Sabtu, 17 November 2012

Beauty Love Brother - Bagian 24


Rating : K+

Genre : Family

Character : Alec, Ben, Dean, Sam


Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?

ENJOY

Chapter 24

Hari tepat satu tahun telah tiba! Dan Alec sudah tidak sabar untuk segera ke panti asuhan untuk bertemu Ben, meski memang ada keraguan di sana, Ben akan menepati janjinya. Tapi paling tidak Alec tidak lupa. Alec tidak pernah melupakan Ben.

Dari pagi Alec sudah tidak sabar, dan Samuel berjanji untuk menemaninya. Tentu saja tanpa sepengetahuan siapapun, bahkan Emma atau Caleb; ini hanya akan menjadi rahasia mereka berdua, dan tentu saja pak kusir keluarga yang sudah mereka minta untuk berjanji tidaka kan membocorkan rahasia ini.

Alec dan Samuel menunggu hingga ayah mereka pergi menemui pasiennya dan bertemu kliennya, sebelum mereka bersemangat menuju kusir yang sudah menunggu mereka. Dan saat mereka pergi dari rumah Alec masih terbalut dengan gaun Adeline. Alec akan bertukar di sebuah toko. Dan lagi mereka pun akan membeli beberapa hadiah untuk anak-anak di Panti Asuhan, seperti pakaian ataupun mainan. Alec sudah memikirkan jauh-jauh untuk memberikan sesuatu pada teman-temannya yang belum beruntung di sana. Dan untunglah Samuel menyetujuinya, bahkan akan dengan ikhlas menggunakan uang tabungannya untuk membeli itu semua.

    “Tidak apa aku pakai uang tabungan kakak?” Alec masih ragu.
    “Tenang, uangku masih banyak,” dengan tersenyum tenang.
    “Papa tidak akan marah?”
    “Tidak selama papa tidak tahu,” Samuel tersenyum nakal.
Alec pun tersenyum. Ia lega Samuel sepenuhnya mendukungnya. Ia langsung dengan semangat memilihkan pakaian-pakainan baru dan bagus. Alec tidak sabar lagi untuk melihat wajah gembira teman-temannya di sana saat menerima hadiah, seperti dulu ia dan Ben yang selalu senang bila mendapat hadiah pakaian baru atau mainan dari para tamu yang datang berkunjung. Alec tersenyum sendiri mengingatnya.

*

                Ben menghela nafas dengan tersenyum di depan pintu gerbang ini. Dia tidak mempercayai dirinya kembali ke sini, tempat dia dan Alec dibesarkan. St. Peter, adalah tempat terbaik untuk anak-anak yatim piatu seperti dirinya dan Alec. Tempat mereka mendapatkan kasih sayang dan didikan yang baik, dan juga impian untuk mendapatkan keluarga yang baik pula untuk mereka. Seperti dirinya yang telah memiliki keluarga bahagia bersama Kel. Wesson. Dan sekarang ia akan menjeput Alec.
Ben menoleh pada kedua orang tuanya dengan perasaan berkecamuk, sebelum melewati gerbang itu, dan keduanya mengangguk dengan tersenyum.

Ben menarik nafas dalam-dalam saat ibu angkatnya mengetuk pintu besar itu untuk Ben, dan menunggu dengan tidak sabar. Dia akan bertemu Alec lagi!

Dan saat pintu terbuka, Ben dapat melihat wajah kaget dari Suster Ann dan tersenyum.

    “Ben!” pekiknya bahagia.
Ben tersenyum dengan senangnya, “Suster Theresa.”
Suster Theresa langsung memeluk bocak yang menjadi favoritnya erat-erat. “Senangnya dapat bertemu denganmu lagi, Nak.”
Ben hanya tersenyum. Suster Theresa beralih pada kedua orang tua angkat Ben.
    “Hello, Mr & Mrs. Wesson, senang berjumpa dengan Anda lagi,” Theresa berjabat tangan erat sekali mengekspresikan kebahagiaannya dapat berjumpa lagi dengan Ben. “Sebuah kejutan! Mari, silahkan masuk,” ia mempersilahkan mereka masuk, dengan pekikan, “Suster Annea! Lihat siapa yang datang ini!!!”

Ben tidak dapat menahan kegugupannya saat masuk kembali ke dalam. Sudah satu tahun berlalu sejak ia tinggalkan tempat ini. Ibu angkatnya menggenggam tangan Ben hangat, ia tahu kegugupan anaknya.

Ben menyapu pandangannya ke seluruh gedung ini, tidak ada yang berubah, masih sama seperti saat ia tinggalkan dulu. Dia melirik ke atas untuk mencari tema-temannya dulu. Tapi tidak ada, tempat ini terasa sepi. Kemana mereka?

    “Kok sepi?” tanya Ben saat mereka diajak ke kantor.
Suster Theresa tersenyum, “Bapa Simon mengajak mereka jalan-jalan ke kebun binatang. Kau ingat kan?”
Ben harus tersenyum dengan mengangguk. Meski sempat menjadi trauma sendiri untuk Ben yang hampir kehilangan Alec karena ikut ke kebun binatang, selanjutnya kebun binatang menjadi tempat favorite mereka berdua jika cuaca mendukung Alec untuk ikut serta.
    “Ben!” pekikan khas dari belakang mengagetkannya.
    “Suster Ann!!!” dan Ben mendapat pelukan yang sangat erat dari Suster kesayangannya, dan mengecupnya erat. Ben hampir tak dapat bernafas. Ben harus mengatur nafasnya saat akhirnya Suster Theresa melepaskan pelukannya, dan beralih pada kedua orang tua angkat Ben.
    “Mr. &Mrs. Wesson, senang dapat berjumpa kalian kembali.”
    “Kami yang senang dapat kembali ke sini,” Mrs. Wesson menyahut dengan hangat.
Suster Theresa tersenyum dan menghela nafas bahagia. Ia beralih pada Ben,
    “Lihat dirimu sekarang, Ben, kau bertambah tinggi dan besar, dan kau tampan sekali Nak. Bagaimana kabarmu, saying? Suster harap kau tidak nakal bersama mereka, dan menjadi anak yang baik untuk kedua orang tuanmu?”
    “Tentu, suster, Ben anak yang baik, kami sangat bangga padanya. Kami bersyukur memilikinya, Ben membuat semuanya sempurna untuk keluarga kecil kami.”
Ben merona dengan pujian yang diberikan ayah angkatnya, dan kedua suster tersenyum dengan bahagia dan bangganya.
    “Dan sepertinya kau juga sedang menunggu adik kecilmu, ya?” Suster Theresa melihat perut Wrs. Wesson yang terlihat sedikit memberar.
Mrs. Wesson harus tersenyum dengan bahagianya, “Ya, Ben akan segera memiliki adik. Tapi itu tidak akan mengubah perasaan dan kasih saying kami padanya. Kami sangat menyayangi Ben, dan ia akan tetap menjadi putra pertama kami.”
Sekali lagi kedua suster itu harus tersenyum dengan lega dan bahagianya, bersyukur Ben mendapat keluarga yang amat menyayangi Ben.
    “Senangnya kau ada di sini, Ben, anak-anak pasti senang sekali bisa bertemu denganmu lagi. Mereka semua merindukanmu,” ucap Suster Ann dengan senyum tidak pernah lepas dari wajah cantiknya. “Tapi jangan khawatir, mereka segera pulang, dank au bisa bertemu dengan mereka. Kalian tidak terburu-buru kan?” tanyanya pada kedua orang tua Ben
    “Tidak, tentu saja tidak, kami memang sengaja datang kemari, hingga Ben puas di sini,” Mr. Wesson menjawab.
Suster Anne tersenyum lega.
    “Suster, dimana Alec, boleh saya bertemu dengannya?” karena Ben percaya Alec tidak akan mungkin diizinkan ikut di musim dingin ini.
Pertanyaan Ben mengagetkan Suster Anne, dan Ben bisa membacanya.
Ben terkatup kecewa, “Suster, apa dia masih marah padaku?”
    “Tidak sayang, tentu saja tidak, Alec tidak lagi marah padamu, Nak.”
    “Jadi dia sudah memaafkanku …?”
    “Tentu saja sudah, sayang.”
    “Jadi dia pasti mau bertemu denganku?” dengan senyum penuh harapan. “Aku sudah berjanji akan datang dalam setahun ini, jadi ia bisa ikut denganku dan kita tidak akan terpisahkan lagi.”
Penuturan Ben sangat mengejutkan Suster Theresa. Ia beralih pada kedua orang tuanya.
    “Anda bermaksud mengadopsi Alec?”
    “Ya!” Mr. Wesson tersenyum dengan lebarnya.
    “Tapi, mohon maaf, bukankah Anda pun tengah menunggu anggota keluarga baru?” Suster Theresa menocba untuk mengerti maksudnya.
    “Benar, dan Alec akan lebih melengkapi kami.”
Suster Theresa menengok pada Ben yang masih tersenyum penuh harap dan tidak sabar.
    “Ben, apa kau datang untuk Alec?”
    “Iya, suster, aku sudah berjanji padanya. Kami janji akan tetap bersama, Suster. Kami tidak akan lagi terpisah.”
Suster Theresa harus menarik nafas. Dan Suster Ann menunjukkan wajah kesedihannya.  “Oh, sayang.”
Ben dapat membacanya, dan langsung bertanya,
    “Suster, apa Alec masih di sini?” dengan gugup.
Kedua suster itu saling bertukar pandang dengan wajah sedih.
Tiba-tiba Ben dapat merasakan ketakutan sesuatu telah terjadi ada Alec. Paru-parunya Alec. Sudah menjadi tanggung jawabnya untuk menjaga Alec. Tapi setelah dia pergi, siapa yang akan menjaga Alec? Jika seusau hal yang bruuk terjadi pada Alec, Ben tidak akan bisa memaafkan dirinya. Dia yang meninggalkan Alec.
    “Suster, tolong bilang Alec baik-baik saja, dan dia belum… dia belum …” Ben sudah pucat
Suster Anne langsung menangkap maksud kalimat Ben.
    “Tidak, sayang, Alec baik-baik saja, Ben, dia baik-baik saja. Kau tak perlu kahwatir, dia sehat.”
Ben harus menarik nafas lega. Alec masih hidup. Tapi itu menimbulkan ketakutan lain. Kemungkinan lainnya adalah… Ia menoleh pada kedua suster tersayangnya, dan langsung dapat membacanya.
    “Ben… Alec sudah diadopsi,” Suster Anne memberitahukannya hati-hati. “Keluarga yang penuh kasih saying telah mengangkatnya menjadi bagian dari keluarga mereka.”
Kenyataan yang tidak ingin Ben terima, cukup membuatnya sesak. Dia langsung berlari ke lantai atas menuju kamarnya dulu bersama Ben.
    “Ben!”
Suster Anne mengejarnya ke atas.

Dan Ben terpaku pucat mendapati tempat tidur yang seharusnya ditempati Alec telah berubah. Tempat tidur yang berada tepat di samping tempat tidurnya dirinya dulu bukan milik Alec lagi. Dan nama yang tertulis pada lemari Alec, telah berganti menjadi Jammy. Ini bukan milik Alec lagi, ini sudah menjadi milik Jammy. Seorang anak baru telah mengambil tempat tidur Alec. Alec benar-benar sudah pergi. Kaki Ben terasa lemas, dia benar-benar sudah kehilangan Alec. Tapi Ben berusaha kuat. Dia tahu ini akan terjadi,dan dia seharusnya ikut bahagia. Alec akhirnya diadopsi. Air mata mengalir pelan di pipinya.
    “Sebuah keluarga yang baik menginginkan Alec untuk menjadi bagian dari keluarga mereka, Ben,” suara lembut Suster Ann masuk di telinganya dengan sentuhan halus di pundaknya. Ben lansung menyeka air matanya.
    “Siapa mereka, Suster, apa mereka keluarga yang penuh kasih sayang? Apa Alec akan bahagia bersama mereka? Apa mereka akan sangat menyayangi Alec?”
    “Ya, Ben. Kami bisa memastikan Alec sudah berada di keluarga yang baik, keluarga yang oenuh kasih-sayang, dan Alec bahagia bersama mereka. Mereka sangat menyayangi Alec.”
    “Apa mereka tahu tentang paru-paru Alec? Alec butuh perawatan, obat-obatannya.”
    “Ya, mereka tahu sayang. Ayah angkat Alec seorang dokter, jadi dia akan merawat dan menyembuhkannya,” Suster Anne memberitahunya dengan senyuman.
Ben terkejut mendengarnya, dan dan tersenyum lega. Alec akan baik-baik saja.
    “Alec ada di keluarga yang tepat, Ben. Kau tak perlu khawatir. Kami janji padamu, kan, untuk memberikan Alec sebuah keluarga yang terbaik. Dan dia mendapatkannya sekaran, seperti dirimu. Alec sudah bagian sekarang, Ben, kau tak perlu khawatir.
    “Iya, Suster, aku tahu,air mata masih mengalir di pipinya.
    “Saya tahu, kau sangat ingin dapat kembali bersama Alec, tapi Tuhan tahu yang terbaik untuk kalian berdua. Kau memiliki keluarga yang bahagia, begitu juga dia. Alec sangat dicintai di sana.”
Ben mengangguk. “Ya, Suster, aku lega, Alec mau menerima cinta itu,dia pantas mendapatkan keluarga yang hebat, dan dia sudah mendapatkannya. Aku bahagia sekarang,dengan mengusap air matanya.
Suster Anne menghela nafas lega. Ben memang anak yang penuh pengertian. Kedewasaannya melampui usianya.
    “Kau anak yang baik, Ben, Alec beruntung memiliki saudara seperti dirimu.”
Ben hanya tersenyum dengan hati yang hancur. Dia seharusnya bisa bersama Alec. Tapi mungkin ini hukuman karena ia telah meninggalkan Alec lebih dulu tanpa pamit, hanya dengan sepucuk surat. Tuhan sedang marah padanya, dan kini Tuhan telah memberi keluarga yang baik untuk Ale sebagai penggantinya. Sekarang ben hanya bisa menerimanya. Dan Ben harus ikut bahagia dan melepas Alec untuk kebahagiaan Alec. Mungkin juga Alec kini sudah melupakan Ben. Ia sudah kehilangan Alec, dan mereka tidak akan bertemu lagi. Tapi paling tidak, Alec tidak akan apa-apa dan bahagia dengan keluarga barunya, itu yang terpenting untuk Ben.
Tiba-tiba terdengar suara anak-anak dari lantai bawah.
    “Itu mereka sudah pulang,” seru Suster Ann dengan senyum bahagia. “Ayo temui mereka.”
Ben mengangguk dengan tersenyum. Ia bangkit dan menoleh untuk terakhir kalinya ke arah tempat tidurnya dan Alec dulu. Tempat tidur itu adalah tempat tidur terbaik berada di samping Alec. Selamat tinggal, Alec, semoga Tuhan selalu melindungimu.

***

                Alec tersenyum dengan tidak sabar, dengan kotak-kotak yang berisi pakaian-pakaian dan mainan-mainan baru yang ia beli. Alec sangat bahagia. Dia tidak pernah menyangka membelikan orang lain sesuatu akan menyenangkan rasanya, dan dia sukda sekali. Alec pun tidak berhenti mengucapkan terimakasih pada kakaknya dan juga pada Tuhan. Tangan Tuhan yang mempertemukannya dengan keluarga yang baik ini.

    “Mereka pasti akan senang sekali, Kak, seperti aku dulu, kalau ada yang memberi hadiah mainan atau baju baru,” Alec nyengir bahagia.
    “Itu sudah pasti,” Samuel tersenyum. Ia senang bisa membuat Alec bahagia seperti ini.
Alec menarik nafas. “Sekarang aku yang harus berganti pakaian,” dengan tersenyum nakal, seraya mengambil satu setel pakaian laki-laki untuk dipakainya, lalu masuk ke dalam kamar ganti.
Samuel mengangguk dan menunggu Alec di luar.

   “Kak!!” seru Alec dari dalam kamar.
   “Ya?” Samuel menyahut dan masuk ke dalam kamar ganti. Dan Samuel harus menahan nafas dengan  sosok baru di hadapannya. Gaun Adeline tergantung rapi di hanger.
   “Alec?”
Alec memutar tubuhnya dan menunjukkan wujud asli dirinya.
   “Aku kembali jadi anak laki-laki, kak,” Alec tersenyum sendiri, senang.
Samuel mengangguk takjub. Jujur, dia hampir lupa wujud asli Alec sebagai anak laki-laki, karena sudah cukup lama Alec menjadi Adeline. Ternyata Alec cakep juga untuk ukuran anak laki-laki. Memang sedikit cantik, tapi cakep. Samuel tersenyum geli.
   “Gimana penampilanku?” tanya Alec penuh semangat.
   “Tampan!” Samuel menyahut dengan pasti.
Alec tersenyum dengan bangganya. Baru sekali ini ada yang mengatakan dirinya tampan, bukan cantik. Alec senang mendengarnya.
    “Sudah, yuk, ah, sudah siang, kita harus segera pergi ke panti,” Samuel mengingatkan.
Alec mengangguk dengan semangat dan segera keluar dari kamar ganti dengan membawa baju Adeline.

Dengan bantuan Mr. Addy, sang kusir keluarga, mereka membawa kotak-kotak itu keluar dari toko pakaian dan mainan itu.
Sempat saat di pintu Alec melihat dua pengemis yang menunggu di depan toko, dan tanpa ragu ia langsung meminta dua keping uang pada Samuel dan langsung memberikannya pada dua pengemis itu, sebelum mereka naik ke atas kereta mereka.
Meski sempat kaget, Samuel harus tersenyum kulum dan geleng-geleng kepala; ada perasaan bangga di sana.

****

                Ben menarik nafas kecewa saat tiba waktunya untuk pulang. Dia harus kembali ke Irlandia. Rasa kecewa belum juga hilang; dia tidak bisa membawa pulang Alec bersamanya. Tapi cukup terbayar dengan bertemu dengan teman-temannya dan berbagi cerita. Ben sekarang harus bisa melepas Alec. Alec sudah bahagia bersama keluarga barunya.

    “Paling tidak kita sudah mencobanya, sayang, dan kau menepati janjimu,” Mrs. Wesson membesarkan hati putranya.
    “Yes, mama,” Ben tersenyum dengan pahit.
    “Nah, sudah waktunya pergi, Ben, kita tidak ingin ketinggalan kapal, bukan,” Mr. Wesson mengingatkan putranya hati-hati.
Ben hanya mengangguk. Dan Suster Ann juga Suster Theresa tidak dapat menahan tangisnya. Rasanya seperti melepas kembali putra mereka, dan tidak akan kembali lagi.
    “Terima kasih sudah berkunjung, Ben, dan baik-baiklah. Jadilah pria yang hebat, dan baik untuk orang tuamu,dan jadilah kakak yang baik untuk adikmu ini nanti, ya,” Bapa Simon memberi pesan-pesan terakhirnya.
    “Ya, Bapa,akan kulakukan, aku janji.”
Bapa Simon tersenyum dengan mengangguk. Dia sangat bangga dengan putranya ini, yang selalu dapat ia banggakan.
    “Bapa, Suster, terima kasih untuk semuanya, dan terima kasih sudah memberikan keluarga yang baik untuk Alec. Aku akan baik-baik saja..”
Bapa Simon, Suster Theresa, dan Suster Ann mengangguk.
Ben memberikan pelukan terakhir pada tiga orang yang amat dikasihinya dan amat berjasa untuk hidupnya. Ia tidak tahu, apakah ia akan kembali ke sini lagi. Dia tidak punya alasan kembali, ia sudah kehilangan Alec selamanya, jadi untuk apa kembali?

Dengan pesan terakhir dari Bapa Simon, Suster Anne, and Suster Theresa, dan mengucapkan selamat tinggal kepada semua kawan-kawannya, Ben pulang bersama kedua orang tua angkatnya. Ben tak dapat menahan tangisnya saat kereta kuda mereka meninggalkan St. Peter. Tapi yang paling menyakitkan adalah, tidak ada Alec bersamanya.
Mrs. Wesson menyentuh pundak putranya, “Jangan menangis lagi, sayang,” dengan menyeka air mata Ben. “Mungkin kita tidak bisa mengajak Alec, tapi kita akan memiliki si kecil di sini,” dengan menyentuh perutnya.
Ben harus tersenyum. Ya, dia kana memiliki adik, dan dia akan bisa berperan sebagai seorang kakak meski tanpa Alec. Ben langsung memeluk ibunya.
    “Terima kasih, ma.”
Mrs. Wesson mengangguk dan mengecupnya. Itu sudah cukup untuk Ben.

Tak berapa setelah kereta keluarga Wesson meninggalkan St. Peter, dan pintu besar itu sudah kembali tertutup, sebuah kereta bagus berhenti di depan pintu gerbang St. Pater.

Alec tidak dapat menutupi kegugupannya saat melihat gerbang besar itu. Dia kembali kesini, setelah hampir 1 tahun. Dan dia cukup bersyukur, ia kembali masih dalam wujud Alec, bukan Adeline. Teman-temannya akan tetap melihatnya sebagai Alec. Mereka tidak perlu tahu dirinya telah berubah menjadi sosok Adeline di keluarga barunya, atau ia akan menjadi bulan-bulanan kawan-kawannya, terlebih Tom, temannya dulu yang sering menganggunya, dan semakin senang menganggunya begitu Ben tidak ada. Tapi untunglah Alec datang kini berwujud Alec dan bersama Samuel yang ia yakin akan melindunginya jika ada yang menganggunya.

Samuel melihat pintu gerbang besar itu tertulis di sana St. Peter- Panti Asuhan Putra. Perasaannya tidak karuan, antara belum pernah ia mengunjungi tempat yang bernama Panti Asuhan, dan ia tidak pemandangan seperti apa yang akan ia lihat di dalam panti asuhan ini, dengan ketakutan Alec akan bertemu kembali dengan Ben, saudara kembarnya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi bila mereka saling bertemu, terlebih Alec, yang ia yakini pasti sangat mengeluarkan perasaan rindunya. Terbayang di kepalanya, Alec menangis haru di hadapan anak laki-laki yang mirip dengannya, dan yang akan diakhirnya Alec tidak mau pulang, malah ingin ikut dengan Ben. ‘Aduh gawat, kalau benar terjadi, papa bisa menggantungku,’ Samuel  melirik Alec dengan ragu, dan dibalas ragu pula oleh Alec

    “Aku takut, kak…” ucap Alec lirih saat kereta mereka sudah memasuki halaman St. Peter.
    “Takut? Kenapa harus takut? Kau Alec, kan? Tidak ada yang perlu ditakutkan.” Samuel mengumpat kalimatnya sendiri. Membesarkan hati Alec, sama saja mendukungnya. Tapi melihat senyum merekah di wajah kecil Alec, membuat hatinya tenang. ‘Aneh!’
Alec tersenyum lega dan mengangguk.
    “Yuk, kita turun,” Samuel membuka pintunya.
Alec mengangguk dan mengikuti kakaknya keluar dari kereta kuda

Alec harus menarik nafas dalam-dalam sebelum berjalan menuju pintu besar itu.
Melihat kegugupan adiknya, Samuel segera menggantikannya untuk mengetuk pintunya.

Tak butuh waktu lama saat pintu itu terbuka, dan wajah hangat dan ramah muncul di pintu. Suster Ann.
    “Ya, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya ramah.
    “Ya, Suster, Saya Samuel Winchester, adik saya datang berkunjung,” Samuel menyahut dengan sopan dan tersenyum manis, lalu menepi, menunjukkan siapa yang menunggu di belakangnya.
Suster Ann berkerut tak mengerti, tapi ia langsung berbungah dengan  mata tak percaya.
    “ALEC!!!” pekiknya langsung semakin berbungah.
Alec memekarkan  senyumnya, dan langsung berlari dan  memeluk Suster Ann.
    “Ya, Tuhan senangnya kau datang, nak,” memeluk erat Alec hingga sulit bernafas. Suster Ann terpaku sendiri. Alec dan Ben datang bersamaan di hari yang sama, hanya berselang beberapa menit. Mungkinkah…? Tapi Suster Ann menahannya dan tidak ingin terburu-buru menyimpulkan, terlebih mengatakan Ben baru saja datang dan telah kembali pulang. Itu akan menyakitkan Alec.
Perlahan Suster Ann melepaskan pelukannya, lalu teringat mereka masih di depan pintu.
   “Mari, mari masuk, silahkan, Bapa Simon pasti senang bertemu denganmu lagi, Nak.” ucapnya dengan mengajak mereka masuk. “Kau kelihatan sehat sekali, Alec,” Suster Ann takjub, terlebih dengan sosoknya dalam wujud Alec, bukan Miss Adeline. Apakah Alec sudah kembali menjadi Alec lagi?
   “Tentu, Alec berlatih dengan kudanya dua minggu sekali,” timpal Samuel tiba-tiba mengagetkan Suster Theresa, mengikuti mereka berdua di samping Alec.
Alec langsung menujukkan wajah masamnya pada Samuel, yang hanya disahutin dengan senyum nakal.
   “Oh, berkuda? Hebat kau, nak, hebat!” Suster Anne takjub, karena yang masih terbayang olehnya adalah sosok kecil Alec yang terbaring sakit di ranjang besar dan bagus itu. “ Terima Kasih, Tuan Muda,” ucapnya pada Samuel.
Samuel hanya nyengir jenaka ramah.

Mereka menuju ke kantor Bapa Simon, saat Alec berpapasan dengan anak-anak Panti, teman-temannya dulu. Alec langsung tergugup dengan ia masih mengenal mereka, dan mereka sempat memicingkan mata dengan sorot sinis dan cemburu dengan kehadirannya, yang mungkin sudah terlupakan oleh mereka. Yang mereka lihat hanyalah sosok dua orang anak orang kaya yang datang berkunjung. Alec bergidik ngeri mendapatkan mata sinis dari mereka. Ia tidak menyangka beginilah mereka memandang pada kaum orang kaya yang datang.

    “Alec!?” seru salah satu dari mereka yang ternyata masih mengenali Alec dan mengagetkannya.
Charlie masih mengenalinya. Charlie yang masih mencoba berteman dengannya setelah Ben pergi, Charlie yang selalu baik padanya. Pipi Alec memerah dengan Charlie masih mengenalinya, dan langsung menghampirinya dengan tersenyum girang.
Alec membalas senyumanya dengan malu-malu.
    “Alec, kamu datang!?” bocah 11 tahun itu tersenyum senang dan langsung membuat teman-teman lainnya ikut menghampiri dan mengelilinginya.
Alec hanya mengangguk dengan tersenyum malu pada semua temannya.
    “Kamu pergi, dan kami hanya mendengar kamu sudah diadopsi,” Charlie masih tersenyum dengan semangat.
    “Iya, itu kakak angkatku,” sahut Alec malu-malu seraya menunjukkan ke arah Sam yang berdiri tidak jauh dari Alec.
Dan mereka hanya menengok sebentar lalu kembali pada Alec. Dari cara berpakaian Alec dan kakaknya di belakang sana, mereka sudah tahu, Alec diadopsi oleh keluarga kaya, Alec menjadi anak orang kaya sekarang.
    “Kamu jadi anak orang kaya sekarang.”
Alec hanya tersenyum renyah, “Aku bawa hadiah untuk kalian semua. Itu di belakang,” ada perasaan senang saat ia member tahu ia membawa hadiah untuk kalian semua.”
    “WAAAA, terima kasih, Alec,” mereka berseru dengan senangnya.
Alec tersenyum lebih bahagia.
    “Ben juga datang lho, dia datang berkunjung tadi dengan orang tuanya,” lanjut Charlie masih dengan penuh semangat tapi membuat jantung Alec berdetak kencang dengan wajah dua kali lipat bahagia.
Tidak hanya Alec yang terkaget, tapi juga Sam. ‘Oke, akhirnya terjadi juga. Mudah-mudah tidak terjadi apa-apa. Alec jaga sikapmu.’
Alec tergagap, “B..Ben d..datang??” ingin menangis ia mendengarnya. Ben datang, Ben menepati janjinya. “Mana Ben? Dimana dia?” Alec celingukan mencari saudara kembarnya.
    “Sudah pulang, Alec. Kamu terlambat beberapa menit. Kalau kamu datang lebih awal, mungkin kalian bisa ketemu. Dia datang untuk mencarimu.”
Jawaban Charlie membuat jantung Alec berhenti berdetak. ‘Ben sudah pulang? Dan Ben datang untuk dirinya’
Alec menengok ke arah Suster Ann yang sudah terdiam menunggu reaksi Alec. Air mata Alec sudah menetes dengan jantung yang berdetak tidak karuan. Alec tak perlu lagi menunggu jawaban dari Suster Theresa, ia langsung berlari keluar dengan menangis,
     “BENNNNN!!!!!!
     “ALEC!!!” Suster Ann mengejar keluar diikuti teman-temannya.
Sam menghela nafas dan siap dengan segala yang terburuk sekalipun. “ALEC!”

    “BEEENNN!!! KEMBAL, BEEEENNNN!!!!! Aku ikut…. Aku ikut!!!!! Ben aku mohon, kembali, jangan tinggalin aku. Kamu sudah janji, Beeen, kamu sudah janji, kita akan selalu bersama, Ben!!!!!” seperti setahun yang lalu, Alec menangis dan memohon Ben untuk tidak pergi. Tapi sekali lagi juga, tidak ada Ben di sana, Ben sudah terlanjur pergi meninggalkan Alec bersama ayah ibu angkatnya.

Alec lemas ke tanah, berlutut dengan tangisnya yang deras. Dia menangis, dia memaki, dia mengutuk Ben karena sudah meninggalkan dirinya. Dia menangis dengan histerisnya, tak peduli tubuhnya bisa menyokongnya. Dan Alecpun mulai kesulitan bernafas. Dia tersengal-sengal mencari udara diikuti rasa sakit yang menekan dadanya, tapi rasa panik dan histerisnya hanya membuatnya semakin kesulitan bernafas,dan akhirnya ia kehilangan semuanya saat semuanya tiba-tiba menjadi gelap
    “ALEC!!!” Suster Anne langsung berlari mengejar dan menangkap tubuh Alec saat melihat sosok kecil itu akhirnya tumbang.  
    “ALEC!!!” suara Bapa Simon terdengar di belakang.

Sam sempat terpaku dengan cepatnya Alec limbung dan jatuh ke tanah setelah memekik dengan histerisnya. Belum pernah Sam melihat Alec histeris seperti itu. Refleks Sam berlari ke arah adiknya.
Dan Sam terpaku dengan Alec yang perlahan membiru.

TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar