Rating : K+
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
Chapter
24
Hari tepat satu tahun telah tiba! Dan Alec
sudah tidak sabar untuk segera ke panti asuhan untuk bertemu Ben, meski memang
ada keraguan di sana, Ben akan menepati janjinya. Tapi paling tidak Alec tidak
lupa. Alec tidak pernah melupakan Ben.
Dari pagi Alec sudah tidak sabar, dan
Samuel berjanji untuk menemaninya. Tentu saja tanpa sepengetahuan siapapun,
bahkan Emma atau Caleb; ini hanya akan menjadi rahasia mereka berdua, dan tentu
saja pak kusir keluarga yang sudah mereka minta untuk berjanji tidaka kan
membocorkan rahasia ini.
Alec dan Samuel menunggu hingga ayah mereka
pergi menemui pasiennya dan bertemu kliennya, sebelum mereka bersemangat menuju
kusir yang sudah menunggu mereka. Dan saat mereka pergi dari rumah Alec masih
terbalut dengan gaun Adeline. Alec akan bertukar di sebuah toko. Dan lagi
mereka pun akan membeli beberapa hadiah untuk anak-anak di Panti Asuhan,
seperti pakaian ataupun mainan. Alec sudah memikirkan jauh-jauh untuk
memberikan sesuatu pada teman-temannya yang belum beruntung di sana. Dan
untunglah Samuel menyetujuinya, bahkan akan dengan ikhlas menggunakan uang
tabungannya untuk membeli itu semua.
“Tidak apa aku pakai uang tabungan kakak?” Alec masih ragu.
“Tenang, uangku masih banyak,” dengan tersenyum tenang.
“Papa tidak akan marah?”
“Tidak selama papa tidak tahu,” Samuel tersenyum nakal.
Alec pun tersenyum. Ia lega Samuel
sepenuhnya mendukungnya. Ia langsung dengan semangat memilihkan
pakaian-pakainan baru dan bagus. Alec tidak sabar lagi untuk melihat wajah gembira
teman-temannya di sana saat menerima hadiah, seperti dulu ia dan Ben yang
selalu senang bila mendapat hadiah pakaian baru atau mainan dari para tamu yang
datang berkunjung. Alec tersenyum sendiri mengingatnya.
*
Ben
menghela nafas dengan tersenyum di depan pintu gerbang ini. Dia tidak
mempercayai dirinya kembali ke sini, tempat dia dan Alec dibesarkan. St. Peter,
adalah tempat terbaik untuk anak-anak yatim piatu seperti
dirinya dan Alec.
Tempat mereka mendapatkan kasih sayang dan didikan yang baik, dan juga impian
untuk mendapatkan keluarga yang baik pula untuk mereka. Seperti dirinya yang
telah memiliki keluarga bahagia bersama Kel. Wesson. Dan sekarang ia akan
menjeput Alec.
Ben menoleh pada kedua orang tuanya dengan
perasaan berkecamuk, sebelum melewati gerbang itu, dan keduanya mengangguk
dengan tersenyum.
Ben menarik nafas dalam-dalam saat ibu
angkatnya mengetuk pintu besar itu untuk Ben, dan menunggu dengan tidak sabar.
Dia akan bertemu Alec lagi!
Dan saat pintu terbuka, Ben dapat melihat
wajah kaget dari Suster Ann dan tersenyum.
“Ben!” pekiknya bahagia.
Ben tersenyum dengan senangnya, “Suster Theresa.”
Suster Theresa
langsung memeluk bocak yang menjadi favoritnya erat-erat. “Senangnya dapat
bertemu denganmu lagi, Nak.”
Ben hanya tersenyum. Suster Theresa
beralih pada kedua orang tua angkat Ben.
“Hello, Mr & Mrs. Wesson, senang berjumpa dengan Anda lagi,” Theresa
berjabat tangan erat sekali mengekspresikan kebahagiaannya dapat berjumpa lagi
dengan Ben. “Sebuah kejutan! Mari, silahkan masuk,” ia mempersilahkan mereka
masuk, dengan pekikan, “Suster Annea! Lihat siapa yang
datang
ini!!!”
Ben tidak dapat menahan kegugupannya saat
masuk kembali ke dalam. Sudah satu tahun berlalu sejak ia tinggalkan tempat
ini. Ibu angkatnya menggenggam tangan Ben hangat, ia tahu kegugupan anaknya.
Ben menyapu pandangannya ke seluruh gedung
ini, tidak ada yang berubah, masih sama seperti saat ia tinggalkan dulu. Dia
melirik ke atas untuk mencari tema-temannya dulu. Tapi tidak ada, tempat ini
terasa sepi. Kemana mereka?
“Kok sepi?” tanya Ben saat mereka diajak ke kantor.
Suster Theresa
tersenyum, “Bapa Simon mengajak mereka jalan-jalan ke kebun binatang. Kau ingat
kan?”
Ben harus tersenyum dengan mengangguk.
Meski sempat menjadi trauma sendiri untuk Ben yang hampir kehilangan Alec
karena ikut ke kebun binatang, selanjutnya kebun binatang menjadi tempat
favorite mereka berdua jika cuaca mendukung Alec untuk ikut serta.
“Ben!” pekikan khas dari belakang mengagetkannya.
“Suster Ann!!!”
dan Ben
mendapat pelukan yang sangat erat dari Suster kesayangannya,
dan mengecupnya erat. Ben hampir tak dapat
bernafas. Ben harus mengatur nafasnya saat akhirnya Suster Theresa melepaskan
pelukannya, dan beralih pada kedua orang tua angkat Ben.
“Mr. &Mrs. Wesson, senang dapat berjumpa kalian kembali.”
“Kami yang senang dapat kembali ke sini,” Mrs. Wesson menyahut dengan
hangat.
Suster Theresa tersenyum dan menghela nafas
bahagia. Ia beralih pada Ben,
“Lihat dirimu sekarang, Ben, kau bertambah tinggi dan besar, dan kau
tampan sekali Nak. Bagaimana kabarmu, saying? Suster harap kau tidak nakal
bersama mereka, dan menjadi anak yang baik untuk kedua orang tuanmu?”
“Tentu, suster, Ben anak yang baik, kami sangat bangga padanya. Kami
bersyukur memilikinya, Ben membuat semuanya sempurna untuk keluarga kecil
kami.”
Ben merona dengan pujian yang diberikan
ayah angkatnya, dan kedua suster tersenyum dengan bahagia dan bangganya.
“Dan sepertinya kau juga sedang menunggu adik kecilmu, ya?” Suster
Theresa melihat perut Wrs. Wesson yang terlihat sedikit memberar.
Mrs. Wesson harus tersenyum dengan
bahagianya, “Ya, Ben akan segera memiliki adik. Tapi itu tidak akan mengubah
perasaan dan kasih saying kami padanya. Kami sangat menyayangi Ben, dan ia akan
tetap menjadi putra pertama kami.”
Sekali lagi kedua suster
itu harus tersenyum dengan lega dan bahagianya, bersyukur Ben mendapat keluarga
yang amat menyayangi Ben.
“Senangnya kau ada di sini, Ben, anak-anak pasti senang sekali bisa
bertemu denganmu lagi. Mereka semua merindukanmu,” ucap Suster Ann dengan
senyum tidak pernah lepas dari wajah cantiknya. “Tapi jangan khawatir, mereka
segera pulang, dank au bisa bertemu dengan mereka. Kalian tidak terburu-buru
kan?” tanyanya pada kedua orang tua Ben
“Tidak, tentu saja tidak, kami memang sengaja datang kemari, hingga Ben
puas di sini,” Mr. Wesson menjawab.
Suster Anne tersenyum lega.
“Suster, dimana Alec, boleh saya bertemu dengannya?” karena Ben percaya
Alec tidak akan mungkin diizinkan ikut di musim dingin ini.
Pertanyaan Ben mengagetkan Suster Anne, dan
Ben bisa membacanya.
Ben terkatup kecewa, “Suster, apa dia masih
marah padaku?”
“Tidak sayang, tentu saja tidak, Alec tidak lagi marah padamu, Nak.”
“Jadi dia sudah memaafkanku …?”
“Tentu saja sudah, sayang.”
“Jadi dia pasti mau bertemu denganku?” dengan senyum penuh harapan. “Aku
sudah berjanji akan datang dalam setahun ini, jadi ia bisa ikut denganku dan
kita tidak akan terpisahkan lagi.”
Penuturan Ben sangat mengejutkan Suster
Theresa. Ia beralih pada kedua orang tuanya.
“Anda bermaksud mengadopsi Alec?”
“Ya!” Mr. Wesson tersenyum dengan lebarnya.
“Tapi, mohon maaf, bukankah Anda pun tengah menunggu anggota keluarga
baru?” Suster Theresa menocba untuk mengerti maksudnya.
“Benar, dan Alec akan lebih melengkapi kami.”
Suster Theresa menengok pada Ben yang masih
tersenyum penuh harap dan tidak sabar.
“Ben, apa kau datang untuk Alec?”
“Iya, suster, aku sudah berjanji padanya. Kami janji akan tetap bersama,
Suster. Kami tidak akan lagi terpisah.”
Suster Theresa harus menarik nafas. Dan
Suster Ann menunjukkan wajah kesedihannya.
“Oh, sayang.”
Ben dapat membacanya, dan langsung
bertanya,
“Suster, apa Alec masih di sini?” dengan gugup.
Kedua suster itu saling bertukar pandang
dengan wajah sedih.
Tiba-tiba Ben dapat merasakan ketakutan
sesuatu telah terjadi ada Alec. Paru-parunya Alec. Sudah menjadi tanggung
jawabnya untuk menjaga Alec. Tapi setelah dia pergi, siapa yang akan menjaga
Alec? Jika seusau hal yang bruuk terjadi pada Alec, Ben tidak akan bisa
memaafkan dirinya. Dia yang meninggalkan Alec.
“Suster, tolong bilang Alec baik-baik saja, dan dia belum… dia belum …”
Ben sudah pucat
Suster Anne langsung menangkap maksud
kalimat Ben.
“Tidak, sayang, Alec baik-baik saja, Ben, dia baik-baik saja. Kau tak
perlu kahwatir, dia sehat.”
Ben harus menarik nafas lega. Alec masih
hidup. Tapi itu menimbulkan ketakutan lain. Kemungkinan lainnya adalah… Ia
menoleh pada kedua suster tersayangnya, dan langsung dapat membacanya.
“Ben… Alec sudah diadopsi,”
Suster Anne memberitahukannya hati-hati. “Keluarga yang penuh kasih saying
telah mengangkatnya menjadi bagian dari keluarga mereka.”
Kenyataan yang tidak ingin Ben terima,
cukup membuatnya sesak. Dia langsung berlari ke lantai atas menuju kamarnya
dulu bersama Ben.
“Ben!”
Suster Anne mengejarnya ke atas.
Dan Ben terpaku pucat mendapati tempat
tidur yang seharusnya ditempati Alec telah berubah. Tempat tidur yang berada
tepat di samping tempat tidurnya dirinya dulu bukan milik Alec lagi. Dan nama
yang tertulis pada lemari Alec, telah berganti menjadi Jammy. Ini bukan milik
Alec lagi, ini sudah menjadi milik Jammy. Seorang anak baru telah mengambil
tempat tidur Alec. Alec benar-benar sudah pergi. Kaki Ben terasa lemas, dia benar-benar
sudah kehilangan Alec. Tapi Ben berusaha kuat. Dia tahu ini akan
terjadi,dan dia seharusnya ikut bahagia. Alec akhirnya diadopsi. Air mata
mengalir pelan di pipinya.
“Sebuah keluarga yang baik menginginkan Alec untuk menjadi bagian dari
keluarga mereka,
Ben,” suara lembut Suster Ann masuk di telinganya dengan
sentuhan halus di pundaknya. Ben lansung menyeka air
matanya.
“Siapa mereka, Suster, apa mereka keluarga yang penuh kasih sayang? Apa Alec
akan bahagia bersama mereka? Apa mereka akan sangat menyayangi Alec?”
“Ya,
Ben. Kami bisa memastikan Alec sudah berada di keluarga yang
baik, keluarga yang oenuh kasih-sayang, dan Alec bahagia bersama mereka. Mereka sangat menyayangi Alec.”
“Apa mereka tahu tentang paru-paru Alec? Alec butuh perawatan,
obat-obatannya.”
“Ya, mereka tahu sayang. Ayah angkat Alec seorang dokter, jadi dia akan merawat
dan menyembuhkannya,”
Suster
Anne memberitahunya dengan senyuman.
Ben terkejut
mendengarnya, dan dan tersenyum lega. Alec akan baik-baik saja.
“Alec ada di keluarga yang tepat, Ben. Kau tak perlu khawatir. Kami janji
padamu, kan, untuk memberikan Alec sebuah keluarga yang terbaik. Dan dia
mendapatkannya sekaran, seperti dirimu. Alec sudah bagian sekarang, Ben, kau
tak perlu khawatir.
“Iya, Suster, aku tahu,” air mata masih
mengalir di pipinya.
“Saya tahu, kau sangat ingin dapat kembali bersama Alec, tapi Tuhan tahu
yang terbaik untuk kalian berdua. Kau memiliki keluarga yang bahagia, begitu
juga dia. Alec sangat dicintai di sana.”
Ben mengangguk.
“Ya, Suster, aku lega, Alec mau menerima cinta itu,dia pantas mendapatkan
keluarga yang hebat, dan dia sudah mendapatkannya. Aku bahagia sekarang,” dengan mengusap air matanya.
Suster Anne menghela nafas lega. Ben memang anak yang penuh pengertian. Kedewasaannya
melampui usianya.
“Kau anak yang baik, Ben, Alec beruntung memiliki saudara seperti dirimu.”
Ben hanya tersenyum
dengan hati yang hancur. Dia seharusnya bisa bersama Alec. Tapi mungkin ini
hukuman karena ia telah meninggalkan Alec lebih dulu tanpa pamit, hanya dengan
sepucuk surat. Tuhan sedang marah padanya, dan kini Tuhan telah memberi
keluarga yang baik untuk Ale sebagai penggantinya. Sekarang ben hanya bisa
menerimanya. Dan Ben harus ikut bahagia dan melepas Alec untuk kebahagiaan
Alec. Mungkin juga Alec kini sudah melupakan Ben. Ia sudah kehilangan Alec, dan
mereka tidak akan bertemu lagi. Tapi paling tidak, Alec tidak akan apa-apa dan bahagia dengan
keluarga barunya, itu yang terpenting untuk Ben.
Tiba-tiba
terdengar suara anak-anak dari lantai bawah.
“Itu mereka sudah pulang,” seru Suster Ann dengan senyum bahagia. “Ayo temui
mereka.”
Ben mengangguk
dengan tersenyum. Ia bangkit dan menoleh untuk terakhir kalinya ke arah tempat
tidurnya dan Alec dulu. Tempat tidur itu adalah tempat tidur terbaik berada di
samping Alec.
‘Selamat tinggal, Alec,
semoga Tuhan selalu melindungimu.’
***
Alec tersenyum dengan tidak sabar, dengan kotak-kotak yang berisi
pakaian-pakaian dan mainan-mainan baru yang ia beli. Alec sangat bahagia. Dia tidak pernah menyangka membelikan orang lain
sesuatu akan menyenangkan rasanya, dan dia sukda sekali. Alec pun tidak
berhenti mengucapkan terimakasih pada kakaknya dan juga pada Tuhan. Tangan
Tuhan yang mempertemukannya dengan keluarga yang baik ini.
“Mereka pasti akan senang sekali, Kak, seperti aku dulu, kalau ada yang
memberi hadiah mainan atau baju baru,” Alec nyengir
bahagia.
“Itu sudah pasti,” Samuel tersenyum. Ia senang bisa membuat Alec bahagia
seperti ini.
Alec menarik
nafas. “Sekarang aku yang harus berganti pakaian,” dengan tersenyum nakal,
seraya mengambil satu setel pakaian laki-laki untuk dipakainya, lalu masuk ke
dalam kamar ganti.
Samuel
mengangguk dan menunggu Alec di luar.
“Kak!!” seru Alec dari dalam kamar.
“Ya?” Samuel menyahut dan masuk ke dalam
kamar ganti. Dan Samuel harus menahan nafas dengan sosok baru di hadapannya. Gaun Adeline tergantung rapi di hanger.
“Alec?”
Alec memutar
tubuhnya dan menunjukkan wujud asli dirinya.
“Aku kembali jadi anak laki-laki, kak,” Alec
tersenyum sendiri, senang.
Samuel
mengangguk takjub. Jujur, dia hampir lupa wujud asli Alec sebagai anak laki-laki,
karena sudah
cukup lama Alec menjadi Adeline. Ternyata Alec cakep
juga untuk ukuran anak laki-laki. Memang sedikit cantik, tapi cakep. Samuel
tersenyum geli.
“Gimana penampilanku?” tanya Alec penuh
semangat.
“Tampan!” Samuel menyahut dengan pasti.
Alec tersenyum
dengan bangganya. Baru sekali ini ada yang mengatakan dirinya tampan, bukan
cantik. Alec senang mendengarnya.
“Sudah, yuk, ah, sudah siang, kita harus
segera pergi ke panti,” Samuel mengingatkan.
Alec mengangguk
dengan semangat dan segera keluar dari kamar ganti dengan membawa baju Adeline.
Dengan bantuan
Mr. Addy, sang kusir
keluarga, mereka membawa kotak-kotak itu keluar dari toko pakaian
dan mainan itu.
Sempat saat di
pintu Alec melihat dua pengemis yang menunggu di depan toko, dan tanpa ragu ia
langsung meminta dua keping uang pada Samuel dan langsung memberikannya pada
dua pengemis itu, sebelum mereka naik ke atas kereta mereka.
Meski sempat
kaget, Samuel harus tersenyum kulum dan geleng-geleng kepala; ada perasaan
bangga di sana.
****
Ben menarik nafas kecewa saat tiba waktunya untuk pulang. Dia harus kembali ke
Irlandia. Rasa kecewa belum juga hilang; dia tidak bisa membawa pulang Alec
bersamanya. Tapi cukup terbayar dengan bertemu dengan teman-temannya dan
berbagi cerita. Ben sekarang harus bisa melepas Alec. Alec sudah bahagia
bersama keluarga barunya.
“Paling tidak kita sudah mencobanya, sayang, dan kau menepati janjimu,” Mrs. Wesson membesarkan hati putranya.
“Yes, mama,” Ben tersenyum dengan
pahit.
“Nah, sudah waktunya pergi, Ben, kita tidak ingin ketinggalan kapal, bukan,”
Mr.
Wesson mengingatkan putranya hati-hati.
Ben hanya
mengangguk. Dan Suster Ann juga Suster Theresa tidak dapat menahan tangisnya.
Rasanya seperti melepas kembali putra mereka, dan tidak akan kembali lagi.
“Terima kasih sudah berkunjung, Ben, dan baik-baiklah.
Jadilah pria yang hebat, dan baik untuk orang tuamu,dan jadilah kakak yang baik
untuk adikmu ini nanti, ya,” Bapa Simon memberi pesan-pesan terakhirnya.
“Ya, Bapa,akan kulakukan, aku janji.”
Bapa Simon
tersenyum dengan mengangguk. Dia sangat bangga dengan putranya ini, yang selalu
dapat ia banggakan.
“Bapa, Suster, terima kasih untuk semuanya, dan terima kasih sudah
memberikan keluarga yang baik untuk Alec. Aku akan baik-baik saja..”
Bapa Simon,
Suster Theresa, dan Suster Ann mengangguk.
Ben memberikan
pelukan terakhir pada tiga orang yang amat dikasihinya dan amat berjasa untuk
hidupnya. Ia tidak tahu, apakah ia akan kembali ke sini lagi. Dia tidak punya
alasan kembali, ia sudah kehilangan Alec selamanya, jadi untuk apa kembali?
Dengan pesan
terakhir dari Bapa
Simon, Suster Anne, and Suster Theresa, dan mengucapkan
selamat tinggal kepada semua kawan-kawannya, Ben pulang bersama kedua orang tua
angkatnya. Ben tak dapat menahan tangisnya saat kereta kuda mereka meninggalkan
St.
Peter. Tapi yang paling menyakitkan adalah, tidak ada Alec
bersamanya.
Mrs. Wesson menyentuh pundak putranya, “Jangan menangis lagi, sayang,” dengan menyeka air mata Ben. “Mungkin kita tidak bisa mengajak Alec, tapi
kita akan memiliki si kecil di sini,” dengan
menyentuh perutnya.
Ben harus
tersenyum. Ya, dia kana memiliki adik, dan dia akan bisa berperan sebagai
seorang kakak meski tanpa Alec. Ben langsung memeluk ibunya.
“Terima kasih, ma.”
Mrs. Wesson mengangguk dan mengecupnya. Itu sudah cukup untuk Ben.
Tak berapa setelah kereta keluarga Wesson
meninggalkan St. Peter, dan pintu besar itu sudah kembali tertutup, sebuah
kereta bagus berhenti di depan pintu gerbang St. Pater.
Alec tidak dapat menutupi kegugupannya saat
melihat gerbang besar itu. Dia kembali kesini, setelah hampir 1 tahun. Dan dia
cukup bersyukur, ia kembali masih dalam wujud Alec, bukan Adeline.
Teman-temannya akan tetap melihatnya sebagai Alec. Mereka tidak perlu tahu
dirinya telah berubah menjadi sosok Adeline di keluarga barunya, atau ia akan
menjadi bulan-bulanan kawan-kawannya, terlebih Tom, temannya dulu yang sering
menganggunya, dan semakin senang menganggunya begitu Ben tidak ada. Tapi
untunglah Alec datang kini berwujud Alec dan bersama Samuel yang ia yakin akan
melindunginya jika ada yang menganggunya.
Samuel melihat pintu gerbang besar itu
tertulis di sana St. Peter- Panti Asuhan Putra. Perasaannya tidak karuan,
antara belum pernah ia mengunjungi tempat yang bernama Panti Asuhan, dan ia
tidak pemandangan seperti apa yang akan ia lihat di dalam panti asuhan ini,
dengan ketakutan Alec akan bertemu kembali dengan Ben, saudara kembarnya. Ia
tidak tahu apa yang akan terjadi bila mereka saling bertemu, terlebih Alec,
yang ia yakini pasti sangat mengeluarkan perasaan rindunya. Terbayang di
kepalanya, Alec menangis haru di hadapan anak laki-laki yang mirip dengannya,
dan yang akan diakhirnya Alec tidak mau pulang, malah ingin ikut dengan Ben. ‘Aduh gawat, kalau benar terjadi, papa bisa
menggantungku,’ Samuel melirik Alec
dengan ragu, dan dibalas ragu pula oleh Alec
“Aku takut, kak…” ucap Alec lirih saat kereta mereka sudah memasuki
halaman St. Peter.
“Takut? Kenapa harus takut? Kau Alec, kan? Tidak ada yang perlu
ditakutkan.” Samuel mengumpat kalimatnya sendiri. Membesarkan hati Alec, sama
saja mendukungnya. Tapi melihat senyum merekah di wajah kecil Alec, membuat
hatinya tenang. ‘Aneh!’
Alec tersenyum lega dan mengangguk.
“Yuk, kita turun,” Samuel membuka pintunya.
Alec mengangguk dan mengikuti kakaknya
keluar dari kereta kuda
Alec harus menarik nafas dalam-dalam
sebelum berjalan menuju pintu besar itu.
Melihat kegugupan adiknya, Samuel segera
menggantikannya untuk mengetuk pintunya.
Tak butuh waktu lama saat pintu itu
terbuka, dan wajah hangat dan ramah muncul di pintu. Suster Ann.
“Ya, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya ramah.
“Ya, Suster, Saya Samuel Winchester, adik saya datang berkunjung,”
Samuel menyahut dengan sopan dan tersenyum manis, lalu menepi, menunjukkan
siapa yang menunggu di belakangnya.
Suster Ann
berkerut tak mengerti, tapi ia langsung berbungah dengan mata tak percaya.
“ALEC!!!” pekiknya langsung semakin berbungah.
Alec memekarkan senyumnya, dan langsung berlari dan memeluk Suster Ann.
“Ya, Tuhan senangnya kau datang, nak,” memeluk erat Alec hingga sulit
bernafas. Suster Ann
terpaku sendiri. Alec dan Ben datang bersamaan di hari yang sama, hanya
berselang beberapa menit. Mungkinkah…? Tapi Suster Ann
menahannya dan tidak ingin terburu-buru menyimpulkan, terlebih mengatakan Ben
baru saja datang dan telah kembali pulang. Itu akan menyakitkan Alec.
Perlahan Suster Ann
melepaskan pelukannya, lalu teringat mereka masih di depan pintu.
“Mari, mari masuk, silahkan, Bapa Simon pasti senang bertemu denganmu
lagi, Nak.” ucapnya dengan mengajak mereka masuk. “Kau kelihatan sehat sekali,
Alec,” Suster Ann
takjub, terlebih dengan sosoknya dalam wujud Alec, bukan Miss
Adeline. Apakah Alec sudah kembali menjadi Alec lagi?
“Tentu, Alec berlatih dengan kudanya dua minggu sekali,” timpal Samuel
tiba-tiba mengagetkan Suster Theresa, mengikuti mereka berdua di samping Alec.
Alec langsung menujukkan wajah masamnya
pada Samuel, yang hanya disahutin dengan senyum nakal.
“Oh, berkuda? Hebat kau, nak, hebat!” Suster Anne
takjub, karena yang masih terbayang olehnya adalah sosok
kecil Alec yang terbaring sakit di ranjang besar dan bagus itu. “ Terima Kasih,
Tuan Muda,” ucapnya pada Samuel.
Samuel hanya nyengir jenaka ramah.
Mereka menuju ke kantor Bapa Simon, saat
Alec berpapasan dengan anak-anak Panti, teman-temannya dulu. Alec langsung
tergugup dengan ia masih mengenal mereka, dan mereka sempat memicingkan mata
dengan sorot sinis dan cemburu dengan kehadirannya, yang mungkin sudah
terlupakan oleh mereka. Yang mereka lihat hanyalah sosok dua orang anak orang
kaya yang datang berkunjung. Alec bergidik ngeri mendapatkan mata sinis dari
mereka. Ia tidak menyangka beginilah mereka memandang pada kaum orang kaya yang
datang.
“Alec!?” seru salah satu dari mereka yang ternyata masih mengenali Alec
dan mengagetkannya.
Charlie masih mengenalinya. Charlie yang
masih mencoba berteman dengannya setelah Ben pergi, Charlie yang selalu baik
padanya. Pipi Alec memerah dengan Charlie masih mengenalinya, dan langsung
menghampirinya dengan tersenyum girang.
Alec membalas senyumanya dengan malu-malu.
“Alec, kamu datang!?” bocah 11 tahun itu tersenyum senang dan langsung
membuat teman-teman lainnya ikut menghampiri dan mengelilinginya.
Alec hanya mengangguk dengan tersenyum malu
pada semua temannya.
“Kamu pergi, dan kami hanya mendengar kamu sudah diadopsi,” Charlie
masih tersenyum dengan semangat.
“Iya, itu kakak angkatku,” sahut Alec malu-malu seraya menunjukkan ke
arah Sam yang berdiri tidak jauh dari Alec.
Dan mereka hanya menengok sebentar lalu
kembali pada Alec. Dari cara berpakaian Alec dan kakaknya di belakang sana,
mereka sudah tahu, Alec diadopsi oleh keluarga kaya, Alec menjadi anak orang
kaya sekarang.
“Kamu jadi anak orang kaya sekarang.”
Alec hanya tersenyum renyah, “Aku bawa
hadiah untuk kalian semua. Itu di belakang,” ada perasaan senang saat ia member
tahu ia membawa hadiah untuk kalian semua.”
“WAAAA, terima kasih, Alec,” mereka berseru dengan senangnya.
Alec tersenyum lebih bahagia.
“Ben juga datang lho, dia datang berkunjung tadi dengan orang tuanya,”
lanjut Charlie masih dengan penuh semangat tapi membuat jantung Alec berdetak
kencang dengan wajah dua kali lipat bahagia.
Tidak hanya Alec yang terkaget, tapi juga
Sam. ‘Oke, akhirnya terjadi juga.
Mudah-mudah tidak terjadi apa-apa. Alec jaga sikapmu.’
Alec tergagap, “B..Ben
d..datang??” ingin menangis ia mendengarnya. Ben datang, Ben menepati janjinya.
“Mana Ben? Dimana dia?” Alec celingukan mencari saudara kembarnya.
“Sudah pulang, Alec. Kamu terlambat beberapa menit. Kalau kamu datang
lebih awal, mungkin kalian bisa ketemu. Dia datang untuk mencarimu.”
Jawaban Charlie membuat jantung Alec
berhenti berdetak. ‘Ben sudah pulang? Dan
Ben datang untuk dirinya’
Alec menengok ke arah Suster Ann
yang sudah terdiam menunggu reaksi Alec. Air mata Alec sudah menetes dengan
jantung yang berdetak tidak karuan. Alec tak perlu lagi menunggu jawaban dari
Suster Theresa, ia langsung berlari keluar dengan menangis,
“BENNNNN!!!!!!
“ALEC!!!” Suster Ann mengejar keluar
diikuti teman-temannya.
Sam menghela nafas dan siap dengan segala
yang terburuk sekalipun. “ALEC!”
“BEEENNN!!! KEMBAL, BEEEENNNN!!!!! Aku ikut…. Aku ikut!!!!! Ben aku
mohon, kembali, jangan tinggalin aku. Kamu sudah janji, Beeen, kamu sudah
janji, kita akan selalu bersama, Ben!!!!!” seperti setahun yang lalu, Alec
menangis dan memohon Ben untuk tidak pergi. Tapi sekali lagi juga, tidak ada
Ben di sana, Ben sudah terlanjur pergi meninggalkan Alec bersama ayah ibu
angkatnya.
Alec lemas ke
tanah, berlutut dengan tangisnya yang deras. Dia menangis, dia memaki, dia
mengutuk Ben karena sudah meninggalkan dirinya. Dia menangis dengan
histerisnya, tak peduli tubuhnya bisa menyokongnya. Dan Alecpun mulai kesulitan
bernafas. Dia tersengal-sengal mencari udara diikuti rasa sakit yang menekan
dadanya, tapi rasa panik dan histerisnya hanya membuatnya semakin kesulitan
bernafas,dan akhirnya ia kehilangan semuanya saat semuanya tiba-tiba menjadi
gelap
“ALEC!!!” Suster Anne langsung berlari mengejar dan menangkap tubuh Alec saat melihat sosok kecil
itu akhirnya tumbang.
“ALEC!!!” suara Bapa Simon terdengar di belakang.
Sam sempat terpaku dengan cepatnya Alec
limbung dan jatuh ke tanah setelah memekik dengan histerisnya. Belum pernah Sam
melihat Alec histeris seperti itu. Refleks Sam berlari ke arah adiknya.
Dan Sam terpaku dengan Alec yang perlahan
membiru.
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar