Chapter 17
4 tahun Dean kecil duduk merapat di tembok dengan tidak tenang. Suara erangan dan jeritan kesakitan dari dalam kamar sungguh menakutkan untuknya, terlebih suara itu adalah suara ibunya. Ma sedang berusaha mengeluarkan adik yang ada didalam perutnya, begitu yang dikatakan Ny. Pitts padanya. Ny. Pitts yang seorang bidan sedang membantu Ma di dalam sana. Sesekali Dean mengintip di pintu ingin tahu apa yang terjadi di dalam sana, tapi tidak terlihat apa-apa. Ma tertutupi kain besar berwarna putih di sana. Pa? Pa lebih menakutkan lagi. Sejak Ma mulai mengeluarkan suara itu dan terlihat sangat kesakitan, Pa terlihat sangat tegang. Pa hanya mondar-mandir dengan gusar di depan pintu kamar atau duduk dengan meminum birnya. Dean pun tidak berani untuk mendekatinya.
Sudah lama Dean merasakan, Pa tidak suka dengan Ma memiliki adik untuk Dean. Ma sedang sakit katanya, dan dengan adik bayi yang di perutnya hanya akan menambah beban dan sakit Ma. Dean tidak tahu Ma sakit apa, yang ia tahu, Ma sakit berat. Dean memang melihat Ma tidak terlihat sehat selama membawa adiknya di dalam perut Ma. Tapi Ma selalu meyakinkan dirinya Ma, baik-baik saja, Ma tidak sakit, Ma kuat membawa adik di dalam perutnya. Adik untuk Dean agar Dean tidak kesepian nanti. Dean senang sekali akan punya adik, dan Ma selalu meyakinkan, Dean akan menjadi kakak yang baik, kakak yang sayang pada adiknya, kakak yang akan selalu menjaga dan melindungi adiknya. Dean sudah tidak sabar untuk segera melihat seperti apa adiknya. Tapi kalau harus mendengar suara Ma kesakitan begitu, Dean jadi tidak tega. Apakah Ma juga seperti ini waktu mengeluarkan dirinya dari perut Ma?
Akhirnya suara Ma berhenti berganti dengan suara tangisan anak kecil yang lumayan memekakkan telinganya. Tangisannya kencang sekali.
BRAK!
“Mary!!?” Pa langsung bangkit dari duduknya sampai menjatuhkan kursi yang didudukinya dan berlari ke kamar. Dengan takut Dean mengintip lagi apa yang terjadi di dalam sana.
Tirai besar itu sudah disingkirkan, dan terlihat Pa bersama Ma. Dean mencari di mana adiknya. Ia mencari sumber suara tangisan yang tidak kunjung berhenti. Suara itu kini sudah berada di tangan Ny. Pitts. Dean berdiri dan takut-takut masuk ke dalam kamar. Ia ingin melihat bentuk adiknya.
Akhirnya ia bisa melihat adiknya. Adiknya kini sudah tidak menangis lagi. Ia kecil sekali, warnanya putih pucat. Ny. Pitts sudah membungkusnya dengan kain bersih. Saking kecilnya, yang terlihat hanyalah kepalanya yang bulat. Matanya tertutup, dan bibirnya mengecap-ngecap. Dean memperhatikan kulitnya yang berkerut-kerut.
“Ini adikku?” tanya Dean malu-malu di samping Ny. Pitts
Ny. Pitt menengoknya dan tersenyum. “Iya, Dean, ini adikmu, adik lelakimu, tampan ya?”
Dean kecewa, “Dia kecil sekali, dan jelek, baunya juga aneh!”
Ny. Pitt hanya tersenyum, “Sekarang dia kecil tapi dia nanti akan besar sepertimu dan tampan sepertimu juga.”
Dean harus tersenyum bangga.
“Mary, Mary!” Pa tiba-tiba memanggil Ma dengan panik, menepuk-nepuk pipnya.
Ny. Pitts langsung memeriksa Ma.
“Dia tidak apa-apa, John, hanya pingsan,” setelah memeriksanya. “Ia kelelahan selama proses persalinan. Dia butuh waktu untuk mengembalikan tenaganya.”
“Harusnya dia tidak perlu melalui ini,” sahut John gusar.
Ny. Pitts hanya terdiam.
“Kau tidak menanyakan bayimu, John?” tanyanya memancing.
John menengok sesaat ke arah meja di mana bayinya diletakkan. Ada rasa ia ingin melihatnya lebih dekat terlebih dengan Dean yang berdiri di sana memandangnya dengan mata bertanya ‘pa nggak mau liat adik baruku?’
“Apa dia sehat?”
“Sehat sekali John. Seorang bayi laki-laki yang sehat dan tampan.”
Jawaban Ny. Pitts tidak terlalu membuatnya lega, justru membuatnya semakin sakit.
“Kalau kelahiran dia hanya akan memperburuk kesehatan Mary, tak perlulah dia lahir.”
“Tapi Mary menginginkan bayi ini, dan ini buah cinta kalian.”
John terdiam. “Bukan, dia kecelakaan, tidak seharusnya dia ada. Seharusnya Mary tidak usah hamil lagi. Sudah ada Dean, itu sudah cukup,” ucapnya lirih dengan melihat putra pertamanya yang amat disayanginya dan menjadi kebanggaanya. “Tak perlu ada lagi,” lanjutnya dan kembali pada Mary yang masih tak sadarkan diri.
Ny. Pitts hanya mendesah kecewa dan kembali pada bayi yang belum diberi nama. Ia pun tak yakin John akan memberinya nama.
“Kalau Mary sampai tidak bangun lagi , ….,” John terhenti dengan ucapnnya. Tidak perlu ia ucapkan apa yang ada di kepalanya bila sampai Mary terjadi apa-apa.
Dean hanya berdiri di sana menlihat dan mendengar apa yang Pa dan Ny. Pitts ucapkan. Dia tidak banyak mengerti, tapi dari mata dan gerak tubuh Pa yang tidak melihat bahkan mendekati adiknya, ia tahu, Pa tidak menyukai adik barunya ini. Dean tidak tahu mengapa.
Mary baru sadarkan diri dua hari kemudian, yang sangat melegakan John, karena ia yakin, ia pasti sudah melakukan sesuatu pada makhluk kecil itu bila Mary tidak terselamatkan. Namun yang menyakitkan ucapan pertama yang terucap dari bibir lemah Mary adalah;
“Bagaimana bayiku, John? Apa dia sehat? Aku ingin melihatnya, John.”
Sebenarnya John tidak ingin memperlihatkan bayi itu pada Mary, tapi ia pun tidak tega kalau harus melihat wajah kecewa Mary, perempuan satu-satunya yang amat dicintainya.
Dan akhirnya dengan pahit, John memberikan bayi merah itu ke pelukan Mary. Tak terkira wajah bahagianya Mari menggendong bayi yang barus ia lahirkan susah payah.
“Anakku,” ucapnya lembut seraya mengecup pipinya. “Dia mirip denganmu, John.”
John meliriknya bayinya. ‘Mirip dari mana? ’
“Sudah kau beri nama siapa dia, John?” lanjut Mary.
“Belum. Belum sempat.”
Mary hanya tersenyum lemah, “Boleh kuberi nama dia Samuel, seperti nama ayahku?” tanyanya.
‘Samuel?’ terlalu bagus buat anak macam ini. Tapi John hanya mengangguk setuju. “Boleh,” apapun untuk Mary.
Mary tersenyum senang, dan kembali mengusap bayinya.
“Dean,” Mary teringat pada putra sulungnya.
Dan langsung muncul diantara mereka dan John langsung mendudukannya di tempat tidur bersama Mary.
“Dean… lihat ini adik laki-lakimu, sayang. Namanya Samuel, beri salam padanya, sayang,” ucap Mary.
Dean melihat lekat bayi yang dipelukan ibunya. “Hi, Sam…,” ucapnya malu-malu.
Mary tersenyum senang. “Kau sudah jadi kakak sekarang, kau harus menyayangi adikmu, ya.”
Dean mengangguk, “Dean sayang Sam.”
Tak terkira leganya perasaan Mary mendengar putra sulungnya mengucapkan itu, sementara John hanya tersenyum jengah.
Memang benar, setelah persalinan itu, kondisi Mary semakin menurut, dia bahkan sudah tidak sanggup untuk turun dari tempat tidur. John semakin menyesal membiarkan Mary mengandung kemudian melahirkannya, dan membenci kelahiran Sam, tapi demi Mary pula ia mau merawat Sam.
Tahun pertama John masih mau merawat Sam, meski dengan terpaksa. Dean pun tahu ibunya sudah tidak kuat lagi mengasuh Sam, karena itu tanpa diminta sering melihat bagaimana ayahnya mengurus adiknya. Dean menyukai Sam. Ny. Pitts benar, adiknya ini semakin lama semakin membesar dan menggemaskan. Adiknya tidak lagi jelek dan tidak lagi berbau aneh. Setiap Sam tertawa, lesung pipitnya keluar dari pipi tembemnya. Dean suka kalau Sam sedang tersenyum atau tertawa. Namun jika Sam menangis, ada perasaan menusuk di dada Dean. Karena itu ia selalu berusaha membuat adiknya tersenyum.
Namun di tahun kedua setelah Sam berulang tahun yang pertama, ayahnya mulai tidak sabar dengan kelakuan Sam, terlebih saat Sam mulai belajar jalan, atau belajar bicara. Yang ada hanyalah Pa yang sering membentak-bentak Sam hingga Sam menangis ketakutan. Kalau sudah begini, Dean yang akan menenangkan Sam dan membawanya ke Ma di kamar, dimana Ma akan memeluk Sam, menyanyikannya nina bobo hingga Sam berhenti menangis dan tertidur lelap, begitu juga Dean yang akan terlelap di samping Ma. Paling tidak Sam pernah merasakan kasih sayang Ma.
John semakin tidak peduli pada Sam, suara tangisnya hanya akan membuat dirinya marah. John pun tidak peduli ia melewatkan langkah pertama Sam, juga kata pertama Sam yang mengucapkan ‘Pa pa….’ John tidak peduli lagi. Ia lebih meninggalkan Sam pada putra sulungnya yang masih 6 tahun. Secara otomatis, Sam diasuh oleh Dean. Dean yang akan memandikannya, Dean yang akan memberinya makan, Dean yang akan menidurkannya, dan Dean yang akan mengajaknya bermain ataupun menenenangkan Sam bila menangis. Sementara waktu John dihabiskan di tempatnya bekerja di tempat pemotongan kayu dan akan berada di samping istrinya bila berada di rumah.
Dean semakin bisa melihat perlakuan ayahnya pada Sam yang berbeda dengan pada dirinya. Tidak hanya perhatian, tapi juga kasih sayangnya. Tak jarang Pa akan pulang kerja membawakan Dean permen atau mainan yang hanya dikhususkan untuk Dean, atau membelikan pakaian Dean yang bagus, tapi tidak untuk Sam. Tidak ada untuk Sam, hanya untuk Dean.
Dean tak dapat menahan rasa perihnya melihat mata cemburu Sam yang merasa tersisihkan tanpa perhatian dan kasih sayang Pa, dan yang terperih adalah jika Sam yang terkadang mengangkat tangannya meminta digendong, tapi Pa selalu menjawabnya dengan kasar, ‘apa, minta gendong? Pergi sana, jauh-jauh, berani mendekat, aku pukul kamu,’ Dan Sam akan mengkeret kecewa, siap menangis tapi dengan cepat Pa akan menghardiknya keras, ‘Jangan nangis! Dasar manja!’
Dan Dean pun mendengar ucapan lirih Sam yang masih berumur 2,5 tahun, ‘Pa nggak cayang, Cammy,’ dengan wajah sedihnya.
Tidak seharusnya anak usia 2,5 dapat mengucapkan sesuatu yang hanya akan mulai dimengerti anak usia 4 tahun. Tapi Sam sudah bisa mengucapkannya.
Akhirnya Dean yang menggantikan semua kasih sayang Pa yang tidak dirasaakn Sam. Permen dan mainannya selalu ia berikan untuk Sam. Dean juga berusaha untuk selalu melindungi Sam dari kemarahan Pa. Itu juga yang menjadi permintaan Ma setiap malam. ‘Kalau Ma sudah tidak bersama kalian lagi, Ma titip Sam, jaga dia, sayangi dia, lindungi dia, Dean, dan buat Sam bahagia, ya sayang.’ Dan Dean hanya mengangguk
Pesan itu terpatri di kepala kecil Dean yang masih 6 tahun walau menjadi ketakutan terbesarnya kalau memang Ma harus pergi selama-lamanya meninggalkan mereka bertiga.
Dan akhirnya malam yang ditakutkan Deanpun terjadi.
Malam itu, hanya beberapa hari setelah ulang tahun Sam yang ke-3, entah mengapa Sam menangis terus. Dean sudah berusaha untuk mendiamkannya, tapi tangis Sam tak kunjung berhenti. Pa sudah berteriak-teriak untuk Dean mendiamkan Sam, tapi tetap tangis Sam tidak kunjung berhenti, dan semakin membuat Pa kesal.
Dan Dean terkaget dengan tiba-tiba Pa merebut Sam dari gendongan Dean saat ia berusaha mendiamkan Sam.
“Pa!” Dean terkaget, terlebih dengan pekikan Sam yang sakit, tangannya ditarik begitu saja.
Di luar dugaan, Pa langsung melancarkan pukulan di pipi Sam untuk mendiamkan Sam.
Dean sudah berusaha untuk menghentikan pukulan Pa, tapi Pa menendangnya jauh-jauh hingga Dean jatuh tersungkur.
Bukannya diam Sam semakin menangis kesakitan. Pa semakin marah, dia langsung melempar Sam ke lantai dan siap untuk menendang tubuh kecil 3 tahun Sam yang sudah meringkuk ketakutan di tengah tangisnya. Namun terhentikan dengan suara lirih yang mengagetkannya,
“Sammy…”
Kaki John terhenti saat siap akan melayangkan tendangan ke arah Sam. Ia langsung menengok dan melihat Mary tertatih berusaha meraih Sam.
“John...ja..ng…an, p..p..ukul…di..aa…, a…ku mo…hon, John…,” Mary terengah-engah meratap di tembok mencari pegangan untuk berdiri.
“Mary!” John langsung menangkap tubuh Mary yang siap tumbang.
John membopong Mary kembali ke tempat tidurnya, sementara Dean langsung berlari ke arah Sam dan langsung menggendongnya.
Mungkin karena ketakutan dan syoknya, Sam berhenti menangis dan hanya terisak-isak di pundak kakaknya.
Dean menimang-nimang Sam hingga berhasil kembali tidur. Saat ia akan menaruh Sam ke tempat tidurnya, ia terkaget dengan teriakan Pa tiba-tiba,
“MARY? TIDAAKK!!! JANGAN PERGI MARY!!!! TIDAAAAKKKK!!!!”
Dan selanjutnya Dean mendengar suara meja dilempar dan pintu dibuka lalu dibanting dengan keras.
Dean lansung berlari keluar dan ke kamar Ma. Dean terpaku pucat melihat sosok Ma yang cantik sudah terbaring tak bergerak. Diperhatikannya suara hembusan nafas Ma yang biasa terdengar berat, kini tak terdengar sama sekali. Dean mendekatinya dan mencoba menyentuh tubuh Ma, dan membangunkannya…
“Ma..? Ma…? Bangun, Ma….,” panggilnya takut-takut.
Tidak ada reaksi, Ma masih terdiam. Biasanya Ma akan terbangun meski hanya satu kali panggilan.
“Ma…?” panggilnya sekali lagi. Saat tidak ada jawaban, jantung Dean serasa berhenti, menyadari Ma sudah pergi.
“Maaaa!!!!” Dean memeluk tubuh ibunya dengan menangis, diringi dengan suara tangis Sam yang tiba-tiba kembali terdengar, yang membuat Dean semakin sesak rasanya.
Dan selanjutnya menjadi babak baru dari kehidupan Dean. Pa terpuruk dalam kesedian ditinggalkan Ma. Pa semakin sering marah, Pa semakin suka pulang mabuk, dan akhirnya dihentikan dari pekerjaannya dan membuatnya tinggal di rumah bersama minumannya, dan yang pasti Pa semakin sering memukul Sam, sebagai hukuman, Sam sudah membuat Ma pergi selama-lamanya.
Pa memukul Sam saat Dean pergi sekolah. Dean hanya bersekolah sampai kelas 2 tapi cukup untuknya belajar membaca dan menulis, dan dapat mengajarkan Sam membaca. Sam tidak pernah diizinkan sekolah. Dean hanya akan mendapatkan Sam meringkuk kesakitan atau terkunci di dalam lemari bila ia pulang sekolah setiap harinya, dengan tubuh yang babak belur penuh luka. Dean merasa putus asa tidak dapat melakukan apa-apa untuk menolongnya, karena iapun takut pada Pa. Tak jarang iapun terkena sasaran kemarahan dan pukulan Pa hanya karena menolong Sam. Dean semakin tersiksa dengan kenyataan sam tidak lagi berani mengeluarkan suaranya karena saking takutnya pada pa. Akan ada tambahan pukulan jika Sam berani mengeluarkan suara atau menangis kesakitan. Dean merasa semakin tidak berguna.
TBC