Sabtu, 17 November 2012

Beauty Love Brother - Bagian 27


Rating : K+

Genre : Family

Character : Alec, Ben, Dean, Sam


Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?

ENJOY


Chapter 27

Lord Winchester sudah menunggu kepulangan putra keduanya dengan tidak sabar di depan rumahnya. Mary pun sudah menunggu di ruang tengah, menunggu putra kesayangannya pulang. Samuel pulang dengan gelar seorang pengacara. Bukan, bukan gelar pendidikan Samuel yang ia tunggu, tapi wujud Samuel yang pulang ke rumah. Ia sempat cemas Samuel tidak akan kembali pulang, setelah terlihat sangat nyaman di kota besar dan lepas hidup sendiri tanpa dirinya, terlebih dengan tidak pulang sama sekali selama ia sekolah, hanya berkirim kabar melalui surat. Karena itu ia sangat lega, Samuel mengabarkan akan segera pulang selepas ia lulus, dan membawa gelar pengacara muda dari Universitas bergengsi di Amerika, tempat Dean mendapatkan gelar dokter mudanya.
Hubungannya dengan Samuel yang dahulu dingin, perlahan mencari dengan seiringnya waktu dan pembuktian John telah salah menilai Samuel. Samuel bukan lagi anak yang pemberontak, bukan lagi anak yang keras kepala dengan selalu menentang ayahnyanya. Samuel telah berganti menjadi anak yang lebih dewasa, terlebih selepas kepergian Dean. Samuel

Akhirnya ia melihat tiga ekor kuda dengan penunggang di atas memasuki gerbang rumahnya. John tersenyum melihatnya. Adeline diapit kedua kakaknya di kanan-kirinya, tapi matanya tertuju pada sosok tinggi di samping kanan Adeline; Samuel.

Hingga mereka berhenti di hadapan John . Samuel langsung turun dengan wajah sumringah.

John membuka tangannya dengan senyum kelegaan dan kebahagiaannya. Samuel menghambur kepelukan ayahnya.

    “Kau pulang, Nak,” John memeluk erat putranya, memuaskan kerinduan yang memuncak di dadanya.
   “Ya, pa,aku pulang,” Samuel membalas pelukan ayahnya tak kalah eratnya.

John masih memeluk Samuel untuk beberapa saat sebelum dilepaskan tubuh tinggi putranya yang melebihi tubuhnya.

   “Ayo masuk, mamamu sudah  menunggumu dari tadi. Dia sudah sangat merindukanmu, Nak,” John mengajak Samuel masuk dengan diikuti Adeline dan Dean di belakang.

Dan di sana, di ruang keluarga, di tepi jendela besar yang menghadap halaman depan, Lady menunggu di kursi rodanya, ditemani Emma.

Mary sudah menunggu dengan senyuman hangat menyambut kepulangan putranya.

   “Samuel, pangeran kecilku…,” Mary membuka tangannya untuk putra kesayangannya.
Samuel tersenyum bahagia, meski usianya sudah hampir 20 tahun, tetap Samuel senang bila ibundanya memanggilnya dengan panggilan kesayangannya ‘pangeran kecil’ karena terasa sangat istimewa di mata ibundanya-, dan langsung menghambur ke pelukan wanita yang amat ia sayangi.
   “Mama…,” Samuel memeluk erat ibundanya.
   “Kau sehat, sayang?”
   “Sehat, Ma, sangat sehat,” Samuel menjawab masih di pelukan ibundanya.
Mary mengecup kepala Samuel sebelum dilepaskannya dan memandang wajah putranya.
   “Mari, mama lihat wajahmu sekarang, nak..,”
Mary mengusap pipi Samuel, dan tersenyum,
   “Tampan sekali, kau nak,” dan mengecup pipi Samuel lembut.
Samuel tersenyum dengan bahagianya, dan dikecupnya erat pipi ibundanya. Perasaan bahagia dan lega merasuknya di raganya, merasakan ia pulang masih dapat bertemu dengan ibundanya, dan masih bisa merasakan pelukan dan kecupan kasih sayang ibundanya. Ini yang menjadi alasan utama, ia kembali pulang, karena ia cukup  mampu untuk membuka firma hukum di sana, tapi ia memilih untuk pulang dan akan membuka firma hukum di sini.

Dean dan ayahnya tersenyum haru melihat mereka. Sampai kapan pun Samuel akan tetap menjadi pangeran kecil Lady Mary.

Keluarga yang baru berkumpul secara lengkap, berbincang sebentar. Samuel menceritakan perjalanannya. Ada kehangatan di sana.

    “Nah, sekarang, sudah hampir makan malam, bagaimana kalau Samuel mandi dan istirahat dahulu setelah perjalanan panjang, nanti kita bisa teruskan setelah makan malam,” John memecah keharuan dengan senyuman renyah. “Dan kau juga harus mandi, putri, mana ada putri pakaiannya kotor begini dan bau kuda,” dengan menggoda Adeline.
Alec tersenyum nakal.
Samue tergelak melihatnya. Dia menghela nafas dengan tersenyum, “Baiklah, aku mandi dulu, nanti kita teruskan lagi,” kemudian ia beralih pada ibundanya. “Aku mandi dulu ya, ma, nanti kita mengobrol lagi.”
Lady Mary mengangguk dengan tersenyum.
Samuel mengecup sekali lagi pipi ibundanya bangkit berdiri.

    “Kamarku masih sama, kan?” kelakar Samuel seraya berjalan menuju tangga.
Alec langsung mengejar dan mengapit lengan besar kakaknya dan mendekapnya, “Masih. aku antar ya ...,” memamerkan wajah imutnya.
Samuel mengangguk dengan senangnya.


    “Nah, masih kamar yang sama, dengan isi kamar yang sama, tidak ada yang merubahnya,” ucap Alec dengan tersenyum geli, begitu mereka masuk ke kamar Samuel.
Samuel masuk dan merasakan dengan benar kembali ke kamarnya. Disapu matanya ke setiap sudut kamarnya, memastikan semuanya masih sama saat ia tinggalkan dahulu. Yup, masih sama, bahkan maket perangnya masih pada posisi yang sama.
    “Masih kau mainkan ini?” tanya Samuel penasaran.
Alec menggeleng lirih. “Tidak seru, tanpa dirimu.” Pertanyaan Samuel seperti mengingatkan kembali identitas asli Alec.
    “Kita main nanti, ya...,” Samuel tersenyum untuk menyenangkan Alec.
Alec hanya tersenyum.
    “Nona, sudah siap untuk mandi?” sosok Emma masuk ke kamar.
   “Terima kasih, Nana,” Alec tersenyum manis, kemudian beralih pada Samuel, “Baiklah aku mandi dulu, nanti kita bertemu di meja makan,” dan memberik kecupan di pipi Samuel.
Samuel mengangguk dan membalas kecupan itu di pipi Alec.
Dengan senyuman Alec meninggalkan kamar kakaknya dan menuju kamarnya.

Alec segera mandi sore dengan dibantu oleh Emma dan seorang pelayan kepercayaannya yang sudah disumpah untuk menutupi identitas aslinya. Bagaimanapun dengan seiringnya waktu, identitas asli Alec tertutupi dan hanya beberapa pelayan yang sudah mengabdi sangat lama dan sangat setia yang mengetahuinya. Meski mereka mengetahui identitas asli Alec, tetap mereka melakukan ritual mandi layaknya seorang putri pada Alec. Bagi mereka Alec tetap seorang putri Marques Winchester.

Setelah lima tahun lamanya, Alec begitu menikmati ritual mandi ala seorang putri. Ia kini sudah sangat terbiasa dengan segala bentuk wewangian bunga, minyak zaitun dengan ekstrak bunga yang dilulurkan ke seluruh tubuhnya setelah ia mandi, bahkan pijatan-pijatan lembut dari tangan Emma yang benar-benar memperlakukannya sebagai seorang putri.

Alec keluar dari bak mandinya, dan Emma langsung membalutkan tubuhnya dengan mantel handuk.

Sebuah gaun petang telah disiapkan untuk Alec, dan langsung dikenakan Alec. Setelah siap, Alec pun keluar dari kamar.


Di ruang makan, kedua kakaknya telah menunggu , begitu pun dengan kedua orang tuanya. Mereka menyambut Alec dengan tersenyum hangat. Kedua kakak dan ayahnya berdiri menunggu kedatangannya. Alec tahu ia terlambat.

Dean dengan sigap membuka kursi untuk Alec yang terbalut gaun petang yang anggun, di antara kursi ayahnya dan dirinya.

    “Maaf, terlambat,” pipi Alec merona.
    “Tidak apa-apa, sayang,” Lady Mary menyahut dengan lembutnya.
Alec tersenyum manis, seraya mengecup pipi ibundanya, dan duduk di kursi yang sudah disiapkan oleh Dean, yang berada di samping kiri ayahnya di posisi kepala meja makan. “Terima kasih, kak.”
Dean hanya tersenyum dengan sopannya.
Begitu Alec duduk, ketiga pria bangasawan tersebut duduk di kursinya masing-masing. Dean duduk di samping Alec, sementara Samuel duduk di samping ibundanya yang berada di samping kanan ayahnya.

Lord John Winchester menarik nafas penuh syukur dengan kelengkapan keluarganya.
    “Baiklah mari kita berdoa,” dengan tersenyum lega.
……........................................................................................
    “Amin. Mari kita makan. Makan malam pertama menyambut kepulangan Samuel,” seru John dengan bahagianya.
Samuel tersenyum, “Terima kasih, pa.
    “Emma sudah memasakkan makan malam istimewa, Hati Angsa,” ucap Mary memanjakan putra keduanya, seraya memberi potongan hati angsa yang besar pada Samuel dengan tersenyum.
Senyum Samuel semakin merekah, “Kesukaanku! Terima kasih, ma,” Samuel mengecup ibundanya.
    “Aku yang mengejar angsanya!” sela Alec bangga.
    “Heh!?” Sam terkaget.
    “Dan aku yang potong dagingnya,” Dean tak mau kalah.
 Samuel tercenung, “pake apa potongnya?” penuh curiga.
    “Pake pisau bedahku!” sahut Dean.
    “Waduh!!!” Sam langsung pucat.
Spontan Dean dan Alec tergelak lepas melihat perubahan wajah Samuel. Lord John dan Lady Mary pun tertawa dengan anggunnya. Samuel pun akhirnya ikut tertawa lepas, melepaskan kebahagiaannya berkumpul kembali bersama keluarganya.
    “Sudah, sudah… mari lanjutkan makan, nanti dia tidak bisa menikmati hati angsa yang dipotong dengan pisau bedah Dean,” Lord John masih tertawa geli.
Samuel hanya mesem saja. ‘Ah, senangnya kembali ke rumah.’

Mereka makan malam dengan nikmat dan sangat hangat. Lord John tidak dapat menggambarkan lagi bagaimana perasaannya yang bahagia. Sudah lama ia merindukan makan malam secara lengkap begini. Dan ia sangat bersyukur masih bisa menikmatinya.


Selepas makan malam, mereka berlima berkumpul di ruang tengah. Sudah menjadi kebiasaan dalam keluarga Winchester, selepas makan malam mereka berkumpul di ruang tengah untuk melakukan rekreasi bersama. Biasanya John akan membacakan satu bab dari buku bagus miliknya, atau Dean yang bernyanyi diiringi dentingan piano Samuel atau Alec, juga Lady Mary yang terkadang membuat rajutan mantel untuk ketiga buah hatinya dengan bantuan Alec.

Dan untuk malam ini, acara keluarga diisi dengan alunan piano Alec yang mengiringi pembacaan satu bab buku bagus oleh Samuel. Bab yang beriisikan kisah yang mengagumkan orang banyak. Mereka mendengarkan dan menikmatinya.

Tepuk tangan anggun langsung terdengar dari Lady Mary, Lord John dan Dean, begitu Alec dan Samuel selesai dengan tugasnya.

    “Mengagumkan, putriku, kau bermain sangat baik,” puji Lady Mary langsung, membuat Alec merona kembali.
    “Terima kasih, ma,” dan berpindah ke sofa di samping kursi roda ibundanya, lalu mengecupnya hangat.
    “Oh, ya, papa, lupa mengabarkan, kita mendapat undangan di pesta ulang tahun Jendral Edward August besok,” Lord John dengan semangat.
    “Pangeran Edward August?” Samuel takjub.
    “Ya, Pangeran Edward-Duke of Kent,” Lord John tersenyum kulum.
Siapa yang tidak kenal Pangeran Edward-Duke of Kent, seorang Pangeran- putra dari Raja George III King of the United Kingdom of Great Britain and Ireland, yang juga seorang Jendral besar dan ditempatkan di wilayah Amerika Utara sini.
    “Dengar-dengar putranya tampan lho!” kelakar Dean, seraya melirik nakal adiknya, Alec.
Sekali lagi Ale pipi Alec merona.
    “Bagus, tuh!” seru Samuel dengan tertawa.
    “Kakak!”
    “Kalian berdua ikut menjadi penjaga Edele,” putus Lord John dengan tersenyum pada dua putranya.
    “Siap!” sahut Samuel pasti, sementara Dean hanya menganggu, seperti sebuah tugas wajib untuknya.
Lord John tertawa geli, dan Lady Mary tersenyum dengan bahagian.
Alec menghela nafas gelisah. Tidak hanya karena akan menghadiri sebuah pesta bangsawan, tapi juga dia pasti akan bertemu dengan para pemuda bangsawan yang jujur mulai mengganggu perasaannya. Dengan seringnya waktu, dirinya yang sudah berumur 16 tahun ini, perasaannya semakin tidak tenang saat mendapat pandangan memancing hati dari para pemuda bangsawan itu, karena ia tahu ia tidak akan bisa membalasnya, karena dirinya sama seperti mereka, seorang laki-laki! Tapi besok akan ada kedua kakaknya yang akan menjaganya dari mata-mata yang memancing hatinya. Dean dan Samuel akan menjaganya. Semoga.

TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar