Rating : K+
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
Genre : Family
Character : Alec, Ben, Dean, Sam
Summary : Ben dan Alec tinggal di Panti Asuhan sejak mereka masih bayi. Mereka berjanji akan selalu bersama meski ada yang ingin mengadopsi mereka. Tapi bagaimana jika ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka dan membuat mereka terpisah satu sama lain?
ENJOY
Chapter 27
Lord Winchester
sudah menunggu kepulangan putra keduanya dengan tidak sabar di depan rumahnya.
Mary pun sudah menunggu di ruang tengah, menunggu putra kesayangannya pulang.
Samuel pulang dengan gelar seorang pengacara. Bukan, bukan gelar pendidikan
Samuel yang ia tunggu, tapi wujud Samuel yang pulang ke rumah. Ia sempat cemas
Samuel tidak akan kembali pulang, setelah terlihat sangat nyaman di kota besar
dan lepas hidup sendiri tanpa dirinya, terlebih dengan tidak pulang sama sekali
selama ia sekolah, hanya berkirim kabar melalui surat. Karena itu ia sangat
lega, Samuel mengabarkan akan segera pulang selepas ia lulus, dan membawa gelar
pengacara muda dari Universitas bergengsi di Amerika, tempat Dean mendapatkan
gelar dokter mudanya.
Hubungannya dengan Samuel yang dahulu
dingin, perlahan mencari dengan seiringnya waktu dan pembuktian John telah
salah menilai Samuel. Samuel bukan lagi anak yang pemberontak, bukan lagi anak
yang keras kepala dengan selalu menentang ayahnyanya. Samuel telah berganti
menjadi anak yang lebih dewasa, terlebih selepas kepergian Dean. Samuel
Akhirnya ia
melihat tiga ekor kuda dengan penunggang di atas memasuki gerbang rumahnya.
John tersenyum melihatnya. Adeline diapit kedua kakaknya di kanan-kirinya, tapi
matanya tertuju pada sosok tinggi di samping kanan Adeline; Samuel.
Hingga mereka
berhenti di hadapan John . Samuel langsung turun dengan wajah sumringah.
John membuka
tangannya dengan senyum kelegaan dan kebahagiaannya. Samuel menghambur kepelukan ayahnya.
“Kau pulang, Nak,” John memeluk erat
putranya, memuaskan kerinduan yang memuncak di dadanya.
“Ya, pa,aku pulang,” Samuel membalas pelukan
ayahnya tak kalah eratnya.
John masih
memeluk Samuel untuk beberapa saat sebelum dilepaskan tubuh tinggi putranya
yang melebihi tubuhnya.
“Ayo masuk, mamamu sudah
menunggumu dari tadi. Dia sudah sangat merindukanmu, Nak,” John mengajak
Samuel masuk dengan diikuti Adeline dan Dean di belakang.
Dan di sana, di ruang keluarga, di tepi
jendela besar yang menghadap halaman depan, Lady menunggu di kursi rodanya,
ditemani Emma.
Mary sudah menunggu dengan senyuman hangat
menyambut kepulangan putranya.
“Samuel,
pangeran kecilku…,” Mary membuka tangannya untuk putra kesayangannya.
Samuel tersenyum bahagia, meski usianya
sudah hampir 20 tahun, tetap Samuel senang bila ibundanya memanggilnya dengan
panggilan kesayangannya ‘pangeran kecil’ karena terasa sangat istimewa di mata
ibundanya-, dan langsung menghambur ke pelukan wanita yang amat ia sayangi.
“Mama…,” Samuel memeluk erat ibundanya.
“Kau sehat, sayang?”
“Sehat, Ma, sangat sehat,” Samuel menjawab masih di pelukan ibundanya.
Mary mengecup kepala Samuel sebelum
dilepaskannya dan memandang wajah putranya.
“Mari, mama lihat wajahmu sekarang, nak..,”
Mary mengusap pipi Samuel, dan tersenyum,
“Tampan sekali, kau nak,” dan mengecup pipi Samuel lembut.
Samuel tersenyum dengan bahagianya, dan dikecupnya
erat pipi ibundanya. Perasaan bahagia dan lega merasuknya di raganya, merasakan
ia pulang masih dapat bertemu dengan ibundanya, dan masih bisa merasakan
pelukan dan kecupan kasih sayang ibundanya. Ini yang menjadi alasan utama, ia
kembali pulang, karena ia cukup mampu
untuk membuka firma hukum di sana, tapi ia memilih untuk pulang dan akan
membuka firma hukum di sini.
Dean dan ayahnya tersenyum haru melihat
mereka. Sampai kapan pun Samuel akan tetap menjadi pangeran kecil Lady Mary.
Keluarga yang baru berkumpul secara
lengkap, berbincang sebentar. Samuel menceritakan perjalanannya. Ada kehangatan
di sana.
“Nah, sekarang, sudah hampir makan malam, bagaimana kalau Samuel mandi
dan istirahat dahulu setelah perjalanan panjang, nanti kita bisa teruskan
setelah makan malam,” John memecah keharuan dengan senyuman renyah. “Dan kau
juga harus mandi, putri, mana ada putri pakaiannya kotor begini dan bau kuda,”
dengan menggoda Adeline.
Alec tersenyum nakal.
Samue tergelak melihatnya. Dia menghela nafas
dengan tersenyum, “Baiklah, aku mandi dulu, nanti kita teruskan lagi,” kemudian
ia beralih pada ibundanya. “Aku mandi dulu ya, ma, nanti kita mengobrol lagi.”
Lady Mary mengangguk dengan tersenyum.
Samuel mengecup sekali lagi pipi ibundanya
bangkit berdiri.
“Kamarku masih sama, kan?” kelakar Samuel seraya berjalan menuju tangga.
Alec langsung mengejar dan mengapit lengan besar kakaknya dan mendekapnya, “Masih. aku antar ya ...,” memamerkan wajah imutnya.
Samuel
mengangguk dengan senangnya.
“Nah, masih kamar yang sama, dengan isi
kamar yang sama, tidak ada yang merubahnya,” ucap Alec dengan tersenyum geli, begitu mereka masuk ke
kamar Samuel.
Samuel masuk
dan merasakan dengan benar kembali ke kamarnya. Disapu matanya ke setiap sudut
kamarnya, memastikan semuanya masih sama saat ia tinggalkan dahulu. Yup, masih
sama, bahkan maket perangnya masih pada posisi yang sama.
“Masih kau mainkan ini?” tanya Samuel penasaran.
Alec menggeleng lirih. “Tidak seru, tanpa dirimu.” Pertanyaan Samuel seperti
mengingatkan kembali identitas asli Alec.
“Kita main nanti, ya...,” Samuel tersenyum
untuk menyenangkan Alec.
Alec hanya
tersenyum.
“Nona, sudah siap untuk mandi?” sosok Emma
masuk ke kamar.
“Terima kasih, Nana,” Alec
tersenyum manis, kemudian beralih pada Samuel, “Baiklah aku mandi dulu, nanti
kita bertemu di meja makan,” dan memberik kecupan di pipi Samuel.
Samuel mengangguk dan membalas kecupan itu
di pipi Alec.
Dengan senyuman Alec meninggalkan kamar
kakaknya dan menuju kamarnya.
Alec segera mandi sore dengan dibantu oleh
Emma dan seorang pelayan kepercayaannya yang sudah disumpah untuk menutupi
identitas aslinya. Bagaimanapun dengan seiringnya waktu, identitas asli Alec
tertutupi dan hanya beberapa pelayan yang sudah mengabdi sangat lama dan sangat
setia yang mengetahuinya. Meski mereka
mengetahui identitas asli Alec, tetap mereka melakukan ritual mandi layaknya
seorang putri pada Alec. Bagi mereka Alec tetap seorang
putri Marques
Winchester.
Setelah lima
tahun lamanya, Alec begitu menikmati ritual mandi ala seorang putri. Ia kini
sudah sangat terbiasa dengan segala bentuk wewangian bunga, minyak zaitun
dengan ekstrak bunga yang dilulurkan ke seluruh tubuhnya setelah ia mandi,
bahkan pijatan-pijatan lembut dari tangan Emma yang benar-benar
memperlakukannya sebagai seorang putri.
Alec keluar
dari bak mandinya, dan Emma langsung membalutkan tubuhnya dengan mantel handuk.
Sebuah gaun
petang telah disiapkan untuk Alec, dan langsung dikenakan Alec. Setelah siap, Alec
pun keluar dari kamar.
Di ruang makan, kedua kakaknya telah
menunggu , begitu pun dengan kedua orang tuanya. Mereka menyambut Alec dengan
tersenyum hangat. Kedua kakak dan ayahnya berdiri menunggu kedatangannya. Alec
tahu ia terlambat.
Dean dengan sigap membuka kursi untuk Alec
yang terbalut gaun petang yang anggun, di antara kursi ayahnya dan dirinya.
“Maaf, terlambat,” pipi Alec merona.
“Tidak apa-apa, sayang,” Lady Mary
menyahut dengan lembutnya.
Alec tersenyum manis, seraya mengecup pipi ibundanya, dan duduk di kursi yang sudah disiapkan
oleh Dean, yang berada di samping kiri ayahnya di posisi kepala meja makan.
“Terima kasih, kak.”
Dean hanya tersenyum dengan sopannya.
Begitu Alec duduk, ketiga pria bangasawan
tersebut duduk di kursinya masing-masing. Dean duduk di samping Alec, sementara
Samuel
duduk di samping ibundanya yang berada di samping kanan ayahnya.
Lord John Winchester menarik nafas penuh
syukur dengan kelengkapan keluarganya.
“Baiklah mari kita berdoa,” dengan tersenyum lega.
……........................................................................................
“Amin. Mari kita makan. Makan malam pertama menyambut kepulangan
Samuel,”
seru John dengan bahagianya.
Samuel tersenyum, “Terima
kasih, pa.”
“Emma sudah memasakkan makan malam istimewa, ‘Hati
Angsa’,”
ucap Mary memanjakan putra keduanya, seraya memberi potongan hati angsa yang
besar pada Samuel dengan tersenyum.
Senyum Samuel
semakin merekah, “Kesukaanku! Terima kasih, ma,” Samuel
mengecup ibundanya.
“Aku yang mengejar angsanya!” sela Alec bangga.
“Heh!?” Sam terkaget.
“Dan aku yang potong dagingnya,” Dean tak mau kalah.
Samuel tercenung, “pake apa potongnya?” penuh
curiga.
“Pake pisau bedahku!” sahut Dean.
“Waduh!!!” Sam langsung pucat.
Spontan Dean dan Alec tergelak
lepas melihat perubahan wajah Samuel. Lord John dan
Lady Mary pun tertawa dengan anggunnya. Samuel
pun akhirnya ikut tertawa lepas, melepaskan kebahagiaannya berkumpul kembali
bersama keluarganya.
“Sudah, sudah… mari lanjutkan makan, nanti dia tidak bisa menikmati hati
angsa yang dipotong dengan pisau bedah Dean,” Lord John masih tertawa geli.
Samuel hanya mesem saja. ‘Ah, senangnya kembali ke rumah.’
Mereka makan malam dengan nikmat dan sangat
hangat. Lord John tidak dapat menggambarkan lagi bagaimana perasaannya yang
bahagia. Sudah lama ia merindukan makan malam secara lengkap begini. Dan ia
sangat bersyukur masih bisa menikmatinya.
Selepas makan malam, mereka berlima
berkumpul di ruang tengah. Sudah menjadi kebiasaan dalam keluarga Winchester,
selepas makan malam mereka berkumpul di ruang tengah untuk melakukan rekreasi
bersama. Biasanya John akan membacakan satu bab dari buku bagus miliknya, atau
Dean yang bernyanyi diiringi dentingan piano Samuel
atau
Alec, juga Lady Mary yang terkadang membuat rajutan mantel untuk ketiga buah
hatinya dengan bantuan Alec.
Dan untuk malam ini, acara keluarga diisi
dengan alunan piano Alec yang mengiringi pembacaan satu bab buku bagus oleh Samuel.
Bab yang beriisikan kisah yang mengagumkan orang banyak. Mereka mendengarkan
dan menikmatinya.
Tepuk tangan anggun langsung terdengar dari
Lady Mary, Lord John dan Dean, begitu Alec dan Samuel
selesai dengan tugasnya.
“Mengagumkan, putriku, kau bermain sangat baik,” puji Lady Mary
langsung, membuat Alec merona kembali.
“Terima kasih, ma,” dan berpindah ke sofa di samping kursi roda
ibundanya, lalu mengecupnya hangat.
“Oh, ya, papa, lupa mengabarkan, kita mendapat undangan di pesta ulang tahun Jendral Edward August besok,” Lord John dengan semangat.
“Pangeran Edward August?” Samuel takjub.
“Ya, Pangeran Edward-Duke of Kent,” Lord
John tersenyum kulum.
Siapa yang
tidak kenal Pangeran Edward-Duke of Kent, seorang Pangeran- putra dari Raja
George III King of the United Kingdom of Great Britain and Ireland, yang juga
seorang Jendral besar dan ditempatkan di wilayah Amerika Utara sini.
“Dengar-dengar putranya tampan lho!”
kelakar Dean, seraya melirik nakal adiknya, Alec.
Sekali lagi Ale
pipi Alec merona.
“Bagus, tuh!” seru Samuel dengan tertawa.
“Kakak!”
“Kalian berdua ikut menjadi penjaga Edele,”
putus Lord John dengan tersenyum pada dua putranya.
“Siap!” sahut Samuel pasti, sementara Dean
hanya menganggu, seperti sebuah tugas wajib untuknya.
Lord John
tertawa geli, dan Lady Mary tersenyum dengan bahagian.
Alec menghela
nafas gelisah. Tidak hanya karena akan menghadiri sebuah pesta bangsawan, tapi
juga dia pasti akan bertemu dengan para pemuda bangsawan yang jujur mulai
mengganggu perasaannya. Dengan seringnya waktu, dirinya yang sudah berumur 16
tahun ini, perasaannya semakin tidak tenang saat mendapat pandangan memancing
hati dari para pemuda bangsawan itu, karena ia tahu ia tidak akan bisa
membalasnya, karena dirinya sama seperti mereka, seorang laki-laki! Tapi besok
akan ada kedua kakaknya yang akan menjaganya dari mata-mata yang memancing
hatinya. Dean dan Samuel akan menjaganya. Semoga.
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar