline. “Mau kau bawa kemana, Tuan?” serunya seraya mengejar Samuel yang keluar dari rumah melalui pintu belakang.

Panggilan Emma tidak ia hiraukan. Ia tidak peduli apa akibatnya jika ia melakukannya ini, tapi yang pasti apa yang dipegangnya ini harus dimusnahkan.

Sampai di halaman samping dekat dapur, Samuel menjatuhkan tumpukan pakaian-pakaian Adeline begitu saja  ke tanah.
Nafasnya masih memburu saat ia masuk ke dapur untuk mengambil kayu bakar dari kompor.

   “Tuan? Apa yang akan kau lakukan?” Emma semakin panik, terlebih dengan melihat Samuel membawa kayu bakar yang membara dan menuju tumpukan pakaian Adeline. Da sudah menduga apa yang akan dilakukan Samuel
    “TUAN!? JANGAN!!! TUAN!!!”
Terlambat, Samuel sudah terlanjur melempar kayu bakar itu ke atas tumpukan pakaian Adeline, dan dengan cepat lidah api itu menyambar kain-kain bagus yang berbentuk gaun milik Adeline.

    “NAH, BIAR KALIAN TAHU, ADELINE SUDAH TIDAK ADA, ADELINE SUDAH PERGI TIGA TAHUN YANG LALU!!!” pekiknya histeris.

Seluruh pelayan terpaku menyaksikan sesuatu yang di luar dugaan mereka. Mereka melihat kemarahan tuan muda mereka yang baru berusia 13 tahun, sudah mendekati di luar kewarasan. Mereka pun cemas, Tuan Mudanya memiliki penyakit yang sama dengan Milady.

   “SAMUEL!!!!” hardikan keras dan lantang terdengar tak jauh dari mereka.

Semua mata menoleh ke sumber suara dan terpaku, terlebih Samuel. Di sana ayahnya menatapnya penuh kemarahan! Ayahnya lebih marah besar. Juga Dean yang berada di sebelah ayahnya yang memandangnya kecewa. Dunia Samuel terasa hancur menimpa kepalanya.

TBC 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar