Rating : K+
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
ENJOY
Chapter
25
“Ke ruang kesehatan, dan suster tenangkan anak-anak yang lain,” Bapa
Simon mengambil tubuh Alec dari pelukan Suster Theresa.
Bapa Simon membaringkan Alec di ruang kesehatan dan mulai memberikan tindakan. Oxygen lama milik
Alec yang ternyata masih disimpan, segera dipakaikan pada Alec, dan Bapa Simon
membalurkan obat di tubuh Alec untuk membuatnya hangat.
“Tidak apa-apa, sayang , kembalilah, kau kuat, Nak,” Suster Anne
mengusap-usap Alec penuh kasih saying disertai doa.
Samuel masih terpaku
kebingungan, dia tidak siap dengan situasi seperti ini. Dia bukan Dean yang
bisa dengan tanggap mengatasi masalah. Dan ini adalah masalah besar. Alec kena
serangan lagi karena gagal bertemu dengan Ben, saudara kembarnya yang sangat
ingin Alec jumpai. Samuel merasa sangat berdosa, dengan
membawa Alec ke sini, dan tanpa membawa bekal obat-obatan Alec. Samuel
sama sekali tidak mempersiapkan ini semua, dan tidak mengharapkan ini terjadi.
Sekarang Alec sudah terbaring dengan wajah biru sulit bernafas, ia tidak tahu
bagaimana menghadapinya, tapi yang pasti hukuman sudah terbayang di depananya.
Ayahnya akan sangat marah dengan peristiwa ini semua. Tidak hanya karena
membawa Alec kemari untuk bertemu dengan kembaran Ben, tapi juga dengan
membiarkan Alec berwujud laki-laki. Samuel hanya bisa pasrah.
Dan jika sampai terjadi sesuatu yang buruk pada Alec, Samuel
siap menanggungnya. Ini memang salahnya.
Hingga terdengar rintihan kecil dengan
usaha untuk tetap benafas dengan rasa sakit,
“B… Ben…!”
“Tenang,
Nak, tenang…., tarik nafas pelan-pelan ….”
“Ben…aku mau Ben… aku butuh Ben…,” dengan memberontak.
“Shs….tidak apa-apa, sayang,” Suster Anne mencoba menenangkan Alec
“Alec…” Samuel mencoba memanggilnya pelan dengan
ketakutan. Ia berdiri di samping tempat tidur Alec.
Alec bisa mendengar suara kakaknya,
“Kak…dia ninggalin aku lagi…,kak…, dia ninggalin aku!!” dengan menangis
membuatnya semakin kesulitan bernafas. Dadanya terasa sangat sakit. Hingga ia
tidak mampu melawannya lagi, dan jatuh tertidur.
“Alec!” Samuel langsung duduk di samping Alec,
dengan menggenggam tangan dingin Alec.
Bapa Simon memeriksa tanda vital Alec.
“Dia hanya tertidur, tapi ia masih kesulitan bernafas,”
Samuel terkatup.
“Tuan, sebaiknya Lord Winchester dikabarkan tentang hal
ini,” ucap Bapa Simon dengan wajah cemas.
Samuel terpaku pucat
seakan diingatkan kembali.
Bapa Simon
menangkap kegugupan Samuel, dan menghela nafas curiga,
“Lord Winchester tidak mengetahui ini, ya?”
tanyanya hati-hati.
Samuel
terkatup, dan harus mengangguk mengakui.
“Alec ingin bertemu Ben, dan ia tidak
mungkin menemui Ben dalam sosok lain, Bapa. Saya hanya membantu Alec,” ucap
Samuel pelan.
Bapa Simon
menarik nafas sangat memahaminya.
“Tapi tetap, ayah
kalian harus mengetahuinya.”
Samuel
mengangguk menurut. “Iya, Bapa,” Jujur,
Samuel
tidak tahu bagaimana ia memberitahukan hal ini pada ayahnya, tapi yang jelas,
ayahnya akan marah besar.
Samuel tidak mau
meninggalkan Alec sendiri, ia harus tetap di sampingnya sebagai rasa tanggung
jawabnya, juga rasa cemasnya sesuatu buruk terjadi pada adiknya ini, karena itu
Samuel
hanya memberikan pesan pada kusir keluarga untuk disampaiakan pada ayahnya, dan
tinggal menunggu kedatangan ayahnya.
Samuel duduk dengan cemas
menunggu di samping Alec yang masih belum sadarkan diri. Wajah cemas juga
tersirat di wajah Bapa Simon dan Suster Anne juga Suster Theresa.
Hingga akhirnya Alec terbangun dengan
lemahnya. Alec mencoba membuka mata dan melihat kakaknya duduk di sampingnya di
tempat tidur. Tangan hangat menggenggam tangannya.
“Kak….,”
“Alec?” Samuel
sumringah mendengar suara kecil Alec. “Maafkan aku Alec, maafkan aku …,”
“Dia datang kak, Ben datang untuk aku, Ben menepati janjinya!” isak Alec
dengan dada yang terasa sakit. “Nggak seharusnya aku pergi, aku seharusnya
tetap di sini, kak!”
“Alec…?”
“Kakak benar, nggak seharusnya aku diadopsi, nggak seharusnya aku ada di
sana! Nggak seharusnya aku menjadi bagian keluarga kalian dan menjadi Adeline!
Aku nggak mau jadi Adeline!”
“ALEC!” seruan marah Bapa Simon dan Suster Theresa terdengar bersamaan. Untunglah tidak ada anak-anak lain
di ruangan kesehatan ini. Mereka tidak perlu tahu tentang identitas kedua Alec.
Alec semakin menangis tak tertahankan. “Aku
mau Beeeennn….”
“Shsss, sudah Alec…sudah, jangan menangis…,” Samuel
mencoba menenangkan Alec. Memang dari awalpun sudah salah. Tapi sekarang nasi
sudah jadi bubur, Alec sudah menjadi bagian keluarga mereka, dan Alec sudah
menjadi Adeline untuk keluarga mereka, tidak bisa mundur lagi.
“Aku nggak pergi lagi, aku mau di sini. Ben pasti pulang lagi ke sini,
ia pasti kembali untukku, dan aku harus tetep di sini!”
Samuel terpaku. ‘Waduh!’
“Alec…”
“Aku cuma mau Ben!”
“ALEC!” bentak Samuel mulai hilang
kesabarannya. Samuel
benci dengan sifat keras kepala dan kekanak-kanakan Alec.
Alec tersentak kaget dengan
bentakan Samuel.
Sudah lama Samuel
tidak membentaknya. Ia mengerut
ketakutan. Ia tidak suka jika Samuel membentaknya. Air
matanya kembali keluar. Ia meringkukkan tubuhnya berpaling dari kakak
angkatnya.
Samuel menghela nafas
dengan penuh penyesalan.
“Alec, maafin aku …,” ucap Samuel tulus dengan
menyentuh pundak Alec. Tapi Alec tidak bergeming.
Samuel menarik nafas
dalam-dalam tidak tahu harus berbuat apa-apa. Selintas ia ingin Dean ada di
sini. Hanya dia yang bisa menaklukan kekeras kepalaan anak ini. ‘Dean…tolong aku’
“Alec?”
Samuel terlonjak dengan
suara ayahnya yang masuk ke dalam ruangan kesehatan. Ia langsung bangkit dan
menepi dari tempat tidur.
“Pa…?”
Samuel
tergugup ketakutan.
John Winchester harus menahan perasaannya
saat melihat sosok Alec dengan wujud anak laki-laki meringkuk membelakangi
mereka, menghadap tembok
“Nak,” John mencoba memanggil
Alec dengan hati-hati.
Alec tidak mau membalikkan tubuhnya.
John memeriksa denyut nadi tangan Alec dan
punggungnya untuk melihat kondisi pernafasannya. Tidak terdengar berat, hanya sedikit lemah. Alec baik baik saja.
“Bagaimana keadaanmu di sana, Nak?”
“Baik,” Alec menyahut lirih, masih dengan
nafas yang sedikit tersengal, tetap tidak membalikan tubuhnya.
“Kalau begitu kau sudah siap untuk pulang?”
John menahan nafas menunggu jawabannya.
“Nggak mau pulang,” ucap Alec lirih masih dengan posisi membelakangi
ayahnya.
John menghela nafas, sudah dapat ia duga.
“Kenapa
tidak mau pulang?”
Alec mengangkat
bahunya, tidak menjawab.
Lord Winchester menarik nafas dalam, “Mama mencarimu, dia mulai cemas tidak melihat kau
satu hari ini.”
Alec menggigit
bibirnya,
“Mama?” perlahan Alec
membalikkan tubuhnya menghadap ayahnya.
John tersenyum
ada harapan.
“Ya.
Dia merindukanmu, Alec,
dia kehilangan bayi kesayangannya.”
“Aku bukan bayi kesayangannya, aku bahkan bukan putrinya,” Alec memanyun sedikit bibirnya.
“Tentu saja, kau putranya. Kau adalah bayi kesayangannya, tidak peduli kau
laki-laki atau perempuan.”
Alec mengigit
bibirnya, kemudian teringat dirinya dalam sosok laki-laki, juga dengan Samuel
yang membantunya.
“Maafkan aku,” ucap Alec lirih.
“Maaf? Maaf kenapa?” John pura-pura tidak
mengerti
Alec melihat
dirinya sendiri, John langsung tersenyum.
“Ben janji datang hari ini. Aku ingin
bertemu dengannya, tapi tidak mungkin dalam wujud Adeline. Kak Samuel
membantuku. Bukan Kak samuel yang menawarkan, tapi aku yang minta,” ia berusaha
keras untuk membuat ayahnya percaya. “Aku juga yang minta Kak Samuel untuk
membelikan pakaian dan mainan untuk teman-teman di sini, dan kakak tidak
keberatan. Jangan marah pada Kak Samuel, Kak Samuel tidak salah, aku yang
minta, kok,” dengan mata sungguh-sungguh.
John terdiam,
lalu menoleh pada Samuel yang membuatnya kikuk, dan kembali pada Alec.
“Papa tidak akan marah pada Samuel.”
Alec mengangguk
lirih. Ada perasaan lega di sana.
John menghela
nafas, “Jadi kau siap pulang sekarang?”
Alec kembali
menggeleng.
“Tidakkah kau sayang mama?”
Alec langsung
mengangguk. “Alec sayang mama.”
“Karena itu pulanglah bersama kami, nak.”
Alec mengangkat
bahu ragu. “Aku aku nggak bisa meninggalkan Ben....,”
“Dan kau yakin dia akan kembali lagi?”
“Dia tadi datang untukku.”
“Lalu kau yakin dia akan datang lagi
untukmu?” tanya John sekali lagi dengan halus dan hati-hati.
Alec mengangguk.
“Kau yakin?”
Alec kembali
mengangguk.
“Dan kau akan ikut bersama Ben jika ia datang lagi?”
Alec mengangguk
tanpa ragu
“Dan meninggalkan orang-orang yang menyayangimu di sini? Papa, Dean, Samuel,
Miss Emma,
Miss Jane, and khususnya mamamu?”
Alec menggigit
bibirnya. Ia melirik ke arah kakaknya, Samuel, yang memandangnya sedih.
“Kami semua menyayangimu, Alec,” timpal Samuel.
“Aku bukan Adeline. Kalian menyayangiku karena aku menjadi Adeline.”
“Apa aku memperlakukanmu seperti Adeline?
Aku menyayangimu sebagai Alec, bukan Adeline,” Samuel memprotes.
Alec terkatup
dengan ucapan Samuel. Ia memandang Samuel dengan tak percaya, tapi Samuel
mengangguk meyakinkan.
“Kamu sayang Dean, kan? Dean akan sedih
kalau dia pulang nanti tidak menemukanmu di rumah,” lanjut Samuel.
Alec terkatup,
membenarkan ucapan Samuel; kalau ia tidak pulang ke rumah, ia tidak akan
bertemu lagi dengan kakaknya yang paling ia sayangi.
“Kami mencintaimu bukan sebagai Adeline, Alec, tapi mencintaimu sebagai
siapa sesungguhnya dirimu, Alec,” John
menambahkan.
Alec terdiam.
“Tapi aku harus memakai gaun dan rok.”
“Untuk mama. Dan kami harus memanggilmu Adeline untuk mama. Kita
melakukannya untuk mama, dan papa yakin kau tidak ingin menyakiti mamamu, kan,”
John kembali meyakinkan.
Alec menggigit
bibirnya, iya, dia tidak ingin menyakiti ibunya.
“Tapi Ben…?”
“Kita tidak tahu kapan Ben akan kembali lagi, Alec, tapi kita, kita akan
selalu bersamamu, tidaka akn sedetikpun meninggalkanmu sendiri, nak.”
Alec tertunduk,
“... aku nggak mau sendirian..., aku benci ditinggalin,” suara kecil Alec
pecah.
“Papa tahu, nak. Karena itu kita tidak akan
pernah meninggalkanmu. Kau percaya kami kan?”
Alec mengangguk
lirih dan mengusap air matanya.
“Sekarang apa kau mau meninggalkan kami?”
Alec menggeleng
pasti.
John tersenyum
lega. Ia membuka tangannya, dan Alec langsung menghambur ke pelukannya.
John memeluknya
sangat erat dan hangat. “Kami benar-benar menyayangimu sebagai Alec, nak.”
Alec masih di dalam
pelukan ayahnya, dan merasakan kecupan di kepalanya, kecupan penuh rasa sayang.
“Jadi kau mau ikut pulang bersama kami?” Lord Winchester bertanya sekali lagi.
Dan Alec
mengangguk lirih, membuat kesemua yang ada di ruangan ini tersenyum lega.
“Dan bisa kita pulang sekarang? Mama sudah menunggumu sekarang, nak.”
Sekali lagi
Alec mengangguk pelan.
“Baiklah, kita pulang sekarang,” dan mengangkat tubuh
kecil hati-hati lalu membawanya keluar.
Setelah
berpamitan sebentar dengan kawan-kawannya, Alec pulang bersama ayah dan
kakaknya.
Selama
perjalanan, Alec meringkuk di pelukan ayahnya.
Samuel hanya
menghela nafas antara kasihan dan lega. Ia lega Alec kembali bersama mereka,
tapi juga kasihan dengan Alec harus tetap menjadi Adeline.
Setibanya mereka di rumah, Alec langsung kembali memakai pakaian Adeline
dan segera ke kamar Lady Mary yang sudah
menunggunya.
Alec kembali meringkukkan
tubuhnya di samping wanita malang ini, hingga ia tertidur di sana. Alec
membutuhkan pelukan hangat dan kasih sayang seorang ibu sebagai obat rasa
kecewa tidak bisa bertemu lagi dengan Ben. Alec sangat membutuhkannya
Saat Alec masih tertidur bersama ibundanya, Samuel tak henti-hentinya
mengucapkan syukur Alec kembali pulang dan dalam keadaan yang tidak
mengkhawatirkan, Alec akan baik-baik saja dengan perawatan di rumah. Tapi tetap
ia tidak bisa lepas dari interogasi ayahnya atas insiden ini dan kegilaan ide
mereka berdua, dan Samuel siap menghadapinya.Semoga ayahnya mau mendengar
penjelasannya.
“Nah, ada yang ingin kau tambahkan dari
cerita Alec tadi siang?” Samuel sudah berhadapan dengan ayahnya untuk sebuah
interogasi. Samuel memandang ayahnya. Tidak ada mata marah di sana, tidak ada
mata menghakimi di sana, hanya sepasang mata yang membutuhkan penjelasan.
Samuel menelan
ludah.
“Aku hanya ingin menolong Alec. Aku pun
akan memikirkan hal yang sama dengannya, kalau aku dipisahkan dari Dean. Alec
hanya ingin bertemu dengan saudara kembarnya. Aku bahkan tidak tahu Alec
memiliki saudara kembar.”
John terdiam.
“Tapi sudahkah kau pikirkan akibatnya bila Alec bertemu dengan Ben?”
Samuel
mengangguk sadar.
“Dan kau menginginkan itu terjadi?”
“Tidak, tentu saja tidak, pa, aku tidak mau
Alec pergi dari rumah ini, aku juga tidak mau kehilangan Alec,” bantah Samuel
langsung. “Aku sayang Alec.”
John terdiam
dan mengangguk. Ia percaya yang diucapkan putra keduanya ini.
“Lalu dengan pakaian laki-laki?”
“Alec tidak mungkin bertemu dengan Ben dalam
wujud Adeline, pa, juga bila bertemu dengan teman-temannya. Alec, seorang anak
laki-laki, pa, seperti aku dan Dean, tidak mungkin memaki gaun atau rok,” emosi
Samuel mulai meninggi.
“Tak perlu kau ingatkan lagi, Samuel, papa
tahu itu,” John menenangkan emosi putranya.
Samuel terdiam.
“Yang tidak aku perkirakan adalah serangan
asmanya yang kambuh karena histeris. Aku sama sekali tidak tahu itu. Aku minta
maaf, pa. Kalau saja aku tahu, aku tidak akan melakukannya, dan tidak akan
mengizinkannya pergi ke sana,” Samuel penuh sesal. “Aku benar-benar takut saat
itu pa, aku takut, aku takut Alec akan...akan...”
John harus
tersenyum, “Alec anak yang kuat, Sam,” John
memotongnya, “Mungkin tubuhnya terlihat rapuh, tapi sebenarnya ia kuat. Kau
jangan takut, dia tidak akan apa-apa.”
Samuel
mengangguk lega, terlebih tidak ada kemarahan di sana.
John menarik
nafas dalam-dalam.
“Samuel, meski papa kecewa dengan tindakan
cerobohmu ini, papa harus mengakui keberanianmu melakukannya. Dan kamu
melakukannya untuk Alec, mencoba untuk membuatnya bahagia. Papa bangga.”
Samuel harus
tersenyum lega dan bangga. “Terima kasih,pa.”
John
mengangguk.
“Dan benar kau membelikan semua yang
dikatakan Alec?”
Samuel
mengangguk malu.
John tersenyum,
“Kau habisakan berapa dari tabunganmu?”
Samuel terkatup
kebingungan, tapi langsung mengerti maksudnya. “Nggak perlu, pa, Samuel memang
ingin melakukannya.”
Ayahnya
menjulurkan tangannya, “Berikan pada papa, nota pembeliannya,” dengan nada
sedikit tegas.
Dengan suara
seperti itu, Samuel tak bisa membantahnya dan merogoh saku bajunya, lalu
menyerahkan beberapa lembar kertas pada ayahnya.
John menerimnya
dan membacanya.
Samuel menelan
ludah, siap dimarahi karena bertindak royal dan boros.
Tapi ayahnya
tersenyum, “Papa akan ganti ini semua.”
Samuel hampir
tak percaya mendengarnya.
“Kamu sudah melakukan hal yang sangat mulia,
dan papa sangat bangga padamu, nak, sangat bangga!”
Senyum lega dan
bangga terbentuk dari bibir samuel, dan mengangguk.
“Aku menyayangi Alec, pa.”
John mengangguk
dengan tersenyum lega, “Papa tahu itu, Sam.”
***
Saat tengah malam, Samuel mengendap masuk ke kamar Alec. Alec sudah
dipindahkan dari kamar ibunya kembali ke tempat tidur Adeline. Samuel hanya
ingin memeriksa keadaan Alec apakah ia masih dapat tertidur pulas setelah
kejadian siang tadi. Dan seperti yang ia perkirakan, Samuel menemukan Alec
menangis dalam tidurnya. Samuel tahu, Alec tidak bisa melepaskan kesedihan dan
kekecewaannya atas kehilangan Ben. Alec telah kehilangan Ben dan harus tetap
menjadi Adeline.
Lama Samuel
memandangi adiknya yang tertidur dengan terisak. Samuel tahu, Alec merasakan
kehadirannya. Dan akhirnya ia mendengar suara lirih itu,
“Kak, kakak boleh memanggilku Adeline. Tapi
suatu hari nanti, aku akan kembali menjadi Alec...,” tanpa membuka matanya.
Samuel menghela
nafas dan mengangguk, “Aku akan di sana saat kamu kembali menjadi Alec....,”
Alec menarik
nafas dalam-dalam dan kembali menangis dalam tidurnya.
Samuel hanya
bisa menyentuh kepala Alec. Samuel memang tidak terbiasa menenangkan seseorang
seperti yang selalu Dean lakukan padanya, tapi mungkin tangannya bisa membuat
Alec merasa tenang, dan tahu bahwa dirinyalah yang akan selalun ada di sampingnya, bahkan bila Alec memutuskan kembali menjadi Alec nanti.
Saat ini Alec sudah benar-benar menerima dirinya menjadi Adeline.
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar