Sabtu, 17 November 2012

Beauty Love Brother - Bagian 25


Rating : K+

Genre : Family

Character : Alec, Ben, Dean, Sam


Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?

ENJOY


Chapter 25

   “Ke ruang kesehatan, dan suster tenangkan anak-anak yang lain,” Bapa Simon mengambil tubuh Alec dari pelukan Suster Theresa.

Bapa Simon membaringkan Alec di ruang kesehatan dan mulai memberikan tindakan. Oxygen lama milik Alec yang ternyata masih disimpan, segera dipakaikan pada Alec, dan Bapa Simon membalurkan obat di tubuh Alec untuk membuatnya hangat.

    “Tidak apa-apa, sayang , kembalilah, kau kuat, Nak,” Suster Anne mengusap-usap Alec penuh kasih saying disertai doa.

Samuel masih terpaku kebingungan, dia tidak siap dengan situasi seperti ini. Dia bukan Dean yang bisa dengan tanggap mengatasi masalah. Dan ini adalah masalah besar. Alec kena serangan lagi karena gagal bertemu dengan Ben, saudara kembarnya yang sangat ingin Alec jumpai. Samuel merasa sangat berdosa, dengan membawa Alec ke sini, dan tanpa membawa bekal obat-obatan Alec. Samuel sama sekali tidak mempersiapkan ini semua, dan tidak mengharapkan ini terjadi. Sekarang Alec sudah terbaring dengan wajah biru sulit bernafas, ia tidak tahu bagaimana menghadapinya, tapi yang pasti hukuman sudah terbayang di depananya. Ayahnya akan sangat marah dengan peristiwa ini semua. Tidak hanya karena membawa Alec kemari untuk bertemu dengan kembaran Ben, tapi juga dengan membiarkan Alec berwujud laki-laki. Samuel hanya bisa pasrah. Dan jika sampai terjadi sesuatu yang buruk pada Alec, Samuel siap menanggungnya. Ini memang salahnya.

Hingga terdengar rintihan kecil dengan usaha untuk tetap benafas dengan rasa sakit,
    “B… Ben…!”
   “Tenang, Nak, tenang…., tarik nafas pelan-pelan ….”
   “Ben…aku mau Ben… aku butuh Ben…,” dengan memberontak.
   “Shs….tidak apa-apa, sayang,” Suster Anne mencoba menenangkan Alec
    “Alec…” Samuel mencoba memanggilnya pelan dengan ketakutan. Ia berdiri di samping tempat tidur Alec.
Alec bisa mendengar suara kakaknya, “Kak…dia ninggalin aku lagi…,kak…, dia ninggalin aku!!” dengan menangis membuatnya semakin kesulitan bernafas. Dadanya terasa sangat sakit. Hingga ia tidak mampu melawannya lagi, dan jatuh tertidur.
    “Alec!” Samuel langsung duduk di samping Alec, dengan menggenggam tangan dingin Alec.
Bapa Simon memeriksa tanda vital Alec.
   “Dia hanya tertidur, tapi ia masih kesulitan bernafas,”
Samuel terkatup.
   “Tuan, sebaiknya Lord Winchester dikabarkan tentang hal ini,” ucap Bapa Simon dengan wajah cemas.
Samuel terpaku pucat seakan diingatkan kembali.
Bapa Simon menangkap kegugupan Samuel, dan menghela nafas curiga,
   “Lord Winchester tidak mengetahui ini, ya?” tanyanya hati-hati.
Samuel terkatup, dan harus mengangguk mengakui.
   “Alec ingin bertemu Ben, dan ia tidak mungkin menemui Ben dalam sosok lain, Bapa. Saya hanya membantu Alec,” ucap Samuel pelan.
Bapa Simon menarik nafas sangat memahaminya.
    “Tapi tetap, ayah kalian harus mengetahuinya.”
Samuel mengangguk menurut.  “Iya, Bapa,” Jujur, Samuel tidak tahu bagaimana ia memberitahukan hal ini pada ayahnya, tapi yang jelas, ayahnya akan marah besar.

Samuel tidak mau meninggalkan Alec sendiri, ia harus tetap di sampingnya sebagai rasa tanggung jawabnya, juga rasa cemasnya sesuatu buruk terjadi pada adiknya ini, karena itu Samuel hanya memberikan pesan pada kusir keluarga untuk disampaiakan pada ayahnya, dan tinggal menunggu kedatangan ayahnya.

Samuel duduk dengan cemas menunggu di samping Alec yang masih belum sadarkan diri. Wajah cemas juga tersirat di wajah Bapa Simon dan Suster Anne juga Suster Theresa.

Hingga akhirnya Alec terbangun dengan lemahnya. Alec mencoba membuka mata dan melihat kakaknya duduk di sampingnya di tempat tidur. Tangan hangat menggenggam tangannya.

   “Kak….,”
   “Alec?”  Samuel sumringah mendengar suara kecil Alec. “Maafkan aku Alec, maafkan aku …,”
   “Dia datang kak, Ben datang untuk aku, Ben menepati janjinya!” isak Alec dengan dada yang terasa sakit. “Nggak seharusnya aku pergi, aku seharusnya tetap di sini, kak!”
   “Alec…?”
   “Kakak benar, nggak seharusnya aku diadopsi, nggak seharusnya aku ada di sana! Nggak seharusnya aku menjadi bagian keluarga kalian dan menjadi Adeline! Aku nggak mau jadi Adeline!”
   “ALEC!” seruan marah Bapa Simon dan Suster Theresa terdengar bersamaan.  Untunglah tidak ada anak-anak lain di ruangan kesehatan ini. Mereka tidak perlu tahu tentang identitas kedua Alec.
Alec semakin menangis tak tertahankan. “Aku mau Beeeennn….”
   “Shsss, sudah Alec…sudah, jangan menangis…,” Samuel mencoba menenangkan Alec. Memang dari awalpun sudah salah. Tapi sekarang nasi sudah jadi bubur, Alec sudah menjadi bagian keluarga mereka, dan Alec sudah menjadi Adeline untuk keluarga mereka, tidak bisa mundur lagi.
   “Aku nggak pergi lagi, aku mau di sini. Ben pasti pulang lagi ke sini, ia pasti kembali untukku, dan aku harus tetep di sini!”
Samuel terpaku. ‘Waduh!’
     “Alec…”
     “Aku cuma mau Ben!”
    “ALEC!” bentak Samuel mulai hilang kesabarannya. Samuel benci dengan sifat keras kepala dan kekanak-kanakan Alec.
Alec tersentak kaget dengan bentakan Samuel. Sudah lama Samuel tidak membentaknya. Ia mengerut  ketakutan. Ia tidak suka jika Samuel membentaknya. Air matanya kembali keluar. Ia meringkukkan tubuhnya berpaling dari kakak angkatnya.
Samuel menghela nafas dengan penuh penyesalan.
   “Alec, maafin aku …,” ucap Samuel tulus dengan menyentuh pundak Alec. Tapi Alec tidak bergeming.
Samuel menarik nafas dalam-dalam tidak tahu harus berbuat apa-apa. Selintas ia ingin Dean ada di sini. Hanya dia yang bisa menaklukan kekeras kepalaan anak ini. ‘Dean…tolong aku’

    “Alec?”
Samuel terlonjak dengan suara ayahnya yang masuk ke dalam ruangan kesehatan. Ia langsung bangkit dan menepi dari tempat tidur.
   “Pa…?” Samuel tergugup ketakutan.

John Winchester harus menahan perasaannya saat melihat sosok Alec dengan wujud anak laki-laki meringkuk membelakangi mereka, menghadap tembok

    “Nak,” John  mencoba memanggil Alec dengan hati-hati.
Alec tidak mau membalikkan tubuhnya.
John memeriksa denyut nadi tangan Alec dan punggungnya untuk melihat kondisi pernafasannya. Tidak terdengar berat, hanya sedikit lemah. Alec baik baik saja.
    “Bagaimana keadaanmu di sana, Nak?”
    “Baik,” Alec menyahut lirih, masih dengan nafas yang sedikit tersengal, tetap tidak membalikan tubuhnya.
    “Kalau begitu kau sudah siap untuk pulang?” John menahan nafas menunggu jawabannya.
    “Nggak mau pulang,” ucap Alec lirih masih dengan posisi membelakangi ayahnya.
John menghela nafas, sudah dapat ia duga.
    “Kenapa tidak mau pulang?”
Alec mengangkat bahunya, tidak menjawab.
Lord Winchester menarik nafas dalam, “Mama mencarimu, dia mulai cemas tidak melihat kau satu hari ini.”
Alec menggigit bibirnya,Mama?” perlahan Alec membalikkan tubuhnya menghadap ayahnya.
John tersenyum ada harapan.
   “Ya. Dia merindukanmu, Alec,  dia kehilangan bayi kesayangannya.”
   “Aku bukan bayi kesayangannya, aku bahkan bukan putrinya,” Alec memanyun sedikit bibirnya.
   “Tentu saja, kau putranya. Kau adalah bayi kesayangannya, tidak peduli kau laki-laki atau perempuan.”
Alec mengigit bibirnya, kemudian teringat dirinya dalam sosok laki-laki, juga dengan Samuel yang membantunya.
    “Maafkan aku,” ucap Alec lirih.
    “Maaf? Maaf kenapa?” John pura-pura tidak mengerti
Alec melihat dirinya sendiri, John langsung tersenyum.
    “Ben janji datang hari ini. Aku ingin bertemu dengannya, tapi tidak mungkin dalam wujud Adeline. Kak Samuel membantuku. Bukan Kak samuel yang menawarkan, tapi aku yang minta,” ia berusaha keras untuk membuat ayahnya percaya. “Aku juga yang minta Kak Samuel untuk membelikan pakaian dan mainan untuk teman-teman di sini, dan kakak tidak keberatan. Jangan marah pada Kak Samuel, Kak Samuel tidak salah, aku yang minta, kok,” dengan mata sungguh-sungguh.
John terdiam, lalu menoleh pada Samuel yang membuatnya kikuk, dan kembali pada Alec.
    “Papa tidak akan marah pada Samuel.”
Alec mengangguk lirih. Ada perasaan lega di sana.
John menghela nafas, “Jadi kau siap pulang sekarang?”
Alec kembali menggeleng.
    “Tidakkah kau sayang mama?”
Alec langsung mengangguk. “Alec sayang mama.”
    “Karena itu pulanglah bersama kami, nak.”
Alec mengangkat bahu ragu. “Aku aku nggak bisa meninggalkan Ben....,”
    “Dan kau yakin dia akan kembali lagi?”
    “Dia tadi datang untukku.”
    “Lalu kau yakin dia akan datang lagi untukmu?” tanya John sekali lagi dengan halus dan hati-hati.
Alec mengangguk.
    “Kau yakin?
Alec kembali mengangguk.
    “Dan kau akan ikut bersama Ben jika ia datang lagi?”
Alec mengangguk tanpa ragu
    “Dan meninggalkan orang-orang yang menyayangimu di sini? Papa, Dean, Samuel, Miss Emma, Miss Jane, and khususnya mamamu?
Alec menggigit bibirnya. Ia melirik ke arah kakaknya, Samuel, yang memandangnya sedih.
    “Kami semua menyayangimu, Alec, timpal Samuel.
    “Aku bukan Adeline. Kalian menyayangiku karena aku menjadi Adeline.”
    “Apa aku memperlakukanmu seperti Adeline? Aku menyayangimu sebagai Alec, bukan Adeline,” Samuel memprotes.
Alec terkatup dengan ucapan Samuel. Ia memandang Samuel dengan tak percaya, tapi Samuel mengangguk meyakinkan.
    “Kamu sayang Dean, kan? Dean akan sedih kalau dia pulang nanti tidak menemukanmu di rumah,” lanjut Samuel.
Alec terkatup, membenarkan ucapan Samuel; kalau ia tidak pulang ke rumah, ia tidak akan bertemu lagi dengan kakaknya yang paling ia sayangi.
    “Kami mencintaimu bukan sebagai Adeline, Alec, tapi mencintaimu sebagai siapa sesungguhnya dirimu, Alec, John menambahkan.
Alec terdiam.
    “Tapi aku harus memakai gaun dan rok.”
    “Untuk mama. Dan kami harus memanggilmu Adeline untuk mama. Kita melakukannya untuk mama, dan papa yakin kau tidak ingin menyakiti mamamu, kan,” John kembali meyakinkan.
Alec menggigit bibirnya, iya, dia tidak ingin menyakiti ibunya.
    “Tapi Ben…?”
    “Kita tidak tahu kapan Ben akan kembali lagi, Alec, tapi kita, kita akan selalu bersamamu, tidaka akn sedetikpun meninggalkanmu sendiri, nak.”
Alec tertunduk, “... aku nggak mau sendirian..., aku benci ditinggalin,” suara kecil Alec pecah.
   “Papa tahu, nak. Karena itu kita tidak akan pernah meninggalkanmu. Kau percaya kami kan?”
Alec mengangguk lirih dan mengusap air matanya.
    “Sekarang apa kau mau meninggalkan kami?”
Alec menggeleng pasti.
John tersenyum lega. Ia membuka tangannya, dan Alec langsung menghambur ke pelukannya.
John memeluknya sangat erat dan hangat. “Kami benar-benar menyayangimu sebagai Alec, nak.”
Alec masih di dalam pelukan ayahnya, dan merasakan kecupan di kepalanya, kecupan penuh rasa sayang.
   “Jadi kau mau ikut pulang bersama kami?” Lord Winchester bertanya sekali lagi.
Dan Alec mengangguk lirih, membuat kesemua yang ada di ruangan ini tersenyum lega.
    “Dan bisa kita pulang sekarang? Mama sudah menunggumu sekarang, nak.”
Sekali lagi Alec mengangguk pelan.
     “Baiklah, kita pulang sekarang,” dan mengangkat tubuh kecil hati-hati lalu membawanya keluar.

Setelah berpamitan sebentar dengan kawan-kawannya, Alec pulang bersama ayah dan kakaknya.

Selama perjalanan, Alec meringkuk di pelukan ayahnya.
Samuel hanya menghela nafas antara kasihan dan lega. Ia lega Alec kembali bersama mereka, tapi juga kasihan dengan Alec harus tetap menjadi Adeline.

                Setibanya mereka di rumah, Alec langsung kembali memakai pakaian Adeline dan segera ke kamar Lady Mary  yang sudah menunggunya.
Alec kembali meringkukkan tubuhnya di samping wanita malang ini, hingga ia tertidur di sana. Alec membutuhkan pelukan hangat dan kasih sayang seorang ibu sebagai obat rasa kecewa tidak bisa bertemu lagi dengan Ben. Alec sangat membutuhkannya


Saat Alec masih tertidur bersama ibundanya, Samuel tak henti-hentinya mengucapkan syukur Alec kembali pulang dan dalam keadaan yang tidak mengkhawatirkan, Alec akan baik-baik saja dengan perawatan di rumah. Tapi tetap ia tidak bisa lepas dari interogasi ayahnya atas insiden ini dan kegilaan ide mereka berdua, dan Samuel siap menghadapinya.Semoga ayahnya mau mendengar penjelasannya.

    “Nah, ada yang ingin kau tambahkan dari cerita Alec tadi siang?” Samuel sudah berhadapan dengan ayahnya untuk sebuah interogasi. Samuel memandang ayahnya. Tidak ada mata marah di sana, tidak ada mata menghakimi di sana, hanya sepasang mata yang membutuhkan penjelasan.
Samuel menelan ludah.
    “Aku hanya ingin menolong Alec. Aku pun akan memikirkan hal yang sama dengannya, kalau aku dipisahkan dari Dean. Alec hanya ingin bertemu dengan saudara kembarnya. Aku bahkan tidak tahu Alec memiliki saudara kembar.”
John terdiam. “Tapi sudahkah kau pikirkan akibatnya bila Alec bertemu dengan Ben?”
Samuel mengangguk sadar.
    “Dan kau menginginkan itu terjadi?”
    “Tidak, tentu saja tidak, pa, aku tidak mau Alec pergi dari rumah ini, aku juga tidak mau kehilangan Alec,” bantah Samuel langsung. “Aku sayang Alec.”
John terdiam dan mengangguk. Ia percaya yang diucapkan putra keduanya ini.
   “Lalu dengan pakaian laki-laki?”
   “Alec tidak mungkin bertemu dengan Ben dalam wujud Adeline, pa, juga bila bertemu dengan teman-temannya. Alec, seorang anak laki-laki, pa, seperti aku dan Dean, tidak mungkin memaki gaun atau rok,” emosi Samuel mulai meninggi.
   “Tak perlu kau ingatkan lagi, Samuel, papa tahu itu,” John menenangkan emosi putranya.
Samuel terdiam.
   “Yang tidak aku perkirakan adalah serangan asmanya yang kambuh karena histeris. Aku sama sekali tidak tahu itu. Aku minta maaf, pa. Kalau saja aku tahu, aku tidak akan melakukannya, dan tidak akan mengizinkannya pergi ke sana,” Samuel penuh sesal. “Aku benar-benar takut saat itu pa, aku takut, aku takut Alec akan...akan...”
John harus tersenyum, “Alec anak yang kuat, Sam,” John memotongnya, “Mungkin tubuhnya terlihat rapuh, tapi sebenarnya ia kuat. Kau jangan takut, dia tidak akan apa-apa.”
Samuel mengangguk lega, terlebih tidak ada kemarahan di sana.
John menarik nafas dalam-dalam.
   “Samuel, meski papa kecewa dengan tindakan cerobohmu ini, papa harus mengakui keberanianmu melakukannya. Dan kamu melakukannya untuk Alec, mencoba untuk membuatnya bahagia. Papa bangga.”
Samuel harus tersenyum lega dan bangga. “Terima kasih,pa.”
John mengangguk.
    “Dan benar kau membelikan semua yang dikatakan Alec?”
Samuel mengangguk malu.
John tersenyum, “Kau habisakan berapa dari tabunganmu?”
Samuel terkatup kebingungan, tapi langsung mengerti maksudnya. “Nggak perlu, pa, Samuel memang ingin melakukannya.”
Ayahnya menjulurkan tangannya, “Berikan pada papa, nota pembeliannya,” dengan nada sedikit tegas.
Dengan suara seperti itu, Samuel tak bisa membantahnya dan merogoh saku bajunya, lalu menyerahkan beberapa lembar kertas pada ayahnya.
John menerimnya dan membacanya.
Samuel menelan ludah, siap dimarahi karena bertindak royal dan boros.
Tapi ayahnya tersenyum, “Papa akan ganti ini semua.”
Samuel hampir tak percaya mendengarnya.
   “Kamu sudah melakukan hal yang sangat mulia, dan papa sangat bangga padamu, nak, sangat bangga!”
Senyum lega dan bangga terbentuk dari bibir samuel, dan mengangguk.
    “Aku menyayangi Alec, pa.”
John mengangguk dengan tersenyum lega, “Papa tahu itu, Sam.”

***

Saat tengah malam, Samuel mengendap masuk ke kamar Alec. Alec sudah dipindahkan dari kamar ibunya kembali ke tempat tidur Adeline. Samuel hanya ingin memeriksa keadaan Alec apakah ia masih dapat tertidur pulas setelah kejadian siang tadi. Dan seperti yang ia perkirakan, Samuel menemukan Alec menangis dalam tidurnya. Samuel tahu, Alec tidak bisa melepaskan kesedihan dan kekecewaannya atas kehilangan Ben. Alec telah kehilangan Ben dan harus tetap menjadi Adeline.

Lama Samuel memandangi adiknya yang tertidur dengan terisak. Samuel tahu, Alec merasakan kehadirannya. Dan akhirnya ia mendengar suara lirih itu,

    “Kak, kakak boleh memanggilku Adeline. Tapi suatu hari nanti, aku akan kembali menjadi Alec...,” tanpa membuka matanya.
Samuel menghela nafas dan mengangguk, “Aku akan di sana saat kamu kembali menjadi Alec....,”
Alec menarik nafas dalam-dalam dan kembali menangis dalam tidurnya.
Samuel hanya bisa menyentuh kepala Alec. Samuel memang tidak terbiasa menenangkan seseorang seperti yang selalu Dean lakukan padanya, tapi mungkin tangannya bisa membuat Alec merasa tenang, dan tahu bahwa dirinyalah yang akan selalun ada di sampingnya, bahkan bila Alec memutuskan kembali menjadi Alec nanti. Saat ini Alec sudah benar-benar menerima dirinya menjadi Adeline.

TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar