Rating : K+
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
Chapter
21
Alec menerima kembali menjadi
Adeline. Tidak perlu diucapkan, sudah dapat terlihat. Alec masih membutuhkan
Lady Mary, seperti Lady Mary membutuhkan Alec sebagai Adeline. Selama tidak ada
penolakan dari siapapun, Alec dapat melakukannya, khususnya tidak ada penolakan
dan Samuel.
Kondisi Lady Mary
berangsur-angsur membaik, hanya dengan melihat wajah Adeline di hadapannya.
Itulah yang membuat Alec sulit untuk meninggalkan Lady Mary, dan bersedia
menjadi Adeline untuk Lady Mary.
Sudah beberapa hari berlalu sejak hari itu. Meski sudah tidak ada penolakan
dari Sir Samuel, dan Alec mendengar sendiri, Sir Samuel-lah yang memohon
untukknya tetap tinggal, Alec masih belum sepenuh dapat menghilangkan rasa
takut pada Samuel. Alec masih terus dibayangi ketakutan samuel sewaktu-waktu
dapat berubah dan tiba-tiba akan seperti kemarin lagi. karenanya Alec lebih
baik menjaga jarak, dan tidak sekali lagi berani-berani mendekati Samuel
terlebih masuk ke dalam kamar kakak angkatnya ini. Alec lebih nyaman bersama
Dean, yang benar-benar sudah sepenuhnya menerima dan menyayanginya, dan kakak
Dean bersedia untuk bermain piano dengannya, seperti saat ini. Alec telah
menghabiskan hampir satu jam bermain piano dengan kakaknya. Sesekali ada gelak
tawa di antara mereka. Alec ingin cepat mahir bermain piano seperti kakaknya.
Samuel
memperhatikan dengan perih kedekatan Dean dengan Alec yang sedang bermain piano.
Ia tahu, Dean sedang mencoba mengajarkan Alec bermain piano. Ia tahu, Alec
menyukai piano. Piano yang menjadi keahlian Samuel, bukan Dean, meski Samuel
tidak mengingkari kemahiran Dean bermain piano, karena memang dari Deanlah, iapun
menjadi suka bermain piano. Dean hanya ahli pada berburu dan hal-hal yang
berbau ‘life survival’. Kenapa Dean mau bersusah payah mengajarkan Alec bermain
piano? Kenapa Dean begitu sayang pada Alec? Seistimewakan Alec untuk keluarga
ini sekarang? Samuel masih belum dapat mengerti benar mengapa Dean dapat begitu
langsung dekat dan sayang pada Alec? Dean kakaknya, bukan kakak Alec. Tapi siapa
lagi yang akan dekat dengan Alec jika bukan Dean, Alec sangat takut pada Samuel.
Tapi sungguh, Samuel bisa melakukannya seperti yang Dean lakukan, kalau Alec
tidak takut padanya. Samuel mau mengajarkan Alec bermain piano, jika memang
Alec ingin bisa bermain piano.
“Aku bisa mengajarimu main piano...,”
Alec terkaget
mendongak dengan suara tegas namun pelan, tiba-tiba muncul di sampingnya. Tidak
hanya kaget dengan dengan suaranya, tapi juga dengan sosok yang berbicara itu.
Dean mendongak,
dan harus tersenyum simpul.
“Aku bisa mengajarimu, lebih baik dari
Dean...,” lanjutnya lagi. “Itu juga kalau kamu mau...kalau kamu mahir seperti
seorang pianis betulan.”
Alec masih
belum percaya, Sir Samuel menawarkan untuk mengajarinya bermain piano?
Alec menengok
pada Dean, dan Dean mengangguk dengan tersenyum simpul,
“Sudah kukatakan, dia ahlinya, kamu bisa
bisa belajar lebih dari ahlinya...,”
Alec kembali
pada Samuel yang masih berdiri menunggu.
“Sir Samuel mau mengajariku main piano?”
“Yah, itu juga kamu mau ...”
“MAU!” senyum sumringah Alec langsung keluar
begitu saja mengagetkan Samuel sendiri.
‘Bener, anak ini emang aneh, tapi lucu,’ batin Samuel dengan menghela nafas.
Tanpa diminta
Samuel langsung duduk di samping Alec, yang secara otomatis menggusur Dean ke
samping dan keluar dari kursi, karena terdorong Alec yang terdorong Samuel.
Dean hampir
jatuh dari dorongan yang tiba-tiba, tapi langsung berdiri sigap dan memperhatikan
anak dua ini dengan hati senang.
“Tadi sudah belajar sampai mana?”
“Ng... baca nada di partitur...”
“Tau kunci-kunci nadanya?
“Tau, tapi masih satu-satu.., belum bisa hafal
semuanya...”
“Gampang, gini aku kasih trik biar bisa
cepet hafal...”
.............
Dean harus
menghela nafas dengan penuh kelegaan, Samuel akhirnya mau mendekatkan diri
dengan Alec. Dan dengan cara Samuel mendekati Alec, tidak akan mungkin Alec akan
takut lagi pada Samuel. Dean tersenyum bangga.
‘Usaha yang bagus, Sam.’
Dan melihat
Alec dan Samuel dengan cepat membentuk dunia sendiri berdua, sepertinya ia
harus menyingkir dari sana, dan membiarkan mereka berdua lebih lama lagi.
Mereka butuh untuk saling mengenal. Mudah-mudahan berjalan dengan baik. Sayang
ayahnya tidak ada di rumah saat ini. Kalau saja ayahnya melihat ini,mungkin
akan sedikit dapat mengurangkan prasangka buruk ayahnya terhadap Samuel.
Dean masih
mendengar Samuel mengajarkan Alec bermain, dengan sesekali Alec memainkannya,
saat Dean masuk ke dalam kamar. Sam memang guru yang baik. Tinggal sekarang
menunggu tumbuhnya kedekatan Samuel dengan Alec, sebelum ia pergi untuk
semester pertamanya. Dean hanya bisa berdoa dan berharap, meski ada harapan di
sana; Samuel akan menjadi kakak yang baik untuk Alec.
Alec tidak
dapat menyembunyikan rasa senang dan leganya. Akhirnya ia bisa duduk bersama
Sir samuel yang mengajarinya bermain piano. Ternyata Sir Samuel tidak segalak
yang ia sangka. Sir Samuel mau mengajarinya pelan-pelan sampai Alec mengerti
benar, bahkan ia memberikan trik caraa menghafal cepat kunci-kunci nada yang
berwarna hitam putih itu, juga menunjukkan ketrampilan bermain Samuel yang
super cepat. Alec pengen bisa seperti itu. Tapi menurut Samuel, bukan hanya
ketrampilan bermain cepat yang menjadikan seorang pianis dapat dikatakan
maestro, tapi juga penghayatan pada lagu dan musik yang membuat orang yang mendengarkan dapat
terhanyut dengan musik piano yang dibawakan. Alec akan camkan itu baik-baik di
kepalanya. Dan yang pasti Alec semakin suka pada Sir Samuel.
*
Dean mendengar
suara kamar Samuel ditutup, yang artinya Samuel sudah kembali ke kamarnya. Dean
memutuskan untuk menemuinya.
Dan Dean
menemukan Samuel baru saja duduk di meja belajarnya dengan membuka buku
tebalnya.
“Hey, gimana latihannya?”
“Heh?” Samuel menoleh, dan mengangguk
dingin, “biasa... harus pelan-pelan, anak itu sama sekali nggak tahu piano...”
“Ya, harap maklum, dia memang baru pegang
piano sekarang, dia belum pernah pegang sebelumnya, karena dulu dia tidak
pernah boleh ikut kegiatan apa-apa karena tubuhnya yang lemah.”
“Terlalu dimanja, sih...,” sahut Samuel
pelan dengan wajah dinginnya.
Dean hanya
tersenyum kulum.
“Tapi aku hargai yang kau lakukan tadi. Terima
kasih ya ...”
Samuel hanya
mengangguk.
“Aku lihat dia ada bakat...” ucap Dean.
“Masih terlalu pagi, menghafal kunci aja
masih susah,” sahut Samuel sedikit ketus.
“Ya, paling tidak ada minat di sana. Kayak
dulu kamu nggak susah menghafal kunci aja,” Dean mencoba menggoda adiknya.
“Memang ada anak umur 4 tahun bisa
menghafal kunci nada piano dengan cepat?” protes Samuel tidak terima.
Dean hampir
meledak tawanya. Memang sulit berdebat dengan Samuel. Tapi memang benar, umur 4
tahun Samuel sudah mulai pegang piano, dan umur 5 tahun dia sudah bisa menghafal
kunci dan memainkan sebuah lagu dengan baik. Adiknya ini memang istimewa.
“Ya, tapi tidak ada anak 4 tahun yang
sudah suka dengan piano...”
“Kecuali aku,” potong Samuel penuh bangga.
Dean harus
tertawa kecil, dan mengacak-ngacak rambut adiknya, “Yup.”
Samuel pun tertawa.
Ada perasaan lega di sana, Dean masih memperhatikannya. Lalu kembali pada
bukunya.
Dean masih
memperhatikan adiknya dan menarik nafas lega lalu melenggang ke arah pintu,
“Besok pagi kita main ke hutan.”
Samuel sempat
tercekat, “Nggak usah bawa bayi itu khan?” dengan penuh harap.
“YA!” sahut Dean tanpa menoleh ke belakang.
Samuel semakin
tersenyum kulum senang. ‘Yes!’
***
Keesokan harinya Samuel bangun lebih awal dan langsung ke istal setelah
sarapan. Saat Samuel sampai di Istal, ia tidak heran dengan Dean yang sudah ada
di sana dengan Stallion, kuda kesayangannya.
“Selamat pagi, Putri Tidur,” sambut Dean
setengah menggoda.
Samuel hanya
tersenyum kecut, dan menuju ‘Nothern Light’ kesayangannya. Ya, untuk bangun pagi, Samuel selalu kalah.
Dean selalu bangun lebih awal daripada dia.
Samuel dengan
cepat menyiapkan kudanya sementara Dean sudah siap di atas Stallion menunggu
sang adik yang masih kusak-kusuk dengan kuda putihnya.
“Samuel...” Dean tidak sabar menunggu.
“Iya, bentar,” berusaha dengan cepat, dan
langsung naik ke atas ‘Nothern Light’ begitu dirasa kudanya telah siap.
Tepat saat Dean mau memacu kudanya keluar dengan berlari, saat itulah,
sosok kecil dengan gaun selutut muncul di pintu istal. Dean harus menarik tali
kekangnya kuat-kuat. “Edele!?”
Entah kenapa, spontan Dean menyebut nama itu begitu melihat sosoknya. Dean
sempat mengutuk diri, Alec tidak akan suka bila dipanggil begitu. “Alec!?” Dean langsung menggantinya, dengan
nada tegas, karena masih menyimpan marah kekagetan.
Alec langsung mengkeret ketakutan, “Maaf.”
Dean menghela nafas.
“Mau kemana?” Alec penuh ingin
tahu melihat kedua kakaknya sudah gagah di atas kuda mereka.
“Mau main ke hutan sebentar.”
“Boleh ikut?”
“JANGAN!” sahut Samuel langsung.
Alec langsung cemberut kecewa.
Dean menghela nafas, “Lain kali saja kau ikut, ya. Kami mau balapan ke
hutan.”
“Aku juga bisa...,”
“Tidak dengan gaun itu..,” Dean
mengingatkan. “Kau belum mahir, dan kau baru beberapa kali naik kuda.”
Alec semakin cemberut. ‘Pake gaun
memang sangat menyusahkan!’
“Aku ikut di belakang, boleh?”
mulai merengek.
Dean harus tersenyum, “Mungkin lain kali, ya...,” Dean tahu, Samuel hanya
ingin berdua dengan dirinya tanpa Alec. “Lain kali kau boleh ikut di
belakangku.”
Alec masih terdiam kecewa, lalu melihat ke arah Samuel yang memberinya
tatapan dingin, membuat Alec terpaksa mengangguk menurut.
Dean tersenyum, “Terima kasih, Alec, kita main nanti ya..”
Alec mengangguk.
Dean mengangguk dan langsung memacu kudanya keluar diikuti Samuel yang
tersenyum kulum kemenangan.
Alec masih melihat kepergian sang kakak dari belakang. Sekali lagi ia
merasa ditinggalkan. Benar-benar ia ditinggalkan kedua kakaknya dengan alasan
karena ia memakai gaun. Ya, mungkin Alec baru beberapa kali naik kuda dengan
gaun, tapi ia sudah bisa, dan ia pasti bisa ikut berkuda ke dalam hutan bersama
kedua kakaknya.
Alec langsung melirik ke arah seeokar kuda yang masih ada di dalam
kandangnya. Ukurannya memang tidak sebesar milik kedua kakaknya. Dan memang
kuda ini adalah milik Adeline dulu. Namanya ‘White Lily’. Alec harus mendengus,
kenapa juga nama kuda harus ‘White Lily’ yang pantas diberikan pada bunga,
bukan pada seekor kuda. ‘Dasar cewek!’
Dengan setengah gugup, Alec mendekati ‘White Lily’ dan memberikan pendekatan
yang manis agar tidak didepak oleh kuda putih berponi yang menutupi matanya.
“Kita jalan-jalan, yuk, Lily...,”
dengan mengusap-usap kepalanya, dan diangguki plus lenguhan dari hewan yang
tingginya hampir sepundak Alec.
Alec tersenyum lega, dan mulai menyiapkan pelana, seperti yang pernah
diajarkan Mrs. Watson.
Setelah pelana terpasang, kini dia bingung bagaimana naiknya ke atas
punggungnya. Alec melirik ke kanan kiri dan melihat kotak kayu yang cukup buat
jadi pijakan. Dia langsung mengambilnya dan menaruhnya di samping ‘Lily’.
Alec menarik nafas dan langsung menaikinya dan dengan hati-hati duduk di
atas punggung Lily layaknya seorang anak laki-laki duduk di atas punggung kuda,
tidak peduli dengan gaun selututnya.
Butuh beberapa saat untuk Alec mengatur keseimbangan tubuhnya di atas Lily.
Saat dirasa ia siap, dengan hati-hati, Alec menarik kekang kudanya dan meminta
Lily untuk jalan.
Sungguh mengherankan tidak ada penjaga di Istal ini.
“Kita susul Dean dan Samuel, ya
Lily...,” ucap Alec penuh percaya diri saat membawa Lily keluar dari Istal.
Saat dirasa siap dan berdoa, Alec memberanikan untuk memacu Lily lebih
cepat,
“Kita kejar mereka, Lily!” seru Alec penuh kegirangan,
menuju hutan.
*
Dean dan Samuel sempat berlomba menyebrangi hutan hingga keluar dari hutan
milik keluarga mereka. Lomba dimenangkan oleh Dean. Bagaimanapun skil berkuda
Dean masih jauh di atas Samuel. Dan untuk mengobati kekecewaan adiknya, Dean
mengajak Sam melihat Grizlly, seekor beruang besar yang cukup ditakuti penduduk
di sekitar mereka. Tapi kalau ia tidak diganggu, dia tidak akan menyerang, dan
mereka hanya melihatnya dari jauh dari atas tebing memperhatikan sang beruang
hutan menikmati sarapan paginya di sungai, menangkapi ikan-ikan salmon di sana.
“Berapa beratnya kira-kira?” Sam
terpesona memperhatikan sang beruang
“Entahlah, satu ton mungkin...,”
sahut Dean tanpa lepas matanya pada sang beruang, juga terpesona.
“Boleh aku tembak dia?” seraya
melirik senapan yang dipegang Dean.
Dean menoleh pada adiknya, “Papa tidak akan suka...”
Samuel hanya tersenyum nakal.
Dean menggeleng-geleng kepalanya.
*
Alec terengah-engah dengan menyerah. Ia mencoba kudanya berusaha menyusul
kedua kakaknya, tapi tanpa hasil. Kedua kakaknya tak tampak mata sejauh ia
menyapu hutan ini. Alec menyerah, ia mau pulang saja! Tapi bagaimana mau pulang
kalau ia tidak tahu jalan pulang. IA TERSESAT!!! masih berjalan di atas
*
“Yuk, sudah siang, kita
pulang...,” ucap Dean seraya melihat matahari sudah tepat di atas kepala
mereka, saat melihat Grizlly sudah meninggalkan tempat tadi ia berburu ikan.
Pertunjukan sudah selesai.
Samuel menghela nafas, dan bangun dari posisi telungkupnya. Ia tersenyum
puas.
“Kenapa tersenyum?” Dean terheran
saat siap naik ke atas Stallion.
Samuel menggeleng masih dengan tersenyum.
Dean tersenyum membalas dengan mengangguk, entah bagaimana ia tahu arti
senyuman Samuel.
“Kita balapan lagi sampai ke
rumah,” seraya naik ke atas punggung Stallion dan langsung memacu kuda.
“HEY! Curang, aku belum naik!!”
seru Samuel dengan terburu-buru naik ke atas Nothern Light, dan langsung
berlari menyusl abangnya. “DEAN!!!”
*
Alec masih berjalan di atas Lily mencoba mencari jalan keluar, tapi ia
yakin ia belum juga keluar dari hutan ini. ia mulai merasakan bagian bawahnya
terasa sakit, mungkin karena belum terbiasa berkuda, dan tanpa celana panjang
yang tebal, hanya lapisan celana stocking tipis sebatas paha, membuat pahanya
menyentuh langsung pelana kulit Lily, sangat tidak nyaman! Alec ingin
cepat-cepat sampai di rumah. Dan semakin ia menyusuri hutan, semakin ia yakin
Ada perasaan takut di sana ia tidak bisa keluar dari
‘Kenapa sih, keluarga
ini harus punya hutan seluas ini!’ rutuknya hampir
menangis.
GRAAAWW!!!!
Alec terlonjak dengan suara
rauman yang tiba-tiba, hingga membuatnya hilang keseimbangan dan jatuh dari atas Lily. Tapi lebih terkaget lagi dengan sosok
besar berbulu berwarna coklat. SUPER BESAR. BERUANG!!!!
Alec ternganga melihatnya, terlebih dengan dia menggraum lagi memamerkan gigi
dan tarinya yang super tajam. Alec bener-bener nggak tahu, kalau keluarga ini
memelihara beruang juga!
Alec tersadar dengan beruang itu mulai mendekatinya...
“Jangan, jangan mendekat! Jauh,
jauh sana!!” pekik Alec ketakutan dengan mundur, dan mencari-cari apapun yang
bisa ia lemparkan pada beruang besar dan luar itu untuk mengusirnya, tanpa
hanya menghasilkan beruang itu tambah marah.
“WAA!!!” pekik Alec terpojok
ketakutan. “PERGI SANA!!!!”
*
Samuel tertinggal jauh dari Dean. ‘Awas,
ya, dirumah nanti, aku balas pake catur!!’ dengusnya kesal.
“WAAA!!!!”
Samuel tekaget dengan pekikan tiba-tiba di tengah hutan ini.
“PERGI SANA!!!”
Pekikan itu terdengar lagi. Samuel langsung mencari sumber suara, dengan
menyapu matanya. Dan ia terkaget dengan sosok beruang besar yang tadi ia
nikmati sosoknya dari jauh, kini ada di sana, sedang mengancam mangsanya.
Samuel memperhatikan apa yang dimangsanya. Dan dia hampir pingsan begitu
mengetahui mangasanya adalah ALEC!!!??? Yang sudah terpojok ketakutan
‘Haduh, anak itu
kenapa bisa sampai ke tengah hutan begini sih!’
Samuel langsung turun dari kudanya dan mengambil belati kesayangannya lalu
berlari menuju hewan hutan besar itu.
“HEY!!! TINGGALKAN DIA!!!” pekik
Samuel berlari mendekat menarik perhatian “JANGAN GANGGU ADIKKU!!!”
Perhatian Grizly teralihkan dan melihat wujud yang sama kecilnya tapi penuh keberanian. Grizly menujukkan kemarahannya dan berdiri
dan menggraum dengan kerasnya.
Samuel tercengang sendiri. Tapi ia tidak gentar. Ia mengayunkan belatinya,
setiap kali beruang untuk mengancamnya.
“Alec, lari! Pulang, sana!!”
Alec yang masih shock hanya bisa melihat Samuel terancam dengan beruang
liar ini.
“AWWW!!!” pekik Samuel mengagetkan
Alec. Dan Alec bisa melihat darah
mengalir deras dari lengan kanan Samuel yang tertutupi tangan kirinya.
Belatinya terlempar
dari tangannya.
“KAKAK!!??”
“ALEC, JANGAN KESINI, PULANG
SANA!! AWWW!!!!”
Alec shock dengan pakaian depan Samuel yang sudah terkoyak meninggalkan
cakaran di dada Samuel. Darah mengalir di sana.
Kepala Alec langsung mencari jalan, bagaimana mengusir beruang itu. Samuel
bisa terbunuh.
Alec melihat belati tergeletak di tanah, sulit dijangkau Samuel katena
perhatian Grizly terfokus padanya, tapi mungkin bisa dijangkau Alec tanpa
sepengetahuan Grizly.
Jantung berdebar kuat saat ia mengambil belati itu tanpa menarik perhatian sang
beruang dan tanpa berpikir dua kali ia langsung menghujamkan belati itu ke salah
satu telapak kaki beruang itu hingga terpekik kesakitan dan mengeluarkan suara
yang menyeramkan dan keras.
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar