Sabtu, 17 November 2012

Beauty Love Brother - Bagian 19


Rating : K+

Genre : Family

Character : Alec, Ben, Dean, Sam


Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?

ENJOY

Chapter 19

Samuel masih terpaku dengan hardikan ayahnya, terlebih dengan tatapan kecewa Dean yang berdiri di samping ayahnya.

    “Matikan itu!” perintah John kepada pelayan yang berdiri tak jauh dari bara api, dan mendekati putra keduanya, dengan emosi yang memuncak. Dia tidak tidak tahu harus bersikap apa dengan Samuel, tapi yang pasti Samuel sudah kelewat batas.

Samuel terpaku tak bergerak saat ayahnya mendekatinya. Ia dapat melihat mata amarah ayahnya.
Samuel bahkan sudah dapat melihat tangan ayahnya melayang di udara siap mengenai wajahnya. Samuel sudah memejamkan mata siap dengan rasa sakit di pipinya.
    “Dean!”
Samuel masih terpaku untuk menyadari apa yang terjadi. Ia hanya mendengar.
Samuel memberanikan diri membuka mata dan terkaget, Dean sudah ada di hadapannya menghalangi tangan ayahnya.
    “Kumohon, pa,”  
    “Kau terlalu memanjakan adikmu.”
Dan Samuel merasakan pergelangan tangannya ditarik keras. “Sini, kamu!”
    “Pa!?”
Tapi seruan protes Dean tidak didengarnya, dan terus menarik Samuel masuk ke kamar.

Samuel tak berkutik saat ayahnya terus menarik tangannya dan menuju kamarnya.

Dan ia dilempar begitu saja ke dalam kamar hingga Samuel hampir jatuh tersungkur, dan mengunci pintunya.

   “Apa mau kamu, hah?” tatapan tajam ayahnya menusuknya. Kenapa ayahnya tidak mau mengerti juga.
Nafas Samuel memburu, penuh dengan marah dan kecewa. Air matanya mengalir di pipinya.
    “Edele sudah meninggal, pa...dia sudah tidak ada...”
John menarik nafas dalam-dalam, “Kamu pikir, papa tidak tahu itu.. kamu pikir papa tidak menyadarinya?”
    “Lalu untuk apa semua ini? Mengambil anak itu untuk mengganti Edele, untuk menjadi Edele?? Untuk apa menciptakan semua kebohongan ini, pa???”
    “Kau tahu untuk apa, Samuel...”
    “Untuk Mama? Papa tega membiarkan mama terkungkung dalam kebohongan. Papa tega membiarkan mama hidup dalam fantasi bahwa Edele masih hidup...”
    “Tapi lihat bagaimana mamamu setelah melihat Edele hidup kembali, lalu bandingkan dengan saat sebelumnya?”
Samuel semakin ingin menangis. “Papa tidak membuat mama sehat, papa hanya membuat mama semakin sakit! Papa membuat sakit semua orang di sini! Anak itu nggak seharusnya di sini! Anak itu nggak usah ada di sini!”
     “CUKUP!”
Samuel terpaku kaget dan merasakan pipinya panas. Akhirnya ayahnya memukulnya. Belum pernah sekalipun ayahnya memukulnya. Mungkin ayahnya keras dan galak, tapi tidak pernah sampai memukulnya. Semua sudah berubah!
Nafas John memburu seiring emosinya pada putranya. Samuel memang cerdas, begitu cerdasnya hingga tidak dapat melihat alasan di balik semua ini. Sesungguhnya ia kagum dengan Samuel, hanya saja kenapa sulit sekali Samuel seperti kakaknya, yang menurut dan mengikuti semua katanya.
John menarik nafas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya. Tidak, tidak ingin lebih menyakiti putranya, karena ia tahu, putranyapun tengah terluka.
     “Entah bagaimana lagi papa harus menjelaskanmu mengapa ini harus dilakukan. Tapi harus kita lakukan.
     “Papa kasih waktu seminggu ini, jika kau masih berbuat ulah, terpaksa Samuel, Papa akan kirim kau ke asrama untuk waktu yang lama. Lebih baik kau tidak usah ada di sini.”
Samuel terhenyak dengan ancaman ayahnya. Setelah tadi memukulnya, sekarang ayahnya akan mengirimnya ke asrama, demi anak itu!?
Samuel menatap ayahnya penuh amarah, nafasnya menderu. Tapi dibalas tajam ayahnya, yang mengartikan, ayahnya tidak main-main, ayahnya serius dengan ancamannya.
John menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu, Samuel tidak menyukai asrama, jadi ancaman tadi cukup mengena.
    “Kau dihukum tidak boleh keluar dari kamar ini hingga esok pagi. Makan malam akan diantar oleh Caleb,” John memberikan kalimat terakhirnya, sebelum keluar, meninggalkan Samuel yang masih terpaku penuh amarah.
BLAM.
KREK
    “Arrghhhhh!!!!!!!!” Samuel memekik sekerasnya begitu mendengar suara anak kunci diputar mengunci.

John masih mendengar teriakan Samuel saat ia mengunci kamar putranya. Ditariknya nafas dalam-dalam untuk mengendalikan emosinya. Saat ia mendongak, ia mendapati tatapan cemas dari Dean. Ia tahu Dean pasti menunggunya di luar dengan cemas. Dean takut terjadi apa-apa pada adik kesayangannya ini, terlebih jika harus terluka secara fisik.
    “Tenang, Dean, papa tidak melukai adikmu. Dia hanya butuh pengertian,” John tersenyum tipis. “Samuel tidak boleh keluar kamar hingga besok pagi.”
Dean mengangguk lega.

Dean menghela nafas lega saat ayahnya memastikan tidak ada tindakan yang di luar batas kepada adiknya. Ia tahu ayahnya sanggup melakukan sesuatu di luar kewajaran jika sudah di luar kesabarannya. Terlebih dengan ia hanya mendengar teriakan-teriakan Samuel tanpa tahu apa yang terjadi di dalam sana. Dan ia lega, ayahnya masih dapat menahannya.

Sekarang waktunya untuk melihat Alec. Ia tahu Alec mendengar yang diteriakkan Samuel, semua orang pastilah mendengarnya, dia hanya berharap ibunya tidak mendengarnya pula.

*

John masuk ke dalam kamar dan melihat sosok cantik tertidur pulas di atas tempat tidur yang besar itu. Kecantikannya tidak pernah pudar dari wajah wanita yang dicintainya seumur hidupnya dan telah menemaninya lebih dari 17 tahun.  Wanita yang telah membuat hidupnya terasa lengkap dan sempurna. Seorang wanita yang memiliki hati seputih salju dan selembut sutra, yang begitu mencintai putra-putranya. Namun karena begitu mencintainya, hingga tak sanggup untuk menanggung kehilangan. Kepergian Adeline memang begitu memukulnya. Putri tersayangnya, putri yang menjadi cahaya hidupnya, pergi meninggalkannya untuk selamanya. Adeline kecil yang baru berumur 8 tahun, harus meninggalkan semua orang yang sangat menyanyanginya, terlebih meninggalkan ibundanya yang begitu mencintainya, yang telah berjuang mempertaruhkan nyawanya saat berusaha membawa Adeline lahir ke dunia ini. Kepergian Adeline meninggalkan luka yang begitu dalam. Sudah tidak ada lagi senyum kebahagiaan di sana, sudah tidak ada lagi keceriaan di sana, yang ada hanyalah luka hingga mengikis kesehatannya. John tak sanggup lagi melihat wajah cantik itu terluka kembali. Perasaan takut menghinggapinya, jika Mary mendengar amukan Samuel dan terluka kembali. Dia tidak ingin Mary terluka, dan dia akan melakukan apapun untuk dapat menyembuhkan luka tersebut, untuk mengembalikan senyuman dan keceriaan juga kesehatannya seperti dulu, meski harus menciptakan sebuah kebohongan.
Disentuhnya tangan halus itu dan dikecupnya lembut.
    “Maafkan aku, Mary, maafkan aku,” lalu dikecupnya kening istrinya lembut dan erat penuh perasaan.
Kecupan lembut dan eratnya cukup membangunkan Mary dari tidurnya.
    “John?”
John tersenyum, “Ya, sayang..?”
    “Kau sudah pulang?”
John mengangguk.
Mary tersenyum lemah.
    “Edele tadi menangis, entah kenapa. Kutanya, dia tidak menjawab, hanya menangis di pelukanku.”
    “Iya...nanti akan kutanyakan. Edele sedang tidur sekarang, dan ada Dean yang menemaninya.” Namun ada perasaan lega di sana, Mary tidak mendengar amukan Samuel.
Mary tersenyum lega. Entah mengapa ada perasaan tenang jika Dean yang menjaga Edele.
    “Edele masih kecil dan perasaannya sangat halus, jangan sampai ada yang melukainya.”
John hanya mengangguk. Meski bukan Adeline yang ada di dalam sana, tetap sama Alec dan Adeline, sama-sama halus.
    “Sekarang istirahatlah, sayang, aku akan menemanimu di sini.”
Mary tersenyum dengan cantiknya. Digenggamnya tangan suaminya dan kembali memejamkan matanya.
John mengela nafas dalam-dalam, dan menikmati wajah cantik itu kembali beristirahat.
   
*

Saat Dean masuk ke kamar Alec, ia terkaget mendapati Alec sedang duduk di lantai meratap ke tembok menangis dengan ditemani Mrs. Watson di sampingnya, tak berpakaian, hanya terbalut pakaian dalam milik Adeline. Kaki Alec menempel di dadanya sementara tangannya di atas lutut dengan kepala tertunduk di atas tangannya, tapi Dean tahu Alec menangis.  Alec menangis dan tidak mau disentuh maupun ditenangkan oleh Mrs. Watson.

    “Dia melihat dan mendengar semuanya,” ucap Mrs. Watson dengan suara pelan.
Dean mengangguk, seperti yang sudah diperkirakan.
   “Biar kutemani, dia, Nyonya,” sahut Dean juga dengan suara pelan.
Jane mengangguk dan beranjak dari duduknya.
    “Alec sempat berontak dan melepas seluruh pakaiannya tadi,” bisik Jane melaporkan.
Dean terkatup dan mengerti alasannya. Ia hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
Dean sempat mengambil selimut tipis dari tempat tidur Alec dan diselimutinya tubuh kecil Alec sebelum duduk di samping Alec menggantikan tempat Mrs Watson. Alec tak berkutik dengan keberadaan Dean dan selimut yang menutupi tubuhnya.

    “Alec...?” Dean memanggilnya dengan hati-hati. 
Tidak ada sahutan, hanya isak tangis yang terdengar.
    “Hey...,” Dean masih bersikap tenang, dan memperhatikan gerak tubuh anak bertubuh kecil di sampingnya.
Masih belum ada sahutan. Deanpun menunggunya.

10 menit berlalu dan masih belum ada sahutan dari Alec, yang terdengar hanya suara isak tangisnya yang konstan. Dean masih menunggu.

    “Aku mau pulang...,” suara isaknya akhirnya terdengar. Kepalanya masih tertunduk rapat di atas tangan dan lututnya.
    “Pulang kemana?” sebuah pertanyaan retorik.
    “Ke Panti.”
    “Ke Panti? Ini kan rumah Alec, kau adik kami sekarang.”
    “Ini bukan rumahku, ini rumah Adeline, aku bukan Adeline.”
Dean terkatup sejenak. “Kau memang bukan Adeline, Alec.”
   “Aku nggak seharusnya jadi Adeline...,” sahut Alec, masih dengan posisi yang sama.
    “Kau memang tidak seharusnya menjadi Adeline.....,” Dean berhenti sejenak, mencari kata yang tepat untuk anak seumur dan secerdas Alec.  “Tapi kami membutuhkanmu menjadi Adeline, untuk Milady...”
Dean terkesiap dengan kepala Alec yang tiba-tiba terangkat dan mendongak kearahnya. Wajahnya merah dan sembab, matanya merah dan bengkak.
    “Itu nggak bener..., itu bohong....” isaknya. “Kita nggak seharusnya berbohong.
Dean menarik nafas dalam-dalam. “Yah, kita memang tidak seharusnya bohong. Tapi aku tidak keberatan, karena itu membuat kami memilikimu,” ucapnya sedikit memancing.
    “Aku bukan Adeline.”
Dean mengangguk, “Kau Alec, bukan Adeline. Tapi bukan berarti aku tidak bisa menyayangimu, kan...?”
Alec tercekat mendengarnya, tidak percaya.
Tapi Dean mengangguk dengan tersenyum. “Kami mencintaimu sebagai Alec, tapi Mama membutuhkanmu sebagai Adeline.”
Alec terkatup.
     “Aku juga sayang kakak, sayang Milady, tapi Sir Samuel tidak menyukaiku. Dia benci aku!”
Dean menghela nafas, “Dia bukan benci dirimu, tapi masih membutuhkan penyesuain, Alec, tapi nanti dia pasti akan menyukaimu.”
Tapi Alec menggeleng, “Aku mau pulang aja ke panti...,”dan menundukkan kepalanya lagi, dam kembali menangis, “Aku mau pulang...aku mau pulang...aku mau ketemu Ben....,”
Dean menarik nafas, dan menarik tubuh kecil Alec ke pelukannya, tapi Alec tetap bergeming dengan posisinya dan menangis.
Dean menunggunya.
Dan perlahan-lahan kepala Alec bersandar ke samping di pundak Dean dan terdengar suara hembusan nafas Alec yang teratur.
Dean harus tersenyum mengartikan Alec akhirnya tertidur karena kelelahan menangis.

Tepat saat Dean hendak memindahkan posisi Alec, pintu terbuka dan ayah mereka masuk untuk memeriksa keadaan Alec.
Dean hanya mengucapkan, “Sudah teratasi dengan baik” pada ayahnya, dan membuat wajah ayahnya tersenyum lega.

John masuk dan harus tersenyum dengan posisi Alec yang tertidur di lengan Dean.

   “Sini, biar ayah pindahkan,” dan mengangkat tubuh kecil itu pelan-pelan untuk dibaringkan di tempat tidur. John terkaget dengan Alec hanya terbalut baju dalam.
Dean harus menjelaskannya, dan John hanya mendesah penuh penyesalan.
John pun memakaikan Alec baju tidur milik Adeline, masih dengan Alec yang tertidur lelap.

Saat Alec telah terbalut pakaian tidur dan tertutupi selimut tebalnya, John tak kuasa mengingkari betapa Alec mirip dengan Mary saat tidur seperti ini. Ya, Adeline memang begitu menyerupai Mary, maka tak heran jika Alec pun menyerupai Mary.
John mengusap hangat rambut Alec dan mengecupnya,
    “Maafkan kami, Nak, akan kami bayar semua yang telah kau lakukan untuk kami.”
John mendongak dan melihat putra sulungnya yang memberikan padangan yang sama.
    “Terima kasih, nak.”
Dean hanya mengangguk.

Lepas dari kamar Adeline, Dean kembali ke kamarnya. Namun saat melewati kamar Samuel, ada perasaan mengganggu. Samuel sedang menjalani hukuman kurung di kamar hingga esok hari. Ia memikirkan bagaimana Samuel di sana. Bukan karena bentuk hukumannya yang menjadi pikirannya, tapi bagiamana perasaan Samuel saat ini. Ia tahu anak itu sedang dalam titik kemarahan tertinggi, melebih saat kemarin. Entah apa penyebabnya hingga Samuel sampai pada titik itu, tapi tentulah adalah hasil akumulasi dari perasaannya yang terpendam selama ini. Ia dapat merasakan sakit dan perihnya Samuel saat ini. Perasaan cemburu dan tidak menerima sosok pengganti Adeline, juga adanya kebohongan yang berjalan di rumah ini. Mungkin Samuel benar, mungkin Alec benar, bahwa tidak semestinya mereka berbohong, membuat sosok Adeline hidup kembali melalui tubuh Alec. Tapi semua sudah terlanjur. Semua sudah berjalan, meski baru berjalan satu bulan. Ibu mereka sudah melihat sosok Adeline hidup kembali, dan itu cukup membuat dirinya hidup kembali. Mereka sudah tidak bisa menghilangkan sosok Adeline yang sudah hidup kembali saat ini. Mereka harus tetap menjalaninya.

Dean menarik nafas dalam-dalam, “Besok kutemani kau berburu, Sam,” ucapnya dalam hati dengan memandang pintu besar yang terkunci dari luar itu, sebelum melenggang ke kamarnya.

Dean merebahkan tubuhnya di tempat tidurnya. Pikirannya melayang jauh, membayangkan bagaimana akhir cerita ini. Bagaiman akhir dari kebohongan ini. Pikirannya terasa lelah sekali. Tidak hanya memikirnya drama kebohongan ini, tapi juga bagaimana ia harus meninggalkan dua orang yang amat ia sayangi untuk beberapa waktu.
Surat yang tergeletak di meja saat ia pulang tadi, membuat pikirannya semakin kalut. Ia masih teringat tulisan di sana.
“Kepada Tuan Dean Winchester,
 Dengan rasa hormat dan rendah hati, kami menyampaikan, Anda diterima pada program pendidikan Harvard Medical School. Semester baru akan dimulai pada musim gugur ini, dan besar harapan kami Anda dapat menjadi bagian dari keluarga besar Harvard Medical School.”
Dean menghela nafas, impiannya menjadi dokter seperti ayahnya sudah ada di depan mata, dan tidak mungkin ia lewatkan. Tapi bagaimana ia dapat meninggalkan orang-orang yang amat disayanginya ini, yang masih dalam masa penyesuaian? Terlebih Alec dan Samuel.
‘Aku harus bisa membuat Alec dan Samuel akrab sebelum aku pergi,’ desisnya dengan memejamkan mata kelelahan.

***

Mary terus memandangi sosok pucat kecil yang sedang sakit. Hatinya perih dan teriris malaikat kecilnya terbaring tak sadarkan diri sejak siang tadi. Nafasnya memburu dengan mata terpejam. Tak ada respon sama sekali. Tubuhnya sudah dingin, bibirnya sudah membiru. Tangannya basah, juga kuku-kuku jemari kecilnya pun sudah berwarna ungu. Mary baru mengetahuinya, Adeline memiliki kondisi jantung yang sama lemahnya dengan dirinya, mungkin lebih lemah dari dirinya. Gejala yang dimiliki Edele sama seperti dirinya saat muda dulu, tapi syukurlah masih cukup kuat untuk melahirkan 3 malaikat kecil sebagai penerang hidup mereka. Tapi kini salah satu dari mereka menampakkan gejala yang sama secara tiba-tiba.
Semua begitu cepat, hingga kondisinya semakin menurun. John sudah berusaha semampunya, tapi tak ada yang bisa ia lakukan, Jantung kecil Edele sudah tak mampu lagi memompa darah ke seluruh tubuh kecilnya. Paru-parunya pun sudah semakin melemah. Kini tinggal doa yang mereka jadikan pegangan. Kedua kakaknyapun, Dean dan Samuel, terus berada di kamar menunggu penuh harap dan doa.
Edele belum pernah seperti ini sebelumnya, dan Mary belumlah siap jika terjadi sesuatu yang buruk pada putri kecilnya yang cantik. Mary belum siap jika harus kehilangannya.
Mary terus menggenggam tangan basah kecil itu yang sudah semakin dingin. Jantung  Mary semakin tidak karuan. Ketakutan akan kehilangan Edel semakin menyiksanya. Mary tak henti berdoa untuk adanya mukzizat kesembuhan Edel, bahwa Edele akan melewati malam yang berat ini. Edele tidak boleh pergi meninggalkan dirinya. Edele tidak boleh meninggalkan orang-orang yang menyayanginya.
Namun jantung Mary berhenti dengan perasaan teriris dengan merasakan secercah kehangatan yang sedikit tersimpan dan terasa melalui tangan kecil yang basah ini, perlahan meninggalkan raganya.
    “John...John...!!!” Mary dengan peniknya.
John langsung memeriksa putri kecilnya dan harus menahan nafas. Separuh jiwanya langsung ikut pergi bersama arwah putri kecilnya yang telah meninggalkan raganya.
John tertunduk lemas. Mary pun langsung lemas, dan memeluk tubuh kecil itu.
    “Tidak! Tidak Edele...jangan pergi, sayang! Jangan tinggalkan..mama! Edele!!” Mary dengan paniknya. Air mata sudah membasahi pipi cantiknya. “John, lakukan sesuatu!”
John langsung menenangkan istrinya yang histeris
    “Shss... Mary, dia sudah pergi, Edele sudah pergi...,” John mendekap tubuh gemetar Mary yang masih merengkuh tubuh Adeline.
    “Tidak, John, Edele tidak boleh pergi, Edele tidak boleh meninggalkan kita lebih dulu, Edele tidak boleh pergi, Edele tidak boleh pergi, Edele...Edele...Edele...!”

John mendengar suara rintihan yang memanggil Adeline. John langsung terbangun dan melihat Mary terkungkung dalam mimpinya, memanggil-manggil Adeline. Leher Mary sudah basah oleh keringat dingin.
    “Mary, bangun sayang...Mary, bangun...,” John membangunkanya dengan hati-hati.
Seketika Mary dengan pucatnya. Nafasnya memburu.
    “John...John... Edele...”
    “Shss... tenang, tarik nafas dalam-dalam.
Mary menurutinya.
    “Kenapa Edele?”
    “Aku mimpi Edele pergi, aku mimpi Edele meninggalkan kita semua ...”
John terkatup.
    “John... tolong katakan Edele belum pergi, Edele masih bersama kita, John...” mata Mary penuh kepanikan di sana.
John menelan ludah, “Tentu sayang, Edel masih bersama kita, dia belum pergi.”
Mary langsung menarik nafas lega dan tersenyum, “Dia belum pergi? Dia tidak sakit?”
John menggeleng, “Edele baik-baik saja, Mary, dia ada di kamarnya sedang tidur.”
Mary tersenyum dengan leganya. “Aku ingin melihat dia, aku ingin melihat Edele, John.”
John mengangguk, “Baiklah, tunggu di sini, akan kubawa Edele kemari, kau tenang saja, ya...”
Mary mengangguk.
John mengecup kening Mary sebelum meninggalkannya untuk pergi ke kamar Adeline.

Perlahan-lahan John membuka pintu dan mengharapkan sosok kecil tertidur lelap di balik selimut tebalnya. Namun betapa kagetnya saat mendapati tempat tidur Adeline kosong.
    “Adeline?” John memanggilnya.
Namun tak ada sahutan.
    “Alec!!??”
Tetap tidak ada sahutan. Jantung John langsung berpacu kencang.
Ia keluar kamar dan segera menanyakan pada Emma dimana Alec.

Tapi tidak ada yang tahu di mana Alec. Semua mengira Alec tengah tertidur di kamarnya. Tapi Alec tidak ada di kamarnya. John langsung menduga Alec pergi diam-diam. Dia pernah melakukannya sebelumnya, pergi dari St. Peter untuk menyusul saudara kembarnya, mungkinkan Alec juga kabur kali ini?

John langsung mengecek kamar Samuel yang ternyata masih terkunci, jadi tidak mungkin Samuel terlibat di dalam. Ia pun menuju kamar Dean dan membangunkan putra sulungnya.

    “Pa?” Dean terheran dengan ayahnya membangunkannya tengah malam.
    “Tolong bantu, Alec kabur!”

TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar