Sabtu, 17 November 2012

Beauty Love Brother - Bagian 26


Rating : K+

Genre : Family

Character : Alec, Ben, Dean, Sam


Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?

ENJOY
Chapter 26

Alec telah memutuskan untuk sepenuhnya menjadi Adeline. Dengan bantuan Miss Jane, Alec semakin memantapkan identitas dirinya yang baru sebagai Adeline, putri dari Marques Winchester. Tidak hanya cara bersikap, cara berbicara, dan cara berjalan, yang sepenuh layaknya seorang wanita muda sejati, tapi juga cara berpikirnya. Alec menempatkan dirinya sebagai seorang wanita muda, belajar berempati layaknya seorang wanita terhormat. Dari Miss Jane pun Alec mengenal model pakaian yang berkelas dan mewah, lengkap dengan aksesoris juga perhiasannya. Alec benar-benar hidup bak seorang putri raja. Dan selama itu pula Samuel selalu ada di sampingnya. Samuel tetap mengajaknya bermain catur, bermain strategi perang, membaca buku bersama, bermain di hutan, naik kuda bersama, dan bermain piano.
Tidak hanya itu, Samuel pun selalu bersedia membantunya untuk mengirimkan hadiah seperti mainan, makanan dan pakaian ke St. Peter. Alec tahu, dirinya tidak mungkin kembali berkunjung ke sana, atau bahkan menunjukkan wujudnya yang harus tetap menjadi Adeline di hadapan mereka. Karena itu, Alec meminta tolong pada Samuel untuk menyampaikannya pada mereka setiap bulannya, dan Alec sangat berterima kasih, meski sebagian dari hadiah itu berasal dari uang tabungan yang ia kumpulkan dari pemberian ayahnya. Senangnya Alec kini memiliki uang tabungan sendiri yang bisa ia gunakan untuk membahagiakan teman-temannya yang tidak seberuntung dirinya. Bagaimana Alec tidak beruntung, jika ia tidak perlu lagi memikirkan uang untuk membeli pakaian atau mainan karena semua hanya tinggal meminta di luar dari uang tabungannya sendiri. Alec senang  dengan Samuel, yang secara tidak langsung, dan tidak Alec sadari sendiri, menjadi penyeimbang antara Adeline dan Alec, ia selalu ingat siapa dirinya. Dirinya Alec bukan Adeline, dan Samuel membantunya dengan sangat baik, meski tetap Alec bisa bermanja-manja dengan Samuel layaknya seorang adik pada kakaknya.

Namun hanya berlangsung dua tahun, karena Samuel harus melanjutkan sekolahnya untuk meraih cita-citanya sebagai seorang pengacara, dan Harvard langsung menerimanya, meski umurnya belum genap 16 tahun. Kepergian Samuel cukup memukul Alec. Alec mengira Samuel tidak akan pergi meninggalkannya, Alec mengira Samuel akan terus menemaninya. Tapi Alec pun sadar, ia tidak boleh menjadi egois. Alec harus melepaskan Samuel. Dan sebagai obat pelipur lara, Lord Winchester mendatangkan seorang pemusik yang berpengalaman untuk menjadi guru musik dan teman Alec setelah Samuel pergi.

Untunglah, tak lama setelah kepergian Samuel, Dean pulang bersama gelar dokter mudanya, dan langsung membuka praktek di kota. Hanya perlakuan Dean pada Alec kini sedikit berbeda. Dean telah melihat Alec sebagai Adeline seutuhnya. Bagaimana Dean berbicara pada Alec, bagaimana Dean bermain dengan Alec, bahkan bagaimana Dean menghormati Alec, benar-benar seperti Dean memperlakukan dan menghormati adik perempuannya. Setelah Alec menjelma dengan wujud Adeline, Dean sulit lagi melihat Alec di dalam tubuh Adeline. Alec telah sepenuh menjadi Adeline di mata Dean. Sedikit mengecewakan bagi Alec, kakaknya yang satu ini tidak dapat membantunya untuk tetap ingat pada identitas aslinya. Tapi sekali lagi Alec harus menerimanya, lagi pula bukankan Dean juga yang pertama kali setuju dirinya menjadi Adeline di saat masih ada pertentangan dan Samuel. Mungkin memang begitu cara Dean menyayangi Alec. Dan sebagai pelampiasannya, Alec akan bermain dengan kudanya di hutan yang dengan senang hati Dean akan menemaninya.

Tepat di usia 15 tahun, kesempurnaan Alec menjadi seorang gadis bangsawan muda diwujudkan, saat ayahnya, Lord Winchester mengajaknya ke sebuah pesta yang biasa dilakukan para bangsawan. Untuk pertama kalinya Alec bertemu dengan para bangsawan beserta para Ladynya. Ayahnya memperkenalkan dirinya pada teman-teman dan koleganya sebagai putri bungsunya yang baru saja keluar dari cangkangnya karena kondisi tubuhnya yang dahulu tidak memungkinkan untuk keluar dari rumah dan menjadi alasan mengapa Adeline tidak masuk dalam sekolah keputrian. Saat itulah Alec menunjukkan diri sebagai seorang lady muda seutuhnya dengan bekal dan latihan yang diberikan oleh Miss Jane. Di luar dugaan, tidak ada yang mencurigai sosok Alec di dalam tubuh Adeline. Juga kemampuannya dalam bermain piano membius mereka. Tidak ada yang mengira seorang gadis muda mampu memainkan sebuah lagu yang sulit dan melenakan semua orang yang hadir di sana. Teman-teman ayahnya tampak kagum dengan kepolosan dan kesopanan yang Adeline tunjukkan, layaknya seorang lady muda sejati. Tidak ada yang mengetahui sosok asli di dalam tubuh Adeline.

                Pesta pertama berjalan dengan baik, iapun semakin sering menemani ayahnya dalam pesta maupun pertemuan untuk menggantikan posisi ibundanya sebagai pendamping ayahnya dan tak jarang untuk diminta menghibur satu lagu untuk teman-teman ayahnya. Alecpun banyak bergaul dengan putri-putri bangsawan muda dan orang kaya-orang kaya lainnya, dan Alec menjadi tahu karakter dan sifat para putri bangsawan dan orang kaya, yang sangat membuat Alec sedih. Bagaimana obrolan yang mereka lakukan hanyalah pria-pria, pakaian mewah dan perhiasan. Alec tidak menyukainya. Bagaimana mereka selalu menyombongkan perhiasan dan pakaian baru yang mereka miliki, dan tidak mau kalah dengan yang lainnya jika model pakaian dan perhiasan mereka tertinggal. Tidak hanya bagaimana bagaimana mereka membanding-bandingkan pemuda satu dengan pemuda lainnya yang hanya mereka lihat dari gelar kebangsawanan mereka dan jumlah kekayaan mereka yang tidak akan habis hingga 7 turunan, tapi juga Alec merasa geli dengan pemuda-pemuda yang tampan yang mereka sukai. Bagi Alec tidak ada yang lebih baik dan tampan selain kedua kakaknya. Pemuda-pemuda yang mereka bicarakan tidak ada yang lebih baik dari kedua kakaknya, dan Alecpun tidak akan rela jika teman-temannya ini sampai menaruh hati pada kedua kakaknya. Dean dan Samuel terlalu bagus untuk mereka, bahkan Alec pun tidak akan menaruh hati pada teman-temannya ini yang cantik belia. Alec tidak akan menaruh hati pada seorang gadis dari kaum bangsawan atau borjuis. Alec sudah mengetahui tabiat dan watak mereka, sungguh mengecewakan dan memuakkan. Tapi demi status sosialnya yang kini telah menjadi seorang putri bangsawan, Alec menahan diri dan tetap berkawan dengan teman-temannya.

Hingga sampai suatu hari yang membuat Alec sangat membenci teman-temannya yang tidak dapat Alec maafkan. Alec masih ingat hari itu saat ia bersama kawan-kawan wanita bangsawannya sedang berjalan-jalan di kota dengan obrolan-obrolan ringan yang terpaksa Alec ikuti. Tiba-tiba perhatian mereka teralihkan dengan celetukan salah satu kawannya yang melihat barisan anak-anak panti asuhan putri, yang sedang berjalan menuju musium kota
    “Lihatlah anak-anak panti itu, berbaris rapi seperti barisan bebek yang digiring induknya menuju kolam. Seragamnya pun sama, lucu sekali melihatnya,” salah satu kawannya, Claudia-putri seorang Baron, tertawa mencemooh. “Aku berani taruhan pakaian mereka pun jarang dicuci, karena aku pernah satu waktu melewati mereka, dan baunya ... aneh!” seraya menutup hidung.
Jantung Alec terhenti mendengar bagaimana kawannya ini menertawakan anak-anak panti, tempat ia berasal.
    “Wajar saja, siapa yang sanggup mengurus anak sebanyak itu,” kawannya lain menyela.
    “Karena tidak heran jika anak-anak panti menjadi anak nakal semua. Mereka tidak bisa diatur!” timpal Claudia.
Alec semakin sesak karena marah, mendengarnya. Ingin ia langsung membalasnya, tapi ia ingat, seorang putri sejati harus bisa menjaga perilaku dan ucapannya.
    “Mereka tidak punya orang tua, mereka butuh kasih sayang, dan tidak semua anak-anak panti nakal,” Alec berusaha menahan diri.
    “Oh ya...”
Alec mengangguk, “Percayalah, hati mereka jauh lebih murni dan putih dibanding hati kita semua di sini, karena yang ada di hati mereka adalah perasaan ingin dicintai dan disayangi. Dan jika mereka terlihat tidak bersih, itu karena tenaga yang mengasuh mereka tidak sebanding dengan jumlah anak yang mereka asuh. Bukankah sebaiknya kalian memberi bantuan tenaga ataupun memberikan pakaian baru untuk mereka, daripada mencemoohkan mereka. 1 potong pakaian kalian sama nilainya dengan 10 potong pakaian mereka,” Alec memberikan pandangannya kepada kawan-kawannya, yang membuat mereka ternganga dengan gamblangnya Adeline menaruh dirinya di pihak yang berlawanan dari mereka.
Pandangan yang sanggup membuat kawan-kawannya tergugu dan mengakui Adeline adalah teman yang aneh dengan pemikirannya yang berani, namun membuat Alec menangis sesampainya di rumah, dan memutuskan untuk tidak akan lagi bergaul dengan kawan-kawannya itu. Dan Alec langsung mengunjungi panti asuhan putri tersebut dan memberikan perlakuan istimewa dengan mereka. Tidak hanya hadiah-hadiah yang Alec berikan, seperti pakaian baru, mainan baru, ataupun buku-buku baru, tapi juga Alec bersedia secara sukarela memberikan waktu untuk bermain bersama mereka dengan bermain piano, membaca bersama, ataupun bersolek bersama, pada hari-hari tertentu. Alec dengan senang hati membantu anak-anak dalam berpakaian dan membuat mereka tampak cantik tampak cantik. Alec melakukannya dengan senang hati dan ia sangat bahagia dapat melakukannya. Namun tetap, Alec harus tetap menjalani sosoknya menjadi seorang putri bangsawan muda.

Kesehatan Lady Marypun tetap stabil. Keberadaan Adeline memberi nyawa sendiri bagi hidupnya. Alec selalu menemaninya saat ia menikmati kebun mawarnya dan koleksi bunga-bunga lainnya. Untuk ibundanya, Alec bersedia untuk ikut merawat dan menanam bibit bunga yang baru. Alec pun selalu menemani ibunda di ruang baca, membacakan novel-novel kesayangan ibundanya. Alec melakukannya semua dengan senang dan tanpa beban, karena memang dia ingin melakukannya dan rasa sayang pada Lady Mary yang sudah sepenuhnya menjadi ibu untuknya. Kedewasaan Alec yang tumbuh dengan sendiri membuat ia mampu melakukan semuanya dan menjalani identitas barunya dengan baik, karena ia telah berjanji akan menjadi Adeline yang disayangi semua orang dan seorang Lady sejati.

***

Seorang pemuda tampan dan gagah dengan pakaian mahal keluar dari rumah menuju halaman belakang.
Dean Winchester, seorang dokter muda. Langkahnya yang santai dan anggun, tertuju pada area penjinakan kuda yang berbentuk  lingkaran dengan pagar kayu setinggi dada di padang luas milik keluarga mereka. Di dalam area tersebut terlihat seorang gadis dengan gaun panjangnya berbahan kain sederhana sedang berusaha menjinakkan seekor kuda yang masih setengah liar duduk di punggungnya. Namun kuda betina berwarna coklat itu seakan tak mau dikendalikan. Rambut gadis itu yang digelung dengan jepit di sana sini, yang kini sudah tidak rapi lagi. Peluh membasahi wajah cantik dan mulusnya.
Dean hampir tidak percaya sosok gagah namun lembut yang duduk di atas punggung kuda itu adalah adiknya sendiri. Adiknya yang dulu bertubuh ringkih dan lemah, kini berpeluh menaklukkan kuda betina liar. Dan ia melakukannya dengan rok panjang, yang tentunya sangat merepotkannya.
Dean masih memperhatikan dari balik pagar menunggu sejauh mana gadis itu berhasil menaklukan kuda mustang liar ini.
Namun saat pandangannya kembali pada aksi penaklukannya sang adik, perlahan-lahan kuda betina itu menurut dan takluk oleh buaian tangan sang gadis. Tangannya yang lentik mengusap-usap bulu binatang kesayangannya.
Dean tersenyum kagum. Ia memberi tepukan semangat. “BRAVO!”
Sang gadis menoleh dan tersenyum sumringah.
    “Lumayan berat, kak,” sahut gadis itu tanpa melepaskan senyum sumringahnya. Suaranya tipis dan merdu, begitu enak didengar. Syukurlah, proses pecahnya suara saat masa pubernya, tidak terlalu membawa perubahan drastis pada suaranya yang tetap menyerupai perempuan.
Dean hanya mengangguk tersenyum. Entah, kuda yang keberapa yang sudah berhasil ditaklukannya. Namun yang lucu, ia menaklukannya bukan untuk dimiliki, kerena setelah ia berhasil menaklukannya, ia akan segera melepaskan kuda liar itu kembali ke alamnya, kembali ke dunia bebasnya. Kuda miliknya hanya satu, hanya Stardust.
    “Eh, kok sudah pulang?” ia terheran melihat kakaknya jam segini sudah ada di rumah.
   “Kan, Samuel mau pulang,” Dean tersenyum renyah.
Gadis itu terkaget seakan diingatkan, “Ya Tuhan, aku lupa!” pekiknya.
Pekikannya mengagetkan kuda yang ia tunggangi. Ia melonjak dan dengan sukses melempar gadis itu dari punggungnya.
   “HUWAAAA!!!” pekiknya.
BRUK! Gadis itu mendarat dengan keras di tanah.
   “EDELE!” Dean langsung melompati pagar dan menghampiri adiknya.

   “Edele, kau tidak apa-apa?” Dean tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya dengan bersimpuh di samping Alec.
Beberapa penjaga kuda sudah mengelilinginya mencoba membantunya.
Alec meringis kesakitan dengan mengusap-usap pantatnya yang membentur tanah.
   “Nggak, nggak pa-pa,” ucapnya menguatkan diri. Sakit memang tapi ia masih bisa menahannya.
   “Itu kakimu berdarah,” sahut Dean menunjukkan kaki kiri Alec yang tersingkap dari gaun panjangnya, mengeluarkan darah karena tergores pasir.
Alec langsung meliriknya, “Nggak, pa-pa, yuk, jemput Samuel.”
   “Tapi obati dulu kakimu.”
   “Nggak perlu, nanti saja. Samuel sudah mau sampai, kita jemput dia sekarang, YUK!” Alec segera bangkit dari menarik tangan kakaknya, dan berlari menuju istalnya. 
   “Tapi Edele, lukamu ???” pekik Dean mengejar adiknya .
   “Nanti saja!” seraya lari masuk ke istal.
Dean hanya geleng-geleng kepala dan mengejarnya ke Istal. Sebelum sempat Dean masuk ke dalam, Alec sudah keluar dari sana, duduk di atas Stardust kesayangannya yang berlari keluar, dengan memegang tali kekang kuda besar lain tanpa penunggang yang mengikuti di belakangnya; Northern Light, milik Samuel.

Melihat adiknya sudah keluar dengan membawa kuda Samuel, Dean langsung berlari ke dalam istal mengambil kudanya, dan menyusul Alec.

*

                Alec bersama Stardust dan Nothern Light milik Samuel menuju puncak bukit di perbatasan, Dean bersama Black Beauty-nya, menyusul di belakang mereka.

Begitu sampai di atas bukit, mata Alec menyapu, tanda-tanda ada kereta kuda datang. Tapi belum terlihat ada yang datang.

    “Belum sampai, kan, dia?” tanya Alec cemas.
    “Belum, tenang saja...,” Dean menenangkan adiknya.
    “Kita tunggu di sini ya?” pinta Alec. Bukit ini adalah spot terbaik untuk melihat kedatangan orang memasuki tanah milik Keluarga Winchester, dan tempat terbaik untuk menyambut kedatangan Samuel.
Dean hanya mengangguk dengan tersenyum.

Satu jam kemudian

Alec sudah menunggu cukup lama di atas bukit, di bawah matahari sore tanpa topi yang menutupi kepalanya, duduk manis di atas punggung Stardurst, dengan Northern Light di sampingnya, menunggu sang majikan pulang. Di samping kirinya, Dean duduk dengan gagah di atas black beauty. Alec mulai tidak sabar.

   “Kok, belum kelihatan-kelihatan, kak?” Alec cemas,matanya tak lepas dari titik terluar perbatasan tanah milik mereka.
   “Tenang, ‘putri’, sebentar lagi pasti kelihatan,” Dean tersenyum geli, melihat ketidak-sabaran Adeline menyambut kakaknya pulang. Kedekatan Adeline dengan Samuel masih sedikit sulit dipercaya, mengingat bagaimana Alec dan Samuel dahulu.
   “Itu dia! Dia datang!” pekik Adeline mengalihkan perhatian Dean ke bawah bukit.
Terlihat sebuah kereta kuda berjalan santai memasuki tanah Winchester. Dean mengeluarkan teropong panjangnya dan melihat siapa yang ada di dalamnya, lalu tersenyum.
    “Ya, itu _” belum sempat Dean menyelesaikan kalimatnya, Adeline sudah memacu Stardust menuruni bukit dengan Nothern Light di belakangnya. “Samuel...,” Dean menyelesaikan kalimatnya sebelum memacu Black Beauty mengejar Adeline.

*

Seorang pemuda tanggung dengan pakaian elegan duduk tak sabar di dalam sebuah kereta kuda, tersenyum senang begitu memasuki tanah miliknya. Akhirnya ia pulang setelah tiga tahun menuntut ilmu di Harvard yang jauh dari rumah, terlebih jauh dari adik tersayangnya. 
    “Aku pulang” desisnya bahagia. Senyum bahagia tak lepas dari bibirnya, dan menghasilkan lesung pipit di kedua pipinya.
    “Tuan, sudah ada yang menyambut Anda,” seru sang kusir penuh semangat dari luar, mengagetkan Samuel. Samuel langsung melihat ke arah luar dan tersenyum dengan sumringahnya.

Dari jauh terlihat tiga ekor kuda besar, dua di antaranya berpenunggang, berlari menurun bukit mendekatinya. Samuel memperjelas pandangannya, dan tak lain tak bukan penunggangnya adalah...
   “Edele, Dean...!” desisnya semakin lebar senyumnya. “Berhenti, pak!!!” serunya semangat.

Samuel langsung keluar begitu kereta kudanya berhenti. Ia menunggu hingga mereka mendekat.

Alec semakin memacu kudanya begitu melihat kereta kudanya berhenti dan sosok tinggi keluar dengan senyum lebarnya.

Alec menghentikan kuda tak jauh dari sosok tinggi itu dan segera turun dari kudanya lalu berlari menujunya.

Tanpa malu dan ragu Alec langsung melompat ke arah kakaknya, dan diterima dengan sigap oleh Samuel, dan menjunjung tinggi tubuh ramping Alec dalam sosok Adeline.

   “Hoh, Edele…kau tambah berat rupanya!”
Alec langsung memasang muka masam, yang dibalas dengan tawa Samuel. Samuel memeluk erat adiknya ini.
Alec membalas pelukannya kakaknya dua kali lipat hingga sulit bernafas…
   “Huk, Edele…”
   “Aku kangen…,” tidak peduli pelukannya menyiksa kakaknya.
Samuel tersenyum bahagia, men-dua kali lipatkan pelukannya, membayar rasa rindunya setelah pisah tiga tahun dengan adiknya ini yang tidak perlu ia ucapkan lagi. Praktis selama tiga tahun Samuel tidak pulang ke rumah dan hanya mengirimkan surat pada keluarganya.

Samuel melepaskan pelukannya dan memperhatikan wajah Adeline. Wajah polosnya tanpa pulasan rias wajah tampak begitu cantik. Bulu matanya yang lentik berbaris rapi di atas kedua matanya yang indah. Samuel tak percaya, di baliknya ini adalah …

   “Kau semakin cantik saja, semakin matang!” Samuel tak dapat menahannya, tapi hanya membuat Alec masam. Samuel langsung meminta maaf dengan tersenyum, dan memeluknya Alec lagi.
   “Huh, kok kamu bau aneh…,” Samuel memicingkan hidungnya, lalu mendekatkan hidungnya di leher Adeline.
   “Kuda baru, kak, baru beres tadi,” Alec nyengir menjelaskan.
Samuel tersenyum geleng-geleng kepala, dan kembali memeluknya erat, karena jujur, meski berkeringat, Alec tetap beraroma perempuan.

Dean hanya tersenyum melihat kedua adiknya melepaskan kerinduan mereka. Dean masih tidak percaya kedua adiknya ini bisa begitu dekat, setelah kepergiannya ke Harvard, mengingat bagaimana dulu hubungan Samuel dengan adik bungsunya ini.

Setelah puas memeluk sang kakak, Adeline melepaskan diri dan turun dari pelukan Samuel.

Samuel beralih pada kakaknya yang sudah tersenyum padanya. Samuel langsung memeluk kakaknya tiga kali lipat eratnya dengan wajah penuh kebahagiaan.

   “Selamat pulang kembali, Sam,” Dean memeluk erat adiknya, melepaskan sendiri kerinduannya. “Sudah jadi pengacara, kah, kau?” tanya Dean menggoda.
Samuel tergelak, “Hahaha…mungkin,” semakin erat memeluk Dean.
Dean melepaskan pelukannya dan memperhatikan adiknya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
    “Bertambah besar sekali kau, makan apa saja di sana?” Dean terheran dengan pertumbuhan adiknya yang boleh dikatakan luar biasa. Usianya belum 20 tahun, tapi tingginya sudah lebih dari 6 kaki, melebihi dirinya yang hanya 6 kaki pas! Juga lengan Samuel yang tampak besar tertutupi setelan jas resminya.
    “Makan semuanya!” Samuel tersenyum lebar, memamerkan dua anugrah Tuhan di pipinya.
    “Tidak heran,” Dean menyahut jenaka.
Samuel dan Alec tergelak.
    “Dah, yuk, Mama sama papa sudah menunggumu,” Alec memotong.
    “Okay!” seru Samuel semangat dan beralih pada Kudanya, “Oh, Notty, kangennya, aku, nak!!!” seraya memeluk kuda besar berwarna putih itu, dan dijawab lenguhan bahagia dari si kuda karena majikan kesayangannya sudah pulang.

Tanpa membuang waktu, ketiganya langsung menaiki kudanya masing-masing.

   “Langsung ke rumah, pak!” seru Samuel pada kusir kereta kudanya dan langsung memacu Notty berlari diikuti Dean dan Alec.

TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar