Rating : K+
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
ENJOY
Chpater 22
GRAAAAAUUUUUUUMMMMMM!!!
Dean terkaget dengan suara grauman beruang yang tiba-tiba terdengar. Dari
suaranya, seperti suara kesakitan. Dean menengok ke belakang, dan tidak
terlihat Samuel. Dean langsung teringat dengan ucapan Samuel yang ingin memburu
Grizly. Samuelkah, yang mengejar beruang ganas itu.
‘Haduh Sammy!!’ dengan setengah kesal Dean langsung berbalik arah ke sumber
suara.
*
Alec menunggu reaksi beruang dan
terlihat si beruang masih bergulat dengan rasa sakitnya, tapi tidak beranjak dari berdirinya. Namun
hanya beberapa saat dan beruang itu langsung berbalik arah dan pergi dari
hadapan mereka dengan terpincang kesakitan.
Alec langsung berlari menuju Samuel yang sudah tergeletak lemas penuh
kelegaan dengan memegangi dadanya yang terluka.
“Kak??” Alec pucat dan ketakutan dengan
kondisi Samuel. Kakak angkatnya terluka parah. Darah mengalir dari luka cakaran
itu, dan Samuel sudah terlihat pucat kesakitan. Harus ada yang menghentikan
darah itu. Spontan Alec langsung menyobek bagian bawah roknya sepanjang yang ia
bisa sobek dan ia letakkan di dada Samuel menutupi lukanya dan menekannya untuk
menghentikan darahnya keluar.
“Arrghh, aw!” Samuel memekik tertahan
kesakitan.
“Maaf,” tangan Alec bergetar dengan luka di
dada ini, terlebih ia tahu ia semakin menyakiti kakaknya.
“Kamu ngapain nyusul kita ke
hutan??” Samuel setengah kesal setengah kesakitan.
Perasaan bersalah
langsung menyergap Alec. Kalau saja ia
tidak menyusul mereka ke hutan, ia tidak mungkin bertemu dengan beruang jelek
itu, dan Samuel tidak perlu ada di situasi ini. Sir Samuel tidak akan terluka
oleh beruang besar itu. “Aku ingin main dengan kalian,” Alec menunduk penuh rasa bersalah. Air
matanya mulai menetes. “Maafin
aku …” isaknya.
Samuel hanya bisa
menghela nafas, dan menyeringai kesakitan. Mau marah juga dia tidak
punya tenaga, karena dadanya terasa sakit dan perih akibat kuku tajam sang
beruang besar tadi. Samuel hanya berharap tidak terlalu dalam lukanya, meski ia
meragukan karena darah masih belum berhenti dan dadanya sakit sekali. Sekarang
tinggal memikirkan bagaimana mereka bisa pulang ke rumah sebelum ia kehabisan
darah di sini di hutan bersama anak yang tidak bisa diatur dan bisanya hanya
menangis!
“Samuel!?” mereka dikagetkan
dengan suara yang sangat mereka inginkan dengar.
“Kak Dean!?” Alec menyambut
dengan sumringah penuh kelegaan.
“Apa yang terjadi!?” Dean berusaha
menahan kepanikan dan marah, dengan pemandangan dada dan lengan Samuel terkoyak
jelas dari cakaran seekor beruang. “Sudah kubilang, jangan ganggu beruang itu,
Sam! Dan Alec, kenapa kau ada di sini!?” Dean tidak dapat menahan keheranannya
melihat Alec bersama Samuel.
“A..aku..t..dak.. meng..ganggunya..!”
Samuel membantah dengan terengah, karena dadanya mulai terasa sesak.
“Hah? Lalu?” seraya memeriksa
luka di dada dan lengannya. ‘cukup dalam,’ rutuk Dean.
Samuel melirik Alec, namun tak kuasa mengucapkan sesuatu lagi, selain,
“Sa..kit! Su..sah..nafas!”
Dean tersadar dengan wajah Samuel yang berubah pucat agak kebiruan.
“Ya, Tuhan!!” Dean langsung
membopong tubuh adiknya yang terhitung masih cukup ringan untuk ia gendong.
Dean langsung menaikkan Sam ke atas kuda sementara ia naik di belakangnya.
Dean memposisikan Samuel berada di pelukannnya agar tidak terjatuh, karena
Samuel sudah hilang kesadaran.
Alec masih terpaku pucat dengan perubahaan Samuel yang tiba-tiba dan wajah
panik Dean.
“Alec! Cepat naik kudamu, kita pulang!” Dean
setengah membentak menyadarkan Alec.
Alec tersadar dan mencari ‘Lily’ nya yang entah dimana, yang ada hanya
Nothern Light, kuda berbadan besar. ‘Bagaimana naiknya?’
Tapi entah bagaimana, Alec menemukan pijakan untuk dia bisa naik ke atas
punggung Nothern Light. Begitu ia duduk, tiba-tiba Dean memecut Nothern light,
dan membuatnya lari.
“Pegang tali kekangnya kuat-kuat
Alec!” serunya seraya mengejar dari belakang dan mendahului Alec menuju rumah.
Begitu sampai di pekarang belakang rumah, Dean segera turun dari kuda dan
langsung menggendong tubuh adiknya masuk.
“EMAAAA!!!!!” pekiknya panik.
Emma tergopoh-gopong datang mendengar pekikan panik tuan mudanya.
“Ya, Tuhan! Tuan Muda Samuel!?”
jantung Emma serasa berhenti begitu melihat Tuan mudanya menggendong sang adik
yang terluka parah dan tak sadarkan diri, membawanya masuk ke kamar Samuel.
“Papa belum pulang?”
“Belum, Tuan,”
Dean mendengus, berarti ia harus mengatasinya sendiri.
Dean langsung menyobek baju Samuel yang sudah berwarna merah.
“Dean, ini..?” Emma menahan
nafas.
“Ya, Emma, beruang. Samuel
bermain dengan Grizzly! Tolong siapkan air hangat dan cairan antiseptic, juga
pembalut!”
“Baik!” Emma langsung mengambilkan
semua yang diminta tuan mudanya.
Alec hanya bisa berdiri di depan kamar Samuel tanpa berani mendekat, dan
melihat Dean berusaha menyelamatkan Samuel. Ia yakin Dean tidak bisa diganggu.
Dean dengan cepat membersihkan semua luka-luka yang ada di tubuh Samuel dan
berusaha menghentikan pendarahannya.
“Eugh!!” Samuel mengerang kesakitan.
‘Reaksi yang bagus’ batin Dean. “Tahan, Samuel, aku
tahu ini, sakit, tapi hanya sesaat. Akan kulakukan dengan cepat.”
Dean memeriksa lukanya. ‘Bagus, ini harus dijahit’. Mungkin ia pernah
diberikan teori sepintas tentang menjahit kulit oleh ayahnya, tapi tidak pernah
melakukannya langsung dengan kulit asli, terlebih dengan kulit adiknya, Samuel!
Tapi ia harus melakukannya untuk menutup lukanya, atau Sam akan kehilangan
darahnya. Ia mengusapkan obat di sekitar
luka itu untuk mengurangi rasa sakit.
“Sam, aku harus menjahit lukamu,
Papa sedang tidak ada di rumah, jadi aku yang harus melakukannya. Harus
dilakukan sekarang atau kau akan kehabisan darah, Sam.”
Samuel sempat melotot kaget disertai rasa takut, tapi kemudian mengangguk.
Air matanya sudah menetes, antara rasa takut dan kesakitan.
Dean mengangguk,setengah tidak siap, tapi ia harus melakukannya.
Dean mengambil peralatan ayahnya dari ruang kerja ayahnya dan mulai
menyiapkannya.
Dean harus menarik nafas beberapa kali untuk mengatasi emosi dan rasa
takutnya. Ini adiknya, adik yang amat disayanginya yang akan ia jahit kulitnya.
Tapi demi keselamatannya. Dean tidak mau mengambil resiko kehilangan adiknya
lagi, terlebih akibat kesalahannnya. Tidak seharusnya ia menunjukkan Grizzly
pada Samuel. Ia seharusnya tahu, Samuel sangat suka tantangan, dan pastinya
akan tertantang untuk memburu beruang besar itu. Ini memang salahnya. Tidak
seharusnya ia membawa Sam ke hutan, dan tidak seharusnnya ia menunjukkan
beruang itu pada Sam. Itu artinya, Sam tidak boleh mati, terlebih karena dia.
“Emma, tolong pegangi dia, jangan
sampai ia berontak.
“Sam, tarik nafas dalam-dalam,”
Dean siap dengan jarum dan benangnya.
Dean perlahan-lahan mulai menusukkan jarumnya ke kulit Sam dan cukup
membuat Sam memekik tertahan kesakitan.
“Maafkan aku, Sam...,” Dean
menahan perasaan perihnya harus menyakiti adiknya seperti ini.
Satu tusukan cukup mengantarkan Samuel hilang kesadaran. Dean langsung memeriksanya,
tanda vitalnya cukup normal. Sam hanya pingsan dan itu berarti Dean ada
kesempatan untuk melakukan tugasnya tanpa mendengar Sam menjerit kesakitan,
yang artinya juga harus dilakukan dengan cepat.
Dean berusaha melakukannya dengan cepat. Ia menjahit luka-luka di dada
Samuel juga di lengan Samuel. Dan selama itu, samuel masih di luar
kesadarannnya. Dean terus memeriksa tanda vitalnya, dan tidak perlu
dikhawatirkan.
Dean langsung menarik nafas dalam-dalam begitu ia menyelesaikan tugasanya
dan mampu membalut tubuh adiknya yang terluka. Sekarang tinggal menunggu Samuel
sadarkan diri. Dean terduduk kelelahan di samping tempat tidur adiknya.
“Ya, Tuhan, semoga yang kulakukan
ini benar, tidak terjadi apa-apa pada dia, terlebih menyebabkan infeksi.
Lindungi dia, Tuhan.... ,” Dean berdoa penuh. “Pa, cepatlah pulang.”
“Dean!?” suara ayahnya dari luar
kamar membuatnya ia terlonjak dan alam pikirnya. “Papa!” dan segera keluar.
“Dean? Apa yang terjadi?” John
setengah panik masuk ke dalam kamar. Ia langsung mendapat kabar buruk dari Emma
begitu ia menginjakkan kaki di pelataran rumah, dan langsung lari ke kamar
Samuel.
“Pa, maafkan aku, ini, salahku...
tidak seharusnya aku mengajaknya ke hutan, juga tidak seharusnya_”
“Dean, jelaskan apa yang terjadi
dengan adikmu,” John memotongnya. Saat ini dia tidak perlu penjelasan
alasannya, tapi kondisi Samuel.
“Samuel bermain dengan Grizzly,
dan Grizzly melukai tangannya dan dadanya.”
“Lalu lukanya?” John melihat dada
samuel sudah terbalut perban yang melingkar dadanya, juga Samuel yang tertidur
dengan wajah pucat.
“Sudah aku jahit...,” sahut Dean
pelan.
John tercekat, “Kau jahit, Dean...?”
Dean mengangguk. “Lukanya lumayan lebar, dan Sam akan kehilangan darahnya jika
tidak segera kututup.”
Tanpa pikir dua kali, John langsung membuka balutan dan memeriksa sendiri
luka dan jahitan di dada Samuel.
Dean menunggu dengan gugup ayahnya memeriksa hasil kerjanya.
“Kau yakin sudah bersih benar?”
seraya memeriksa setiap detilnya.
“Sudah pa.”
John masih memeriksa dan harus mengakui hasil jahitannya cukup rapi, dan
juga cukup bersih.
“Aku hanya melakukan yang saat
itu harus kulakukan, Sammy jangan sampai kehabisan darah.”
John mengangguk, “Tepat, kau sudah melakukan hal yang tepat, Dean, untuk
Samuel.”
Dean hanya mengangguk lega, namun tidak dapat menutupi rasa bersalahnya.
“Ini semua salahku, pa, tidak
seharusnya aku mengajak Samuel melihat Grizzly. Ia tertantang untuk memburunya.
Tapi sepertinya Grizzly lebih dulu memburunya.”
John menghela nafas dalam-dalam, memikirkan putranya yang satu ini.
“Samuel.... mungkin ini bisa
menjadi pelajaran dia, untuk tidak bermain-main dengan sesuatu yang bukan
tandingannya. Tapi yang jelas ini bukan salahmu, Dean, jangan kau salahkan
diri.”
Dean mengangguk.
Kini mereka hanya bisa menunggu dan mengantisipasi bila demam datang.
Alec masih menunggu di luar kamar Samuel tanpa berani untuk masuk, terlebih
setelah ayahnya datang, dan memeriksa luka-luka samuel. Perasaan bersalah
semakin menyiksanya. Samuel terluka karena dia, Samuel terluka parah karena ia
tidak mendengarkan titah Dean untuk tetap di rumah bukannya ikut menyusul.
Mungkin munculnya beruangnya hanya sebagai pelengkap, karena iapun tidak
mengangguk beruang itu, dan ia tidak tahu ada beruang sebesar itu ada di sana,
tapi kalau saja ia tidak nekat menyusul, mungkin ini tidak akan terjadi. Ia
tidak akan bertemu dengan beruang itu, juga Samuel tidak akan menolongnya, dan
Samuel tidak akan terluka olehnya. Alec tidak akan bisa memaafkan diri jika
sesuatu buruk terjadi padanya.
Namun yang lebih mengganjalnya adalah prasangka kakaknya Dean yang
mengatakan Samuel bermain-main dengan Grizzly, Samuel yang menganggu beruang
itu. BUKAN!! Samuel tidak menganggunya, Samuel justru menolongnya. Samuel menolong
Alec dari gangguan Grizzly. Ia harus meluruskannya, atau Samuel akan terus
disalahkan karena telah menganggu beruang yang berakibat fatal pada
keselamatannya. Dan Alec harus melakukannya sekarang.
Alec menunggu hingga ayahnya keluar untuk melihat ibunya. Dan mungkin ini
kesempatan yang baik untuk Alec mengatakannya pada kakaknya. Dengan setengah
keberanian, Alec memasuki kamar Samuel dimana kakaknya menunggu Samuel.
“Kak?”
Dean tersadar dengan suara kecil Alec.
“Hai, Alec?” Dean memaksa tersenyum
di wajah lelahnya. “Maafkan kau jadi terabaikan. Eh, kau tadi ada di hutan,
bersama Samuel, bagaimana kau bisa ada di sana?”
“Aku menyusul kalian,” ucapnya
lirih.
Dean terkatup.
“Maafkan aku...”
Dean menghela nafas, lalu tersenyum. “Tak apa, kau tidak salah apa-apa,
hanya mungkin kau ada di saat yang tidak tepat, bertemu dengan Samuel yang
sedang bermain-main dengan Grizzly, hingga membahayakan nyawanya.”
“Bukan! Bukan salah kak Samuel,
tapi ini salahku!” Alec setengah memekik mengagetkan Dean.
Dean melihat Samuel yang tidak terpengaruh pekikan Alec.
“Apa maksudmu, salahmu?” Dean
terheran, terlebih dengan air mata sudah mengalir di pipi Alec.
“Kak Samuel tidak menganggu beruang itu, kak Samuel justru yang menolong
aku dari gangguan beruang itu!”
Dean terkatup kaget.
“Aku tersesat, tidak tahu jalan
pulang. Lalu tiba-tiba beruang itu muncul di hadapanku hingga aku terjatuh dari
Lily. Dia mengejarku, beruang itu siap menerkamku, tapi tiba-tiba Kak Samuel
datang mengalihkan perhatiannya dan menjadikann dia sebagai sasaran,” Alec
penuh emosi dengan air mata mengalir di pipinya.
“Beruang itu melukai Kak Samuel.
Belati yang dibawa Kak Samuel terlempar, dan aku langsung mengambilnya lalu
menghujamkan di kaki beruang itu.
Dean terngana mendengarnya, hampir tidak percaya. Tapi tuturan kata Alec
tidak mungkin berbohong. Alec sedang tidak mereka cerita. Kini ia merasa
bersalah telah menyangka Samuel dengan buruk.
“Dia sudah hampir membunuh Kak
Samuel! Dan bukan, bukan Kak Samuel yang mengganggu beruang itu, ia hanya
menolongku. Aku yang salah! Aku yang bikin kak Samuel terluka!” pekiknya dengan
berlinang air mata
Dean langsung memeluknya erat, “Ssshhh, sudah, bukan salahmu,” Dean
memeluknya erat untuk meredam rasa bersalahnya. Kalau saja ia tidak mengajak
Samuel ke hutan, kalau saja ia mengajak Alec ikut serta, tentulah hal ini tidak
akan terjadi. “Jangan menangis, bukan salahmu...”
“Juga bukan salahmu, Dean,” ucap
ayahnya tiba-tiba masuk dengan lirih.
Dean terkaget dengan masuknya ayahnya kembali di kamar Samuel.
“Papa sudah mendengarnya semua.
Bukan salah siapa-sapa, dan yang pasti Samuel sudah melakukan tindakan berani
di sana, menolongmu.”
“Tapi sekarang Kak Samuel
terluka... kalau dia...”
“Ssshhh, jangan diteruskan,” John
menghentikan ucapan ketakutan Alec. “Kakakmu akan baik-baik saja. Dia kuat, kau
jangan khawatir, Samuel akan baik-baik saja,” John menenangkan Alec. “Sekarang
kita berdoa agar Samuel tetap kuat, dan segera bangun.
Alec hanya mengangguk.
Dan mereka bersama menunggu Samuel.
Dean masih belum mempercayai, betapa piciknya dia telah menyangka Samuel
seperti itu, sementara Samuel melakukannya untuk menolong Alec. Tapi ada
perasaan bangga di sana. Dean sangat bangga pada Samuel.
John masih memandangi putra keduanya penuh kekaguman. Tindakan heroik Samuel
untuk menolong Alec sudah mempertaruhkan nyawanya tanpa ia fikirkan resikonya.
Hal itu sudah membuktikan Samuel bukanlah anak yang egois. Ia salah selama ini,
mengira samuel hanyalah anak yang egois dan hanya menuruti kehendak hatinya.
Bukan, Samuel bukanlah anak seperti itu, dan John sudah melihat dan membuktikannya.
Tak perlu dikata, John sangat bangga pada Samuel, dan ia berhutang maaf
padanya.
**
Samuel mengedip-ngedipkan mata dan mencoba untuk membukanya. Saat itu juga
ia merasakan sakit di dadanya.
“Eurgh!”
“Samuel?” suara lembut bernada
cemas ayahnya menyambutnya.
“Pa...?”
“Samuel?” giliran Dean
menyambutnya. Nadanya lebih pada rasa penuh kelegaan.
“De..an...?”
“Jangan banyak bergerak dulu,” Dean
mencegahnya saat Samuel mencoba untuk bangun.
“Dean... aku tidak menganggu
Grizzly, dia ...”
Dean menghela nafas penuh sesal, “Aku tahu, Sam, Alec sudah
menceritakannya. Bukan salahmu, Grizzly yang menganggu kalian, maafkan aku
sudah mengira salah...,” Dean tersenyum meminta maaf.
Samuel tersenyum tipis. “Kau harus membayarnya nanti, Dean,”
Dean mengangguk dengan tersenyum.
“Papa sangat bangga padamu, Sam,
dan maafkan papa, papa sudah salah melihat dirimu.”
Samuel terkatup sesaat, kemudian mengangguk.
John langsung memeluk hangat putranya, dan mengecupnya erat.
Samuel merasakan pelukan tulus dan hangat dari ayahnya yang sudah lama ia
rindukan. Samuel meresapinya beberapa saat.
“Mana Alec?” Samuel mencarinya
setelah ayahnya melepaskan pelukannya.
“Aku di sini...,” sahut Alec
malu-malu masuk diantara mereka.
“Kau nggak apa-apa?”
Alec menggeleng lirih. Air matanya kembali menetes, dan serta merta
langsung memeluk kakaknya.
“AUCH!” Samuel mengaduh dengan tekanan tiba-tiba di dadanya.
“Terima kasih!” ucapnya di
pelukan Samuel.
Samuel merasakan pelukan tulus dari Alec dan harus tersenyum mengangguk,
“Asal kamu janji, lain kali menurut apa yang disuruh kakak-kakakmu. Kalau
disuruh tetep di rumah, yang tetep dirumah, jangan nyusul, pasti kita ajak
main, jangan takut.”
Alec mengangguk masih dipelukan Samuel.
“Uhuk! Cukup, Alec, nggak bisa
nafas,” Samuel setengah terengah.
Alec langsung melepaskan pelukannya. “Maaf.”
Samuel tersenyum nakal.
“Aku sudah mengira tidak akan
bangun lagi.”
“Kenapa? Karena aku yang
menjahitnya?” Dean setengah tersinggung.
Samuel senyum kembali dengan senyuman nakalnya.
“Kau tak perlu khawatir, kakakmu
sudah menjahitnya dengan benar, dan papa pastikan kau tidak akan apa-apa,
karena itulah kau baik-baik saja.”
Samuel tersenyum pada kakaknya, “Terima kasih. Kamu memang calon dokter,
kak.”
Dean mengangguk sanjung, “Terima kasih, aku butuh doa
kalian. Dan sepertinya inilah waktu yang tepat untuk memberitahukannya pada
kalian.”
“Apa?”
Dean tersenyum kulum pada tiga orang yang dikasihinya. Mereka menunggu
dengan penasaran.
“Surat dari Harvard sudah datang,
dan... ya.. aku diterima di sekolah medisnya.”
“WAAA!!!” Samuel memekik
kegirangan, sementara John terbelalak kaget penuh kebanggaan.
Langsung dipeluknya Dean sangat erat.
“Hebat, hebat kau, Nak, papa
sangat bangga padamu.”
Dean tersenyum bangga, “terima kasih.”
“Kau harus menyampaikan langsung
pada mama.”
“Pasti, pa,” Dean masih tersenyum
bangga.
“Kapan mulainya?” Samuel ingin
tahu.
“Musim gugur ini, bulan September
ini.”
“Masih ada dua bulan lagi sebelum
kau pergi, kak,” Samuel mengangguk tersenyum
Dean mengangguk, sementara Alec terkatup kecewa, apakah itu artinya Kak
Dean akan pergi meninggalkan mereka.
“Harvard? Di mana itu?” Alec
dengan raut wajah sedih.
“Massachusetts.”
“Jauh?”
“Cukup jauh.”
Alec semakin tidak menahan untuk menutupi raut wajahnya. Dia tidak mau
kakaknya yang paling baik sedunia pergi meninggalkannya.
“Hey, jangan sedih gitu dong. Aku
pasti akan sering pulang kalau liburan.”
Alec masih diam.
“Hey, kamu masih punya aku,
nih...,” sahut Samuel.
Alec melirik Samuel.
“Aku nggak akan ngigit kamu,
Alec, biarkan dia jadi dokter memenuhi cita-citanya, dan kamu akan bermain
sepuasnya dengan aku,” Samuel menyeringai nakal.
Alec hampir tidak percaya, dengan perubahan Samuel, tapi kakaknya ini
memang sudah berubah.
Alecpun mengangguk lirih, dan langsung memeluk kakaknya.
Dean memeluk erat tubuh kecil itu.
“Kamu akan baik-baik saja dengan
Samuel, dia master di segala bidang, kamu bisa jadi hebat di tangannya.”
Alec hanya mengangguk, sementara Samuel tersenyum
Alec masih memeluk Dean dan melepaskan semuanya yang menghimpit dadanya
seperti ia mulai melepaskan apapun yang akan terjadi padanya bersama keluarga
ini. Karena semuanya seperti terbuka. Samuel sudah menerimanya sebagai adik.
Tapi apakah itu artinya dia akan tetap akan menjadi Adeline? Tapi jika memang
harus, Alec sudah siap. Alec akan menerimanya dengan ikhlas. Keluarga ini sudah
sangat baik padanya, dan ia mulai menyayangi semuanya.
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar