Rating : K+
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
ENJOY
Samuel masih
terpaku dengan hardikan ayahnya, terlebih dengan tatapan kecewa Dean yang
berdiri di samping ayahnya.
“Matikan itu!” perintah John kepada pelayan
yang berdiri tak jauh dari bara api, dan mendekati putra keduanya, dengan emosi
yang memuncak. Dia tidak tidak tahu harus bersikap apa dengan Samuel, tapi yang
pasti Samuel sudah kelewat batas.
Samuel terpaku
tak bergerak saat ayahnya mendekatinya. Ia dapat melihat mata amarah ayahnya.
Samuel bahkan
sudah dapat melihat tangan ayahnya melayang di udara siap mengenai wajahnya.
Samuel sudah memejamkan mata siap dengan rasa sakit di pipinya.
“Dean!”
Samuel masih
terpaku untuk menyadari apa yang terjadi. Ia hanya mendengar.
Samuel
memberanikan diri membuka mata dan terkaget, Dean sudah ada di hadapannya
menghalangi tangan ayahnya.
“Kumohon, pa,”
“Kau terlalu memanjakan adikmu.”
Dan Samuel
merasakan pergelangan tangannya ditarik keras. “Sini, kamu!”
“Pa!?”
Tapi seruan
protes Dean tidak didengarnya, dan terus menarik Samuel masuk ke kamar.
Samuel tak
berkutik saat ayahnya terus menarik tangannya dan menuju kamarnya.
Dan ia dilempar
begitu saja ke dalam kamar hingga Samuel hampir jatuh tersungkur, dan mengunci
pintunya.
“Apa mau kamu, hah?” tatapan tajam ayahnya
menusuknya. Kenapa ayahnya tidak mau mengerti juga.
Nafas Samuel
memburu, penuh dengan marah dan kecewa. Air matanya mengalir di pipinya.
“Edele sudah meninggal, pa...dia sudah
tidak ada...”
John menarik
nafas dalam-dalam, “Kamu pikir, papa tidak tahu itu.. kamu pikir papa tidak
menyadarinya?”
“Lalu untuk apa semua ini? Mengambil anak
itu untuk mengganti Edele, untuk menjadi Edele?? Untuk apa menciptakan semua
kebohongan ini, pa???”
“Kau tahu untuk apa, Samuel...”
“Untuk Mama? Papa tega membiarkan mama
terkungkung dalam kebohongan. Papa tega membiarkan mama hidup dalam fantasi
bahwa Edele masih hidup...”
“Tapi lihat bagaimana mamamu setelah
melihat Edele hidup kembali, lalu bandingkan dengan saat sebelumnya?”
Samuel semakin
ingin menangis. “Papa tidak membuat mama sehat, papa hanya membuat mama semakin
sakit! Papa membuat sakit semua orang di sini! Anak itu nggak seharusnya di
sini! Anak itu nggak usah ada di sini!”
“CUKUP!”
Samuel terpaku
kaget dan merasakan pipinya panas. Akhirnya ayahnya memukulnya. Belum pernah
sekalipun ayahnya memukulnya. Mungkin ayahnya keras dan galak, tapi tidak
pernah sampai memukulnya. Semua sudah berubah!
Nafas John
memburu seiring emosinya pada putranya. Samuel memang cerdas, begitu cerdasnya
hingga tidak dapat melihat alasan di balik semua ini. Sesungguhnya ia kagum
dengan Samuel, hanya saja kenapa sulit sekali Samuel seperti kakaknya, yang
menurut dan mengikuti semua katanya.
John menarik
nafas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya. Tidak, tidak ingin lebih
menyakiti putranya, karena ia tahu, putranyapun tengah terluka.
“Entah bagaimana lagi papa harus
menjelaskanmu mengapa ini harus dilakukan. Tapi harus kita lakukan.
“Papa kasih waktu seminggu ini, jika kau
masih berbuat ulah, terpaksa Samuel, Papa akan kirim kau ke asrama untuk waktu
yang lama. Lebih baik kau tidak usah ada di sini.”
Samuel
terhenyak dengan ancaman ayahnya. Setelah tadi memukulnya, sekarang ayahnya
akan mengirimnya ke asrama, demi anak itu!?
Samuel menatap
ayahnya penuh amarah, nafasnya menderu. Tapi dibalas tajam ayahnya, yang
mengartikan, ayahnya tidak main-main, ayahnya serius dengan ancamannya.
John menarik
nafas dalam-dalam. Ia tahu, Samuel tidak menyukai asrama, jadi ancaman tadi
cukup mengena.
“Kau
dihukum tidak boleh keluar dari kamar ini hingga esok pagi. Makan malam akan
diantar oleh Caleb,” John memberikan kalimat terakhirnya, sebelum keluar,
meninggalkan Samuel yang masih terpaku penuh amarah.
BLAM.
KREK
“Arrghhhhh!!!!!!!!” Samuel memekik
sekerasnya begitu mendengar suara anak kunci diputar mengunci.
John masih
mendengar teriakan Samuel saat ia mengunci kamar putranya. Ditariknya nafas
dalam-dalam untuk mengendalikan emosinya. Saat ia mendongak, ia mendapati
tatapan cemas dari Dean. Ia tahu Dean pasti menunggunya di luar dengan cemas.
Dean takut terjadi apa-apa pada adik kesayangannya ini, terlebih jika harus
terluka secara fisik.
“Tenang, Dean, papa tidak melukai adikmu.
Dia hanya butuh pengertian,” John tersenyum tipis. “Samuel tidak boleh keluar
kamar hingga besok pagi.”
Dean mengangguk
lega.
Dean menghela
nafas lega saat ayahnya memastikan tidak ada tindakan yang di luar batas kepada
adiknya. Ia tahu ayahnya sanggup melakukan sesuatu di luar kewajaran jika sudah
di luar kesabarannya. Terlebih dengan ia hanya mendengar teriakan-teriakan
Samuel tanpa tahu apa yang terjadi di dalam sana. Dan ia lega, ayahnya masih
dapat menahannya.
Sekarang
waktunya untuk melihat Alec. Ia tahu Alec mendengar yang diteriakkan Samuel,
semua orang pastilah mendengarnya, dia hanya berharap ibunya tidak mendengarnya
pula.
*
John masuk ke
dalam kamar dan melihat sosok cantik tertidur pulas di atas tempat tidur yang
besar itu. Kecantikannya tidak pernah pudar dari wajah wanita yang dicintainya
seumur hidupnya dan telah menemaninya lebih dari 17 tahun. Wanita yang telah membuat hidupnya terasa
lengkap dan sempurna. Seorang wanita yang memiliki hati seputih salju dan
selembut sutra, yang begitu mencintai putra-putranya. Namun karena begitu
mencintainya, hingga tak sanggup untuk menanggung kehilangan. Kepergian Adeline
memang begitu memukulnya. Putri tersayangnya, putri yang menjadi cahaya
hidupnya, pergi meninggalkannya untuk selamanya. Adeline kecil yang baru
berumur 8 tahun, harus meninggalkan semua orang yang sangat menyanyanginya,
terlebih meninggalkan ibundanya yang begitu mencintainya, yang telah berjuang
mempertaruhkan nyawanya saat berusaha membawa Adeline lahir ke dunia ini.
Kepergian Adeline meninggalkan luka yang begitu dalam. Sudah tidak ada lagi
senyum kebahagiaan di sana, sudah tidak ada lagi keceriaan di sana, yang ada
hanyalah luka hingga mengikis kesehatannya. John tak sanggup lagi melihat wajah
cantik itu terluka kembali. Perasaan takut menghinggapinya, jika Mary mendengar
amukan Samuel dan terluka kembali. Dia tidak ingin Mary terluka, dan dia akan
melakukan apapun untuk dapat menyembuhkan luka tersebut, untuk mengembalikan
senyuman dan keceriaan juga kesehatannya seperti dulu, meski harus menciptakan
sebuah kebohongan.
Disentuhnya
tangan halus itu dan dikecupnya lembut.
“Maafkan aku, Mary, maafkan aku,” lalu
dikecupnya kening istrinya lembut dan erat penuh perasaan.
Kecupan lembut
dan eratnya cukup membangunkan Mary dari tidurnya.
“John?”
John tersenyum,
“Ya, sayang..?”
“Kau sudah pulang?”
John
mengangguk.
Mary tersenyum
lemah.
“Edele tadi menangis, entah kenapa.
Kutanya, dia tidak menjawab, hanya menangis di pelukanku.”
“Iya...nanti akan kutanyakan. Edele sedang
tidur sekarang, dan ada Dean yang menemaninya.” Namun ada perasaan lega di
sana, Mary tidak mendengar amukan Samuel.
Mary tersenyum
lega. Entah mengapa ada perasaan tenang jika Dean yang menjaga Edele.
“Edele masih kecil dan perasaannya sangat
halus, jangan sampai ada yang melukainya.”
John hanya
mengangguk. Meski bukan Adeline yang ada di dalam sana, tetap sama Alec dan
Adeline, sama-sama halus.
“Sekarang istirahatlah, sayang, aku akan
menemanimu di sini.”
Mary tersenyum
dengan cantiknya. Digenggamnya tangan suaminya dan kembali memejamkan matanya.
John mengela
nafas dalam-dalam, dan menikmati wajah cantik itu kembali beristirahat.
*
Saat Dean masuk
ke kamar Alec, ia terkaget mendapati Alec sedang duduk di lantai meratap ke
tembok menangis dengan ditemani Mrs. Watson di sampingnya, tak berpakaian,
hanya terbalut pakaian dalam milik Adeline. Kaki Alec menempel di dadanya
sementara tangannya di atas lutut dengan kepala tertunduk di atas tangannya,
tapi Dean tahu Alec menangis. Alec
menangis dan tidak mau disentuh maupun ditenangkan oleh Mrs. Watson.
“Dia melihat dan mendengar semuanya,” ucap
Mrs. Watson dengan suara pelan.
Dean
mengangguk, seperti yang sudah diperkirakan.
“Biar kutemani, dia, Nyonya,” sahut Dean
juga dengan suara pelan.
Jane mengangguk
dan beranjak dari duduknya.
“Alec sempat berontak dan melepas seluruh
pakaiannya tadi,” bisik Jane melaporkan.
Dean terkatup
dan mengerti alasannya. Ia hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
Dean sempat
mengambil selimut tipis dari tempat tidur Alec dan diselimutinya tubuh kecil Alec
sebelum duduk di samping Alec menggantikan tempat Mrs Watson. Alec tak berkutik
dengan keberadaan Dean dan selimut yang menutupi tubuhnya.
“Alec...?” Dean memanggilnya dengan
hati-hati.
Tidak ada
sahutan, hanya isak tangis yang terdengar.
“Hey...,” Dean masih bersikap tenang, dan
memperhatikan gerak tubuh anak bertubuh kecil di sampingnya.
Masih belum ada
sahutan. Deanpun menunggunya.
10 menit
berlalu dan masih belum ada sahutan dari Alec, yang terdengar hanya suara isak
tangisnya yang konstan. Dean masih menunggu.
“Aku mau pulang...,” suara isaknya akhirnya
terdengar. Kepalanya masih tertunduk rapat di atas tangan dan lututnya.
“Pulang kemana?” sebuah pertanyaan retorik.
“Ke Panti.”
“Ke Panti? Ini kan rumah Alec, kau adik kami
sekarang.”
“Ini bukan rumahku, ini rumah Adeline, aku
bukan Adeline.”
Dean terkatup
sejenak. “Kau memang bukan Adeline, Alec.”
“Aku nggak seharusnya jadi Adeline...,”
sahut Alec, masih dengan posisi yang sama.
“Kau memang tidak seharusnya menjadi
Adeline.....,” Dean berhenti sejenak, mencari kata yang tepat untuk anak seumur
dan secerdas Alec. “Tapi kami
membutuhkanmu menjadi Adeline, untuk Milady...”
Dean terkesiap
dengan kepala Alec yang tiba-tiba terangkat dan mendongak kearahnya. Wajahnya
merah dan sembab, matanya merah dan bengkak.
“Itu nggak bener..., itu bohong....”
isaknya. “Kita nggak seharusnya berbohong.
Dean menarik
nafas dalam-dalam. “Yah, kita memang tidak seharusnya bohong. Tapi aku tidak
keberatan, karena itu membuat kami memilikimu,” ucapnya sedikit memancing.
“Aku bukan Adeline.”
Dean
mengangguk, “Kau Alec, bukan Adeline. Tapi bukan berarti aku tidak bisa
menyayangimu, kan...?”
Alec tercekat
mendengarnya, tidak percaya.
Tapi Dean
mengangguk dengan tersenyum. “Kami mencintaimu sebagai Alec, tapi Mama
membutuhkanmu sebagai Adeline.”
Alec terkatup.
“Aku juga sayang kakak, sayang Milady,
tapi Sir Samuel tidak menyukaiku. Dia benci aku!”
Dean menghela
nafas, “Dia bukan benci dirimu, tapi masih membutuhkan penyesuain, Alec, tapi
nanti dia pasti akan menyukaimu.”
Tapi Alec
menggeleng, “Aku mau pulang aja ke panti...,”dan menundukkan kepalanya lagi,
dam kembali menangis, “Aku mau pulang...aku mau pulang...aku mau ketemu
Ben....,”
Dean menarik
nafas, dan menarik tubuh kecil Alec ke pelukannya, tapi Alec tetap bergeming
dengan posisinya dan menangis.
Dean
menunggunya.
Dan
perlahan-lahan kepala Alec bersandar ke samping di pundak Dean dan terdengar
suara hembusan nafas Alec yang teratur.
Dean harus
tersenyum mengartikan Alec akhirnya tertidur karena kelelahan menangis.
Tepat saat Dean
hendak memindahkan posisi Alec, pintu terbuka dan ayah mereka masuk untuk
memeriksa keadaan Alec.
Dean hanya
mengucapkan, “Sudah teratasi dengan baik” pada ayahnya, dan membuat wajah
ayahnya tersenyum lega.
John masuk dan
harus tersenyum dengan posisi Alec yang tertidur di lengan Dean.
“Sini, biar ayah pindahkan,” dan mengangkat
tubuh kecil itu pelan-pelan untuk dibaringkan di tempat tidur. John terkaget
dengan Alec hanya terbalut baju dalam.
Dean harus
menjelaskannya, dan John hanya mendesah penuh penyesalan.
John pun
memakaikan Alec baju tidur milik Adeline, masih dengan Alec yang tertidur
lelap.
Saat Alec telah
terbalut pakaian tidur dan tertutupi selimut tebalnya, John tak kuasa mengingkari
betapa Alec mirip dengan Mary saat tidur seperti ini. Ya, Adeline memang begitu
menyerupai Mary, maka tak heran jika Alec pun menyerupai Mary.
John mengusap
hangat rambut Alec dan mengecupnya,
“Maafkan kami, Nak, akan kami bayar semua
yang telah kau lakukan untuk kami.”
John mendongak
dan melihat putra sulungnya yang memberikan padangan yang sama.
“Terima kasih, nak.”
Dean hanya
mengangguk.
Lepas dari
kamar Adeline, Dean kembali ke kamarnya. Namun saat melewati kamar Samuel, ada
perasaan mengganggu. Samuel sedang menjalani hukuman kurung di kamar hingga
esok hari. Ia memikirkan bagaimana Samuel di sana. Bukan karena bentuk
hukumannya yang menjadi pikirannya, tapi bagiamana perasaan Samuel saat ini. Ia
tahu anak itu sedang dalam titik kemarahan tertinggi, melebih saat kemarin.
Entah apa penyebabnya hingga Samuel sampai pada titik itu, tapi tentulah adalah
hasil akumulasi dari perasaannya yang terpendam selama ini. Ia dapat merasakan
sakit dan perihnya Samuel saat ini. Perasaan cemburu dan tidak menerima sosok
pengganti Adeline, juga adanya kebohongan yang berjalan di rumah ini. Mungkin
Samuel benar, mungkin Alec benar, bahwa tidak semestinya mereka berbohong,
membuat sosok Adeline hidup kembali melalui tubuh Alec. Tapi semua sudah
terlanjur. Semua sudah berjalan, meski baru berjalan satu bulan. Ibu mereka
sudah melihat sosok Adeline hidup kembali, dan itu cukup membuat dirinya hidup
kembali. Mereka sudah tidak bisa menghilangkan sosok Adeline yang sudah hidup
kembali saat ini. Mereka harus tetap menjalaninya.
Dean menarik
nafas dalam-dalam, “Besok kutemani kau berburu, Sam,” ucapnya dalam hati dengan
memandang pintu besar yang terkunci dari luar itu, sebelum melenggang ke
kamarnya.
Dean merebahkan
tubuhnya di tempat tidurnya. Pikirannya melayang jauh, membayangkan bagaimana
akhir cerita ini. Bagaiman akhir dari kebohongan ini. Pikirannya terasa lelah
sekali. Tidak hanya memikirnya drama kebohongan ini, tapi juga bagaimana ia
harus meninggalkan dua orang yang amat ia sayangi untuk beberapa waktu.
Surat yang
tergeletak di meja saat ia pulang tadi, membuat pikirannya semakin kalut. Ia
masih teringat tulisan di sana.
“Kepada Tuan Dean Winchester,
Dengan rasa hormat
dan rendah hati, kami menyampaikan, Anda diterima pada program pendidikan
Harvard Medical School. Semester baru akan dimulai pada musim gugur ini, dan
besar harapan kami Anda dapat menjadi bagian dari keluarga besar Harvard
Medical School.”
Dean menghela
nafas, impiannya menjadi dokter seperti ayahnya sudah ada di depan mata, dan
tidak mungkin ia lewatkan. Tapi bagaimana ia dapat meninggalkan orang-orang
yang amat disayanginya ini, yang masih dalam masa penyesuaian? Terlebih Alec
dan Samuel.
‘Aku harus bisa membuat Alec dan Samuel akrab sebelum aku
pergi,’ desisnya dengan memejamkan mata kelelahan.
***
Mary terus
memandangi sosok pucat kecil yang sedang sakit. Hatinya perih dan teriris
malaikat kecilnya terbaring tak sadarkan diri sejak siang tadi. Nafasnya
memburu dengan mata terpejam. Tak ada respon sama sekali. Tubuhnya sudah dingin,
bibirnya sudah membiru. Tangannya basah, juga kuku-kuku jemari kecilnya pun
sudah berwarna ungu. Mary baru mengetahuinya, Adeline memiliki kondisi jantung
yang sama lemahnya dengan dirinya, mungkin lebih lemah dari dirinya. Gejala
yang dimiliki Edele sama seperti dirinya saat muda dulu, tapi syukurlah masih
cukup kuat untuk melahirkan 3 malaikat kecil sebagai penerang hidup mereka.
Tapi kini salah satu dari mereka menampakkan gejala yang sama secara tiba-tiba.
Semua begitu
cepat, hingga kondisinya semakin menurun. John sudah berusaha semampunya, tapi
tak ada yang bisa ia lakukan, Jantung kecil Edele sudah tak mampu lagi memompa
darah ke seluruh tubuh kecilnya. Paru-parunya pun sudah semakin melemah. Kini
tinggal doa yang mereka jadikan pegangan. Kedua kakaknyapun, Dean dan Samuel,
terus berada di kamar menunggu penuh harap dan doa.
Edele belum
pernah seperti ini sebelumnya, dan Mary belumlah siap jika terjadi sesuatu yang
buruk pada putri kecilnya yang cantik. Mary belum siap jika harus
kehilangannya.
Mary terus
menggenggam tangan basah kecil itu yang sudah semakin dingin. Jantung Mary semakin tidak karuan. Ketakutan akan
kehilangan Edel semakin menyiksanya. Mary tak henti berdoa untuk adanya
mukzizat kesembuhan Edel, bahwa Edele akan melewati malam yang berat ini. Edele
tidak boleh pergi meninggalkan dirinya. Edele tidak boleh meninggalkan
orang-orang yang menyayanginya.
Namun jantung Mary berhenti dengan perasaan teriris dengan merasakan
secercah kehangatan yang sedikit tersimpan dan terasa melalui tangan kecil yang
basah ini, perlahan meninggalkan raganya.
“John...John...!!!” Mary dengan
peniknya.
John langsung memeriksa putri kecilnya dan harus menahan nafas. Separuh
jiwanya langsung ikut pergi bersama arwah putri kecilnya yang telah
meninggalkan raganya.
John tertunduk lemas. Mary pun langsung lemas, dan memeluk tubuh kecil itu.
“Tidak! Tidak Edele...jangan
pergi, sayang! Jangan tinggalkan..mama! Edele!!” Mary dengan paniknya. Air mata
sudah membasahi pipi cantiknya. “John, lakukan sesuatu!”
John langsung menenangkan istrinya yang histeris
“Shss... Mary, dia sudah pergi,
Edele sudah pergi...,” John mendekap tubuh gemetar Mary yang masih merengkuh
tubuh Adeline.
“Tidak, John, Edele tidak boleh
pergi, Edele tidak boleh meninggalkan kita lebih dulu, Edele tidak boleh pergi,
Edele tidak boleh pergi, Edele...Edele...Edele...!”
John mendengar suara rintihan yang memanggil Adeline. John langsung
terbangun dan melihat Mary terkungkung dalam mimpinya, memanggil-manggil
Adeline. Leher Mary sudah basah oleh keringat dingin.
“Mary, bangun sayang...Mary,
bangun...,” John membangunkanya dengan hati-hati.
Seketika Mary dengan pucatnya. Nafasnya memburu.
“John...John... Edele...”
“Shss... tenang, tarik nafas
dalam-dalam.”
Mary menurutinya.
“Kenapa Edele?”
“Aku mimpi Edele pergi, aku mimpi
Edele meninggalkan kita semua ...”
John terkatup.
“John... tolong katakan Edele
belum pergi, Edele masih bersama kita, John...” mata Mary penuh kepanikan di
sana.
John menelan ludah, “Tentu sayang, Edel masih bersama kita, dia belum
pergi.”
Mary langsung menarik nafas lega dan tersenyum, “Dia belum pergi? Dia tidak
sakit?”
John menggeleng, “Edele baik-baik saja, Mary, dia ada di kamarnya sedang
tidur.”
Mary tersenyum dengan leganya. “Aku ingin melihat dia, aku ingin melihat
Edele, John.”
John mengangguk, “Baiklah, tunggu di sini, akan kubawa Edele kemari, kau
tenang saja, ya...”
Mary mengangguk.
John mengecup kening Mary sebelum meninggalkannya untuk pergi ke kamar
Adeline.
Perlahan-lahan John membuka pintu dan mengharapkan sosok kecil tertidur
lelap di balik selimut tebalnya. Namun betapa kagetnya saat mendapati tempat
tidur Adeline kosong.
“Adeline?” John memanggilnya.
Namun tak ada sahutan.
“Alec!!??”
Tetap tidak ada sahutan. Jantung John langsung berpacu kencang.
Ia keluar kamar dan segera menanyakan pada Emma dimana Alec.
Tapi tidak ada yang tahu di mana Alec. Semua mengira Alec tengah tertidur
di kamarnya. Tapi Alec tidak ada di kamarnya. John langsung menduga Alec pergi
diam-diam. Dia pernah melakukannya sebelumnya, pergi dari St. Peter untuk
menyusul saudara kembarnya, mungkinkan Alec juga kabur kali ini?
John langsung mengecek kamar Samuel yang ternyata masih terkunci, jadi
tidak mungkin Samuel terlibat di dalam. Ia pun menuju kamar Dean dan
membangunkan putra sulungnya.
“Pa?” Dean terheran dengan
ayahnya membangunkannya tengah malam.
“Tolong bantu, Alec kabur!”
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar