Rating : K+
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
ENJOY
Chapter 20
Alec berjalan sendirian di tengah malam yang gelap, di antara pohon-pohon besar yang menyeramkan. Jantungnya berdebar kencang. Rasa takut menyiksanya. Tidak hanya karena ia takut seorang diri di tengah gelapnya malam, tapi juga hawa dingin malam yang menyelimuti tubuh kecilnya yang hanya berbalut gaun tidur malam Adeline, mulai menyesakkan dadanya. Ia takut terulang lagi malam itu, malam saat ia kabur dari St. Peter untuk mengejar kapal yang diharapkan akan membawa dirinya ke tempat Ben berada. Ia takut mengelami serangan lagi. Tapi rasa ingin pulang ke panti begitu besar. Ia ingin pulang. Ia tidak bisa lagi berada di rumah besar itu. Rumah itu bukan miliknya, dan dia bukan bagian dari keluarga itu. Keluarga itu menginginkan Adeline, bukan Alec, dan ia tidak mungkin menjadi Adeline. Juga Sir Samuel. Sir Samuel sangat membencinya. Alec tidak mau tinggal bersama Sir Samuel yang membencinya, meski ada Sir Dean dan Lord Winchester yang menyayanginya, juga Lady Mary yang menyayanginya. Alec masih ingat suara teriakan Sir Samual saat siang tadi saat ia membakar baju-bajunya – baju Adeline- juga saat ia berselisih dengan Lord Winchester di kamar. Alec mendengar semuanya, Sir Samuel tidak menginginkan Alec ada di rumah itu. Alec tidak mau tinggal di rumah itu, Alec mau pulang dan menunggu Ben saja di Panti. Karena itu saat tadi tiba-tiba ia terbangun dan menyadari rumah sudah terasa hening tidak ada lagi orang yang terbangun, Alec memutuskan untuk pergi, keluar dari rumah ini dan pulang ke panti. Kalau ia bisa kabur dari panti, pastinya dia juga bisa kabur dari rumah besar ini. Tapi ia tidak mengetahui betapa luas Kediam Lord Winchester, ia bahkan yakin belum keluar dari gerbang utama. Alec ingin menangis. Ia ingin segera sampai di panti, dan yang pasti ia tidak mau sakit lagi. Ia tidak mau merasakan dadanya seperti diperas-peras tidak bisa bernafas. Alec mau pulang!
*
Tanpa berpikir panjang, Dean langsung mengambil mantelnya dan berlari keluar rumah begitu mendengar Alec kabur. Ia harus mencari Alec. Anak itu sudah menjadi tanggung jawabnya. Dean merutuk, kenapa Alec harus kabur. Tapi yang dirutukinya adalah kenapa ia sampai meninggalkan Alec sendirian. Satu hal yang mulai dikenal Dean tentang Alec adalah sifat Alec yang nekat dengan apa yang diyakininya. Alec pernah kabur sebelumnya dari Panti karena ingin bertemu dengan Ben, sekarang dengan kejadian siang tadi, tidak menutup kemungkinan Alec akan berniat kabur juga karena rasa tidak nyamannya. Kini ia harus mencarinya.
Segera ia ke istal dan mengambil kudanya. Akan lebih cepat ia mencari dengan kuda daripada dengan kereta kuda. Ditemani Caleb, Dean mencari Alec di tengah malam buta ini. Perasaannya tidak karuan. Perasaan takut jikalau terjadi apa-apa pada anak itu. kalau terjadi apa-apa pada Alec, ia tidak akan memaafkan dirinya, terlebih Alec belum mengenal benar rumah ini yang dikelilingi hutan. Alec mungkin saja tersesat di dalam hutan yang gelap ini, dan sudah pasti Alec sangat ketakutan, juga udara malam yang dingin, Alec bisa jatuh sakit lagi. Dean berdoa penuh harap bisa segera menemukan Alec, dan tidak terjadi apa-apa pada Alec.
*
John menemani Mary yang kini tertidur lelap setelah ia memberi obat penenang. Ia harus melakukannya. Mary terus memanggil-manggil Adeline dengan histerisnya. John sudah berusaha menenangkannya. Tapi Mary sulit ditenangkan, hingga harus diberikan obat penenang sebelum terjadi shock kepanikan. Kini John hanya dapat berharap Dean dan Caleb dapat segera menemukan Alec. Mereka harus menemukan Alec karena saat ini saat ini Mary membutuhkan Adeline. Mary butuh melihat Adeline, atau akan berakibat fatal pada Mary, dan ia tidak ingin itu sampai terjadi.
John merutuki kenapa Alec sampai kabur dari rumah. Oh, tentu saja pasti karena kejadian siang tadi.
“Samuel...,” John menarik nafas dalam-dalam, jangan sampai ia menyalahkan Samuel bila terjadi sesuatu pada Mary, karena ulahnya tadi siang. ‘Ya, Tuhan, jangan sampai.’
*
Samuel terbangun dengan suara gaduh dari luar kamarnya. Matanya terasa berat karena sembab dan pipinya lengket karena air mata. Ia ingat, ia menangis tadi hingga jatuh tertidur karena kelelahan. Ia melirik jam, masih jam 2:00 pagi, tapi ia meyakini ada aktifitas di luar sana yang tidak biasa, terlebih di tengah malam ini.
‘Sesuatu terjadi’ batinnya. “Mama!!” ia langsung bangkit dengan perasaan takut. Ia sangat takut terjadi apa-apa pada ibunya.
Tapi ia terkaget saat ia mencoba membuka pintu, namun masih terkunci. Ia langsung teringat ia masih dalam masa hukuman ayahnya. Ayahnya menguncinya di kamar hingga esok pagi. Tapi Samuel tidak bisa menunggu sampai besok pagi. Ia harus keluar sekarang, ia harus tahu apa yang terjadi di luar sana. Apakah ibunya baik-baik saja?
“WOY, BUKAAAA!!!!” Samuel berteriak dengan paniknya. “Ada apa di luar sana!!?? TOLONG BUKAAA!!!!!” Samuel menggedor-gedor pintu dengan paniknya. Saking paniknya, air matanya mulai mengalir di tengah ketakutannya.
Tapi tidak ada yang membuka pintunya.
Samuel terduduk lemas. Ia tidak percaya tidak ada yang mendengar teriakannya minta dibukakan pintu. Ia tidak percaya ia begitu diabaikan. Air matanya mengalir deras.
“Papa, aku mohon izinkan aku keluar...,” ia tidak peduli ia terlihat seperti anak perempuan yang cengeng. Ia hanya ingin keluar untuk melihat ibunya. Ia harus memastikan ibunya baik-baik saja.
Cklek!
Kriek...
“Samuel, sayang...?”
Samuel langsung mendongak dengan pintu yang tiba-tiba terbuka. Akhirnya ada yang membukakan pintu.
“Emma?”
“Tuan Muda Samuel?” suara Emma begitu halus, semakin membuat Samuel ketakutan.
“Em..ma..apa yang terjadi ...?” Samuel tergagap, ketakutan akan jawaban yang akan ia terima. Tapi Emma tersenyum.
“Tidak terjadi apa-apa, sayang.”
“Ta..pi...” Samuel tidak percaya.
Emma menghela nafas, tahu Samuel tidak mungkin bisa dibohongi. “Alec kabur dari rumah, dan Nyonya terus memanggilnya.”
Samuel terhenyak kaget, tapi ia seharusnya bisa memperkirakannya. ‘Anak itu selalu membuat masalah.’
“Tuan Dean dan Caleb sedang mencarinya.”
Tiba-tiba terdengar suara tangisan dan erangan histeris dari kamar ibunya.
“Mama!” secepat kilat ia bangun dan berlari ke kamar ibunya
Tapi ia terhenti di mulut pintu dengan pemandangan yang cukup menyayat hati. Ibunya menangis histeris memanggil-manggil Adeline. Wajahnya terlihat merah karena menangis, juga nafasnya yang memburu. Ayahnya berusaha untuk menenangkannya, yang sepertinya tidak berhasil. Dan jalan terakhir, ayahnya menyuntikkan sesuatu pada ibunya, hingga perlahan-lahan tubuh ibunya lemas, dan kembali tertidur.
Samuel hanya bisa melihat dari jauh, tanpa berani mendekatinya, meski ia sangat ingin berlari pada ibunya dan memeluknya. Mungkin saja ayahnya masih sangat marah padanya
Terlihat ayahnya sangat gusar dan tertekan dengan keadaan ibunya. Samuel melihat ibunya yang terlihat tertidur tenang, tapi ia tahu, dan ia sudah sangat hafal, ibu tidur dalam kesakitan. Samuel melihat kembali wajah ibunya sebelum Alec datang, saat ia kehilangan Adeline. Tiba-tiba Samuel ingin mengenyahkan beban mental ibunya atas kehilangan Adeline. Samuel ingin melihat ibunya ceria seperti dulu lagi. Sekarang di saat ibunya telah merasakan kebahagiaan itu, ia telah membuat Alec pergi karena aksinya siang tadi. Samuel melirik ayahnya, dan darah berdesir dingin dengan ketakutan akan apa yang akan dilakukan ayahnya bila terjadi sesuatu yang buruk pada ibunya. Tidak, tidak boleh sampai terjadi. Alec tidak boleh pergi dari sini. Dan ia akan melakukan apapun untuk membuat Alec tetap tinggal di sini.
*
Alec berjalan dengan keletihan, dadanya semakin terasa sakit. Perasaan putus asa semakin menyergapnya. Ia yakin ia sudah berjalan jauh, tapi ia tidak juga menemukan jalan keluar dari hutan yang gelap ini. Rasa takut akan munculnya makhluk-makhluk yang tidak diinginkan menambah sulitnya ia bernafas.
Akhirnya ia duduk di bawah pohon dan bersandar di sana. Diseka air matanya, yang tak juga berhenti. Ia ingin segera keluar dari hutan ini, ia ingin segera sampai di panti, ia ingin segera bertemu dengan Bapa Simon. Mungkin ia harus menunggu hingga pagi, dan terang agar dapat menemukan jalan pulang. Tapi iapun tidak mau di sini sendirian, kedinginan. Dadanya semakin terasa sakit membuatnya semakin ketakutan. Ia tidak mau sakit lagi, ia tidak mau sakit seorang diri lagi. Air matanya kembali mengalir. Ia tidak mau di sini!
*
Dean memacu kudanya dengan kencang membelah hutan menuju gerbang utama. Ia sendiri tidak yakin, sanggupkah Alec melewati hutan ini seorang diri di tengah malam.
Dan saat Dean dan Caleb sudah melewati gerbang utama ‘Winchester’s Mansion’, Dean memiliki keyakinan kuat, Alec belum melewati gerbang ini. Alec masih ada di dalam, dan mungkin tersesat di dalam hutan. Dean semakin ketakutan membayangkan anak sekecil Alec sendirian di tengah hutan di malam hari.
“Kita kembali, Caleb, Alec, belum keluar dari gerbang ini,” Dean memutar lagi balik Storm kembali ke arah rumah.
“Bagaimana kau tahu?”
“Aku bisa merasakannya, kita cari ke dalam hutan. Kita berpencar, aku ke timur, kau ke barat!” dan memacu kudanya masuk ke dalam hutan.
Mendengar perintah Tuan Mudanya, Caleb segera menurutinya dan memacu kudanya ke arah yang diperintahkan. Semoga Tuan Mudanya benar.
Dean mengendarai kudanya perlahan, mencoba mendengar dan merasakan insting keberadaan Alec. Ia sangat yakin, Alec berada di sekitar sini.
“Alec!?” ia mencoba memanggilnya. “Jangan takut, Nak, kami tidak akan marah!”
Tidak ada sahutan.
Dean mencoba mendengar segala kemungkinan suara di heningnya malam gelap ini.
Tidak ada suara apapun selain suara binatang malam dan suara angin malam. Tapi lirih di antara suara itu, ia mendengar hembusan tersengal-sengal yang sangat berat. Dean memastikan pendengarannya lebih jelas, dan ia bisa memastikan itu suara nafas...
“ALEC!” Dean segara mencari sumber suara.
Dan Dean terpaku dengan sosok kecil terduduk bersandar di pohon yang besar, terbalut gaun yang tipis.
“Ya, Tuhan, Alec!” Dean langsung turun, dan memeriksa Alec. Tubuh kecil itu terasa dingin karena udara malam.
Alec terbangun kaget dengan seseorang yang menyentuhnya. Makhluk besar dan hitam.
“Ja..ngan se…ntuh ak..u! ti..ngga..lka..n aku se..ndir..i!!” Alec menangis dengan ketakutan dengan nafasnya yang sangat berat.
“Ssst..., ini aku, Alec, Dean....,” suara familiar itu hampir membuat jantungnya berhenti.
“K..ak D..De..an?” hampir tidak percaya.
“Iya, ini aku, Alec....”
Alec langsung mengkeret ketakutan, karena ingat ia telah kabur dari rumah.
“Pe..nge..n pulang... pe…ngen pu..lang ke pan..ti...” dengan setengah terengah
“Iya, tapi kenapa harus kabur dari rumah. Kan, kau bisa memintanya, pasti kami antar.”
Alec terdiam.
“Ak..u ngg..ak ma..u kem..ba..li ke ru..mah sa..na.”
Dean terdiam. “Kenapa?”
“It..u buk..an ru..mah..ku, itu ru..m..ah Adeli..ne, ak..u bu..kan Ad..eli..ne.”
Dean terdiam dan menghela nafas, “Itu tetap rumahmu, meski kau bukan Adeline, Alec. Kau sudah menjadi bagian dari keluarga kami, Alec.”
Alec terkatup. “Pe..ngen pula..ng ke pa..nti.”
“Baiklah, besok kita pulang ke panti.”
“Pen..gen seka..rang...!” Alec mulai merengek dengan nafas beratnya.
Dean kembali menghela nafas, “Alec kau tidak mungkin pulang ke panti di tengah malam begini, kecuali kau ingin mengejutkan Bapa Simon. Dan juga kau harus berganti pakaian, tidak mungkin kau pulang dengan baju tidur kan?”
Alec melihat dirinya dan mengangguk.
“Dan yang pasti, kau sudah kedinginan di sini, kau harus pulang dulu, kita hangatkan dulu badanmu, ya.”
Alec terdiam, dan merasakan dadanya terasa semakin sesak.
“Dad..aku sa..kit, ngg..ak bis..a na..fas...!” sedikit merintih.
“Karena itu kau harus pulang, yuk...,” seraya melepaskan jasnya dan memakaikan pada Alec, lalu menggendongnya.
“Kau sudah membuat semua orang cemas, Alec,” ucap Dean halus, saat pipi dingin Alec beradu dengan pipinya“Membuat kita ketakutan.”
Alec terkatup, “Ap..a ak..u ak..an di..huk..um?” dengan ketakutan.
Dean harus tersenyum dan menggeleng, “Tenang, tidak akan ada yang menghukummu.”
Serta-merta Alec melingkarkan tangannya di leher Dean dan memeluknya erat.
“Ma..afin aku.., Ka..k...” ucapnya lirih
Dean tersenyum dan mengangguk.
“Dean...?” Caleb muncul di tengah kegelapan.
“Tenang, sudah kutemukan dia, kita pulang sekarang,” seraya naik ke atas kudanya, masih dengan menggendong Alec.
Caleb hanya mengangguk dan mengikuti Tuan Mudanya pulang.
*
“EMMA!”
Samuel tersadar dengan suara panggilan itu. Ia menyadari dirinya terduduk di lantai di depan kamar ibunya, tanpa ada yang berani memintanya untuk ke kembali ke kamar. Ia melihat kakaknya pulang dengan menggendong sosok kecil yang kelihatan tertidur di sana. ‘Alec!’
Samuel segera bangun dan menyusul kakaknya yang sudah masuk ke kamar Adeline diikuti Emma di belakangnya.
“Dean?”
“Tidak sekarang, Samuel,” pelan tapi cukup tegas.
Samuel terkatup dengan sahutan tegas kakaknya. Dia langsung mundur dengan terluka.
Dean membaringkan tubuh kecil itu di tempat tidur dan meminta Emma untuk menggantikan pakaian Alec dan menghangatkan tubuhnya sebelum terkena hypotermia.
Samuel dapat melihat nafas Alec yang tersengal-sengal berat. Bisa dipastikan, akan sama dengan malam saat mereka menemukan Alec pertamakali di jalan.
Dean segera melakukan yang ia tahu untuk mengatasi kondisi Alec, sebelum ayahnya datang.
Samuel semakin merapat ke tembok, menjauh dari tempat tidur begitu melihat ayahnya masuk dengan tergesa-gesa, dan segera memberikan tindakan pada Alec sebelum menjadi lebih parah.
Samuel tetap berdiri di sana melihat semuanya berusaha untuk membuat Alec baik kembali, hingga Alec akhirnya dapat tertidur dengan tenang. Samuel dapat melihat kondisi Alec tidak seburuk yang sebelumnya, hingga membuat ayahnya menghela nafas lega.
“Dia ingin pulang ke panti,” ucap Dean. “Dia tidak mau menjadi Adeline lagi.”
John terkatup. “Papa tahu, akan kita bahas besok, biarkan Alec istirahat dulu.”
Dean mengangguk. “Bagaimana mama?”
“Sudah tenang, tapi mamamu membutuhkan Adeline.”
Dean terdiam. Dia tidak perlu diingatkan kembali.
John mengecupkan kening Alec. “Temani Alec, kalau ada apa-apa, papa di kamar, mamamu lebih membutuhkan papa,” seraya bangkit dari duduknya.
Dean hanya mengangguk dan melihat ayahnya beranjak keluar.
Samuel menegang saat ayahnya bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu, melewati dirinya.
Dan Samuel semakin terluka saat ayahnya sama sekali tidak menengok padanya, dan melenggang keluar, bahkan seperti tidak melihat dirinya ada di sana.
Samuel beralih pada Dean yang terfokus pada Alec. Dia tidak mau Dean bersikap sama dengan ayahnya. Ia tidak mau Dean sampai mengabaikan dirinya.
“Maafin aku,” ucapnya lirih, tapi cukup terdengar oleh Dean hingga kepalanya setengah menoleh padanya. Pandangan matanya datar. Samuel tidak suka itu.
“Maafin aku,” ucapnya lagi.
Dan Dean mengangguk.
Samuel menghela nafas lega melihat anggukan kakaknya.Dengan memberanikan diri Samuel mendekati tempat tidur itu.
“Aku tarik semua ucapanku tadi siang. Aku mau dia di sini. Aku mau dia jadi Adeline, untuk mama.... apapun yang bisa membuat mama bahagia.”
Dean terkatup dan menoleh pada adiknya, membaca raut wajah Samuel, memastikan ucapan itu bukan ucapan semata, tapi benar-benar yang ingin ia ucapkan. Dan semua terbaca di sana. Samuel benar-benar serius dengan ucapannya.
“Mama tidak bisa kehilangan Adeline...,” lanjut Samuel lagi. “Aku mau mama tersenyum dan ceria seperti dulu lagi.”
Dean masih memandang adiknya tanpa berucap.
“Alec telah menjadi adik kita,” ucap Dean.
Samuel mengangguk dengan pasti, “Iya, Alec adik kita, aku terima itu.”
Dean menghela nafas, “Terima kasih. Semoga esok Alec masih mau menjadi bagian dari keluarga kita.”
Samuel tercekat, “Maksudnya?”
“Alec ingin pulang ke panti karena rasa tidak nyamannya sebagai Adeline. Dia tahu dia bukan Adeline, dan dia tidak mungkin menjadi Adeline. Kau yang menyadarkannya, Sam.”
Samuel tertunduk lemas.
“Kau memang benar dengan semua ucapanmu, dan tidak ada satupun yang menyangkalnya. Alec tidak mungkin menjadi Adeline, tapi ia bisa menjadi Adeline untuk mama. Kita yang seharusnya bisa mengalah, kau yang seharusnya mengerti itu. Mama tidak lagi sama dengan mama yang kita kenal dulu. Mama membutuhkan Adeline sebagai cahaya hidupnya. Kita tidak bisa menghentikannya, Sam, tidak akan bisa.”
Samuel mengangguk pasti, semakin menyesali tindakannya. Air matanya semakin deras di pipi.
“Akan kulakukan apapun untuk membuat Alec tetap di sini,” sahut Samuel.
“Dia takut pada dirimu.”
Samuel mengangguk, “Aku yang sudah jahat padanya.”
“Tapi kau bisa merubahnya, kan?”
Kembali Samuel mengangguk lirih. “Dia sudah menjadi adikku.”
Dean harus menarik nafas lega dengan tersenyum. “Terima kasih, Sam.”
Samuel hanya tersenyum.
Dia memandang sosok yang masih tertidur itu.
“Boleh aku ikut menemaninya?” tanyanya malu-malu.
Dean mengangguk dengan tersenyum.
Samuel menghela nafas lega dan langsung naik ke tempat tidur dan berbaring di samping Alec.
Dean sempat terkaget karena tidak menyangka Samuel akan mau tidur di samping Alec. Tapi dengan Samuel yang melingkarkan tangannya melindungi Alec, Dean dapat bernafas lega, Samuel sudah menerima Alec. Kini tinggal Alec, apakah ia mampu untuk tetap menjadi bagian keluarga ini dan menjadi Adeline?
Dean berjaga tanpa memejamkan mata sedikitpun, hanya memandangi dua adiknya yang sangat ia sayangi. Alec telah mendapatkan rasa sayangnya yang sama besar yang ia berikan pada Samuel. Dan Samuel telah mulai memberikan rasa sayangnya pada Alec, mungkin belum seluruhnya, tapi akan, secara perlahan-lahan.
Saat ayahnya datang untuk menengok keadaan Alec, ia tidak dapat menutupi rasa kagetnya, dengan Samuel yang tertidur di tempat tidur Adeline bersama Alec di sana. Juga tangan Samuel yang bersikap melindungi Alec.
“Dean...?” John terheran.
“Sudah teratasi. Giliran papa yang kini harus memafkan Samuel. Samuel masih terluka, dan papa yang bisa mengobati luka itu.”
John terkatup, dan mengangguk, mengerti benar maksud dari ucapan putra sulungnya. Entah apa yang telah dilakukan Dean, hingga semua menjadi terselesaikan di tangannya. Anak sulungnya memang hebat.
“Terima kasih, Dean. Papa tahu papa bisa mengandalkanmu.”
Dean hanya tersenyum, “Sekarang tinggal meyakinkan Alec, untuk tetap mau tinggal.”
John mengangguk. “Yeah, besok kita bahas.”
**
Alec terperangkap dalam penuh kesakitan dan demam. Dadanya terasa sakit dan nyeri, juga seluruh tubuhnya. Dia berjuang untuk mencari celah kehidupan dan keluar dari rasa sakit ini. Dia tidak mau merasakan ini lagi. Dia tidak mau merasakan ini seorang diri. Dia ingat dulu ada tangan halus yang memeluk dan mendekapnya dalam kehangatan dan kasih sayang. Malaikat yang cantik mengusap keningnya. Dia sangat cantik dengan rambut pirang emasnya seperti milikanya, sepasang mata coklat dan suara yang menenangkan hati. Mama. Alec ingin merasakan lagi. Alec ingin memiliki mama lagi. Di manakah mama sekarang?
Alec berusaha mencari sosok cantik dan lembut itu, tapi tidak ada. Ia berusaha untuk membuka mata.
Dan saat ia membukanya, ia terkaget dengan hangat dan rasa nyaman yang menyelimutinya. Ia tersadar penuh ia kembali ke kamar Adeline.
“Selamat pagi, Alec,”
Alec terkaget dengan suara hangat menyambutnya.
“Ka..k De..an...?” tapi yang terkaget lagi dengan sosok yang ada di sampingnya, juga tangan yang melindunginya. Apakah ini mama?
“Alec?” suara serak membuatnya pucat, dan membuatnya kaget. Samuel kah yang tidur di sampingnya. Tapi Samuel yang sudah terbangun tersenyum padanya.
“Si..r Sa..mu..el...?”
Samuel tersenyum padanya, semakin membuatnya heran.
“Ak..u ma..u pu..lang ke pa..nti, ..kok,” ucapnya ketakutan pada Samuel.
“JANGAN!” sergah Samuel langsung, mengagetkan Alec. “Jangan pulang ke panti! Kamu nggak boleh pergi, mama membutuhkanmu. ”
Alec terkatup heran.
“Aku minta maaf soal kemarin. Aku tarik kembali semua ucapanku. Tapi kamu nggak boleh pergi. Kamu nggak boleh pergi meninggalkan mama. Mama butuh kamu.”
“Mama...,” matanya menerawang, merasakan belaian kasih sayang dari seorang mama.
Dean menunggu reaksi Alec, menunggu akan sebuah penolakan.
“Ak..u bu…kan Ad..eli..ne.”
“Kamu memang bukan Adeline, tapi kamu bisa menjadi Adeline,” sahut Samuel lagi.
Alec menengok ke arah Samuel.
“Kamu boleh menjadi Adeline. Aku mau kamu tetap di sini..., tapi tolong jangan pergi ...”
Alec terkatup.
“Mama tidak bisa kehilangan Adeline, Alec. atau mama bisa jatuh sakit lagi.” Alec terkatup, tentu ia tidak ingin membuat Milady jatuh sakit.
Dean mengeggam tangan Alec, “Kau Alec bagi kami, tapi kau adalah Adeline untuk mama. Kami tidak ingin kau pergi, Alec.”
Alec terdiam, mencerna semuanya.
“Bol..eh ak..u ke ma..ma sek..ara..ng?”
Dean menarik nafas lega, “Tentu,” dan segera menggendong tubuh kecil Alec.
Tepat saat Dean membawa Alec ke kamar orang tuanya, terdengar rintihan Ibunya yang memanggil-manggil Adeline.
Alec dapat mendengar rintihannya saat mereka masuk ke kamar Milady, dan melihat Milady menangis memanggil-manggil putrinya.
“John, di mana dia? Di mana putriku? Aku butuh dia... aku butuh Edele…”
“Edele di sini, Ma,” Dean masuk dengan Alec di gendongannya.
“Dean? Oh, Edele ..,” suaranya langsung begitu melihat sosok kecil di gendongan putranya, “Sini sayang...sini sama mama …”
Dengan hati-hati, Dean meletakkan Alec di samping ibunya, dan Alec tidak memberontak. Alec dapat mencium bau harum dari tubuhnya. Ia sangat merindukannya.
“Oh, Edele, sayang, mama rindu, nak…,” Mary langsung memeluknya hangat
Alec memandang kedua mata itu indah itu. Ia tidak dapat meninggalkannya. Lady Mary sangat membutuhkannya, dan ia membutuhkan Lady Mary juga, ia membutuhkan seorang mama.
“Jangan tinggalkan mama lagi, putri cantiku, mama butuh Edele, ya... sayang...” dengan mengusap pipinya halus, sama sekali tidak menyadari siapa yang sebenarnya yang ada di hadapannya ini
Alec hanya mengangguk, “Edele tidak akan pergi ke mana-mana, ma.”
Mary tersenyum dan mengecup pipi Alec penuh cinta.
Alec tersenyum lega dan kembali tertidur di sana.
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar