Sabtu, 17 November 2012

Beauty Love Brother - Bagian 22


Rating : K+

Genre : Family

Character : Alec, Ben, Dean, Sam


Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?

ENJOY


Chpater 22

GRAAAAAUUUUUUUMMMMMM!!!
Dean terkaget dengan suara grauman beruang yang tiba-tiba terdengar. Dari suaranya, seperti suara kesakitan. Dean menengok ke belakang, dan tidak terlihat Samuel. Dean langsung teringat dengan ucapan Samuel yang ingin memburu Grizly. Samuelkah, yang mengejar beruang ganas itu.
‘Haduh Sammy!!’ dengan setengah kesal Dean langsung berbalik arah ke sumber suara.
*
Alec menunggu reaksi  beruang dan terlihat si beruang masih bergulat dengan rasa sakitnya,  tapi tidak beranjak dari berdirinya. Namun hanya beberapa saat dan beruang itu langsung berbalik arah dan pergi dari hadapan mereka dengan terpincang kesakitan.
Alec langsung berlari menuju Samuel yang sudah tergeletak lemas penuh kelegaan dengan memegangi dadanya yang terluka.
    “Kak??” Alec pucat dan ketakutan dengan kondisi Samuel. Kakak angkatnya terluka parah. Darah mengalir dari luka cakaran itu, dan Samuel sudah terlihat pucat kesakitan. Harus ada yang menghentikan darah itu. Spontan Alec langsung menyobek bagian bawah roknya sepanjang yang ia bisa sobek dan ia letakkan di dada Samuel menutupi lukanya dan menekannya untuk menghentikan darahnya keluar.
    “Arrghh, aw!” Samuel memekik tertahan kesakitan.
    “Maaf,” tangan Alec bergetar dengan luka di dada ini, terlebih ia tahu ia semakin menyakiti kakaknya.
   “Kamu ngapain nyusul kita ke hutan??”  Samuel setengah kesal setengah kesakitan.
Perasaan bersalah langsung menyergap Alec. Kalau saja ia tidak menyusul mereka ke hutan, ia tidak mungkin bertemu dengan beruang jelek itu, dan Samuel tidak perlu ada di situasi ini. Sir Samuel tidak akan terluka oleh beruang besar itu.   “Aku ingin main dengan kalian,” Alec menunduk penuh rasa bersalah. Air matanya mulai menetes. “Maafin aku …” isaknya.
Samuel hanya bisa menghela nafas, dan menyeringai kesakitan. Mau marah juga dia tidak punya tenaga, karena dadanya terasa sakit dan perih akibat kuku tajam sang beruang besar tadi. Samuel hanya berharap tidak terlalu dalam lukanya, meski ia meragukan karena darah masih belum berhenti dan dadanya sakit sekali. Sekarang tinggal memikirkan bagaimana mereka bisa pulang ke rumah sebelum ia kehabisan darah di sini di hutan bersama anak yang tidak bisa diatur dan bisanya hanya menangis!
    “Samuel!?” mereka dikagetkan dengan suara yang sangat mereka inginkan dengar.
    “Kak Dean!?” Alec menyambut dengan sumringah penuh kelegaan.
    “Apa yang terjadi!?” Dean berusaha menahan kepanikan dan marah, dengan pemandangan dada dan lengan Samuel terkoyak jelas dari cakaran seekor beruang. “Sudah kubilang, jangan ganggu beruang itu, Sam! Dan Alec, kenapa kau ada di sini!?” Dean tidak dapat menahan keheranannya melihat Alec bersama Samuel.
    “A..aku..t..dak.. meng..ganggunya..!” Samuel membantah dengan terengah, karena dadanya mulai terasa sesak.
    “Hah? Lalu?” seraya memeriksa luka di dada dan lengannya. ‘cukup dalam,’ rutuk Dean.
Samuel melirik Alec, namun tak kuasa mengucapkan sesuatu lagi, selain, “Sa..kit! Su..sah..nafas!”
Dean tersadar dengan wajah Samuel yang berubah pucat agak kebiruan.
    “Ya, Tuhan!!” Dean langsung membopong tubuh adiknya yang terhitung masih cukup ringan untuk ia gendong.
Dean langsung menaikkan Sam ke atas kuda sementara ia naik di belakangnya. Dean memposisikan Samuel berada di pelukannnya agar tidak terjatuh, karena Samuel sudah hilang kesadaran.
Alec masih terpaku pucat dengan perubahaan Samuel yang tiba-tiba dan wajah panik Dean.
    “Alec! Cepat naik kudamu, kita pulang!” Dean setengah membentak menyadarkan Alec.
Alec tersadar dan mencari ‘Lily’ nya yang entah dimana, yang ada hanya Nothern Light, kuda berbadan besar. ‘Bagaimana naiknya?’
Tapi entah bagaimana, Alec menemukan pijakan untuk dia bisa naik ke atas punggung Nothern Light. Begitu ia duduk, tiba-tiba Dean memecut Nothern light, dan membuatnya lari.
    “Pegang tali kekangnya kuat-kuat Alec!” serunya seraya mengejar dari belakang dan mendahului Alec menuju rumah.


Begitu sampai di pekarang belakang rumah, Dean segera turun dari kuda dan langsung menggendong tubuh adiknya masuk.
    “EMAAAA!!!!!” pekiknya panik.

Emma tergopoh-gopong datang mendengar pekikan panik tuan mudanya.
    
    “Ya, Tuhan! Tuan Muda Samuel!?” jantung Emma serasa berhenti begitu melihat Tuan mudanya menggendong sang adik yang terluka parah dan tak sadarkan diri, membawanya masuk ke kamar Samuel.
    “Papa belum pulang?”
    “Belum, Tuan,”
Dean mendengus, berarti ia harus mengatasinya sendiri.
Dean langsung menyobek baju Samuel yang sudah berwarna merah.
    “Dean, ini..?” Emma menahan nafas.
    “Ya, Emma, beruang. Samuel bermain dengan Grizzly! Tolong siapkan air hangat dan cairan antiseptic, juga pembalut!”
   “Baik!” Emma langsung mengambilkan semua yang diminta tuan mudanya.

Alec hanya bisa berdiri di depan kamar Samuel tanpa berani mendekat, dan melihat Dean berusaha menyelamatkan Samuel. Ia yakin Dean tidak bisa diganggu.

Dean dengan cepat membersihkan semua luka-luka yang ada di tubuh Samuel dan berusaha menghentikan pendarahannya.

“Eugh!!” Samuel mengerang kesakitan.
‘Reaksi yang bagus’ batin Dean.  “Tahan, Samuel, aku tahu ini, sakit, tapi hanya sesaat. Akan kulakukan dengan cepat.”
Dean memeriksa lukanya. ‘Bagus, ini harus dijahit’. Mungkin ia pernah diberikan teori sepintas tentang menjahit kulit oleh ayahnya, tapi tidak pernah melakukannya langsung dengan kulit asli, terlebih dengan kulit adiknya, Samuel! Tapi ia harus melakukannya untuk menutup lukanya, atau Sam akan kehilangan darahnya.  Ia mengusapkan obat di sekitar luka itu untuk mengurangi rasa sakit.
    “Sam, aku harus menjahit lukamu, Papa sedang tidak ada di rumah, jadi aku yang harus melakukannya. Harus dilakukan sekarang atau kau akan kehabisan darah, Sam.”
Samuel sempat melotot kaget disertai rasa takut, tapi kemudian mengangguk. Air matanya sudah menetes, antara rasa takut dan kesakitan.
Dean mengangguk,setengah tidak siap, tapi ia harus melakukannya.
Dean mengambil peralatan ayahnya dari ruang kerja ayahnya dan mulai menyiapkannya.

Dean harus menarik nafas beberapa kali untuk mengatasi emosi dan rasa takutnya. Ini adiknya, adik yang amat disayanginya yang akan ia jahit kulitnya. Tapi demi keselamatannya. Dean tidak mau mengambil resiko kehilangan adiknya lagi, terlebih akibat kesalahannnya. Tidak seharusnya ia menunjukkan Grizzly pada Samuel. Ia seharusnya tahu, Samuel sangat suka tantangan, dan pastinya akan tertantang untuk memburu beruang besar itu. Ini memang salahnya. Tidak seharusnya ia membawa Sam ke hutan, dan tidak seharusnnya ia menunjukkan beruang itu pada Sam. Itu artinya, Sam tidak boleh mati, terlebih karena dia.
    “Emma, tolong pegangi dia, jangan sampai ia berontak.
    “Sam, tarik nafas dalam-dalam,” Dean siap dengan jarum dan benangnya.

Dean perlahan-lahan mulai menusukkan jarumnya ke kulit Sam dan cukup membuat Sam memekik tertahan kesakitan.
    “Maafkan aku, Sam...,” Dean menahan perasaan perihnya harus menyakiti adiknya seperti ini.
Satu tusukan cukup mengantarkan Samuel hilang kesadaran. Dean langsung memeriksanya, tanda vitalnya cukup normal. Sam hanya pingsan dan itu berarti Dean ada kesempatan untuk melakukan tugasnya tanpa mendengar Sam menjerit kesakitan, yang artinya juga harus dilakukan dengan cepat.

Dean berusaha melakukannya dengan cepat. Ia menjahit luka-luka di dada Samuel juga di lengan Samuel. Dan selama itu, samuel masih di luar kesadarannnya. Dean terus memeriksa tanda vitalnya, dan tidak perlu dikhawatirkan.

Dean langsung menarik nafas dalam-dalam begitu ia menyelesaikan tugasanya dan mampu membalut tubuh adiknya yang terluka. Sekarang tinggal menunggu Samuel sadarkan diri. Dean terduduk kelelahan di samping tempat tidur adiknya.

    “Ya, Tuhan, semoga yang kulakukan ini benar, tidak terjadi apa-apa pada dia, terlebih menyebabkan infeksi. Lindungi dia, Tuhan.... ,” Dean berdoa penuh. “Pa, cepatlah pulang.”

   “Dean!?” suara ayahnya dari luar kamar membuatnya ia terlonjak dan alam pikirnya.  “Papa!” dan segera keluar.

   “Dean? Apa yang terjadi?” John setengah panik masuk ke dalam kamar. Ia langsung mendapat kabar buruk dari Emma begitu ia menginjakkan kaki di pelataran rumah, dan langsung lari ke kamar Samuel.
    “Pa, maafkan aku, ini, salahku... tidak seharusnya aku mengajaknya ke hutan, juga tidak seharusnya_”
    “Dean, jelaskan apa yang terjadi dengan adikmu,” John memotongnya. Saat ini dia tidak perlu penjelasan alasannya, tapi kondisi Samuel.
    “Samuel bermain dengan Grizzly, dan Grizzly melukai tangannya dan dadanya.”
   “Lalu lukanya?” John melihat dada samuel sudah terbalut perban yang melingkar dadanya, juga Samuel yang tertidur dengan wajah pucat.
   “Sudah aku jahit...,” sahut Dean pelan.
John tercekat, “Kau jahit, Dean...?”
Dean mengangguk. “Lukanya lumayan lebar, dan Sam akan kehilangan darahnya jika tidak segera kututup.”
Tanpa pikir dua kali, John langsung membuka balutan dan memeriksa sendiri luka dan jahitan di dada Samuel.
Dean menunggu dengan gugup ayahnya memeriksa hasil kerjanya.
    “Kau yakin sudah bersih benar?” seraya memeriksa setiap detilnya.
    “Sudah pa.”
John masih memeriksa dan harus mengakui hasil jahitannya cukup rapi, dan juga cukup bersih.
    “Aku hanya melakukan yang saat itu harus kulakukan, Sammy jangan sampai kehabisan darah.”
John mengangguk, “Tepat, kau sudah melakukan hal yang tepat, Dean, untuk Samuel.”
Dean hanya mengangguk lega, namun tidak dapat menutupi rasa bersalahnya.
    “Ini semua salahku, pa, tidak seharusnya aku mengajak Samuel melihat Grizzly. Ia tertantang untuk memburunya. Tapi sepertinya Grizzly lebih dulu memburunya.”
John menghela nafas dalam-dalam, memikirkan putranya yang satu ini.
    “Samuel.... mungkin ini bisa menjadi pelajaran dia, untuk tidak bermain-main dengan sesuatu yang bukan tandingannya. Tapi yang jelas ini bukan salahmu, Dean, jangan kau salahkan diri.”
Dean mengangguk.
Kini mereka hanya bisa menunggu dan mengantisipasi bila demam datang.

Alec masih menunggu di luar kamar Samuel tanpa berani untuk masuk, terlebih setelah ayahnya datang, dan memeriksa luka-luka samuel. Perasaan bersalah semakin menyiksanya. Samuel terluka karena dia, Samuel terluka parah karena ia tidak mendengarkan titah Dean untuk tetap di rumah bukannya ikut menyusul. Mungkin munculnya beruangnya hanya sebagai pelengkap, karena iapun tidak mengangguk beruang itu, dan ia tidak tahu ada beruang sebesar itu ada di sana, tapi kalau saja ia tidak nekat menyusul, mungkin ini tidak akan terjadi. Ia tidak akan bertemu dengan beruang itu, juga Samuel tidak akan menolongnya, dan Samuel tidak akan terluka olehnya. Alec tidak akan bisa memaafkan diri jika sesuatu buruk terjadi padanya.
Namun yang lebih mengganjalnya adalah prasangka kakaknya Dean yang mengatakan Samuel bermain-main dengan Grizzly, Samuel yang menganggu beruang itu. BUKAN!! Samuel tidak menganggunya, Samuel justru menolongnya. Samuel menolong Alec dari gangguan Grizzly. Ia harus meluruskannya, atau Samuel akan terus disalahkan karena telah menganggu beruang yang berakibat fatal pada keselamatannya. Dan Alec harus melakukannya sekarang.

Alec menunggu hingga ayahnya keluar untuk melihat ibunya. Dan mungkin ini kesempatan yang baik untuk Alec mengatakannya pada kakaknya. Dengan setengah keberanian, Alec memasuki kamar Samuel dimana kakaknya menunggu Samuel.

     “Kak?”
Dean tersadar dengan suara kecil Alec.
    “Hai, Alec?” Dean memaksa tersenyum di wajah lelahnya. “Maafkan kau jadi terabaikan. Eh, kau tadi ada di hutan, bersama Samuel, bagaimana kau bisa ada di sana?”
    “Aku menyusul kalian,” ucapnya lirih.
Dean terkatup.
   “Maafkan aku...”
Dean menghela nafas, lalu tersenyum. “Tak apa, kau tidak salah apa-apa, hanya mungkin kau ada di saat yang tidak tepat, bertemu dengan Samuel yang sedang bermain-main dengan Grizzly, hingga membahayakan nyawanya.”
   “Bukan! Bukan salah kak Samuel, tapi ini salahku!” Alec setengah memekik mengagetkan Dean.
Dean melihat Samuel yang tidak terpengaruh pekikan Alec.
    “Apa maksudmu, salahmu?” Dean terheran, terlebih dengan air mata sudah mengalir di pipi Alec.
    “Kak Samuel tidak menganggu beruang itu, kak Samuel justru yang menolong aku dari gangguan beruang itu!”
Dean terkatup kaget.
    “Aku tersesat, tidak tahu jalan pulang. Lalu tiba-tiba beruang itu muncul di hadapanku hingga aku terjatuh dari Lily. Dia mengejarku, beruang itu siap menerkamku, tapi tiba-tiba Kak Samuel datang mengalihkan perhatiannya dan menjadikann dia sebagai sasaran,” Alec penuh emosi dengan air mata mengalir di pipinya.
   “Beruang itu melukai Kak Samuel. Belati yang dibawa Kak Samuel terlempar, dan aku langsung mengambilnya lalu menghujamkan di kaki beruang itu.
Dean terngana mendengarnya, hampir tidak percaya. Tapi tuturan kata Alec tidak mungkin berbohong. Alec sedang tidak mereka cerita. Kini ia merasa bersalah telah menyangka Samuel dengan buruk.
   “Dia sudah hampir membunuh Kak Samuel! Dan bukan, bukan Kak Samuel yang mengganggu beruang itu, ia hanya menolongku. Aku yang salah! Aku yang bikin kak Samuel terluka!” pekiknya dengan berlinang air mata
Dean langsung memeluknya erat, “Ssshhh, sudah, bukan salahmu,” Dean memeluknya erat untuk meredam rasa bersalahnya. Kalau saja ia tidak mengajak Samuel ke hutan, kalau saja ia mengajak Alec ikut serta, tentulah hal ini tidak akan terjadi. “Jangan menangis, bukan salahmu...”
    “Juga bukan salahmu, Dean,” ucap ayahnya tiba-tiba masuk dengan lirih.
Dean terkaget dengan masuknya ayahnya kembali di kamar Samuel.
    “Papa sudah mendengarnya semua. Bukan salah siapa-sapa, dan yang pasti Samuel sudah melakukan tindakan berani di sana, menolongmu.”
    “Tapi sekarang Kak Samuel terluka... kalau dia...”
    “Ssshhh, jangan diteruskan,” John menghentikan ucapan ketakutan Alec. “Kakakmu akan baik-baik saja. Dia kuat, kau jangan khawatir, Samuel akan baik-baik saja,” John menenangkan Alec. “Sekarang kita berdoa agar Samuel tetap kuat, dan segera bangun.
Alec hanya mengangguk.

Dan mereka bersama menunggu Samuel.

Dean masih belum mempercayai, betapa piciknya dia telah menyangka Samuel seperti itu, sementara Samuel melakukannya untuk menolong Alec. Tapi ada perasaan bangga di sana. Dean sangat bangga pada Samuel.

John masih memandangi putra keduanya penuh kekaguman. Tindakan heroik Samuel untuk menolong Alec sudah mempertaruhkan nyawanya tanpa ia fikirkan resikonya. Hal itu sudah membuktikan Samuel bukanlah anak yang egois. Ia salah selama ini, mengira samuel hanyalah anak yang egois dan hanya menuruti kehendak hatinya. Bukan, Samuel bukanlah anak seperti itu, dan John sudah melihat dan membuktikannya. Tak perlu dikata, John sangat bangga pada Samuel, dan ia berhutang maaf padanya.

**

Samuel mengedip-ngedipkan mata dan mencoba untuk membukanya. Saat itu juga ia merasakan sakit di dadanya.
    “Eurgh!”
    “Samuel?” suara lembut bernada cemas ayahnya menyambutnya.
   “Pa...?”
   “Samuel?” giliran Dean menyambutnya. Nadanya lebih pada rasa penuh kelegaan.
  “De..an...?”
  “Jangan banyak bergerak dulu,” Dean mencegahnya saat Samuel mencoba untuk bangun.
    “Dean... aku tidak menganggu Grizzly, dia ...”
Dean menghela nafas penuh sesal, “Aku tahu, Sam, Alec sudah menceritakannya. Bukan salahmu, Grizzly yang menganggu kalian, maafkan aku sudah mengira salah...,” Dean tersenyum meminta maaf.
Samuel tersenyum tipis. “Kau harus membayarnya nanti, Dean,”
Dean mengangguk dengan tersenyum.
   “Papa sangat bangga padamu, Sam, dan maafkan papa, papa sudah salah melihat dirimu.”
Samuel terkatup sesaat, kemudian mengangguk.
John langsung memeluk hangat putranya, dan mengecupnya erat.
Samuel merasakan pelukan tulus dan hangat dari ayahnya yang sudah lama ia rindukan. Samuel meresapinya beberapa saat.
   “Mana Alec?” Samuel mencarinya setelah ayahnya melepaskan pelukannya.
   “Aku di sini...,” sahut Alec malu-malu masuk diantara mereka.
   “Kau nggak apa-apa?”
Alec menggeleng lirih. Air matanya kembali menetes, dan serta merta langsung memeluk kakaknya.
“AUCH!” Samuel mengaduh dengan tekanan tiba-tiba di dadanya.
    “Terima kasih!” ucapnya di pelukan Samuel.
Samuel merasakan pelukan tulus dari Alec dan harus tersenyum mengangguk, “Asal kamu janji, lain kali menurut apa yang disuruh kakak-kakakmu. Kalau disuruh tetep di rumah, yang tetep dirumah, jangan nyusul, pasti kita ajak main, jangan takut.”
Alec mengangguk masih dipelukan Samuel.
   “Uhuk! Cukup, Alec, nggak bisa nafas,” Samuel setengah terengah.
Alec langsung melepaskan pelukannya. “Maaf.”
Samuel tersenyum nakal.
   “Aku sudah mengira tidak akan bangun lagi.”
   “Kenapa? Karena aku yang menjahitnya?” Dean setengah tersinggung.
Samuel senyum kembali dengan senyuman nakalnya.
   “Kau tak perlu khawatir, kakakmu sudah menjahitnya dengan benar, dan papa pastikan kau tidak akan apa-apa, karena itulah kau baik-baik saja.”
Samuel tersenyum pada kakaknya, “Terima kasih. Kamu memang calon dokter, kak.”
Dean mengangguk sanjung, “Terima kasih, aku butuh doa kalian. Dan sepertinya inilah waktu yang tepat untuk memberitahukannya pada kalian.”
    “Apa?”
Dean tersenyum kulum pada tiga orang yang dikasihinya. Mereka menunggu dengan penasaran.
    “Surat dari Harvard sudah datang, dan... ya.. aku diterima di sekolah medisnya.”
    “WAAA!!!” Samuel memekik kegirangan, sementara John terbelalak kaget penuh kebanggaan.
Langsung dipeluknya Dean sangat erat.
     “Hebat, hebat kau, Nak, papa sangat bangga padamu.”
Dean tersenyum bangga, “terima kasih.”
    “Kau harus menyampaikan langsung pada mama.”
    “Pasti, pa,” Dean masih tersenyum bangga.
    “Kapan mulainya?” Samuel ingin tahu.
    “Musim gugur ini, bulan September ini.”
    “Masih ada dua bulan lagi sebelum kau pergi, kak,” Samuel mengangguk tersenyum
Dean mengangguk, sementara Alec terkatup kecewa, apakah itu artinya Kak Dean akan pergi meninggalkan mereka.
    “Harvard? Di mana itu?” Alec dengan raut wajah sedih.
    “Massachusetts.”
    “Jauh?”
    “Cukup jauh.”
Alec semakin tidak menahan untuk menutupi raut wajahnya. Dia tidak mau kakaknya yang paling baik sedunia pergi meninggalkannya.
    “Hey, jangan sedih gitu dong. Aku pasti akan sering pulang kalau liburan.”
Alec masih diam.
    “Hey, kamu masih punya aku, nih...,” sahut Samuel.
Alec melirik Samuel.
    “Aku nggak akan ngigit kamu, Alec, biarkan dia jadi dokter memenuhi cita-citanya, dan kamu akan bermain sepuasnya dengan aku,” Samuel menyeringai nakal.
Alec hampir tidak percaya, dengan perubahan Samuel, tapi kakaknya ini memang sudah berubah.
Alecpun mengangguk lirih, dan langsung memeluk kakaknya.
Dean memeluk erat tubuh kecil itu.
    “Kamu akan baik-baik saja dengan Samuel, dia master di segala bidang, kamu bisa jadi hebat di tangannya.”
Alec hanya mengangguk, sementara Samuel tersenyum
Alec masih memeluk Dean dan melepaskan semuanya yang menghimpit dadanya seperti ia mulai melepaskan apapun yang akan terjadi padanya bersama keluarga ini. Karena semuanya seperti terbuka. Samuel sudah menerimanya sebagai adik. Tapi apakah itu artinya dia akan tetap akan menjadi Adeline? Tapi jika memang harus, Alec sudah siap. Alec akan menerimanya dengan ikhlas. Keluarga ini sudah sangat baik padanya, dan ia mulai menyayangi semuanya.

TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar