Rating : K+
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
ENJOY
Alec telah
memutuskan untuk sepenuhnya menjadi Adeline. Dengan bantuan Miss Jane, Alec
semakin memantapkan identitas dirinya yang baru sebagai Adeline, putri dari Marques Winchester. Tidak hanya cara bersikap, cara berbicara,
dan cara berjalan, yang sepenuh layaknya seorang wanita muda sejati, tapi juga
cara berpikirnya. Alec menempatkan dirinya sebagai seorang wanita muda, belajar
berempati layaknya seorang wanita terhormat. Dari Miss Jane pun Alec mengenal model pakaian yang berkelas dan mewah,
lengkap dengan aksesoris juga perhiasannya. Alec benar-benar hidup bak seorang putri
raja. Dan selama itu pula Samuel selalu ada
di sampingnya. Samuel tetap mengajaknya
bermain catur, bermain strategi perang, membaca buku
bersama, bermain
di hutan, naik kuda bersama, dan bermain piano.
Tidak hanya
itu, Samuel pun selalu bersedia membantunya untuk mengirimkan hadiah
seperti mainan, makanan dan pakaian ke St. Peter. Alec
tahu, dirinya tidak mungkin kembali berkunjung ke sana, atau
bahkan menunjukkan wujudnya yang harus tetap menjadi Adeline di hadapan mereka.
Karena itu, Alec meminta tolong pada Samuel untuk menyampaikannya pada mereka
setiap bulannya, dan Alec sangat berterima kasih, meski sebagian dari hadiah
itu berasal dari uang tabungan yang ia kumpulkan dari pemberian ayahnya.
Senangnya Alec kini memiliki uang tabungan sendiri yang
bisa ia gunakan untuk membahagiakan teman-temannya yang
tidak seberuntung dirinya. Bagaimana Alec tidak beruntung,
jika ia tidak perlu lagi memikirkan uang untuk membeli pakaian atau mainan karena
semua hanya tinggal meminta di luar dari uang
tabungannya sendiri. Alec senang dengan
Samuel, yang secara tidak langsung, dan tidak Alec
sadari sendiri,
menjadi penyeimbang antara Adeline dan Alec, ia selalu ingat siapa dirinya.
Dirinya Alec bukan Adeline, dan Samuel membantunya dengan sangat baik, meski
tetap Alec bisa bermanja-manja dengan Samuel layaknya seorang adik pada kakaknya.
Namun hanya
berlangsung dua tahun, karena Samuel harus melanjutkan sekolahnya untuk meraih
cita-citanya sebagai seorang pengacara, dan Harvard langsung menerimanya, meski
umurnya belum genap 16 tahun. Kepergian Samuel cukup memukul Alec. Alec
mengira Samuel tidak akan pergi meninggalkannya, Alec mengira Samuel akan terus
menemaninya. Tapi Alec pun sadar, ia tidak boleh menjadi egois. Alec harus
melepaskan Samuel. Dan sebagai obat pelipur lara,
Lord Winchester mendatangkan seorang pemusik yang
berpengalaman untuk menjadi guru musik dan teman Alec setelah Samuel pergi.
Untunglah, tak lama
setelah kepergian Samuel, Dean pulang bersama gelar dokter mudanya, dan
langsung membuka praktek di kota. Hanya perlakuan Dean pada Alec kini sedikit
berbeda. Dean telah melihat Alec sebagai Adeline seutuhnya. Bagaimana Dean
berbicara pada Alec, bagaimana Dean bermain dengan Alec, bahkan bagaimana Dean
menghormati Alec, benar-benar seperti Dean memperlakukan dan menghormati adik
perempuannya. Setelah Alec menjelma dengan wujud Adeline, Dean sulit lagi
melihat Alec di dalam tubuh Adeline. Alec telah sepenuh menjadi Adeline di mata
Dean. Sedikit mengecewakan bagi Alec, kakaknya yang satu ini tidak dapat
membantunya untuk tetap ingat pada identitas aslinya. Tapi sekali lagi Alec
harus menerimanya, lagi pula bukankan Dean juga yang pertama kali setuju
dirinya menjadi Adeline di saat masih ada pertentangan dan Samuel. Mungkin
memang begitu cara Dean menyayangi Alec. Dan sebagai
pelampiasannya, Alec akan bermain dengan kudanya di hutan yang dengan senang
hati Dean akan menemaninya.
Tepat di usia 15
tahun, kesempurnaan Alec menjadi seorang gadis bangsawan muda diwujudkan,
saat ayahnya, Lord Winchester mengajaknya ke sebuah pesta yang biasa dilakukan
para bangsawan.
Untuk pertama kalinya Alec bertemu dengan para bangsawan beserta para Ladynya.
Ayahnya memperkenalkan dirinya pada teman-teman dan koleganya sebagai putri
bungsunya yang baru saja keluar dari cangkangnya karena kondisi tubuhnya yang dahulu
tidak memungkinkan untuk keluar dari rumah dan menjadi alasan mengapa Adeline tidak masuk dalam sekolah
keputrian. Saat itulah Alec menunjukkan diri sebagai seorang lady muda
seutuhnya dengan bekal dan latihan yang diberikan oleh Miss Jane. Di luar
dugaan, tidak ada yang mencurigai sosok Alec di dalam tubuh Adeline. Juga kemampuannya dalam bermain piano membius mereka. Tidak ada yang
mengira seorang gadis muda mampu memainkan sebuah lagu yang sulit dan melenakan
semua orang yang hadir di sana. Teman-teman ayahnya tampak kagum dengan
kepolosan dan kesopanan yang Adeline tunjukkan, layaknya seorang lady muda
sejati. Tidak
ada yang mengetahui sosok asli di dalam tubuh Adeline.
Pesta
pertama berjalan dengan baik, iapun semakin sering menemani ayahnya dalam pesta
maupun pertemuan untuk menggantikan posisi ibundanya sebagai pendamping ayahnya dan tak jarang untuk diminta menghibur satu
lagu untuk teman-teman ayahnya. Alecpun banyak bergaul dengan putri-putri bangsawan
muda dan orang kaya-orang kaya lainnya, dan Alec menjadi tahu karakter dan
sifat para putri bangsawan dan orang kaya, yang sangat
membuat Alec sedih. Bagaimana
obrolan yang mereka lakukan hanyalah pria-pria, pakaian mewah dan perhiasan.
Alec tidak menyukainya. Bagaimana mereka selalu menyombongkan perhiasan dan
pakaian baru yang mereka miliki, dan tidak mau kalah dengan yang lainnya jika
model pakaian dan perhiasan mereka tertinggal. Tidak hanya bagaimana bagaimana mereka membanding-bandingkan pemuda satu
dengan pemuda lainnya yang hanya mereka lihat dari gelar kebangsawanan mereka
dan jumlah kekayaan mereka yang tidak akan habis hingga 7 turunan, tapi juga
Alec merasa geli dengan
pemuda-pemuda yang tampan yang mereka sukai. Bagi Alec
tidak ada yang lebih baik dan tampan selain kedua kakaknya. Pemuda-pemuda yang
mereka bicarakan tidak ada yang lebih baik dari kedua kakaknya, dan Alecpun
tidak akan rela jika teman-temannya ini sampai
menaruh hati pada kedua kakaknya. Dean dan Samuel terlalu bagus untuk mereka,
bahkan Alec pun tidak akan menaruh hati pada teman-temannya ini yang cantik
belia. Alec tidak akan menaruh hati pada seorang gadis dari kaum bangsawan atau borjuis. Alec sudah mengetahui tabiat dan watak mereka, sungguh mengecewakan dan memuakkan. Tapi
demi status sosialnya yang kini telah menjadi seorang
putri bangsawan, Alec menahan diri dan tetap berkawan dengan teman-temannya.
Hingga sampai suatu hari yang membuat Alec sangat membenci teman-temannya
yang tidak dapat Alec maafkan. Alec masih ingat hari itu saat ia bersama
kawan-kawan wanita bangsawannya sedang berjalan-jalan di kota dengan
obrolan-obrolan ringan yang terpaksa Alec ikuti. Tiba-tiba perhatian mereka
teralihkan dengan celetukan salah satu kawannya yang melihat barisan anak-anak panti
asuhan putri, yang sedang berjalan menuju musium kota
“Lihatlah anak-anak panti itu, berbaris
rapi seperti barisan bebek yang digiring induknya menuju kolam. Seragamnya pun
sama, lucu sekali melihatnya,” salah satu kawannya, Claudia-putri seorang Baron, tertawa mencemooh. “Aku berani taruhan pakaian mereka pun jarang dicuci,
karena aku pernah satu waktu melewati mereka, dan baunya ... aneh!” seraya
menutup hidung.
Jantung Alec
terhenti mendengar bagaimana kawannya ini menertawakan anak-anak panti, tempat
ia berasal.
“Wajar saja, siapa yang sanggup mengurus
anak sebanyak itu,” kawannya lain menyela.
“Karena tidak heran jika anak-anak panti
menjadi anak nakal semua. Mereka tidak bisa diatur!” timpal Claudia.
Alec semakin
sesak karena
marah, mendengarnya. Ingin ia langsung membalasnya,
tapi ia ingat, seorang putri sejati harus bisa menjaga perilaku dan ucapannya.
“Mereka tidak punya orang tua, mereka butuh
kasih sayang, dan tidak semua anak-anak panti nakal,” Alec berusaha menahan
diri.
“Oh ya...”
Alec
mengangguk, “Percayalah, hati mereka jauh lebih murni dan putih dibanding hati
kita semua di sini, karena yang ada di hati mereka adalah perasaan ingin
dicintai dan disayangi. Dan jika mereka terlihat tidak bersih, itu karena
tenaga yang mengasuh mereka tidak sebanding dengan jumlah anak yang mereka
asuh. Bukankah sebaiknya kalian memberi bantuan tenaga ataupun memberikan
pakaian baru untuk mereka, daripada mencemoohkan mereka. 1 potong pakaian kalian sama nilainya dengan 10 potong pakaian mereka,” Alec memberikan
pandangannya kepada kawan-kawannya, yang membuat mereka ternganga dengan
gamblangnya Adeline menaruh dirinya di pihak yang berlawanan dari mereka.
Pandangan yang
sanggup membuat kawan-kawannya tergugu dan mengakui Adeline adalah teman yang
aneh dengan pemikirannya yang berani, namun membuat Alec menangis sesampainya
di rumah, dan memutuskan untuk tidak akan lagi bergaul dengan kawan-kawannya
itu. Dan Alec langsung mengunjungi panti asuhan putri tersebut dan memberikan
perlakuan istimewa dengan mereka. Tidak hanya hadiah-hadiah yang Alec berikan,
seperti pakaian baru, mainan baru, ataupun buku-buku baru, tapi juga Alec
bersedia secara sukarela memberikan waktu untuk bermain bersama mereka dengan bermain piano, membaca bersama, ataupun
bersolek bersama,
pada hari-hari tertentu. Alec dengan senang hati membantu
anak-anak dalam berpakaian dan membuat mereka tampak cantik tampak cantik. Alec
melakukannya dengan senang hati dan ia sangat bahagia dapat melakukannya. Namun
tetap, Alec harus tetap menjalani sosoknya menjadi seorang putri bangsawan
muda.
Kesehatan Lady Marypun tetap stabil. Keberadaan Adeline memberi nyawa
sendiri bagi hidupnya. Alec selalu menemaninya saat ia menikmati kebun mawarnya
dan koleksi bunga-bunga lainnya. Untuk ibundanya, Alec bersedia untuk ikut
merawat dan menanam bibit bunga yang baru. Alec pun selalu menemani ibunda di
ruang baca, membacakan novel-novel kesayangan ibundanya. Alec melakukannya
semua dengan senang dan tanpa beban, karena memang dia ingin melakukannya dan rasa
sayang pada Lady Mary yang sudah sepenuhnya menjadi ibu untuknya. Kedewasaan
Alec yang tumbuh dengan sendiri membuat ia mampu melakukan semuanya dan
menjalani identitas barunya dengan baik, karena ia telah berjanji akan menjadi Adeline yang disayangi semua orang dan seorang Lady
sejati.
***
Seorang pemuda
tampan dan gagah dengan pakaian mahal keluar dari rumah menuju halaman
belakang.
Dean Winchester, seorang dokter muda.
Langkahnya yang santai dan anggun, tertuju pada area penjinakan kuda yang berbentuk lingkaran dengan pagar kayu setinggi dada
di padang luas milik keluarga mereka. Di dalam area tersebut terlihat seorang
gadis dengan gaun panjangnya berbahan kain sederhana sedang berusaha
menjinakkan seekor kuda yang masih setengah liar duduk di punggungnya. Namun kuda betina berwarna coklat itu seakan tak mau
dikendalikan. Rambut gadis itu yang digelung dengan jepit
di sana sini, yang kini sudah tidak rapi lagi. Peluh membasahi wajah cantik dan
mulusnya.
Dean hampir tidak
percaya sosok gagah namun lembut yang duduk di atas punggung kuda itu adalah
adiknya sendiri. Adiknya yang dulu bertubuh ringkih dan lemah, kini berpeluh
menaklukkan kuda betina liar. Dan ia melakukannya dengan rok panjang, yang
tentunya sangat merepotkannya.
Dean masih memperhatikan dari
balik pagar menunggu sejauh mana gadis itu berhasil menaklukan kuda mustang
liar ini.
Namun saat pandangannya kembali pada aksi
penaklukannya sang adik, perlahan-lahan kuda betina itu menurut dan takluk oleh
buaian tangan sang gadis. Tangannya yang lentik mengusap-usap bulu
binatang kesayangannya.
Dean tersenyum kagum. Ia memberi tepukan
semangat. “BRAVO!”
Sang gadis menoleh dan tersenyum sumringah.
“Lumayan berat, kak,” sahut gadis itu tanpa melepaskan senyum
sumringahnya. Suaranya tipis dan merdu, begitu enak didengar. Syukurlah, proses
pecahnya suara saat masa pubernya, tidak terlalu membawa perubahan drastis pada
suaranya yang tetap menyerupai perempuan.
Dean hanya mengangguk tersenyum. Entah,
kuda yang keberapa yang sudah berhasil ditaklukannya. Namun yang lucu, ia
menaklukannya bukan untuk dimiliki, kerena setelah ia berhasil menaklukannya,
ia akan segera melepaskan kuda liar itu kembali ke alamnya, kembali ke dunia
bebasnya. Kuda miliknya hanya satu, hanya Stardust.
“Eh, kok sudah pulang?” ia terheran melihat kakaknya jam segini sudah ada di
rumah.
“Kan,
Samuel
mau pulang,” Dean tersenyum renyah.
Gadis itu terkaget seakan diingatkan, “Ya Tuhan,
aku lupa!” pekiknya.
Pekikannya mengagetkan kuda yang ia
tunggangi. Ia melonjak dan dengan sukses melempar gadis itu dari punggungnya.
“HUWAAAA!!!” pekiknya.
BRUK! Gadis itu mendarat dengan keras di
tanah.
“EDELE!” Dean langsung melompati pagar dan menghampiri adiknya.
“Edele, kau tidak apa-apa?” Dean tak bisa
menyembunyikan rasa cemasnya dengan bersimpuh di samping Alec.
Beberapa
penjaga kuda sudah mengelilinginya mencoba membantunya.
Alec meringis kesakitan
dengan mengusap-usap pantatnya yang membentur tanah.
“Nggak, nggak pa-pa,” ucapnya menguatkan diri. Sakit memang tapi ia
masih bisa menahannya.
“Itu kakimu berdarah,” sahut Dean menunjukkan kaki kiri Alec
yang tersingkap dari gaun panjangnya, mengeluarkan darah karena tergores pasir.
Alec langsung
meliriknya, “Nggak, pa-pa, yuk, jemput Samuel.”
“Tapi obati dulu kakimu.”
“Nggak perlu, nanti saja. Samuel sudah mau sampai, kita jemput dia
sekarang, YUK!” Alec
segera bangkit dari menarik tangan kakaknya, dan berlari menuju istalnya.
“Tapi Edele, lukamu ???” pekik Dean mengejar adiknya .
“Nanti saja!” seraya lari masuk ke istal.
Dean hanya
geleng-geleng kepala dan mengejarnya ke Istal. Sebelum sempat Dean masuk ke
dalam, Alec sudah keluar dari sana, duduk di atas Stardust kesayangannya yang
berlari keluar, dengan memegang tali kekang kuda besar lain tanpa penunggang
yang mengikuti di belakangnya; Northern
Light, milik Samuel.
Melihat adiknya
sudah keluar dengan membawa kuda Samuel, Dean langsung berlari ke dalam istal
mengambil kudanya, dan menyusul Alec.
*
Alec bersama Stardust dan
Nothern Light milik Samuel menuju puncak bukit di perbatasan, Dean bersama
Black Beauty-nya, menyusul di belakang mereka.
Begitu sampai
di atas bukit, mata Alec menyapu, tanda-tanda ada kereta kuda datang. Tapi belum terlihat ada yang datang.
“Belum sampai, kan, dia?” tanya Alec cemas.
“Belum, tenang saja...,” Dean menenangkan
adiknya.
“Kita
tunggu di sini ya?” pinta Alec. Bukit ini adalah spot terbaik untuk melihat
kedatangan orang memasuki tanah milik Keluarga Winchester, dan tempat terbaik
untuk menyambut kedatangan Samuel.
Dean hanya
mengangguk dengan tersenyum.
Satu jam kemudian
Alec sudah menunggu cukup lama di atas bukit, di bawah matahari
sore tanpa topi yang menutupi kepalanya, duduk manis di
atas punggung Stardurst, dengan Northern Light di sampingnya, menunggu sang
majikan pulang. Di samping kirinya, Dean duduk dengan gagah di atas black beauty.
Alec mulai tidak sabar.
“Kok, belum kelihatan-kelihatan, kak?” Alec
cemas,matanya tak lepas dari titik terluar perbatasan tanah milik mereka.
“Tenang, ‘putri’, sebentar lagi pasti kelihatan,” Dean tersenyum geli, melihat ketidak-sabaran Adeline menyambut kakaknya pulang. Kedekatan Adeline dengan Samuel
masih sedikit sulit dipercaya, mengingat bagaimana Alec dan Samuel dahulu.
“Itu
dia! Dia datang!” pekik Adeline mengalihkan perhatian Dean ke bawah bukit.
Terlihat sebuah
kereta kuda berjalan santai memasuki tanah Winchester. Dean mengeluarkan
teropong panjangnya dan melihat siapa yang ada di dalamnya, lalu tersenyum.
“Ya, itu _” belum
sempat Dean menyelesaikan kalimatnya, Adeline sudah memacu Stardust menuruni bukit dengan Nothern Light di belakangnya. “Samuel...,” Dean menyelesaikan kalimatnya sebelum memacu Black Beauty mengejar
Adeline.
*
Seorang pemuda
tanggung dengan pakaian elegan duduk tak sabar di dalam sebuah
kereta kuda, tersenyum senang begitu memasuki tanah miliknya. Akhirnya ia pulang
setelah tiga tahun menuntut ilmu di Harvard yang jauh dari rumah, terlebih jauh
dari adik tersayangnya.
“Aku pulang” desisnya bahagia. Senyum
bahagia tak lepas dari bibirnya, dan menghasilkan lesung pipit di kedua
pipinya.
“Tuan, sudah ada yang menyambut Anda,” seru sang kusir penuh
semangat dari luar, mengagetkan Samuel.
Samuel langsung melihat ke arah luar dan tersenyum dengan sumringahnya.
Dari jauh
terlihat tiga ekor kuda besar, dua di antaranya berpenunggang, berlari menurun bukit mendekatinya. Samuel memperjelas pandangannya, dan
tak lain tak bukan penunggangnya adalah...
“Edele, Dean...!” desisnya semakin lebar
senyumnya. “Berhenti,
pak!!!” serunya semangat.
Samuel langsung keluar begitu kereta
kudanya berhenti. Ia menunggu hingga mereka mendekat.
Alec semakin memacu
kudanya begitu melihat kereta kudanya berhenti dan sosok tinggi keluar dengan
senyum lebarnya.
Alec menghentikan kuda
tak jauh dari sosok tinggi itu dan segera turun dari kudanya lalu berlari menujunya.
Tanpa malu dan ragu Alec
langsung melompat ke arah kakaknya, dan diterima dengan sigap oleh Samuel, dan
menjunjung tinggi tubuh ramping Alec dalam sosok
Adeline.
“Hoh, Edele…kau tambah berat rupanya!”
Alec langsung memasang
muka masam, yang dibalas dengan tawa Samuel. Samuel memeluk erat adiknya ini.
Alec membalas
pelukannya kakaknya dua kali lipat hingga sulit bernafas…
“Huk, Edele…”
“Aku kangen…,” tidak peduli pelukannya menyiksa kakaknya.
Samuel tersenyum bahagia, men-dua kali
lipatkan pelukannya, membayar rasa rindunya setelah pisah tiga tahun dengan
adiknya ini yang tidak perlu ia ucapkan lagi. Praktis selama tiga tahun Samuel
tidak pulang ke rumah dan hanya mengirimkan surat pada
keluarganya.
Samuel melepaskan pelukannya dan memperhatikan
wajah Adeline. Wajah polosnya tanpa pulasan rias wajah tampak begitu cantik.
Bulu matanya yang lentik berbaris rapi di atas kedua matanya yang indah. Samuel
tak percaya, di baliknya ini adalah …
“Kau semakin cantik saja, semakin matang!” Samuel tak dapat menahannya,
tapi hanya membuat Alec masam. Samuel langsung meminta maaf
dengan tersenyum, dan memeluknya Alec lagi.
“Huh, kok kamu bau aneh…,” Samuel memicingkan hidungnya, lalu
mendekatkan hidungnya di leher Adeline.
“Kuda baru, kak, baru beres tadi,” Alec
nyengir menjelaskan.
Samuel tersenyum geleng-geleng kepala, dan
kembali memeluknya erat, karena jujur, meski berkeringat, Alec
tetap beraroma perempuan.
Dean hanya tersenyum melihat kedua adiknya
melepaskan kerinduan mereka. Dean masih tidak percaya kedua adiknya ini bisa
begitu dekat, setelah kepergiannya ke Harvard, mengingat bagaimana dulu hubungan Samuel dengan adik
bungsunya ini.
Setelah puas memeluk sang kakak, Adeline
melepaskan diri dan turun dari pelukan Samuel.
Samuel beralih pada kakaknya yang sudah
tersenyum padanya. Samuel langsung memeluk kakaknya tiga kali lipat eratnya
dengan wajah penuh kebahagiaan.
“Selamat pulang kembali, Sam,” Dean memeluk erat adiknya, melepaskan
sendiri kerinduannya. “Sudah jadi pengacara, kah, kau?” tanya Dean menggoda.
Samuel tergelak, “Hahaha…mungkin,” semakin
erat memeluk Dean.
Dean melepaskan pelukannya dan
memperhatikan adiknya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
“Bertambah besar sekali kau, makan apa saja di sana?” Dean terheran
dengan pertumbuhan adiknya yang boleh dikatakan luar biasa. Usianya belum 20
tahun, tapi tingginya sudah lebih dari 6 kaki, melebihi dirinya yang hanya 6
kaki pas! Juga lengan Samuel yang tampak besar tertutupi setelan jas resminya.
“Makan semuanya!” Samuel
tersenyum lebar, memamerkan dua anugrah Tuhan di pipinya.
“Tidak heran,” Dean menyahut jenaka.
Samuel dan Alec tergelak.
“Dah, yuk, Mama sama papa sudah menunggumu,” Alec
memotong.
“Okay!” seru Samuel semangat dan beralih pada Kudanya, “Oh, Notty,
kangennya, aku, nak!!!” seraya memeluk kuda besar berwarna putih itu, dan
dijawab lenguhan bahagia dari si kuda karena majikan kesayangannya sudah
pulang.
Tanpa membuang waktu, ketiganya langsung
menaiki kudanya masing-masing.
“Langsung ke rumah, pak!” seru Samuel pada kusir kereta kudanya dan
langsung memacu Notty berlari diikuti Dean dan Alec.
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar